Sunday, July 14, 2013

CERITA SEBUNGKUS GARAM




Bulan Ramadhan yang lalu, Mpu Peniti mentor saya, titip agar saya membeli sebungkus garam buat beliau. Mulanya saya garuk garuk kepala terheran-heran. Buat apa sebungkus garam. Beliau cuma tertawa, dan menjawab singkat - "Buat masak makanan buka puasa". Maka 2 jam sebelum puasa saya sudah tiba dirumah Mpu Peniti dengan sebungkus garam. Beliau gembira betul melihat saya membawa sebungkus garam pesanan beliau. Garam tersebut dibawanya ke dapur, dan Mpu Peniti sibuk memasak.

Saya menunggu diteras belakang. Sehabis sholat setelah bedug berbuka puasa, Mpu Peniti mengajak saya makan. Menunya sangat sederhana. Nasi putih, tahu dan tempe goreng, serta tumis kangkung. Entah kenapa saya seperti tersihir, makan dengan sangat lahap. Rasanya enak luar biasa. Sebuah pengalaman yang sangat magis. Awalnya saya pikir saya dikerjai Mpu Peniti. Tapi ternyata tidak. Sehabis makan beliau baru cerita. Bahwa nasi tadi ditanak dengan air kelapa dan dibubuhi sedikit garam supaya gurih. Sedangkan tahu dan tempe sebelum digoreng direndam di-air garam dan bawang putih. Dan tumis kangkung ditumis dengan cabe, bawang merah, dan garam. Tapi mengapa bisa begitu enak ? Mpu Peniti hanya tertawa terkekeh-kekeh. Karena resepnya memang sangat rahasia.

 Pada akhirnya beliau bertutur juga. Tentang pelajaran hidup yang beliau ingin turunkan kepada saya. Maka berceritalah beliau tentang budaya prihatin. Beliau menasehati saya agar selalu hidup prihatin. Menurut Mpu Peniti, prihatin bukanlah artinya kita harus menyiksa diri kita. Hidup serba susah. Pertama-tama Prihatin lebih kepada alam pikir kita. Sebuah "state of mind". Bahwa kita dalam kepekaan berpikir. Sehingga panca indera kita menjadi lebih tajam dan fokus. Dalam hal ini Mpu Peniti mencontohkan nasi yang ditanak dengan campuran air kelapa dan garam. Betapa sering kita mengabaikan nasi. Yang kita pentingkan selalu adalah lauk-nya. Kita sering menganggap nasi apa adanya. Tetapi ketika nasi ditanak dengan resep khusus bersama air kelapa dan garam, maka nasi yang tidak pernah kita anggap malah menjadi kelezatan tersendiri. Nasi tampil menjadi yang utama. Garam mirip dengan prihatin. Ketika hidup ini menjadi sedemikian hambar, maka prihatin menjadi sebuah kekuatan yang luar biasa.

Bayangkan anda berada disebuah ruangan. Lalu anda menyetel musik sekeras-kerasnya. Maka bukan kemerduan dan keindahan musik yang anda dengarkan, melainkan suara yang sangat bising yang membuat anda sangat terganggu. Tetapi bilamana anda turunkan suaranya hingga ketingkat yang pas, maka yang terdengar adalah suara musik yang sangat indah. Konsep prihatin sama dengan menurunkan suara musik kelevel yang bisa kita nikmati. Bilamana kita telah terlatih dengan gaya hidup prihatin maka apresiasi kita terhadap kesenangan, kebahagian, dan kepuasan menjadi berlipat ganda. Ibaratnya kita sudah terbiasa makan sangat sederhana, suatu hari kita dijamu dengan makanan mewah. Maka kepuasan dan kebahagian kita akan menjadi luar biasa. Tetapi bilamana kita sudah terbiasa makan mewah setiap hari maka kita menjadi mati rasa. Kebal ! Tingkat kepuasan dan kebahagian kita menjadi susah dijangkau.

Maka dengan menambahkan sedikit garam saja kepada sang nasi, Mpu Peniti berhasil mengubah nasi yang sangat sederhana menjadi sebuah hidangan spektakuler. Prihatin justru menjadi alat kreatif untuk menyetel kebahagian hidup kita. Prihatin justru membantu kita untuk lebih bahagia, lebih puas dan lebih menghargai hidup.

