Monday, April 30, 2007

KELEMBUTAN

“I cannot teach you violence, as I do not myself believe in it. I can only teach you not to bow your heads before any one even at the cost of your life.” - Mahatma Gandhi


SEORANG teman saya terkenal punya sifat emosional. Ia memiliki julukan sumbu pendek, semasa kuliah dulu. Berkali-kali kami ikut berkelahi hanya gara-gara membela dirinya. Belum lama ini, ketika berjumpa kembali dengannya, saya melihat perkembangan luar biasa. Ia jauh dari kesan emosional. Suaranya perlahan, tertata, dengan kesabaran dalam. Saya dan teman-teman mendesak dirinya untuk bercerita.

Alkisah, usai kuliah ia jatuh cinta pada seorang gadis Jawa dari keluarga terpandang. Sistem pendidikan di keluarga ini keras sekali, sehingga si gadis Jawa itu halus dan sabar luar biasa. Teman saya menganggap gadis Jawa ini serba lelet. Entah kenapa, Tuhan punya rencana sendiri. Mereka menikah juga, di Eropa, ketika keduanya kuliah pascasarjana.

Selama 10 tahun menikah, mereka terombang-ambing prahara. Maklum, teman saya itu ketika kuliah terkenal sebagai playboy. Namun, perkawinan itu selamat hingga kini. Teman saya ahirnya berubah. Kini, ia dikenal sebagai pemimpin penyabar, juga arif dan bijaksana.

Ia menyebut ilmu istrinya sebagai manajemen kelembutan. Teman-teman yang mendengar cerita ini terharu, dan manggut-manggut. Ceritanya memang luar biasa: bagaimana kelembutan bisa mengubah perilaku.

Saya ingat ajaran klasik Cina dari I Ching. Intinya, bila alirannya tertahan, air akan berhenti sejenak, menambah volumenya, akhirnya meluber melewati rintangan. Barangkali inilah yang diperlukan Presiden Amerika, George Bush, agar mau sadar dan menyurutkan niatnya berperang melawan Irak.

Manajemen kelembutan memang unik. Saya ingat ajaran mentor saya, Mahatma Gandhi, tentang ahimsa, yaitu cinta dan damai. Gandhi percaya, ahimsa dapat merangkul siapa saja, kekuatannya dahsyat tanpa batas. Kita mungkin sukar percaya bahwa sesuatu yang lemah dan lentur mampu mengalahkan yang keras. Sebab, sejak kecil secara fisik kita diajari: hanya benda keras seperti palu dan martil yang bisa memecahkan batu dan tembok.

Kekuatan ahimsa secara filosofis adalah pada pandangan bahwa tak semua musuh harus ditumpas. Ahimsa menawarkan alternatif, daripada menghancurkan musuh, lebih baik merangkulnya dengan cinta dan damai.

Teman saya bercerita, ketika pertama kali istrinya tahu ia berselingkuh, sang istri memperlihatkan lebih banyak cinta dan damai.
Mulanya ia senang-senang saja, menganggapnya bodoh dan lemah. Lama-lama ia malu sendiri. Akhirnya ia sadar, yang sesungguhnya bodoh dan lemah adalah dirinya sendiri.

Ia lalu menerapkan manajemen kelembutan di kantor. Anak buahnya, dan para stafnya, awalnya kaget. Kalau biasanya ia memarahi staf yang berbuat salah, kini ia berbalik mengajarkan di mana letak kesalahan itu, dan menjelaskan hal yang benar. Ia tak menjadi palu atau martil yang menghancurkan.

Anak buah dan para stafnya pun senang karena mereka belajar banyak dari kesalahan yang mereka perbuat. Yang paling ajaib adalah terciptanya budaya malu. Perlahan tapi pasti, manajemen kelembutan itu menunjukkan hasil yang jitu.

