Thursday, June 28, 2007

Monday, June 25, 2007

KNOWLEDGE MANAGEMENT

Filsuf beken Confucius pernah berkata: "By three methods we may learn wisdom: First, by reflection, which is noblest; Second, by imitation, which is easiest; and third by experience, which is the bitterest." Kata-kata yang sama saya sampaikan sebagai kajian strategi dalam sebuah seminar tentang "Learning Organisation", pekan lalu di Bandung.

Disiplin belajar dalam sebuah organisasi dahulunya dianggap bukan prioritas utama. Seringkali diabaikan. Kalaupun dilakukan, terkadang hanya asal tempel atau basa-basi. Maklum, paradigma lama memprioritaskan manusia sebagai aset utama sebuah perusahaan. Zaman sekarang tidak lagi. Aset utama sebuah perusahaan bergeser dari manusia ke pengetahuan atau knowledge.

Seorang entrepreneur mengaku memiliki pengalaman yang sama. Sepuluh tahun lalu, ia gemar membajak eksekutif-eksekutif yang menurutnya "cerdas dan pandai". Teori beliau, dengan membajak eksekutif "cerdas dan pandai" dari para kompetitor, ia melakukan dua hal sekaligus. Mirip satu kerikil dilempar untuk membunuh dua burung bersamaan.

Pertama, ia ingin melemahkan kompetitor, dengan membuatnya kekurangan eksekutif "cerdas dan pandai". Kedua, mulanya ia bercita-cita membuat perusahaan semakin cerdas dan pandai pula, dengan menggunakan eksekutif-eksekutif istimewa itu. Ongkosnya mahal pula.

Di samping gaji, ternyata memelihara eksekutif "cerdas dan pandai" juga jelimet dan bermasalah sangat kompleks. Beliau akhirnya sadar bahwa bergaul di sekeliling orang "cerdas dan pandai" bukan jaminan untuk otomatis menjadi "cerdas dan pandai".

Menurut Confucius, untuk menjadikan perusahaan "cerdas dan pandai", hanya ada tiga jalur. Pertama, lewat refleksi. Metode ini sangat sederhana. Secara periodik, perusahaan melakukan evaluasi dari berbagai kegiatannya. Namun jarang ada perusahaan yang secara bijaksana melakukan pembelajaran dari peristiwa evaluasi itu. Misalnya mendokumentasikan pengalaman itu, lalu menyimpannya dalam bentuk dokumen atau kasus studi yang bisa dipelajari di kemudian hari dan bisa diakses oleh siapa saja.

Saya punya pengalaman yang pas dengan jurus pertama Confucius ini. Seorang klien minta saya melakukan evaluasi prestasi tim marketing mereka. Karena pressure target dan keluhan konsumen cukup tinggi. Mereka ingin tim marketing yang lebih tahan banting, lebih kompak, dan punya semangat juang tinggi.

Lewat sebuah evaluasi profil staf marketing yang berprestasi, kami menemukan bahwa dua staf terbaik mereka datang dari background yang unik. Yakni pernah bekerja di sebuah hotel. Selidik punya selidik, dua staf itu lebih tahan banting. Maklum, jadwal kerja mereka tidak menentu. Kadang, kalau ada perhelatan, mereka harus masuk pagi-pagi sekali dan pulang hingga larut malam. Mereka juga terlatih baik dan terbiasa menghadapi keluhan dari pelanggan.

Nah, selama bertahun-tahun, pembelajaran ini tidak terekam dan dimanfaatkan oleh perusahaan dengan baik. Kini, dengan pola rekrutmen yang berbeda, akhirnya tim marketing mereka memiliki anggota lebih kompak, semangat juang tinggi, dan prestasi yang lebih baik.

Jurus kedua dari Confucius, imitasi. Dengan meniru. Walaupun demikian, tetap saja masih ada masalah, yaitu memilih siapa yang setepat-tepatnya kita tiru. Saya memiliki kolega yang bisnisnya berjualan pakaian wanita yang diimpor dari Hong Kong. Bisnisnya tumbuh dan berkembang dalam lima tahun belakangan ini. Ia dengan pas menggunakan jurus kedua Confucius.

Dia menyebutkan bahwa hobi shopping ketika masih kuliah ternyata memang manjur bermanfaat. Dulu, karena keterbatasan bujet shopping, ia punya kebiasaan membeli baju yang mirip-mirip dengan baju desainer sesungguhnya yang ia lihat di majalah-majalah fashion terkenal.