Peranan garam dalam masakan kedua, yaitu tahu dan tempe goreng punya makna tersendiri, tutur Mpu Peniti. Merendam tahu dan tempe dengan rempah-rempah bawang putih, sebenarnya sudah merupakan ksebuah kesempurnaan tersendiri, tetapi menambahnya dengan garam dalam jumlah yang pas, menjadi keajaiban teresendiri, buktinya tahu dan tempe goreng menjadi lezat luar biasa. Hal yang sama dengan budaya prihatin. Bilamana kita sudah terbiasa hidup prihatin, percaya atau tidak kita akan punya panca indera tambahan. Yaitu kita menjadi tau diri, terhadap penderitaan orang lain. Ini adalah kualitas pemimpin yang sangat penting. Apakah pemimpin bisnis atau pemimpin bangsa. Tanpa panca indera ini, pemimpin akan buta penderitaan terhadap mereka-mereka yang dipimpin-nya.

Teman saya seorang HRD manajer disebuah perusahaan besar. Sehabis kenaikan BBM, ia mengajukan proposal untuk memperbaiki gaji dan upah diperusahaan-nya. Kebetulan presiden direktur sudah generasi kedua. Masih muda. Namun sejak kecil, sudah hidup mewah dan berlimpah. Hingga SMP sekolah di Singapura. Lalu melanjutkan ke Inggris. Sejak kecil hingga dewasa, hidupnya dikelilingi pembantu dan supir. Semua kebutuhan-nya selalu dilayani tanpa terkecuali. Semua permintaan-nya harus ada. Ia tidak pernah sekalipun hidup susah. Ia tidak tahu artinya menderita. Prihatin tidak ada dalam kamus hidupnya. Maka ketika ia disodori proposal penyesuaian gaji dan upah, dengan serta merta ditolaknya. Malah manajer HRD itu dimarahi habis-habisan. Sang presiden menuduh teman saya ingin kudeta.

Teman saya dengan lesu menceritakan semua pengalaman itu, dan mengatakan bahwa andaikata proposal itu diberikan kepada ayah sang presiden direktur, maka situasinya akan sangat berbeda. Proposal itu pasti akan dipertimbangkan dengan seksama, dan teman saya yakin, bahwa proposal itu akan dikabulkan minimal sebagian, sesuai dengan kemampuan perusahaan. Bedanya, sang ayah mulai dari bawah, mulai dari kondisi hidup miskin dan mendirikan perusahaan. Setelah sukses sang ayah masih menjalankan hidup prihatin. Karena pernah hidup susah dan menderita, sang ayah sangat mengerti dan menyelami penderitaan karyawan-nya. Ia punya panca indera itu. Maka prihatin disini menjadi garam yang melengkapi. Garam yang menciptakan keajaiban.

Buddha mengalami jalan hidup yang sama. Seorang pangeran yang seumur hidupnya dipenjara oleh kelimpahan dan kemewahan istana. Dan ketika ia menyamar keluar istana, dan melihat penderitaan rakyat. Ia dengan suka rela membuka mata hatinya, lalu mengisinya dengan ke-prihatinan. Buddha lalu belajar hidup prihatin. Meditasi, bertapa dan mencoba memahami penderitaan rakyatnya. Dan akhirnya Buddha mencapai titik pencerahan tertinggi. Ini adalah kualitas pemimpin yang semakin langka. Negara dan bangsa membutuhkan pemimpin seperti ini, yang mau prihatin. Mengerti penderitaan rakyat. Bukan mengejar kesenangan. Bukan mengejar kekayaan. Dan bukan pula mengejar kesempurnaan citra.

Dalam masakan ketiga, tumis kangkung, garam tidak tampil didepan. Tetapi dibelakang cabe dan bawang. Prihatin tidak tampil didepan. Prihatin hanya menjadi pelengkap. Sebuah bekal yang menyempurnakan. Seorang Ibu yang sepuh, namun sangat kaya raya, pernah mendatangi Mpu Peniti. Uangnya berlimpah. Anak-anaknya tidak berambisi. Ia bertanya seakan hidupnya kosong. Tidak memiliki kebahagian sama sekali. Ia sudah mencoba dengan berbuat amal kemana-mana. Menolong banyak orang. Kenapa ia masih juga belum berbahagia ? Sederhana kata Mpu Peniti, ia itu ibarat tumis kangkung dengan cabe dan bawang tapi tidak ada garamnya. Ia menolong orang bukan karena ingin menolong orang itu. Ia ingin menolong orang semata karena ia ingin punya perasaan bisa dan berkuasa menolong orang. Ia mengejar pujian dan ucapan terima kasih. Ia ingin punya reputasi bahwa ia orang baik hati yang menolong orang kemana-mana. Ia tidak menolong orang karena prihatin. Maka ia tidak akan pernah berbahagia.