Suasana kantor juga menjadi baik. Politik kantor menurun. Gosip makin hilang. Produktivitas pun ikut tumbuh dengan sehat. Kami bisa melihat hasilnya pada teman saya yang berubah 180 derajat. Hanya saja, perlu diingat, manajemen kelembutan bukan berarti kita menjadi plin-plan dan tidak tegas. Buktinya adalah Gandhi sendiri yang tetap tegas dan konsisten menjalankan ahimsa, walau harus membayar mahal dengan nyawanya.

Ketika Gandhi akhirnya tertembak mati pada 25 Januari 1948, Albert Einstein berkomentar: di masa-masa mendatang, generasi penerus kita akan sulit percaya bahwa pernah ada manusia seperti Gandhi.

Wednesday, April 25, 2007

Wednesday, April 18, 2007

STRATEGI NEMPEL

Dekat airport Surabaya, ada satu restoran seafood yang selalu menjadi favorit saya. Di depan restoran kebetulan ada satu toko kecil yang menjual buah tangan atau oleh-oleh, seperti kerupuk dan emping.Beberapa tahun lalu, ketika belanja di toko itu, pandangan saya tertuju pada sebungkus kerupuk. Pembungkusnya tidak lazim. Bukan dari dus biasa. Melainkan dikemas dengan kotak tripleks. Lalu diberi label kertas dengan dibubuhi tanda tangan. Memang terlihat eksklusif dan bikin orang penasaran.Iseng saya bertanya ke si penjual. Dengan muka sangat serius, sang penjual bercerita bahwa kerupuk ini sangat istimewa. Jumlahnya terbatas. Istilah zaman sekarang, eksklusif atau limited edition. Mendengar hal ini, saya makin penasaran dan ingin mendengar ceritanya lebih jauh. Maka, berceritalah sang penjual.Alkisah, big boss dari perusahaan kerupuk ini punya kebiasaan sangat unik dan istimewa. Setiap kali beliau sedih atau kena stres, sebagai pelampiasan biasanya sang big boss akan ke pasar sendiri, mencari udang paling segar dan paling baik. Lalu dengan bahan-bahan terbaik itu dibuatlah kerupuk udang eksklusif ini. Secara berseloroh, sang penjual berkilah bahwa kerupuk udang ini hanya ada pas big boss-nya bersedih hati. Istilah dia, ini kerupuk sedih hati.Hampir dua bulan lalu, saya sempat makan siang di Surabaya dengan sang big boss pemilik perusahaan kerupuk itu. Saya bertanya tentang cerita kerupuk sedih itu. Beliau malah tertawa mendengar cerita itu. Katanya, kebanyakan isi cerita itu tidak benar. Tetapi soal bagian bahwa udang bahan baku dipilih dengan cermat memang benar. Pembuatannya masih menggunakan tangan 100% juga benar. Dan memang dikerjakan dengan sangat telaten dan hati-hati serta kontrol mutu yang serba terjaga.Sambil garuk-garuk kepala, akhirnya saya jadi sadar juga. Pantas setiap kali saya mampir di toko itu, kerupuk sedih selalu saja ada, walau jumlahnya tidak banyak. Anehnya, saya tidak memasalahkan kenapa misalnya kerupuk sedih selalu ada? Apakah memang betul sang big boss terus-menerus bersedih. Barangkali cerita itu sudah sedemikian nempel pada diri saya, sehingga hal-hal lain yang mestinya lebih pokok saya abaikan begitu saja.Fenomena