Sunday, January 26, 2014

RELEVAN - Karma Marketing Yang Baru



Dari sejumlah diskusi tertutup yang dilakukan organisasi kami disejumlah kota dengan para mahasiswa dan mahasiswi yang memiliki hak pilih di pemilu tahun 2014, lebih dari 50% responden memberikan jawaban bahwa mereka tidak peduli dengan pemilu 2014. Sebagian dari mereka ketika ditanya apakah akan menggunakan hak pilihnya di pemilu - menjawab dengan tegas "Ngak Ngaruh". Artinya mereka berpendapat bahwa apakah mereka ikut dan tidak ikut - hasilnya tidak akan mempengaruhi masa depan mereka. Itu sebuah alarm yang buruk. Bahwa selama 15 tahun reformasi, pemerintah yang berkuasa gagal memperbesar harapan anak-anak muda terhadap masa depan. Malah mereka secara sistimatis menghapusnya dengan sejumlah prestasi yang sangat buruk lewat korupsi dan berbagai kejahatan politik. Walaupun Indonesia dipuji gigih melawan korupsi, tetapi didalam negeri, kita kalah mengadakan perlawanan. Budaya korupsi seperti sudah baku dan menjadi standar para politikus.

Ketika kami bertanya kepada mereka yang mau menggunakan hak pilihnya di tahun 2014, tentang tokoh yang akan mereka pilih, maka jawaban populer mereka "Ngak Paham". Artinya mereka tidak mengenal tokoh politikus yang akan maju menjadi calon presiden 2014. Malah ketika ada satu mahasiswi yang kami tanya soal pilihan-nya, ia menjawab sekenanya saja, "Saya pilih dia, kayaknya cuma dia yang sayang binatang". Tidak ada kriteria ekonomi, visi dan program kerja. Jawaban mereka serba sepele. Dan tidak relevan.

Seorang psikolog yang ikut kami ajak berdiskusi soal hasil diskusi kami dibeberapa kota itu, hanya tertawa terbahak. Ia mengeritik tajam 15 tahun reformasi itu. Menurutnya, reformasi itu mestinya harus menjadi titik balik terpenting dalam sejarah moderen Indonesia. Karena saat itu telah terjadi klimaks dimana rakyat Indonesia menginginkan sebuah perubahan yang sangat masif. Andaikata ada pemimpin yang jeli dan bisa membaca situasi itu, maka Indonesia bisa melesat kedepan bagaikan panah sakti Pasopati milik Arjuna. Tetapi kita gagal memanfaatkan momentum itu. Semangat yang menggebu-gebu dan bergelora, akhirnya perlahan-lahan surut. Mereka yang berusia 5 - 10 tahun pada tahun 1998 ketika awal reformasi, kini seharusnya menjadi generasi muda penerus reformasi. Namun mereka tidak mendapat asupan politik dan kebangsaan yang sesungguhnya. Sehingga mereka menjadi sangat apatis. Dan yang menyebabkan ramalan bahwa tingkat partisipasi pemilu tahun 2014 akan berada dikisaran 60% atau lebih rendah.

Teman saya sang psikolog mengatakan, dalam 15 tahun reformasi, budaya Korea lebih populer daripada budaya Indonesia. Semua anak muda tergila-gila dengan budaya K-POP. Selama 15 tahun jumlah band Indonesia aseli dan film Indonesia aseli, gagal maju signifikan. Mereka hanya tumbuh secara marjinal mengikuti pertumbuhan populasi secara demografis. Anak-anak muda kita tidak tergila-gila dengan semua yang serba Indonesia. Sayang kita telah kehilangan kesempatan itu. Jadi jangan heran, kalau anak muda jaman sekarang hanya butuh "wi-fi" dan head-phones. Bila keduanya terpenuhi mereka akan tenang dan tenggelam dan dunia mereka sendiri-sendiri.