Ketika saya bertemu pertama kali dengan Mpu Peniti, saya berpikir ia mirip dukun ramal. Maka pertama yang saya tanya adalah nasib saya dimasa mendatang. Apakah saya bisa menjadi "seseorang" dan "sukses besar". Apakah saya bakal punya segalanya ? Lalu beliau menjawab dengan cerita tentang Buddha. Konon ketika Buddha selesai meditasi beliau ditanya apa yang didapat dari meditasi ? Buddha hanya menggeleng. Tersenyum dan berkata, "Tidak ada". Lalu mengapa Buddha melakukan meditasi ? Bila ia tidak mendapat apa-apa ? Buddha tersenyum, "Aku melakukan meditasi, bukan untuk mendapatkan apa-apa, melainkan justru untuk menghilangkan semua hal-hal yang negatif. Untuk menghilangkan rasa marah, kegelisahan, cemburu, dengki, rasa takut pada usia tua dan kematian" Dan barangkali dengan pemikiran revolusioner seperti itu, Mpu Peniti mengajarkan saya untuk hidup prihatin. Semata agar kebahagian hidup yang kita kejar adalah kebahagian hakiki yang datang dari kehidupan kita yang sesungguhnya. Bukan dari sesuatu yang semu karena harta. Tetapi kebahagian yang bisa memberikan nilai dan martabat hidup.

Sejak itu saya melakukan sejumlah kegiatan usaha, untuk mencoba sikap prihatin itu. Di Djogdjakarta saya dan beberapa teman melakukan Gerakan Pelan Indonesia, memberdayakan budaya Jawa - "Alon Alon Maton Kelakon". Agar kita prihatin dengan kehidupan yang serba cepat. Dan berusaha pelan. Untuk membuat hidup kita lebih bahagia. Mpu Peniti pernah menasehati saya, kata beliau, andaikata kita naik mobil dengan sangat cepat, kita tidak akan pernah menikmati pemandangan disepanjang jalan. Beda apabila kita menempuhnya dengan berjalan kaki. Maka semua pemandangan akan kita nikmati dengan luar biasa.

Bersama dengan seorang teman karib, saya membuka sebuah pusat penyembuhan di Jalan Senopati di Jakarta. Juga karena prihatin bahwa biaya kesehatan di negara ini sangat tinggi, dan orang harus keluar negeri untuk sembuh. Berbagai penyakit moderen dalam kehidupan kita yang serba cepat kebanyakan disebabkan karena gaya hidup yang serba menuntut. Kita kehilangan panca indera kita yang paling penting. Yaitu prihatin pada sekeliling alam semesta dan manusia disekeliling kita.

Dan keprihatinan saya yang paling besar, adalah fenomena cacat sastra yang diderita oleh anak-anak kita. Dimana anak anak kita mampu dan bisa menggunakan bahasa Indonesia tetapi cacat untuk menggunakan bahasa Indonesia sebagai sebuah keindahan. Kita tidak lagi menulis surat. Kita tidak lagi menulis puisi. Cerpen semakin menjadi seni yang hampir punah. Dengan keprihatinan yang sangat dalam, maka saya mendirikan sebuah penerbitan "AKOER", yang berjuang untuk menerbitkan buku-buku berkualitas, dan mendermakan buku-buku itu ke sejumlah perpustakaan diseluruh Indonesia.

Semua usaha ini dilakukan dengan satu sikap. Prihatin. Saya merugi banyak secara finansial. Namun secara batin, saya merasa sangat kaya. Prihatin telah menjadi bola kehidupan saya. Yang membuat saya melambung kemana-mana karena berbenturan dengan berbagai dinding dan lantai yang keras.

Maka dibulan suci Ramadhan ini, biarkan saya bersujud didepan anda. Mohon maaf lahir dan bathin. Dan doa saya sangat sederhana, marilah kita menjalani puasa ini dengan 100% prihatin. Dengan kesederhaan yang suci. Bukan dengan kemewahan dan kemeriahan. Semoga dengan sikap prihatin yang sama. Bangsa dan negara kita dihantarkan kegerbang kejayaan oleh Tuhan Yang Maha Esa.

1 comment:

Aan said...

Luar Biasa Inspiratif..Saya suka dengan tulisan2 Bung Kahfi Kurnia.Inspiring

Aan Hunaifi