Kini jurus yang sama ia praktekkan dengan bijaksana. Ia rajin membaca majalah-majalah fashion terkenal. Matanya terlatih bertahun-tahun, lalu membuat peta tren, seperti model dan warna. Dengan modal itu, lalu ia belanja ke Hong Kong dan Bangkok.

Ketika baju-bajunya dipajang di toko, kebanyakan ibu muda dengan mudah mengenali model-model yang sedang populer. Dagangannya laris luar biasa. Setelah lima tahun, ia semakin ahli dalam mencontek dan meniru tren.

Jurus ketiga, tentu saja yang paling menyakitkan, yaitu belajar dari kesalahan dan kegagalan sendiri. Mpu Peniti pernah bercerita bagaimana ia bermain kucing-kucingan dengan tikus di rumah. Lubang pertama ditutup, sang tikus bisa saja mencari dan membuat lubang baru. "Pintar sekali," begitu komentar Mpu Peniti.

Mungkin kita bisa menjadi sang tikus dan menjadi pintar. Caranya sederhana, belajar. Kadang saya suka sedih tatkala keponakan saya mengeluh susah belajar ketika menghadapi ulangan umum. Saya membaca nuansa, itu karena mereka hanya mengejar angka rapor dan lulus kenaikan kelas. Tak terasakan sedikit pun di dalam diri mereka secercah semangat berjuang untuk menjadi pintar. Tanpa rasa lapar "ingin menjadi pintar", mereka tidak akan mengerti sama sekali kebutuhan dan disiplin belajar.

Sunday, June 24, 2007

MARKETING BERGAYA PARTISIPASI

Sebuah restoran burger menawarkan program baru. Yaitu anda bisa pesan burger sesuai dengan selera anda. Dulunya tidak bisa. Karena sang resto sudah punya resep baku. Kalau anda ngak suka tomat, terpaksa anda harus mengangkat dan membuang sang tomat sendiri, sebelum anda makan. Tapi sekarang beda, anda boleh pesan burger sesuai selera anda. Mau extra mayonaise, mau extra tomato sauce, mau tanpa sayur selada, semuanya boleh. Apa pasal ? Ini kan bukan jurus baru. Teman saya, yang suka menyantap mie; mengatakan di tukang mie, kita tinggal perintah saja. Tidak mau kecap, tidak mau daun bawang, dan seterusnya. Jadi tidak aneh toh ?

Mestinya tidak. Tapi buat restoran burger beken itu, beda pasalnya. Ini sebuah pencerahan baru. Gaya hidup kita semakin impulsif. Tergantung dari “mood” dan emosi kita. Kita semakin sensitif dengan yang satu ini. Dahulu kita tidak punya kuasa untuk memuaskan emosi dan “mood” kita. Pilihan-nya terbatas sekali. Saya ingat di tahun 70’an ayah saya, selalu nonton film setiap akhir pekan di bioskop. Ia tidak punya pilihan saat itu, pokoknya ia nonton saja film yang paling baru. Bagus atau tidak masalah belakangan. Tak lama kemudian ketika video keluar. Gaya hidup ayah saya langsung berubah. Setiap akhir pekan kalau tidak ada film bagus, beliau ganti nonton video di rumah.

“Mood” dan emosi konsumen kini jadi barometer penting. Celakanya kedua hal itu tidak mungkin kita prediksi. Uniknya 2 “mood” atau emosi yang berlawanan, kini tetap memiliki pasar sendiri-sendiri. Jaman dahulu, restoran yang selalu ramai, adalah pertanda makanan-nya enak, sehingga laris dikunjungi konsumen. Jaman sekarang, banyak pula konsumen yang justru menghindari tempat-tempat ramai. Mereka malah pilih tempat yang sepi. Enak katanya ! Bisa relax dan tidak diganggu banyak orang. Makan juga tidak perlu buru-buru. Teman saya, tertimpa peristiwa yang sama. Restorannya cukup bermutu. Makanannya lezat berkualitas. Tapi entah karena promosinya yang loyo, restonya selalu sepi. Sampai suatu ketika restorannya secara aneh dikunjungi orang-orang penting. Mulai dari artis sampai pensiunan pejabat dan jendral. Akhirnya ia pasrah. Ia membiarkan saja restonya sepi. Karena ia takut sekali, ketika restonya ramai, pasti semua vip dan selebriti itu kabur. Ketika ia berkonsultasi dengan saya, maka saya tawarkan sebuah solusi unik. Yaitu strategi pemasaran bergaya “partisipasi”. Idenya sederhana. Bilamana kita memiliki produk seunik teman saya, kita harus mencoba berganti posisi, dari produsen semata ke arah fasilitator. Dan biarkan konsumen kita lebih berpartisipasi aktif. Saya merekomendasikan teman saya merekrut seorang manajer resto dengan profil yang sangat tinggi, baik dari penampilan dan pelayanan. Lalu berusaha agar para VIP dan selebriti itu mau mengajak teman dan kolega mereka makan ke resto itu. Artinya kita memotivasi pelanggan untuk berpartisipasi aktif mempromosikan resto ini. Saya juga merekomendasikan layanan bisnis seperti catering, untuk melayani kebutuhan pesta dirumah selebriti dan para vip. Malah koki resto bisa dipinjam, seandainya para vip dan selebriti ingin menghadirkan jamuan makan esklusif dirumah mereka. Hasilnya biarpun restonya kelihatan tidak ramai, tapi bisinis katering dan pelayanan pesta mereka tumbuh pesat.