Lalu apa solusi-nya ? Jawaban-nya cuma satu - Relevan ! Barangkali relevan adalah karma marketing yang terbaru. Sebuah kalkulasi penentu yang paling jitu. Dahulu kita secara fisik selalu melihat produk dan harganya. Kalau produk dan harganya secara fisik tidak menarik, kita cenderung tidak tertarik untuk membelinya. Dua elemen sisanya cenderung cuma mengungkit emosi kita. Yaitu tempat dimana kita membeli atau mengkonsumsi dan promosinya. Ini cenderung sebuah pilihan yang lebih emosional. Skenario-nya dulu bisa seperti ini. Misalnya kita memilih "ngupi" di tempat tertentu karena memang kopinya enak dan harganya murah. Dan ketika ritual "ngupi" telah menjadi kebiasaan atau langganan kegiatan kita, maka kita beranjak ke jenjang yang lebih tinggi. Secara emosional kita akan cenderung memilih tempat "ngupi" tertentu. Yang misalnya memiliki tempat lebih nyaman. Lebih sepi. Supaya enak ngobrol dan mungkin tempat duduknya lebih banyak sofanya. Terkadang secara emosional kita juga terbawa dengan bujukan promosi yang unik dan menarik.

Itu skenario klasik. Kopinya enak. Murah. Tempatnya nyaman. Dan promosinya unik. Tetapi kemarin ketika saya diajak rapat bersama teman-teman di suatu sore, mereka memilih tempat ngupi bukan berdasarkan 4 kriteria diatas. Tetapi berdasarkan 1 unsur saja. Yaitu unsur yang paling relevan. Mereka memlih tempat "ngupi" tertentu karena semata-mata "wi-fi" ditempat itu paling kenceng "speednya". Artinya kita rapat membutuhkan "wi-fi" dan ini yang relevan. Sisanya ngak penting !

Hal yang sama dialami oleh industri telpon seluler. 20 tahun yang lalu kriteria kita untuk memilih sebuah telpon seluler barangkali didasari oleh kualitas suara, dan fungsi. Lalu harga. Sisanya faktor emosi seperti desain dan promosinya. Tapi lihat saja iklan-iklan telpon seluler jaman sekarang. Karena budayanya sudah sangat bergeser. Kita sudah berada di fenomena budaya baru yaitu "status", "share" dan "selfie". Apa-pun yang terjadi dengan kita selalu kita umumkan keseluruh antero dunia. Menjadi "status" ditelpon seluler kita. Dan sebelum kita makan, seringkali kita foto makanan kita dan kita "share" di telpon seluler kita dan kita kirim keseluruh dunia. Tak jarang kita merasa diri kita ganteng dan cantik, maka kita memotret diri kita sendiri (selfie) lalu juga kita "share" dengan semua teman-teman kita. Maka fungsi telpon seluler kita yang terpenting bukan lagi kualitas suara melainkan kamera fotonya. Ini faktor yang paling relevan.

Tak heran apabila produsen telpon seluler, tidak lagi mengiklankan kualitas suara telpon seluler mereka tetapi mereka ramai-ramai mengiklankan kemampuan kamera di telpon mereka. Ini yang relevan, dan ini yang menjadi penentu konsumen membeli sebuah telpon seluler.

Lalu apa yang relevan bagi generasi muda kita ? Kebanyakan dari mereka tidak mengatakan langsung tetapi menyiratkan secara samar bahwa memiliki pasangan hidup yang pas, lalu keluarga dan hidup yang layak adalah faktor relevan yang paling utama. Kelihatannya sangat klise. Namun kalau kita gali lebih dalam, ternyata hal-hal yang relevan menjadi sangat banyak. Abad internet saat ini, memang memberikan mereka kenyamanan bahwa mereka memiliki banyak teman. Tetapi sesungguhnya sangat berbeda. Mereka boleh punya 5.000 teman di internet, tetapi sehari-hari mereka hanya punya segelintir teman yang sesungguhnya. Mereka juga khawatir dengan kelanggengan keluarga. Percaya atau tidak infotainment ditelevisi yang kebanyakan membahas perselingkuhan dan perceraian menjadi echo atau gema yang sangat berpengaruh. Konon data Badan Peradilan Agama (Badilag) Mahkamah Agung RI tahun 2010 melansir bahwa selama 2005 sampai 2010, atau rata-rata satu dari 10 pasangan menikah berakhir dengan perceraian di pengadilan. Dari dua juta pasangan menikah tahun 2010 saja, 285.184 pasangan bercerai. Dan tingginya angka perceraian di Indonesia yang kita dapati, notabene tertinggi se-Asia Pasifik. Hampir 70 persen perceraian yang terjadi adalah cerai gugat. Dengan kata lain, lebih banyak perempuan yang mengajukan gugatan perceraian daripada lelaki yang menceraikan istrinya. Alasan mereka adalah ketidak harmonisan dalam keluarga.

