Wednesday, March 31, 2010

JAGOAN DAN PAHLAWAN PERANG



Satu bukti bagaimana film mampu menjadi alat peraga visual yang sangat ampuh untuk mengubah persepsi kita, barangkali adalah kasus bagaimana Amerika melahirkan pahlawan dan jagoan perang. Amerika yang terlibat begitu banyak perang moderen sejak Perang Dunia ke II, seperti perang Korea, Vietnam, Afganistan dan Irak. Sebagian pahlawan dan jagoan perang itu dilahirkan dengan latar belakang perang yang lebih kental dengan sejarah sesungguhnya. Sebagian besar lagi malah lewat khayalan dan imajinasi belaka.

Tengok saja film layar lebar yang berseri “Rambo” - diperani oleh Sylvester Stallone atau serial yang mirip “Missing in Action” yang diperani oleh Chuck Norris. Keduanya lebih mirip disebut jagoan perang daripada pahlwan perang. Tentu saja hanya dalam konsep film yang mereka lakoni. Hebatnya perang menjadi bahan baku dan sumber inspirasi Hollywood dalam mencetak ‘box office’. Seorang kritikus budaya yang belum lama ini ngobrol dengan saya di Portland secara sinis menyindir, bahwa berapa-pun kerusakan dan kekalahan Amerika dalam perang moderen, Hollywood akan membuatnya menjadi sangat ‘glamour’ dan menjadi kemenangan yang fantastis. Barangkali sebuah pengamatan yang unik, tetapi terasa bijak. Dimanapun titik kompromi-nya nanti.

Ketika saya masih kuliah, film serial favorite saya adalah M*A*S*H. Serial komedi tentang sejumlah dokter yang bertugas di perang Korea. Lucu dengan sejumlah kegila-an yang selalu menggelitik. Perang Korea sendiri hanya berlangsung 3 tahun dari tahun 1950-1953. Namun film serial M*A*S*H berlangsung jauh lebih lama yaitu selama 11 tahun. Premierenya berlangsung pada September 17, 1972, episode terakhir ditayangkan pada February 28, 1983. Ketika episode terakhir ditayangkan tercatat hampir 106 juta pemirsa menonton episode yang terakhir ini. Konon saking tegangnya episode terakhir ini, kebanyakan pemirsa ogah ke WC karena takut ketinggalan cerita. Ketika film berakhir mereka ramai-ramai ke WC sehingga akibatnya PAM di Amerika terkejut, karena pipa ledeng bertegangan tinggi mereka kehilangan “pressure” tiba-tiba, karena saking banyaknya orang ke WC dalam saat yang sama. Jumlah penonton 106 juta itu konon menjadi rekor tersendiri. Dan bertahan selama hampir 40 tahun. Baru terpecahkan oleh final The Superbowl terakhir February 2010. Dimana jumlah penontonnya melebihi 106 juta orang. Film serial M*A*S*H, memang menggelikan dan luar biasa, bagaimana Amerika menjadikan perang sebuah parodi selama 11 tahun dan menghapus sebagian kenangan buruk yang ada.

Tidak semua film perang yang hadir, memang memiliki pesan yang sama-sama membuat perang menjadi ‘glamour’ dan mencetak pahlawan serta jagoan perang. Dua film perang favorit saya yaitu ‘Apocalypse Now’ karya Coppolla dan ‘Black Hawk Down’ karya Ridley Scott, memiliki arah yang rada terbalik. Film ini sangat ‘intense’ namun barangkali lebih tepat kalau dikatakan menggambarkan perang dari segi tragedi dan kekejam-an yang mencengkram setiap perang. Sutradara beken Steven Spielberg juga penikmat film perang. Dalam karya-nya tahun 1998 “Saving Private Ryan” yang sekaligus memberikan Oscar sebagai sutradara terbaik kepada Steven Spielberg, tokoh kepahlawanan itu tampil lebih manusia dan dengan cerita beda. Tidak lagi siapa yang menjadi pahlawan atau jagoan perang, tetapi setiap prajurit dalam setiap perang, memiliki aksi patriotisme dan kepahlawan sendiri-sendiri. Film yang memenangkan 4 piala Oscar, akhirnya menjadi titik baru dalam bercerita sebuah film perang. Yaitu manusia dalam sebuah perang. Yang kadang terperangkap tidak sengaja. Spielberg sendiri lewat perusahaan film Dreamworks, pada tahun 2001 menayangkan serial film perang lainnya yaitu "Band of Brothers". Dan kini bersama Tom Hanks memproduksi sebuah serial film perang lagi yaitu “The Pacific” yang sedang tayang lewat saluran HBO.