Partisipasi konsumen adalah pola konsumsi yang baru. Semakin dalam partisipasi konsumen, semakin laris produk anda. Simak saja fenomena “American Idol”, yang membuahkan acara mirip itu dimana-mana, termasuk Indonesia. Di level yang paling rendah, partisipasi penonton adalah cuma menonton dan ikut menyoraki. Naik ke level selanjutnya, anda bisa ikut berpartisipasi menjadi juri dan mengirim SMS. Final terakhir “American Idol” sms yang masuk melebihi 75 juta orang. Luar biasa bukan ? Level berikutnya, anda bisa latihan dan mempersiapkan diri menjadi kotestan, karena di Amerika sudah diciptakan video game “American Idol” untuk anda berlatih. Partisipasi tertinggi adalah ikut beraudiensi di acara “American Idol”. Siapa tahu anda bisa menang dan jadi juara.

Partisipasi inilah yang secara fenomena mengilhami sejumlah acara TV diseluruh dunia, dengan berbagai tayangan acara realita. Wabah dan fenomena partisipasi sendiri sudah menyebar kemana-mana. Di Internet muncul komunitas virtual, milis, hingga blogger dengan minat-minat yang berbeda. Partisipasi mereka kedalam sebuah subyek kadang sedemikian kuatnya, sampai mereka mampu menciptakan sebuah virtual bisnis. Konon ada pakar internet yang memprediksi bahwa dimasa mendatang bakal ada bank, travel agent, sekolah, toko, dsbnya yang didirikan oleh para blogger untuk kalangan mereka sendiri.

Pemasaran bergaya partisipasi juga sudah dilirik para pemasar. Dimasa mendatang produsen akan berubah menjadi fasilitator belaka. Beberapa produsen produk ternama sudah membuat situs eksperimen, dimana mereka memberikan akses kepada konsumen untuk berpartisipasi mendesain produk mereka, lengkap dengan spesifikasi, fitur, dan kelengkapan yang berbeda. Partisipasi sangat berbeda dengan “customization”. Dalam “customization” konsumen hanya memilih produk dengan fitur-fitur opsi. Produsen tetap membuatnya. Untuk strategi partisipasi, konsumen tidak lagi memilih fitur-fitur opsi, tetapi justru menciptakan fitur-fitur opsi. Gagal mempengaruhi konsumen berpatisipasi, maka produk kita akan tenggelam seketika.

Tuesday, June 19, 2007

Monday, June 11, 2007

MARKETING NAGABONAR JADI 2

Bertahun-tahun NAGABONAR mondar mandir dikepala Deddy Mizwar. Film Nagabonar dibuat berdasarkan skenario Asrul Sani tahun 1987, dan sukses besar. Deddy Mizwar mendapatkan citra gara-gara film itu pula. Ide ceritanya sederhana, menyoroti sebuah fenomena unik, tentang golongan copet yang berubah haluan menjadi pejuang kemerdekaan. Konon kabarnya, ditahun perang-perang kemerdekaan kelompok “organised crime” sudah banyak beredar diberbagai kota besar di Indonesia. Mereka relatif punya struktur organisasi yang tertata. Salah satunya adalah organisasi copet. Kelompok ini punya tatanan kepemimpinan dengan jumlah anak buah yang kadang mencapai ratusan anggota. Dalam cerita Asrul Sani, muncul tokoh Nagabonar di Sumatera Utara, yang juga raja copet. Nagabonar suatu hari mendengar pidato Bung Karno diradio. Terbakarlah semangatnya. Ia memutuskan, daripada mereka terus menerus hidup mencopet dan dikejar-kejar Belanda. Ia ganti haluan menjadi pejuang kemerdekaan dan balik arah mengejar Belanda. Asrul Sani memang piawai menjalin tenunan cerita.