Kehidupan yang layak secara ekonomi, pasangan yang harmonis, dan kebahagian keluarga menjadi "benchmark" jaminan hidup berbahagia yang paling relevan. Itu adalah kesimpulan yang kami dapati dari diskusi keliling kami diberbagai kota. Kelihatan sepele tetapi memiliki dimensi yang sangat kompleks dan mengakar dalam setiap perasaan generasi muda di republik ini.

Seorang mahasiswi tingkat akhir, bercerita dengan sangat jujur kepada saya. Ia merasa tidak cantik. Tubuhnya juga tidak sexy malah cenderung gemuk. Ia mengaku masih perawan dan tidak punya pacar sejak jaman SMA. Tetapi ia sekarang menjadi part-timer menjual properti. Hasilnya sangat lumayan. Ia mandiri secara ekonomi. Ia bercerita, ia masih kumpul dengan teman-teman-nya di akhir pekan. Makan dan bergaul seadanya. Tetapi ia berhenti mencari pacar. Dunianya sederhana. Mengumpulkan uang sebanyak-banyaknya. Jalan-jalan ke luar negeri. Mencoba berbahagia. Itu dunianya. Itu yang paling relevan. Ia mengaku sangat realistis soal menikah dan punya keluarga.


Thursday, January 02, 2014

YUK REFORMASI KABINET !





Setelah reformasi, saya punya satu harapan, bahwa mesin pemerintahan yaitu kabinet dan berserta menteri-menterinya juga bakal di reformasi. Ternyata harapan saya pupus. Hingga hari ini sedikit sekali perubahan yang terjadi di kabinet. Ibarat sebuah perusahaan, presiden adalah CEO, dan para menteri adalah manajernya, maka struktur organisasi atau dalam pemerintahan kita sebut KABINET sangat menentukan laju efektifitas dan produktifitas dari manajemen negara.

Setelah reformasi, kabinet dipemerintahan kita cenderung gemuk dan semakin gemuk. Akibatnya birokrasi menjadi ruwet, dan tindakan-tindakan strategis serta taktis menjadi semakin tumpang tindih. Di awal kemerdekaan kita, jumlah menteri paling sedikit adalah ketika era Kabinet Darurat dengan hanya 12 menteri. Kabinet ini hanya berlangsung 8 bulan dari Desember 1948 hingga Juli 1949. Jumlah menteri paling banyak adalah 37 orang dalam era Kabinet Amir Sjarifuddin II yang berlangsung hanya 3 bulan. Lalu berlanjut dalam zaman parlementer dari tahun 1949 hingga 1957, jumlah kabinet dengan menteri paling sedikit 10 orang dan menteri paling banyak 25 orang.

Ketika orde lama, kabinet pernah menggelembung dengan 132 orang menteri, dan kabinet paling sedikit dengan 24 orang, yaitu pada saat kabinet Ampera II dengan pjs Presiden Suharto. Kabinet ini juga hanya berlangsung 8 bulan. Ketika orde baru, dengan kabinet Pembangunan I - kita hanya punya menteri 24 orang, yang kemudian membengkak menjadi 44 orang menteri di kabinet Pembangunan V. Selama Reformasi 15 tahun kita memiliki 5 kabinet. Jumlah menteri terbanyak adalah kabinet Indonesia bersatu saat ini yang memiliki 38 menteri. Dan menteri paling sedikit adalah saat kabinet Gotong Royong dengan 33 menteri. Jadi selama reformasi 15 tahun jumlah menteri kita cukup gemuk yaitu berkisar 33 orang hingga 38 orang.