nempel ini penting dan strategis. Kadang dalam berjualan, kita hanya punya satu kesempatan untuk "menempelkan" satu atribut ke dalam sanubari para pelanggan. Apa yang kita "tempelkan" menjadi isu kritis dan kunci keberhasilan sekaligus. Karena kalau saja apa yang nempel itu punya pesona dan karisma, maka ia akan menyebar dan menjadi cerita panas dari mulut ke mulut. Pertanyaannya, bagaimana strateginya untuk bisa berhasil "menempelkan tempelan yang pas"?Di Restoran Dapoer Babah Jakarta, dijual sejumlah kue kering dengan resep-resep "tempo doeloe". Kue kering ini kebetulan dibuat di Malang dengan gaya yang masih sangat tradisional. Pembuatnya kebetulan seorang ibu-ibu tua.Mungkin bagi Anda, kue kering ini tidak ada istimewanya. Karena produk sejenis ini masih dapat Anda jumpai di mana-mana. Untuk itulah saya merasa perlu ada "tempelan" yang super-istimewa.Kami menyediakan kue kering untuk dicoba gratis oleh pelanggan. Tetapi selalu kami tempelkan cerita bahwa sang pembuat sudah lanjut usia. Kami juga selalu tempelkan kalimat sakti bahwa ibu selalu membuatnya dengan penuh cinta kasih. Kue kering ini adalah bukti nyata kalau sesuatu dilakukan dengan penuh cinta kasih, maka hasilnya akan sangat luar biasa.Cerita seperti itu selalu saja membuat yang mendengar terharu. Mereka mengaku ingat kepada nenek atau ibu mereka. Hasilnya, mereka selalu tergerak untuk membeli. Kue keringnya laku keras berkat "tempelan" cerita di atas.Pemasar di mana pun selalu mencari tempelan terkini untuk memasarkan produk-produk mereka. Tempelan yang paling populer tentu saja yang paling menyentuh secara emosional. Di produk-produk makanan dan minuman, tempelan bahwa produk ini mampu membuat kita lebih sehat dan pintar selalu populer luar biasa.Chip Heath dan Dan Heath, dua periset dari Amerika, bertahun-tahun melakukan riset tentang "apa yang menempel" di kepala pelanggan. Lalu menjadikannya sebuah buku yang sangat kontroversial berjudul MADE TO STICK --Why some ideas take hold and others come unstuck.Menurut mereka berdua, biasanya yang nempel itu cerita bukan fakta. Cerita yang menyebar biasanya memiliki tiga elemen. Pertama, ceritanya sederhana. Ini penting. Kalau ceritanya jelimet dan kompleks, biasanya akan sulit menyebar. Kedua, cerita yang bagus pasti selalu dramatis, yang memiliki sisi emosional yang dalam.Semakin emosional cerita itu, biasanya akan semakin nempel di kepala pelanggan. Dan ketiga atau yang terakhir, cerita yang selalu nempel di kepala kita adalah yang memiliki elemen kejutan atau yang tidak biasa. Kombinasi ketiganya inilah yang membuat sebuah cerita nempel sedemikian rupa.Di atas ketiga fakta tersebut, agar produk Anda laris, maka "tempelan" yang Anda ciptakan bukan saja harus nempel, tetapi yang paling penting adalah bagaimana membuat yang mendengar tergugah untuk ikut menyebarkannya. Ini kunci sukses komunikasi getok tular.