Ketika 2 tahun yang lalu, Deddy Mizwar memutuskan untuk membuat film Nagabonar lagi, hatinya gundah. Mulanya ia bermaksud untuk membuat sekuel atau kelanjutan dari Nagabonar. Tetapi almarhum Asrul Sani meninggalkan “clue” yang terbatas sekali. Hampir tidak ada. Pernah sekali Asrul Sani mengungkapkan akan melanjutkan Nagabonar dengan film berikutnya. Tetapi settingnya adalah tahun 60’an. Ini tantangan yang sulit. Karena biaya props, setting, dan dekor bisa menjadi mahal sekali. Hitungan membuat film di Indonesia tidaklah semudah yang dibayangkan kebanyakan orang. Jumlah bioskop berkelas di Indonesia masih kurang dibawah 120 layar. Bandingkan dengan jumlah rakyat Indonesia yang jumlahnya diatas 200 juta. Jadi kalau anda berniat membuat film, hitungan yang paling aman adalah 250.000 hingga 500.000 penonton anda sudah harus impas. Ini yang membatasi modal pembuatan film di Indonesia. Kalau modal anda terlampau besar, dan titik impas anda adalah diatas sejuta penonton, maka film anda resikonya gede luar biasa.

Deddy Mizwar, pusing kepala menghadapi tantangan ini. Pertama, kelanjutan film Nagabonar haruslah bagus, bermutu, dan laris manis. Karena ini kewajiban moral yang harus dipikul Deddy Mizwar terhadap karya Asrul Sani ini. Harap maklum pernah pula dibuat sinetron Nagabonar, dan ternyata tidak laku. Kedua, Deddy Mizwar perlu menghadirkan produk film yang konsep pemasarannya cantik, juga populer bagi penonton jaman sekarang.
Hampir setahun lebih yang lalu, Deddy Mizwar mengajak saya ngobrol tentang Nagabonar. Mulanya Deddy Mizwar hanya ingin membuat novel film kelanjutan Nagabonar. Beberapa tahun yang lalu, saya pernah membuat novelisasi film “Biola Tak Berdawai” karya Sekar Ayu Asmara dengan penulis Seno Gumira, dan memang sukses besar. Ini juga hal yang mengharu-kan bagi industri film di Indonesia. Di Barat, pembuat film tidak kehabisan cerita, karena industri buku disana sangat mapan, dan jumlah novel yang diterbitkan luar biasa banyaknya. Di Indonesia kita terbalik. Miskin cerita. Jumlah novel bagus sangat sedikit. Apa boleh dikata, jumlah toko buku bagus juga masih dibawah 400 toko. Sehingga kita belum memiliki penulis professional. Kebanyakan penulis novel kita masih amatiran, atau wartawan yang mencari tambahan income dengan menulis novel. Pokoknya menyedihkan sekali.

Jadilah saya dan Deddy Mizwar menggalang persekutuan untuk menerbitkan novel Nagabonar. Saat itu diskusi kami berlanjut dan berseri. Dengan intensitas yang semakin dalam. Cerita Nagabonar datang dikepala Deddy Mizwar masih berupa penggalan-penggalan cerita. Terus berubah dan terus menerus berevolusi. Tak heran apabila skenario akhir adalah skenario versi ke 7 yang terus menerus mengalami revisi. Nagabonar pertama dibuat dengan latar belakang tahun 1940’an. Kalau mau ditarik “timeline”-nya ke tahun 2007, dijaman handphone dan ipod menjadi sedemekian umum, maka Nagabonar umurnya menjadi 80’an. Ini sama sekali tidak mungkin. Maka Deddy Mizwar dengan cerdik, memutus “time line” itu. Nagabonar harus hadir dalam pigura kehidupan Indonesia yang kontemporer. Oleh Deddy Mizwar, Nagabonar yang dibuatnya tidak menjadi sekuel, tetapi sebuah evolusi unik. Itu sebabnya Deddy Mizwar melahirkan Nagabonar baru. Hal ini yang membuat judul film Nagabonar versi Deddy Mizwar, menjadi “Nagabonar Jadi 2” dan bukan “Nagabonar 2”.