Sebenarnya berapa menteri yang ideal dalam sebuah kabinet ? Kalau dihitung diatas kertas, semakin sedikit semakin baik. Karena akan menciptakan kabinet yang kurus. Sehingga membuat birokrasi lebih pendek, dan pemerintahan yang gesit, mudah bergerak dan sangat responsif. Sebagai gambaran, kabinet di Singapura hanya memiliki 17 menteri dan di kabinet di Amerika saat ini hanya memiliki 15 menteri. Di Indonesia, karena tidak adanya partai politik yang sangat kuat, maka pemerintahan yang ada cenderung harus berkoalisi dengan sejumlah partai. Dan dalam 10 tahun terakhir ini, kita melihat sejumlah ketua partai politik diberi hadiah menjadi menteri di kabinet, karena kontrak koalisi politik. Yang membuat kita balik lagi bertanya apakah ketua partai politik memang memiliki kualifikasi sebagai manajer yang baik untuk kementerian yang dipimpinnya.

Dilema inilah yang menghantui kita. Bahwa manajemen negara yang gemuk selama 15 tahun terakhir ini, memberikan kita persepsi bahwa kita sebenarnya hanya berjalan ditempat. Kita miskin strategi. Dan kita juga tidak punya road-map yang jelas. Sampai akhir tahun 2012, jumlah PNS tercatat 4.462.982 orang atau setara dengan 1,90 persen dari hampir 241 juta jiwa penduduk Indonesia. Jumlah ini masih ditambah dengan pegawai honorer yang menyebabkan postur birokrasi yang sangat gemuk. Akibatnya dana APBN yang dipakai untuk menggaji para PNS mencapai 48,5%. Itupun dengan sejumlah keluhan bahwa gaji PNS di Indonesia masih rendah dibandingkan dengan gaji PNS dinegara lain. Nah, negara juga punya masalah, yaitu kalau gaji PNS mau dinaik-kan dan disetarakan, pasti anggaran gaji dari APBN akan semakin naik juga. Dari mana kita mencari dana untuk mensejahterakan PNS. Padahal kita sadar apabila PNS tidak mendapat gaji yang baik, mereka akan terpaksa mencari kekurangnya dengan berbagai cara. Termasuk korupsi dan "ngobyek" ditempat lain. Masalah ini tidak hanya menimpa pemerintah pusat tetapi juga menimpa pemerintah daerah. Pada tahun 2012, dari seluruh APBD, belanja pegawai daerah  mencapai 50,9 persen, Barang dan Jasa 18,1 persen, sementara belanja modal hanya 23,9 persen.

Dengan komposisi dan struktur seperti ini, kita akan sulit untuk mencapai kinerja pemerintah yang optimum. Padahal di koran kita sering membaca apabila pejabat melakukan sidak, selalu saja ada cerita menemukan PNS yang tidak bekerja, ada yang main komputer, baca koran, dsbnya. Menciptakan persepsi bahwa kita sebenarnya kebanyakan PNS dan kualitas PNS kita rendah. PNS juga sering dijadikan kambing hitam. Bahwa kalau jumlah angka pengangguran tinggi, maka cara termudah bagi Pemerintah untuk menciptakan lapangan kerja dan mengurangi pengangguran adalah dengan membuka lowongan baru bagi PNS.

Konon Jepang hanya memiliki 1,5 juta PNS dari populasinya yang berjumlah 127,6 juta orang atau sekitar 1.1%. Dan Amerika memiliki 2.79 juta PNS dari populasinya yang berjumlah 314 juta orang atau sekitar 0,8% saja. Bandingkan dengan Indonesia yang 1,9%. Artinya Indonesia perlu dan harus mengurangi jumlah PNSnya hingga mendekati 1%. Ketika angka ini saya presentasikan dalam sebuah diskusi tertutup - saya diserang kritik dari segala penjuru. Umumnya semua orang mengatakan, jangan membandingkan Indonesia dengan negara-negara maju. Dan jawaban saya sangat sederhana, kalau kita mau maju, kita harus berani mengambil standar negara maju. Masa sih kita harus mengambil standar dari negara-negara dibawah kita ?