Sunday, April 15, 2007

Friday, April 13, 2007

HARUS YAKIN

Hidup di Indonesia perlu keyakinan yang mahagede. Begitu kilah seorang sutradara film yang saya kenal. Sambil berseloroh ia mengatakan, semua penipu berhasil menipu korban-korbannya hanya gara-gara ia memiliki keyakinan luar biasa, sehingga ia bisa tampil sangat meyakinkan. Ini strategi penting.Seorang sopir bercerita bahwa ia sering mengecoh polisi ketika melewati daerah "3 in 1". Caranya sederhana, ia dengan meyakinkan memberi hormat ala militer kepada polisi yang menjaga. Biasanya polisi yang menjaga jadi gugup dan membalas hormat kembali. Pas hormat selesai, sang sopir sudah melewati sang polisi. Tentu saja tidak selalu ia berhasil mengecoh sang polisi.Menurut sang sopir, kalau polisinya kalah yakin dengan sang sopir, biasanya berhasil manjur. Ia hanya tertangkap kalau polisinya lebih yakin bahwa si sopir itu menipu dengan memberi hormat ala militer. Tapi, menurut sang sopir, biasanya 80% berhasil.Dalam pakem ilmu berjualan, tampil yakin juga kunci penting. Seorang salesman hanya akan berhasil kalau tampil meyakinkan, ngomong-nya juga meyakinkan, dan gayanya sangat meyakinkan. Tapi, kalau ia ngomong saja sudah plintat-plintut, maka 90% jualannya akan gagal total. Apalagi kalau ia tampil meragukan.Pernah seorang salesman mengeluh tentang performance-nya yang jauh dari target. Memang bicaranya cukup meyakinkan. Pengetahuan tentang produk fasih banget. Sayang, cara ia berpakaian rada-rada nyeleneh. Ia sangat menyukai dasi kartun atau karakter Walt-Disney, yang menurut dia lucu. Ia juga suka memakai warna kemeja seperti hijau pupus atau kuning tua. Menurut dia, itu warna favoritnya. Tapi kita yang memantau penampilannya sangat merasa tidak nyaman. Ia gagal tampil meyakinkan.Bertahun-tahun saya mendesain kemasan produk, selalu saja pengusaha pemilik produk minta nama berbau luar negeri. Menurut sang pengusaha, merek harus memberi kesan luar negeri, seperti layaknya produk impor. Biar meyakinkan, begitu alasannya.Desain kemasan juga sering diselaraskan bergaya atau mirip dengan produk sejenis yang lazim beredar di luar negeri. Juga dengan maksud meyakinkan calon pembeli.Jadi, jangan heran kalau merek-merek produk lokal banyak yang meniru merek luar negeri. Semata-mata agar tampil meyakinkan. Sebaliknya, produk-produk tradisional malah tampil terbalik. Misalnya saja jajanan tradisional di daerah. Biasanya kemasannya dibuat justru harus setradisional mungkin. Mulai merek, warna, hingga grafis kemasan. Kalau tampil modern dan terlampau keren, malah tidak akan laku. Bakal dijauhi konsumen. Alasannya, sudah terlampau modern, rasanya pasti tidak tradisional lagi.Jadi, tampil meyakinkan bukan masalah klimis, keren, dan modern. Kalau dukun tampil sangat perlente memakai jas dan dasi, pasiennya juga bakal curiga. Dukun mungkin harus tampil lebih tradisional. Tampil meyakinkan adalah masalah setting yang pas dengan produk yang akan kita jual.Empat periset, S. Segerstrom, S. Taylor, M. Kemeny, dan J. Fahey, pada 1998 pernah memublikasikan sebuah penelitian di Journal of Personality and Social Psychology, yang menyebutkan bahwa mereka yang memiliki sikap hidup optimistis biasanya hidup lebih sehat, tidak mudah terserang penyakit, dan berumur lebih panjang.Nah, menurut Mpu Peniti, bersikap optimistis dan meyakinkan bukan saja harus ditampilkan ke luar karena tuntutan profesi kita, melainkan juga ke dalam sebagai cermin sikap kita dalam menghadapi tantangan hidup. Istilah beliau, yakin luar-dalam.Price Pritchett, CEO Pritchett LP, baru saja meluncurkan buku saku yang sangat menarik. Judulnya, Hard Optimism. Dia menampilkan sejumlah fakta tentang bagaimana sikap optimistis bisa mengubah hidup kita. Misalnya saja, majalah American Psychologist, pada edisi ke-43 tahun 1988, memperlihatkan bahwa calon-calon Presiden Amerika yang lebih optimistis biasanya mudah menang dalam pemilu. Para pemimpin dan CEO bisnis yang berhasil memiliki kebiasaan menggunakan ungkapan bahasa yang optimistis empat kali lebih banyak dibandingkan dengan ungkapan bahasa yang negatif dan pesimistis.M. Seligman, penulis buku Learned Optimism: How to Change Your Mind and Your Life, membeberkan bahwa salesman yang optimistis biasanya lebih tinggi prestasinya dibandingkan dengan salesman yang pesimistis dan mudah menyerah. Para petugas customer service yang lebih optimistis terbukti lebih kreatif, ramah, mudah menolong, dan sangat mengormati pelanggan dibandingkan dengan mereka yang pesimistis.Demikian juga dalam olahraga. Prestasi para atlet yang bersikap optimistis jauh lebih tinggi dibandingkan dengan atlet-altlet yang pesimistis. Melihat bukti-bukti dan fakta di atas, seorang pemimpin besar wajib memiliki sikap "optimistis sekeras baja" untuk bisa tampil yakin dan membuat pengikutnya yakin seyakin-yakinnya. Celakanya, kita belum menemukan pemimpin sekelas ini.