Plot ini tak lama kemudian menjadi ‘trendy’ dan dirasakan memiliki kekuatan naratif yang lebih kuat dan kental. Film perang tidak lagi harus dengan bujet besar dan ‘special effect’ yang melibatkan banyak orang, dan peralatan perang yang sangat merepotkan. Sutradara Antoine Fuqua membuat film perang “Tear of the Sun” dengan aktor Bruce Willis dan Monica Belluci tahun 2003, dengan plot cerita seorang Letnan Navy Seal yang terperangkap perang saudara di Nigeria, dan harus membebaskan sejumlah orang-orang sipil. Diakhir cerita, sehabis menonton film ini kita mungkin menjadi maklum, bahwa “Tear of the Sun” bukanlah film perang, tetapi manusia dalam sebuah perang. Dan kitapun menikmati drama dan polesan tragedi yang terjadi. Saya sendiri menikmati film ini. Sebagian dan kebanyakan kritikus film justru mengkritik pedas film ini.

Ketika Amerika terlibat perang di Afganistan dan Irak, semua orang memastikan, bahwa hanya waktu yang akan menentukan, kapan sejumlah film perang dari Afganistan dan Irak akan muncul dan meramaikan pasar. Dugaan itu langsung menjadi kenyataan ketika sutradara perempuan Kathryn Bigelow memproduksi film “THE HURT LOCKER”. Film ini menceritakan tentang satu regu penjinak bom di Irak. Mengambil latar belakang cerita dikisaran tahun 2004, setelah Amerika menyerang Irak, dan Irak diguncang sejumlah serangan bom bunuh diri. Dua minggu yang lalu di Seattle, saya berkesempatan menonton “THE HURT LOCKER”. Film ini memang bagus, dengan racikan sinematografi yang polos namun sesuai dengan kebutuhan narasi cerita. Walaupun begitu plot cerita terasa sangat sederhana. Dan film ini tidak menampilkan aktor-aktor beken dengan penampilan dan penokohan peran yang raksasa. Beda misalnya dengan film “The Deer Hunter” yang memenangkan 5 piala Oscar, bercerita tentang perang Vietnam dan ditampilkan dengan aktor beken dan tampilan yang lebih puitis.

Terus terang saya tadinya mengharapkan sesuatu yang lebih “nyosss” dari film ini. Namun diakhir film dan perenungan saya, akhirnya saya ikut kompromi. Bahwa ini film bagus dan pantas memenangkan 6 piala Oscar. Walaupun beberapa diantaranya barangkali diberikan karena alasan kebenaran yang politis dan sopan. Saya sendiri berniat untuk menonton-nya kembali 2-3 kali lagi. Sukur-sukur kalau DVD atau Blue Ray yang beredar nanti akan mucul Uncut Version yang lebih panjang dan “intense”.