Akhirnya Deddy Mizwar, menantang saya untuk memasarkan dan menjual film “Nagabonar Jadi 2”. Mulanya saya terperangah. Kaget bukan main. Saya belum pernah mempromosikan film. Dengan kompromi bahwa Deddy Mizwar akan menurunkan ilmunya kepada saya, maka akhirnya saya sanggupi juga permintaan Deddy Mizwar. Untuk berhasil dan laris Deddy Mizwar paham betul resiko dan hitungannya. Itu sebabnya, untuk skenario, Deddy Mizwar mengusung salah satu penulis skenario terbaik Indonesia yang terkenal teliti dan rinci, yaitu Musfar Yasin. Langkah berikutnya adalah casting. Dalam film Nagabonar Jadi 2, Deddy Mizwar memutuskan anak Nagabonar adalah pria, yaitu Bonaga yang diperankan aktor laris Tora Sudiro ditemani oleh 3 teman prianya yang semuanya di casting dari aktor-aktor metrosexual saat ini. Ini adalah pertimbangan marketing yang terpenting. Selebriti pria di Indonesia jauh lebih “komersial” dibanding selebriti wanita. Penonton film di bioskop Indonesia saat ini secara demografis di dominasi oleh segmen berusia 13-25 tahun. Nah, kalau saya membawa artis keliling daerah mempromosikan film, biasanya fans wanita jauh lebih intense dan aktif berinterkasi dengan selebriti pria. Mereka tidak segan naik panggung, minta di photo, minta tanda tangan, dan berinteraksi aktif dengan para selebriti. Pokoknya gaduh dan heboh. Berlainan dengan fans pria yang cenderung lebih kalem dalam berinteraksi dengan selebriti wanita.

Perhitungan jitu ini terbukti manjur luar biasa. Deddy Mizwar juga cermat dan penuh perhitungan dalam menentukan tanggal main film “Nagabonar Jadi 2”. Sengaja dipilih tanggal 29 Maret. Ini adalah jendela waktu yang unik. Karena ada 2 hari libur yang yang berdekatan. Pertama 2 hari setelah premiere, tanggal 31 Maret, Sabtu adalah hari libur, yang diikuti seminggu kemudian dengan tanggal 6 April, Jumat yang juga adalah hari libur. 2 minggu berturut-turut long week end adalah momentum yang kita pertama kita manfaatkan. Deddy Mizwar berhitung, kalau film Nagabonar Jadi 2 mampu bertahan 2 bulan (prediksi ini akhirnya menjadi kenyataan) masih ada cukup ruang bagi film Nagabonar Jadi 2 terhindar dari kompetisi dengan film-film besar musim panas Hollywood, seperti Spiderman 3 dan Pirates of The Carribean. Telat masuk ke slot waktu ini, Nagabonar Jadi 2 akan tercekik kompetisi.

Marketing atau pemasaran film, biasanya cukup miskin. Umumnya pembuat film mengandalkan sponsor. Sama dengan kasus Nagabonar Jadi 2, Deddy Mizwar juga memberi saya zero budget rupiah. Biasanya pembuat film akan mencari perusahaan yang memiliki cukup banyak billboard, untuk dipinjam menjadi billboard sementara film. Perusahaan seperti ini kebanyakan adalah perusahaan rokok, telekomunikasi, dan juga bank. Nasib Nagabonar Jadi 2 cukup beruntung, kami bisa menjalin kemitra-an dengan Telkomsel dan Bank Bukopin. Bantuan dan dukungan kedua sponsor ini tak ternilai harganya.

Namun kunci strategi sesungguhnya adalah pemasaran bergaya api, yang mengandalkan sistim getok tular. Itu sebabnya selama 2 bulan penuh saya benar-benar jungkir balik, menciptakan issue untuk membuat film Nagabonar Jadi 2 menjadi bolapanas. Nonton bareng yang dirancang menghadirkan beberapa menteri dan keluarga Guntur Soekarnoputra, ternyata majur dan cespleng. Taklama kemudian, Nagabonar Jadi 2 menjadi hype baru, pejabat tinggi nonton bareng bersama-sama staffnya. Termasuk pak Jusuf Kalla, Ibu Marie Pangestu, dan Ibu Sinta Nuriah Rahman melakukan nonton bareng. Kegiataan ini cepat menyebar ke sekolah, kampus dan instansi lain. Sampai-sampai kami kewalahan menyanggupi permintaan bedah film Nagabonar Jadi 2 diberbagai kampus. Barangkali wisdom unik dari pengalaman ini, film juga sama dengan komoditi atau produk lain. Film butuh konsep, dan strategi pemasaran yang menyatu. Bila kedua dipadukan dengan baik, hasilnya akan laris manis. Film Indonesia bisa laku dan digandrungi penonton.