Thursday, April 05, 2007

EKONOMI KREATIF

Tempo Magazine
No. 45/VI
July 11 - 17, 2006

Stifling Creativity

Several countries are triggering the development of their respective creative
industries. The government however is still dilly-dallying.

IN a European-style "castle," hundreds of young people are thinking and
working hard in front of computer screens. With their skilled hands, several
animated films have been created and these have already penetrated the US and
European markets. Two of these hard-working young people have even been rewarded
with international prizes.

Carlos Adventure was named the best animated children's film serial at the
International Animation Festival in Tenerife, Spain, in 2002. Another film, Jim
Elliot Story, received a Golden Remy Award in the 2006 international film
festival film in Houston, Texas, USA.

Perhaps you will find it hard to believe that these two films were not
created by film kings in America or Europe, but rather by the hands of two creative
young people aged between 20 and 30. They only work in a five-floor ruko
(shop-house) in the Pasar Baru area of Jakarta, which is better known as a shopping
center for textiles and shoes.

This is where Castle Production, which was set up in 1998, has its
headquarters. According to Ardian Elkana-both owner and head of this animation studio,
the largest in all of Indonesia-in the period of a year, Castle produces 13
episodes of 2D animated films and 13 episodes of 3D animated films. For the past
six years, all of these films have been exported and financed by foreign
institutions.

Financing has come from several European countries, such as Spain, France,
England, Germany and Switzerland. The producers and scriptwriters come from
America. "There's no one domestically who is capable of covering the costs
involved," said Ardian, who has a Master of Business Administration degree from the
University of Chicago, USA. This is easy to understand, bearing in mind that
the tariff level per episode is US$40,000 (around Rp370 million).

This tariff is in fact quite small when compared to the level of tariffs of
US animation giant, Disney, which reach some US$300,000. But, due to the fact
that the tariff is low, Indonesia is attracting the attention of financiers who
have started to move their orders from Korea and Taiwan-which are already
considered to be too expensive-to India, China or the Philippines.

Unfortunately, Indonesia is not able of making the greatest use of this
unexpected opportunity. One of the obstacles is the limited amount of qualified
human resources in the animation sector. Compare this with the situation in
India. There, at least 400 animators work in the country's largest animation
company. Not surprisingly therefore, hundreds of animated films can be created and
supplied every year to MGM, Disney or even Universal.

There are also vast opportunities for Indonesia's creative industry in the
multimedia and graphic design sectors. PT Elasitas, which was set up by Calvin
Kizana, 32, certainly showed this by creating the website for Nokia, the
cellular telephone company from Finland.

The design of the Nokia bookmark created by this programmer, who has worked
in both Singapore and the US, has already been translated into 17 languages and
is now used in a total of 35 countries. Because of this success, the company
has continued to develop. Whereas at the start, it only had one computer and
one employee, there are now already 60 workers.