Barangkali dalam 15 tahun setelah reformasi kita masih berjuang melakukan berbagai konsolidasi dan pemantapan ke stabilan politik dan ekonomi. Jadi bisa saja apa yang terjadi dalam 15 tahun terakhir kita maklumi. Yang bisa menyelamatkan negara, bangsa dan republik ini adalah pemimpin yang memiliki tekad. Memiliki rencana dan strategi. Apabila 15 tahun terakhir ini adalah sebuah masa peralihan, maka 15 tahun kedepan seharusnya adalah sebuah masa perjuangan baru. Sebuah masa yang ditandai dengan pemikiran matang dengan sejumlah aksi yang bisa membawa Indonesia ke era baru. Era dimana Indonesia menjadi sebuah kekuatan ekonomi baru di ASIA. Bilamana India bercita-cita ingin menyalip Tiongkok, maka kita butuh pemimpin dengan mimpi yang sama.

Jepang kalah perang dalam perang dunia ke dua. Namun hanya dalam 25 tahun Jepang menjadi kekuatan baru di ASIA. Era tahun 70-80 an ASIA didominasi oleh Jepang. Langkah itu diikuti Taiwan tahun 80-90 an. Dan kemudian Korea Selatan di era tahun 1990an - 2000an. Populasi Jepang memang sangat besar hampir 128 juta orang. Taiwan sebaliknya jauh lebih kecil hanya mendekati 23,5 juta orang dan Korea Selatan 50 juta orang. Satu hal yang kita pelajari bahwa ketiga negara itu memberdayakan sumber daya manusianya dengan sangat serius. Menjadikan mereka semua aset yang sangat berharga.

Lembaga riset Pearson belum lama ini mengeluarkan index tentang pendidikan global terbaik. Korea Selatan menduduki peringkat kedua setelah Finland. Jepang berada diperingkat ke 4. Membuktikan bahwa pengembangan dan pemberdayaan manusia sebagai sumber daya terpenting sangat dan amat kritis pentingnya. Dan Indonesia dengan penduduk usia produktif yang sangat besar semestinya punya peluang menjadi kekuatan ekonomi ASIA setelah Jepang, Taiwan dan Korea Selatan. Asalkan kita serius mengolah aset manusia kita. Mendidik-nya dan melatihnya. Menjadi lokomotip kemajuan bangsa. Ini pekerjaan rumah kita bersama. Reformasi manusia Indonesia !

Wednesday, January 01, 2014

INDONESIA MEMANG NEGARA AJAIB





Waktu sekolah dulu, ketika pelajaran ilmu bumi alias geografi, kita hanya diberi hafalan, bahwa Indonesia adalah negara kepulauan di khatulistiwa dengan sekian ribu pulau, sekian juta penduduk dan sekian ratus bahasa daerah. Saat itu kita cuma fokus pada jumlah dan mencoba menghafalnya buat ulangan atau ujian. Guru saya tidak berhasil meyakinkan saya bahwa semua angka-angka itu sebenarnya unik, karena mewakili sebuah kombinasi yang membuat Indonesia adalah sebuah negara ajaib. Bertahun-tahun angka itu cuma menjadi sebuah impresi biasa. Bagaikan angin yang lewat tanpa kesan sama sekali.



Barulah sekitar bulan September lalu, dalam sebuah diskusi tertutup di Hongkong saya bertemu dengan beberapa ekonom dan konsultan strategi ekonomi. Percaya atau tidak, didalam diskusi itu saya baru sadar betul, betapa Indonesia adalah sebuah negara ajaib yang tulen. Jadi jangan heran kalau begitu banyak orang yang iri dan cemburu dengan keutuhan Indonesia, yang ingin merusak dan merampoknya, serta ingin memecah belah menjadi potongan-potongan yang lebih kecil.



