Tuesday, April 18, 2017

MATI RASA


Betapa sering kita menemukan kerabat atau sahabat yang hidupnya sangat sunyi menjelang usianya yang senja. Teman saya seorang pemerhati masalah sosial budaya menyebutnya sebagai “mereka yang tidak kita sayang”. Kebetulan belum lama ini saya melayat seorang kerabat yang kebetulan wafat. Usianya menjelang 60 tahun, pria, tidak menikah dan masih hidup menumpang dengan ibunya. Wajahnya tidak terlalu ganteng, kebetulan sekolahnya tidak selesai, tidak memiliki karir yang jelas, tidak pandai bergaul. Kerabat saya meninggal setelah terjatuh di kamar mandi. Barangkali sebuah cerita yang kita dengar terlalu sering. Bahwa hampir dalam tiap keluarga kita menemukan kasus yang serupa. Seseorang yang boleh dikatakan nasibnya kurang beruntung dan seringkali menjadi kasta yang hampir terbuang dan menjadi kelompok “mereka yang tidak kita sayang”. Terus terang ketika melayat tempo hari saya merasakan kesedihan yang luar biasa. Karena saya bisa merasakan kesunyian hidup yang ia derita diakhir hidupnya. Ketika kuliah saya juga pernah merasakan kebimbangan yang sama, apakah kita akan punya karir yang sukses ? Menjadi orang yang populer ? Banyak teman dan disukai oleh orang banyak ? Memiliki hidup yang tidak sunyi ?

Teman saya yang pemerhati masalah sosial itu, pernah memperlihatkan kepada saya sebuah film dokumenter tentang orang-orang gelandangan di Amerika yang tidak memiliki rumah – tinggal dijalan dan menjalani hidup yang sangat sunyi. Teman saya menjelaskan bahwa sebagai masyarakat moderen dengan interaksi kemanusian yang semakin terjarangkan dan waktu kita semakin dijajah oleh tekhnologi, kemampuan kita berkomunikasi yang tulus dan intim antara sesama manusia menjadi berkurang intensitasnya. Dan cenderung menjadi basa basi. Percakapan yang cerdas antara sesama manusia menjadi langka. Puisi menjadi spesies yang terancam punah. Musik cenderung menjadi bunyi yang monoton. Kemampuan kita bicara hati ke hati dengan jiwa kita menjadi encer dan tidak lagi menggugah. Kita kehilangan suara jiwa. Lumpuh secara artifisial.

Lalu kekaguman kita menjadi sangat semu. Kita hanya menoleh pada mobil mewah, bau parfum yang menggoda dan gelak tawa sesaat. Maka kemampuan kita menyayangi kerabat, keluarga dan sahabat menjadi sangat terbatas. Pertalian jiwa kita menjadi semu. Itu sebabnya “mereka yang tidak kita sayang” menjadi kaum rata-rata yang semakin banyak. Tanpa kita sadari sebenarnya kita menjelma rupa kesebuah penampakan yang sangat berbeda di sosial media. Kita jadi rajin melatih diri agar kita tampil berbeda di sosial media, agar kita menarik perhatian orang lain, agar kita disukai. Percaya atau tidak kita sebenarnya adalah pelacur sosial media. Kita mendambakan kasih sayang artifisial – dari sebuah “like” – “follower” atau “comment”.

Mpu Peniti – mentor saya, menyebutkan sebagai sebuah fenomena “Mati Rasa” yang sangat serius. Panca indera kita secara fisik mungkin masih normal, tetapi panca indera jiwa kita menjadi gersang, tandus, tumpul dan mati. Saya sendiri sangat merasakan itu. Belum lama ini, ketika saya bertemu dengan seorang teman jaman kuliah, dia mengatakan bahwa ia sangat merindukan percakapan panjang dimasa kuliah. Pernah sekali sehabis sebuah pesta, kami bicara berjam-jam hingga subuh hanya tentang puisi dan novel George Orwell – 1984. Kita berdua bicara tentang ketakutan kita untuk masa depan yang belum jelas. Dan pembicaraan seperti itu rasanya sangat langka dijaman ini. Akibatnya emosi jaman sekarang tidak lagi kita nikmati dalam wujudnya yang jujur dan apa adanya, sehingga bisa kita nikamti dan kita rasakan menjadi penyembuh luka jiwa. Emosi jaman sekarang menjadi sebuah lambang di halaman sebuah sosial media. Semuanya serba semu belaka.

Karena erosi nilai yang semakin korosif ini, akhirnya jaman mendorong kita pada ketumpulan “mati rasa” yang dikatakan oleh Mpu Peniti itu. Teman saya lebih lanjut mengatakan bahwa salah satu akibatnya, kita sebagai masyarakat kehilangan arti pada sebuah nilai-nilai dasar. Misalnya ia menuduh masyarakat kita tidak tahu arti sesungguhnya tentang kebaikan. Saya tentu saja kaget dan terperangah. Bagaimana mungkin ???