Another source of wealth is its product package-design capability. In this
sector, Indonesia's performance has actually been very encouraging. Proof of
this can be seen in the fact the packaging design for Wall's Ice Cream created by
PT AdMire has been exported to Thailand. As regards price, the owner of
AdMire, Andi S. Boediman, acknowledged that the cost of product and packaging
design in Indonesia is far cheaper than the cost of services offered by foreign
design companies. In Indonesia, one piece of design work is only worth between
Rp10 million and Rp25 million, while for the design of one Blue Band margarine
can in England, the tariff reached Rp800 million.

Andre, who is Chairman of the Digital Graphics Forum, has also pointed out
that Indonesia needs to clean house as soon as possible in order that it will be
able eventually be capable of competing within the global creative industry.
This is because, according to the creator of the first animated logo for the
Seputar Indonesia program on the RCTI television station 10 years ago,
"Compared with Thailand and Malaysia alone, we are already five to 10 years behind."

l l l

THE creative industry, which is based on creativity, expertise and individual
skill, has the potential to bring in prosperity and more new jobs. From the
results of mapping carried out in England, starting from 1998, it is known that
this industry can be regarded as the fastest growing.

In 2002, this sector, which is based on intellectual property rights,
contributed 7.9 percent of England's gross domestic product (GDP). During the
1997-2000 period, this sector grew at an average rate of 9 percent per year-far above
England's average economic growth rate of only 2.8 percent. Every year, this
sector provides new jobs for more than 1.9 million people.

According to Andi, this is the fourth stage in the economic development of a
nation, after going through economic periods based on agriculture, industry
and information. In England, there are 13 sectors in this industry category.
They include advertising, architecture, design, film, music, the performing arts,
television and radio, plus computer services and software.

In terms of development, the growth of the creative industry has been truly
astonishing. Just consider the market value of IBM, Intel and Microsoft.
Together, they are worth 2.3 times more than the automotive industry. Consider also
film giant Disney, whose corporate value has grown from US$2 billion to US$22
billion in a space of only 10 years.

It's even more amazing when one looks at the economic potential that can be
produced by the global games industry. The market value by 2004 alone had
already reached US$20 billion (approximately Rp186 trillion). Even more fantastic
is that this was achieved in a period of only 20 years-growth that was more
than three times faster than that achieved by the Hollywood film industry.

This rapid growth of the games industry was a true blessing for Europe. From
payments for downloads alone, it is estimated that this region will earn
approximately US$2 billion (around Rp18.6 trillion) in 2007, with an annual growth
rate of 25 percent.

Several countries in Asia are also active in the development of their
respective information and digital industries. These include India, Japan, Korea,
Hong Kong and Taiwan, and all have very bright futures. In India, for example,
last year the animation industry had already earned a total of US$1.5 billion
(approximately Rp14 trillion), and will experience annual growth in the region
of 30 percent. In addition, there are the proceeds from between 700 and 800
films that are produced every year.

Aware of this huge future potential, Singapore continues to organize. The
city-state has presented a program planned to develop a creative industrial
center, which is referred to as a creative cluster. The three creative industry
clusters to be developed include media (the Media 21 cluster), design (the Design
Singapore cluster) plus arts and culture (the Renaissance City cluster).

Through this program, the economic base of Singapore will move from an
information economy to a creative economy, by blending together technological
creativity, economic creativity and creativity encompassing arts and culture. The
target is for the contribution from the creative industry to Singapore's GDP to
rise from its current level of 3 percent to between 6 and 7 percent by the
year 2012. "The wish of Singapore is to become what it calls the Renaissance
City, which will eventually be the center of modern Asia," said Linda Hoemar
Abidin, Chairperson of the Administration Board of the Kelola Foundation.

So what does the future hold for Indonesia? Apparently the country's creative
industry has not yet received sufficient serious attention from the
government. "Until now, bureaucrats have only paid any attention to anything that has
an economic source base," said business observer Kafi Kurnia. In fact, the vast
creative potential that is possessed by Indonesia could produce added value
for the economy.