Potensi Indonesia dilihat dari sudut manapun sangatlah ajaib. Secara geografis, Indonesia melintang di khatulistiwa. Bayangkan saja Indonesia memiliki 17.058 pulau. Jadi jangan heran kalau Indonesia mendapat merek negara kepulauan terbesar di dunia. Luas tanahnya hampir 2 juta km2. Membuat Indonesia negara ke 15 terluas didunia. Namun apabila dijumlah menjadi satu dengan wilayah lautnya, Indonesia menjadi negara ke 7 terluas didunia. Kombinasi ini saja sudah membuat orang terpukau, karena kekayaan dari keragaman baik hewan dan tumbuh-tumbuhan-nya sangat sulit ditandingin negara manapun didunia ini. Jadi bayangkan saja kekayaan sumber daya alam-nya.



Dalam hal enerji misalnya, 40% potensi enerji panas bumi/geothermal dunia, semuanya ada dan berlokasi di Indonesia. Bila dikembangkan dengan sempurna - enerji panas bumi/geothermal Indonesia bisa mencapai 28.000 MW. Saat ini Indonesia  baru memiliki instalasi panas bumi/geothermal sekitar  1,197 MW atau hanya  3.7% dari produksi enerji nasional Indonesia. Padahal PLN akhir Desember 2012 memproduksi listrik dengan kapasitas  32.901,48 MW yang berasal dari  5.048 unit pembangkit tenaga listrik. Menurut studi yang dilakukan NYU Stern listrik yang dibangkitkan dengan enerji panas bumi/geothermal ongkosnya hanya berkisar antara 500 rupiah per kilowatt. Biaya produksi listrik dengan batu bara yang paling murah masih berkisar diatas 1.000 rupiah per kilowatt. Memang benar membangun strategi listrik nasional berdasarkan panas bumi/geothermal bukan murah. Dan memerlukan investasi modal yang sangat tinggi. Namun buat jangka panjang, Indonesia sangat memerlukan pemberdayaan sumber daya alam yang satu ini.


 


Dan tahukah anda ? Dimana tambang emas terbesar didunia ? Jawaban-nya sederhana. Indonesia. Yaitu Tambang Grasberg yang berlokasi di Papua dekat Puncak Jaya pada ketinggian hampir 5.000 m. Memiliki hampir 20.000 pegawai dan pada tahun 2006 produksi tembaga 610.800 ton , emas 58,474,392 gr dan 174,458,971 gr perak. Tahun 2012 produksi emas Grasberg = 24,437.3 kg dan tahun 2011 produksi emas Grasberg = 36,060.6 kg. Melihat hanya 2 fakta diatas, apakah anda sudah yakin Indonesia sangat ajaib ? Kaya luar biasa ?


 


Jadi wasiat nenek moyang kita : “gemah ripah loh jinawi toto tentrem kerto raharjo - bukanlah isapan jempol belaka. 'Gemah ripah loh jinawi' berarti (kekayaan alam yang berlimpah) sedangkan  'toto tentrem karto raharjo' (keadaan yang tenteram). Wasiat ini seharusnya menjadi inspirasi bagi setiap pemimpin bangsa dan negara Indonesia. Yaitu memberdayakan sumber daya alam Indonesia bagi kesejahteraan sosial untuk seluruh rakyat Indonesia.


 


Keajaiban Indonesia bukan hanya terwarisi oleh sumber daya alam-nya, tetapi juga dari budaya dan sejarahnya. Anda bisa bayangkan - Indonesia yang sangat ajaib ini memiliki 300 suku bangsa yang satu sama lain sangat unik dan 742 dialek serta bahasa daerah. Mempersatukan-nya menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia bukanlah hal dan peristiwa yang remeh. Sejak abad ke 6 dan seterusnya, kepulauan Nusantara atau Indonesia sudah menjadi pusaran politik dan kemakmuran perdagangan yang diawali dengan munculnya berbagai kerajaan legendaris, mulai dari Sriwidjaja hingga Majapahit. Armada angkatan laut keduanya menjelajah jauh hingga melewati batas-batas wilayah yang sekarang disebut ASEAN. Barangkali lewat interaksi antar wilayah dan antar budaya dari berbagai kerajaan inilah muncul konsep sebuah kesatuan Indonesia.