Karena menurut Gallup Poll – orang Indonesia adalah bangsa yang paling dermawan nomer dua didunia tahun 2016. Bukankah artinya orang Indonesia semuanya mengerti kebaikan ? Teman saya menyanggah dengan mengatakan bahwa orang Indonesia terlatih berbuat baik seperti menyumbang. Artinya bila terjadi bencana alam, orang Indonesia tidak pernah segan menyumbang dan dengan mudahnya menyumbang. Menurut teman saya, orang Indonesia gagal mengerti mana yang baik dan benar. Teman saya menggugat bahwa dalam index persepsi korupsi dunia – posisi Indonesia tahun 2016 adalah 90 mundur dari posisi 88 pada tahun 2015. Artinya orang Indonesia tidak merasa berdosa – tidak merasa salah dengan melakukan korupsi. Secara kasar teman saya menuduh kita gagal membedakan mana yang baik dan benar. Walaupun kita sangat terlatih berbuat kebaikan. Kita boleh saja mudah berbuat baik misalnya berderma, namun kita sesungguhnya “mati rasa” dalam arti kebaikan yang sesungguhnya.

Barangkali sangat sulit bagi kita untuk menerima pendapat teman saya itu secara gamblang dan tuntas. Mungkin benang merahnya belum terlihat jelas dan masih tersamar. Tetapi fenomena “mati rasa” rasanya sulit terbantahkan. Saya merasakan bahwa ini merupakan sebuah tepukan di bahu yang memperingatkan kita tentang sebuah bahaya didepan. Kita perlu waspada dan hati-hati. Ditengah erosi yang membuat kita semakin tenggelam, sebagai manusia dan bangsa kita butuh tampil kepermukaan menjadi lebih baik. Mengasah panca indera kita tentang nilai-nilai kebaikan. Bukan hanya kepada sejumlah tindakan yang baik.

Dalam tradisi masyarakat moderen dimana kita terlatih mengurangi dosa dan rasa bersalah dengan beribadah dan mohon ampun. Berderma dan menyumbang kepada sesama. Mungkin yang lebih penting adalah bukan berbuat baik sebanyak-banyaknya. Tetapi membiasakan diri menyemai kebaikan. Dan bukan melatih cara berhitung untuk berbuat baik agar dosa dan kesalahan kita dikurangi. Kebaikan perlu kita hayati dan kita amalkan dalam kehidupan kita sehari-hari. Panca indera kita untuk mewujudkan kebaikan dalam kehidupan kita sehari-hari perlu kita tumbuhkan. Sebagai sebuah gaya hidup yang sehat.


#SEMAIKEBAIKAN

Monday, April 17, 2017

Sunday, April 16, 2017

JATUH 7 KALI – BANGKIT 8 KALI





Minggu lalu di Bandung, ketika saya mau masuk lift di hotel, tiba-tiba ada yang menepuk bahu saya. Ketika saya reflek menengok kebelakang, ternyata seorang teman  yang saya tidak pernah bertemu lebih dari 10 tahun. Seorang sahabat lama. Kami pun berpelukan dan saling menyapa akrab. Teman saya ini dulunya seorang pimpinan Bank swasta yang cukup terkenal di Jakarta. Kini tubuhnya lebih kurus. Wajahnya menua. Namun terlihat segar dan bugar.

“Ini teman saya yang paling optimis” kata dia menyapa saya. Tanpa disengaja saya tertawa mengelak. Entah kenapa dia membaca sebuah keraguan dalam tawa saya. Lalu kami makan malam bersama. Dan kami saling bertukar cerita. Ia penasaran kenapa di tawa saya tadi ada kegalauan yang rada pesimis. Saya menuturkan bahwa barangkali saya lebih realistis sekarang. Sambil bercerita kepada beliau sejumlah rasa kuatir saya tentang kerapuhan yang sedang bergolak dalam masyarakat majemuk kita, dan bahaya kalau kerapuhan itu akhirnya menjadi nilai-nilai keropos bangsa ini.

Usai saya bercerita - ia bercerita tentang sesuatu yang membuat saya terkejut. Ia bercerita bahwa ia adalah “survivor” penyakit kanker. Menurutnya sebuah kalimat dari saya telah menyelamatkan hidupnya.  Lebih dari 10 tahun yang lalu ketika ia masih menjadi pejabat tinggi disebuah Bank, saya sempat memberikan “work-shop” pemasaran di perusahaan-nya. Entah kenapa teman saya ini mencatat sebuah pribahasa Jepang yang saya kutip diakhir “work-shop” itu. Kutipan itu adalah – "Nana korobi ya oki" atau terjemahan-nya “Jatuh tujuh kali ! Bangkit delapan kali”. Sebuah pribahasa yang sering saya gunakan untuk membangkitkan motivasi orang agar lebih optimis dalam kehidupan ini.

Saya sendiri diperkenalkan pribahasa ini sekitar pertengahan tahun 80’an oleh seorang eksekutif Jepang. Saat itu dengan serunya kami sedang membahas dominasi globalisasi Jepang mulai dari TV Games – mobil hingga kecap asin. Didalam diskusi seru itu – sang eksekutif bercerita tentang pribahasa termaksud, dimana esensi dari pribahasa itu melekat sangat dalam hampir disetiap aspek kehidupan masyarakat Jepang mulai dari kehidupan sehari-hari hingga seni dan juga bela diri. Intinya jangan pernah mau takut gagal. Jangan pernah mau menyerah. Selalu siap siaga. Kalau jatuh – bangun lagi. Dan seterusnya.