Just consider the potential of the batik, furniture, painting and sculpture
companies stretching across the islands of Java and Bali. Up to now, many
people's companies are in suspended animation but they keep going. As a result, the
added value created by many is now being enjoyed by foreign companies. As an
example, Kafi pointed out that in a boutique in Las Vegas, USA, a single
kebaya (traditional blouse) from Indonesia is for sale with a price tag of some
Rp200 million!

In economic terms, the contribution from the film industry can also be said
not to be that small. Many people have jobs in the production process of
domestic films, of which last year a total of 50 were produced. And remember, the
government has earned its share form these as well. How? Because approximately
20 percent of the proceeds of cinema ticket sales have to be paid in taxes.

This means that from one film alone, for example Ada Apa dengan Cinta, which
earned somewhere around Rp24 billion, approximately Rp5 billion found its way
into the state's coffers. "Half of this was absorbed by the regions," said
Mira Lesmana, producer. "Regional governments are not however aware of this."

Based on this state of affairs, the British Council has started to collect
data on Indonesia's creative industry. From this, according to Yudhi
Soerjoatmodjo, Art Manager of the British Council, "We will end up knowing just how
important its contribution is to the Indonesian economy." -- Metta Dharmasaputra

Wednesday, April 04, 2007

ANTI BISNIS

Setiap pengusaha selalu was-was, untuk mencari lahan baru untuk pertumbuhan bisnis dan laba, yang memungkinkan untuk selalu dipertahankan. Atau “sustainable growth and profit” begitu istilah keren-nya. Lalu dimana mencarinya ? Ini yang bikin mumet. Begitu keluh seorang pengusaha kepada saya. Terus terang kebanyakan pengusaha cenderung merambah ke bisnis lain. Istilahnya pengembangan horizontal atau diversifikasi usaha. Krtiknya cuma satu. Kadang mereka terjebak dibisnis yang bukan bidang keahlian mereka. Melenceng dari “core business”. Lama-lama bisnis mereka menjadi gurita yang merepotkan gerak dan langkah bisnis mereka. Nah, pengusaha tadi minta advis kepada saya. Beliau ingin perspektif baru ala “anti marketing”, yang berpikir terbalik. Apakah ada juga anti bisnis ?

Ini pertanyaan yang menggugah. Karena sesungguhnya memang ada juga “anti bisnis” dalam tanda kutip. Atau pengembangan usaha secara lateral. Kalau kita mau meminjam istilah Edward de Bono. Pionir pemikiran lateral. Beberapa jenis usaha sudah memperlihatkan fenomena dan gejala anti bisnis. Misalnya saja di bisnis “kesehatan” atau “healthcare”, konon bisnis utama yang dulunya adalah merawat dan menyembuhkan orang sakit, kini diancam oleh “anti bisnis”-nya yaitu “wellness”. Bisnis untuk mencegah orang sakit. Bisa anda bayangkan sendiri, berapa potensi dan peluangnya, orang-orang yang takut jatuh sakit. Pasti akan jauh lebih banyak dibanding dengan orang sakit. Seorang dokter berkelakar kepada saya, bahwa saat ini dokter tugasnya adalah merawat orang sakit. Tapi dengan kemajuan teknologi, dan perubahan persepsi, tugas dokter tidak lama lagi, akan terbalik. Yaitu merawat orang sehat agar jangan sampai sakit. Fenomena inilah yang disimpulkan sebagai “anti bisnis” yang baru.