 


Dan perasaaan ini yang mungkin ditangkap oleh Multatuli alias Eduard Douwes Dekker (2 March 1820 – 19 February 1887), yang menyebut Indonesia sebagai belitan zamrud di Khatulistiwa. Disinilah letak keajaiban-nya. Bahwa sejumlah pemikiran dan kekaguman sejumlah tokoh, yang akhirnya menjadi sebuah kristal gerakan kebangkitan dan kesadaran nasional. Tahun 1908, 37 tahun sebelum kita merdeka, para mahasiswa Stovia bersama sang penggagas Dr. Wahidin Sudirohusodo, mendirikan Budi Utomo pada tanggal 20 Mei 1908. Sebuah organisasi yang bersifat sosial, ekonomi, dan kebudayaan tetapi tidak bersifat politik. Walaupun demikian, kiprah berdirinya Budi Utomo akhirnya menjadi tonggak awal gerakan yang bertujuan mencapai kemerdekaan sebuah negara Indonesia, walaupun pada saat itu organisasi ini awalnya hanya ditujukan bagi golongan berpendidikan Jawa.


 


Selama 20 tahun ide ini terus berkembang dan melebar, pada tahun 1906, berbagai perkumpulan pemuda di Batavia, menyelenggarakan Kongres Pemuda yang pertama, dan menyebarkan bibit untuk membentuk sebuah kesatuan cita-cita bernegara yang satu yaitu Indonesia. Ide ini memanas, dan menggelegar lebih jauh. Maka pada tanggal 27-28 Oktober 1928, Kongres Pemuda yang kedua digelar. Dalam peristiwa ini tokoh Moh. Yamin mengusulkan sebuah konsep kesatuan tanah air, bangsa dan bahasa yang satu yaitu Indonesia. Konsep inilah yang kemudian diterima dan menjadi SUMPAH PEMUDA. Sebuah janji sakral yang memenuhi wangsit nenek moyang kita tentang sebuah kondisi sosial - “gemah ripah loh jinawi toto tentrem kerto raharjo




Tak kalah pentingnya adalah peristiwa komponis WR Supratman memperdengarkan untuk pertama kalinya sebuah lagu agung - Indonesia Raya, yang kemudian dijadikan lagu kebangsaan negara Republik Indonesia. Jadi terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia memang cukup ajaib. Karena apabila kita melihat kompleksitas etnik dan budaya, keragaman Indonesia memang sangat luar biasa. Kalau ditahun 20'an tokoh Pemuda kita bisa bersatu dan ingin bersatu, mestinya semangat itu seharusnya makin kuat dan bukan mengendur. Bukan terbelah dan terpasung karena hanya kepentingan segelintir golongan. Disinilah kerinduan kita terhadap seorang pemimpin nasional yang fasih dan menyelami semangat ini.



Seorang teman saya punya pendapat yang sangat berbeda dengan tulisan sejarah di buku-buku sekolah. Dia tidak setuju kalau dikatakan Belanda menjajah Indonesia selama 350 tahun. Pertama yang mendapatkan konsesi politik dan eknonomi saat itu adalah perusahaan dagang VOC. Bukan pemerintah Belanda secara langsung. Dan juga selama 350 tahun itu, di seluruh wilayah Nusantara terjadi sejumlah perang, mulai dari perang Tjut Nyak Dien, hingga perang Diponegoro. VOC menyebutnya pemberontakan. Kita menyebutnya perang melawan VOC. Jadi menurut teman saya, buku-buku sejarah mesti ditulis ulang, bahwa kita berperang melawan VOC dan pemerintah Belanda selama 350 tahun. Fakta ajaib, yang mesti kita ingat pula bahwa tanpa persatuan perang-perang itu tidak bisa menghantar kita kepada kemerdekaan. Tapi ketika pemuda kita berikrar, bertekad, bersumpah dan bersatu, maka Negara Kesatuan Republik Indonesia lahir dari perjuangan hanya 40 tahun. Sejarah membuktikan bahwa kita perlu bersatu. Ini adalah keajaiban yang mesti kita jaga keutuhan-nya bersama-sama. Pemimpin masa depan Indonesia juga perlu memahami-nya dengan sangat sempurna.