Sunday, June 10, 2007

KATA-KATA BIJAK

BELAJAR DARI KESALAHAN DAN KEGAGALAN

Seorang teman, yang kebetulan seorang doktor, dalam ilmu statistik, sekali mewawancarai saya. Ia ingin tahu, dalam karir saya sebagai seorang penerbit, sudah berapa buku yang berhasil saya terbitkan dan menjadi ”best seller’s”. Kaget juga saya ditanya begitu. Perlahan-lahan saya hitung satu demi satu. Ternyata hanya 30% buku yang saya terbitkan berhasil menjadi ”best seller’s”, 40%-nya biasa-biasa saja penjualannya. Dan 30% lagi justru babak belur, tidak laku. Teman saya berteori bahwa 30% yang gagal itu perlu dan mutlak ada. Hanya gara-gara itulah, saya berhasil menerbitkan 30% yang ”best seller’s”. Itu teori teman saya. Kata beliau, semakin tinggi statistik kegagalan saya, maka semakin tinggi pula keberhasilan saya. Intinya kegagalan adalah saudara kembar sukses.

Bila dicerna dan dicermati, teori teman saya memang bermakna dalam. Ketika mulai bisnis penerbitan buku, saya tidak ada yang mengajari. Modalnya cuma iseng dan nekat. Iseng karena membaca buku merupakan hobi saya. Jadi saya pikir-pikir pada awalnya ingin menyalurkan hobi saya. Kalau nekat, lain lagi ceritanya. Hampir delapan tahun yang lalu, disebuah toko buku, saya melihat sejumlah anak-anak SMP asyik membaca buku terjemahan dari bahasa asing. Penasaran, saya tanya mereka, kenapa kok tidak mau membaca buku karangan asli pengarang Indonesia. Mereka ramai-ramai tertawa dan mengatakan bahwa tidak ada buku karangan pengarang Indonesia yang bagus. Setelah saya telusuri ternyata benar juga. Dunia literatur dan sastra kita sedang berada dalam kemiskinan yang sungguh sengsara. Dulu jaman pujangga baru kita punya nama-nama besar dalam dunia sastra. Tahun 70’an dan 80’an walaupun tidak banyak kita masih punya nama besar seperti NH Dini, Marga T, Ashadi Siregar, dsbnya. Kini hampir tidak ada novelis yang terkenal. Jadi saya nekat saja, bikin penerbitan buku, karena bercita-cita ingin membantu dunia literatur dan sastra Indonesia, untuk melahirkan novel-novel baru yang bermutu.

Bermodal iseng dan nekat itulah akhirnya saya bikin usaha penerbitan buku. Tahun-tahun pertama, sangat susah mendapatkan naskah buku yang bagus. Karena tidak ada yang mengajari pula, maka kita terhindar dari pakem-pakem yang harus di hormati. Pokoknya tabrak saja. Kita menjadi sangat inovatif. Dan tergila-gila melakukan berbagai eksperimen. Hasilnya, seperti yang dikatakan teman saya itu. Sebagian memang gagal total. Tapi sebagian justru meledak dipasar dan menjadi ”best seller’s”. Harus saya akui, kegagalan itu memang perlu. Karena dari kegagalan itu kami belajar banyak. Naluri kami semakin tajam. Dan kami juga semakin berani masuk ke inovasi-inovasi baru. Kegagalan juga membuat kami bijak. Kalkulasi kami semakin akurat. Cara berpikir kami makin rinci.