Sebuah konsep yang menyertai pribahasa tersebut adalah - gambaru (頑張) yang secara sederhana dapat kita terjemahkan sebagai semangat pantang menyerah. Bahwa apapun kesulitan yang kita hadapi, sebuah amanah, dan sebuah tugas selayaknya harus diselesaikan dengan tuntas tanpa terkecuali. Pelajaran dari teman saya ini melekat dalam pada diri saya. Yang pada akhirnya secara perlahan dan revolusioner menempa diri saya menjadi lebih percaya diri. Lebih optimis dalam kehidupan ini. Membantu saya dalam begitu banyak di pekerjaan dan hidup saya. Termasuk karir saya sebagai seorang motivator. Persepsi hidup saya jauh lebih relax dan melihat hidup sebagai sebuah tantangan dan bukan lagi sebagai sebuah lomba yang menentukan menang atau kalah. Hidup menjadi jauh lebih menarik – bahwa kita tidak selalu harus menang. Karena keberhasilan itu tidak selalu berarti sebuah kemenangan. Hidup menjadi lebih bernilai karenanya. Titik akhir bukan lagi menjadi sebuah garis finish. Titik akhir kini menjadi sebuah tempat kita bersujud untuk berterima kasih kepada Tuhan, bahwa kita diberi kesempatan untuk berkarya dan menyelesaikan karya itu dengan sebaik-baiknya.

Hellen Keller dalam kuliah legendaris-nya pada tanggal 22 Januari 1916 di Mabel Tainter Memorial – Wisconsin, Amerika Serikat mengungkapkan bahwa semangat optimisme adalah sebuah modal yang membawa kita semua pada harapan dan percaya diri yang membuat kita berhasil. Kuliah Hellen Keller ini menjadi pegangan hidup saya bertahun-tahun.

Teman saya rupanya terkesan dengan semangat yang sama. Ia menuturkan bahwa pada saat ia menonton “work-shop” saya secara iseng ia mencatat pribahasa Jepang itu di sebuah buku oret-oretan-nya. Kemudian lupa sama sekali dengan pribahasa itu. Beberapa tahun kemudian ia terserang penyakit kanker. Ia berhenti dari pekerjaannya dan mencoba fokus untuk berobat. Sejumlah ketakutkan menghantui hidup dia. Mulai dari tidak bisa tidur, stress dan perubahan sikap menjadi pemarah.

Alkisah suatu malam ketika tidurnya terusik, ia bangun dan mencoba membaca diruang kerja-nya dirumah. Ketika sedang mencari bahan baca-an, ia menemukan buku oret-oretan lama itu. Entah itu sebuah keajaiban atau apa, ia pun tidak pernah pasti. Tanpa sengaja ia membaca pribahasa Jepang itu. Seluruh perjalanan hidupnya mulai dari kuliah, menikah, punya anak hingga sakit tiba-tiba terlintas satu babak demi satu babak di ingatan-nya. Ia merasakan benar betapa pribahasa itu menjadi sebuah tiang kehidupan dalam perjalanan karir dan hidupnya. Pribahasa itu melukiskan hidupnya secara pas selama puluhan tahun. Bahwa ketika ia optimis dan berjuang pantang menyerah. Hidup ini selalu memberikan ia sebuah ganjaran kebaikan yang positif. Ia pun melahirkan sebuah tekad baru. Sama dengan tantangan lainnya ia akan melawan penyakitnya. Ini cuma tantangan dalam bentuk lain. Ia bertekad melewati garis finish yang berikutnya. Dengan optimis dan penuh semangat ia maju dan berobat. Ia berhasil melawan sang penyakit.

Beberapa tahun terakhir ia mencoba mencari saya. Ia merasakan satu kalimat dari saya berhasil menyelamatkan hidup-nya. Barulah malam itu kami sempat bertemu dan ia bercerita tentang pengalaman-nya. Kami berdua akhirnya mensyukuri kejadian itu. Saya mengalami kejadian serupa itu sangat banyak. Bentuknya selalu berbeda. Itu sebabnya saya mencintai pekerjaan saya sebagai seorang inspirator dan motivator. Bukan karena “reward-nya secara finansial”, tetapi kesempatan saya untuk menebar bibit-bibit kebaikan. Karena saya selalu yakin kebaikan yang kita sebarkan akan tumbuh dan seringkali membawa kebaikan dan kebahagian bagi banyak orang.

Bersikap optimis dalam kehidupan ini, adalah langkah pertama yang terpenting dalam kehidupan ini. Sikap yang paling kritis. Tanpa optimisme hidup kita tak ubahnya seperti sebuah buku, dimana tiap halaman memperlihatkan keraguan dan ketakutan yang berbeda-beda. Buku ini bisa saja sangat tebal, karena keraguan dan ketakutan dihalaman sebelumnya akan berlipat ganda menjadi sebuah cerita yang diujung-nya berakhir sangat tragis.