Mpu Peniti pernah punya mengolok-olok saya. Suatu hari saya mengajak beliau bersantai ngopi di Starbucks. Saat kami sedang asyik menikmati kopi. Mpu Peniti juga asyik melihat suasana sekeliling. Disebuah pojok beberapa ibu-ibu sedang asyik bergosip ria, sambil merokok bersama-sama. Dibeberapa pojok yang berbeda, ada pula sekelompok anak muda yang sedang bercanda riang. Tak ketinggalan ada beberapa pasang muda-mudi yang nampak asyik berpacaran. “Ini, edan total”, begitu sanggah Mpu Peniti. Menurut beliau, dulu ngopi semata-mata adalah kegiatan untuk menghilangkan ngantuk. Bangun pagi, kalau ngantuk, dan masih lesu, maka kita minum kopi. Pas dengan fungsi kopi sebagai stimulan. Eh, sekarang terbalik. Kita justru ke cafĂ©, untuk relax sembari minum kopi. Kalau dipikir-pikir betul juga analisa beliau. Konsep terbalik seperti ini justru malah sukses.

Jangan-jangan, kemunculan film-film horor yang sedang laris manis saat ini, juga fenomena “anti film” yang baru. Bayangkan saja, dulu kalau kita nonton film kita justru pengen mendapatkan hiburan. Film komedi membuat kita tertawa. Film action membuat kita tegang. Dan film drama membuat kita menangis. Tertawa, tegang dan menangis merupakan pakem lama film yang mendefinisikan hiburan yang melegakan. Kriteria kita menonton film juga cukup kompleks, mulai dari jalinan cerita, aktor dan aktris terkenal yang menjadi pemeran utama, hingga musik dan sutradaranya. Tapi kalau film horor, mungkin semuanya bertolak belakang dengan semua pakem itu. Seorang psikolog anak, mengatakan pada saya, bahwa serem dan kaget adalah jenis hiburan baru. Ironisnya seorang sutradara film menuturkan bahwa membuat film horor saat ini, jauh lebih mudah. Jumlah hari untuk shooting biasanya lebih pendek. Aktor dan aktris tidak perlu terlalu yang terkenal sekali. Karena tuntutan berakting seringkali juga lebih sederhana. Yang penting bisa berteriak dan memperlihatkan ekspresi muka ketakutan.

Dalam bisnis media, juga sudah muncul banyak “anti televisi”. Misalnya saja MTV. Yang menyuguhkan musik seratus persen. Atau CNN yang menyajikan berita terus menerus. Konon baik MTV dan CNN lebih mirip dengan akuarium. Hampir tiap kamar tidur anak-anak remaja di kelas menengah atas, selalu akan ada TV kecil. TV kecil ini mirip akuarium. Biasanya sepulang sekolah, ketika mereka masuk kamar dan mengerjakan PR, mereka menyalakan TV dan saluran yang mereka pilih adalah MTV. Kalau mereka menyetel saluran lain, mungkin perhatian mereka harus terpaku kepada TV tersebut. Lain dengan MTV, cukup kita dengarkan musik dan lagunya. Sang remaja masih bisa mengerjakan kegiataan lain. Kalau kebetulan musiknya enak, sang remaja baru menoleh dan menyimak MTV. Bila tidak ia lanjut mengerjakan kegiataan lain. Saya mengalami hal yang sama dengan CNN. Setiap kali bertugas keluar kota, masuk hotel, otomatis ketika saya menyetel televisi, CNN menjadi opsi pertama saya. Betul-betul mirip akuarium. Yang menemani saya agar tidak sepi. Sayapun hanya sesekali melihat dan menyimak CNN, itupun kalau saya mendengar berita yang menarik buat saya. Selebihnya biasanya CNN hanya menemani saya, saat saya bekerja di komputer jinjing saya. Televisi yang tadinya memaku perhatian kita dengan membuat kita menonton, kini kehadirannya diperkaya dengan “anti televisi” yang hanya membuat kita sesekali menonton. Selebihnya mereka hanya menjadi teman akrab yang mirip dengan akuarium. “Anti bisnis” baru menjadi fenomena yang tabirnya terbuka sedikit demi sedikit. Untuk bisa memanfaatkannya, memang anda harus berpikir lateral. Bukan horizontal atau vertikal biasa.