Tapi buat kebanyakan orang, cerita diatas mungkin sudah sering terdengar. Tidak ada yang baru. Richard Farson dan Ralph Keyes, penulis buku ”Whoever Makes The Most Mistakes Win” menuturkan bahwa walaupun semua orang tahu bahwa kita harus belajar dari setiap kesalahan dan kegagalan, kebanyakan orang justru kemudian menghindari kesalahan dan kegagalan. Ironisnya, belajar dari kesalahan dan kegagalan tidak jarang membuat orang justru lebih berhati-hati. Yang mereka lakukan adalah menghindari kesalahan dan kegagalan. Akibatnya mereka menjadi “safe player”, atau pemain yang mencari aman-aman saja. Apa yang gelap dan msiterius, menjadi ketakutan untuk dijelajahi. Maka setelah itu, terjadilah gagal inovasi. Padahal kesalahan dan kegagalan seringkali menjadi bibit inovasi. Jadi jangan heran kalau inovasi itu memang mahal ongkosnya.

Menurut kedua penulis ini, karena kita terjebak untuk menghindari kesalahan dan kegagalan, setelah kita bijaksana belajar dari kesalahan dan kegagalan, maka rute inovasi yang tersedia bagi kita menjadi sangat terbatas. Yaitu rute atau jalan yang kita sebuat aman tadi. Lama-lama kita kita lagi memiliki birahi untuk berbuat sesuatu yang revolusioner. Teman saya, sang doktor statistik ini, punya teori tentang tim bulu tangkis kita. Dulu kita pernah berjaya dan menjadi juara dunia. Tetapi setelah mengalami sejumlah kekakalahan dan dikritik terus-menerus, mungkin manajemen bulu tangkis kita, lalu mencari yang aman-aman saja. Mereka tidak berani mengubah manajemen mereka menjadi revolusinoner dan inovatif. Akibatnya kita kalah terus dan prestasi bulu tangkis kita malah semakin terpuruk.

Mpu Peniti, menuturkan bahwa hanya para juara yang memiliki nyali atau keberanian yang luar biasa. Banyak prestasi olahraga dicetak justru dengan jurus-jurus yang tidak biasa. Yang resikonya sangat tinggi. Malah kadang nekat. Uniknya kemenangan spektakuler justru dicapai lewat cara-cara seperti ini. Dalam bisnis kita perlu sekali-kali nekat. Untuk membangkitkan nyali dan masuk ke wilayah belantara.

Kita perlu belajar dari kesalahan dan kegagalan, agar jangan melakukan kesalahan yang sama. Ini hukum lama. Kiat dan strategi baru, gara-gara belajar dari kesalahan dan kegagalan, jangan pula kita jadi takut berbuat salah dan gagal. Karena terkadang kesalahan dan kegagalan yang kita buat justru menunjukan jalan baru yang revolusioner.

Tuesday, June 05, 2007

STRATEGI "BOCOR ALUS"

Amien Rais berseteru dengan SBY. Berawal dari isu soal aliran Dana DKP. Wartawan heboh. Saling memburu berita. Mencari bocoran. Tak lama kemudian, dalam sebuah pertemuan dengan wartawan, Amien Rais mengatakan perseteruan remis sejenak, dengan sejumlah pertimbangan dan kalkulasi. 2 hari kemudian setelah antiklimaks itu, seorang wartawan dengan kesal mengatakan bahwa keduanya telah bertemu selama 12 menit di Halim, dan mencapai sebuah kesepakatan bersama. Menurut sang wartawan, cuma “bocor alus”. Itu istilah.

Isitilah sang wartawan menggelitik saya. Karena dalam pemasaran, bocor alus juga dikenal, terutama dalam pemasaran getok tular atau dari mulut kemulut. Gosip, rumor, dan sejenisnya menyebar jauh lebih cepat karena bocor alus. Contoh, seorang aktris terkenal terlihat mesra di Orchard Road, Singapura dengan seorang konglomerat. Walaupun tidak disebut namanya sekalipun, ketika saya mendengar gosip ini dipergunjingkan disebuah café, ternyata serunya bukan main. Sejumlah nama muncul dan dibahas satu demi satu. Yang kemudian akhirnya meruncing menjadi satu aktris. Beberapa teman sibuk SMS dan menelpon sumber gosip yang lain, hingga sejam kemudian gosip itu mulai terkuak dengan cerita yang semakin panas, karena mereka menemukan aktris dengan konglomeratnya sekali. Ajang ngopi yang tadinya cuma sejam, jadi melar 3 jam lebih. Pegawai café nampak bahagia sekali, melihat konsumennya asyik bergosip dan rajin memesan makanan. Andaikata gosip itu sudah terbeber jelas dan tidak bocor alus, maka ajang bergosip menjadi tidak lagi seru. Dianggap basi.

Bocor alus, adalah konsep, membocorkan hal terpanas, tanpa harus membeberkan detailnya. Namun bocoran yang biarpun sangat halus dan sedikit mampu memicu rasa penasaran yang sangat luar biasa. Sehingga orang akan termotivasi untuk menyebarkan dan membicarakannya menjadi sebuah isu yang sangat dahsyat. Sebuah restoran baru di Bulungan, Jakarta Selatan, menjadi pembicaraan seru teman-teman saya. Alasan-nya sederhana karena sambalnya pedas bukan main. Saking pedasnya, sampai-sampai diberi julukan sambal iblis. Lagi-lagi hanya gara-gara sambal, sebuah restoran dibicarakan dan digosipkan, sehingga orang penasaran mencoba restoran tersebut. Uniknya yang dibicarakan dan digosipkan mestinya adalah makanan-nya. Tapi mungkin hal itu tidak akan bikin orang penasaran. Lain-halnya kalau dibuat “bocor alus” soal sambelnya. Hasilnya memang beda.
“Cinlok” atau cinta lokasi, adalah sebuah idiom yang dikenal dalam pemasaran sebuah film. Biasanya ketika sebuah film dibuat, tanpa sengaja, terjadi cinta lokasi dimana pemain utama pria terlibat asmara dengan pemain wanita, maka inilah “bocor alus” yang terdahsyat yang diharapkan pemiliki film. Simak saja peristiwa “cinlok” antara Brad Pitt dan Angelina Jolie dalam film Mr. & Mrs. Smith ditahun 2005. Saat itu Brad Pitt adalah aktor terpanas dipasar. Demekian juga Angelina Jolie. Film Mr.&Mrs. Smith yang banyak dikritik datar-datar saja, ternyata mampu menduduki peringkat ke 10 box office tahun 2005, dengan penjualan global sebanyak 186 juta dollar lebih. Jauh melebihi film seperti “Cinderella Man” dan “Walk The Line” yang memenangkan oscar tahun itu. Konon “bocor alus” peristiwa cinta lokasi antara Brad Pitt dan Angelina Jolie, membuat semua orang sangat penasaran. Padahal saat itu Brad Pitt masih menikah dengan Jennifer Aniston, dan keduanya dianggap pasangan ideal Hollywood. Ketika film itu diputar, spekulasi sangat tajam, dan semua orang ingin tahu apakah keduanya akhirnya bakal berpisah ? Semua orang yang menonton juga ingin melihat sendiri sampai sejauh mana mesranya Brad Pitt dan Angelina Jolie didalam film itu. Dan hasilnya, memang “bocor alus” benar-benar mujarab.

“Bocor Alus” adalah cara murah mempromosikan produk anda. Rahasianya, cukup membocorkan sedikit dan yang penting-penting saja. Jangan sembrono membocorkan-nya terlampau banyak. Gosip dan rumor itu asyik, karena faktanya tidak jelas. Kalau sudah jelas terbeber semua, namanya bukan lagi gosip dan rumor. Kalau anda sudah berhasil menancapkan sesuatu kedalam produk anda, peliharalah dengan baik-baik. Pelihara agar tetap lengket keproduk anda. Karena sekali saja dia lepas, akan sangat susah mencari penggantinya. Di Surabaya, ada sebuah warung rawon yang terkenal. Menurut “bocor alus”-nya dikenal dengan rawon setan. Karena warung ini bukanya selalu menjelang tengah malam. Sempat digosipkan bahwa yang makan memang ‘setan-setan malam’. Pokoknya heboh sekali. Setelah sempat sangat terkenal, maka warung rawon ini buka cabang dibeberapa tempat. Termasuk di Jakarta. Belum lama ini warung rawon itu saya perkenalkan kepada teman saya. Minggu berikutnya ketika kami bertemu, saya bertanya apakah ia sudah mencoba rawon setan. Ia menggeleng sambil mengangkat bahu. Komentarnya pendek :”Wah, sudah ngak aneh lagi”. Selidik punya selidik, warung rawon ini buka sejak siang hari, sehingga para penggemarnya menganggap tidak pantas lagi ia menyandang gelar rawon setan. Sudah tidak “bocor alus”. Konsumen dan pelanggan merupakan alat efektif untuk menyebarkan komunikasi tentang produk anda. Mereka akan menyebarkannya secara sukarela dan gratis. Kuncinya anda harus bikin mereka penasaran. Salah satu caranya adalah dengan strategi “bocor alus”.

Friday, June 01, 2007