“THE HURT LOCKER” adalah istilah yang muncul pada perang Vietnam, tentang mereka yang cidera dan dipulangkan. Sutradara Kathryn Bigelow, menuturkan cerita tentang seorang veteran penjinak bom yang sudah berpengalaman, Sersan William James. Dalam film diungkapkan seolah-olah James ketagihan menjinakan bom. James misalnya memiliki sebuah kotak yang berisi berbagai jenis pemicu bom yang berhasil ia jinakan. James berkomentar, bahwa kotak itu berisi benda-benda yang semuanya hampir membunuhnya. Tingkah laku James sehari-hari juga ditampilkan cukup ugal-ugalan. Misalnya dalam satu adegan diperlihatkan ia melepas baju anti bomnya. Kata James didalam film, bom yang sedemekian banyak ‘toh’ akan membunuhnya dengan atau tanpa baju anti bom. Ia melanjutkan bahwa kalaupun ia harus mati, ia ingin mati dengan nyaman. Mungkinkah ini jagoan dan sekaligus pahlawan perang baru ciptaan Kathryn Bigelow ?

Kalau anda menonton film “THE HURT LOCKER”, maka pada awal layar dibuka ada sebuah kutipan dari buku laris karya Chirs Hedges - ’War Is a Force That Gives Us Meaning’ : "The rush of battle is a potent and often lethal addiction, for war is a drug." Mungkinkah perang adalah narkotik yang membuat kita ketagihan ? “THE HURT LOCKER” ditutup dengan elegan dalam sebuah adegan dimana James bermain dengan anaknya. Didalam adegan ini James mengaku bahwa dalam hidup ini tinggal satu yang ia cintai dan yang ia mahiri. Yaitu barangkali menjinakan bom. Dan akhirnya James kembali ke Irak untuk tugas satu tahun berikutnya.

Monday, March 29, 2010

MENJADI ORANG GILA YANG BERBAHAGIA



Saya sudah mengenal Simon hampir 20 tahun. Orangnya sederhana. Pekerja keras. Tidak mudah menyerah. Walaupun pendidikan-nya tidak tinggi, ia mudah bergaul dengan siapa saja. Barangkali ini yang menjadi sejumlah kombinasi mematikan sehingga istrinya jatuh cinta pada Simon pertama kalinya dan menikah. Istri Simon berpendidikan jauh lebih tinggi. Dan dari keluarga dengan ekonomi yang jauh lebih baik. Terdengar klise, tapi inilah realita sebagian besar keluarga menengah di kota-kota besar. Termasuk Singapura dimana Simon dan keluarganya tinggal.

Ketika mulai menikah, Simon bekerja hanya sebagai pegawai biasa disebuah perusahaan iklan. Istrinya beda. Karirnya meroket dan berhasil menjadi manager disebuah perusahaan menengah dengan gaji lumayan. Awalnya mereka berdua cukup berbahagia. Mereka dikarunia sepasang anak pria dan wanita. Perkawinan mereka terlihat sempurna. Keluarga kelas menengah yang sedang menanjak derajat kesejahtera-annya. Tak lama kemudian, Simon keluar dari pekerjaan-nya karena ia mendapat pekerjaan yang lebih baik. Simon menjadi seorang entrepener. Istrinya sangat gembira. Penghasilan Simon masih tetap kalah dibanding dengan istrinya. Mobil-nya pun kalah bagus dengan istrinya. Di Singapura konon ini adalah hal yang cukup biasa.

Namun karena keduanya berasal dari etnik Tionghoa, bisik-bisik yang miring tetap saja masih terdengar. Bahwa istrinya lebih perkasa dari Simon. Awalnya mereka tidak peduli. Tak lama kemudian, Simon kehilangan usaha-nya. Maklum di Singapura kompetisi sangat ketat. Paman Simon memberi semangat dan mengusulkan agar Simon mengambil alih usaha paman-nya. Sang paman sendiri mau berusaha bisnis yang lain di China. Simon tersanjung. Simon melihat celah baru. Ia akan bisa menandingi istrinya. Awalnya memang demikian. Tahun pertama Simon berhasil ganti mobil baru. Ia mabuk sukses. Istrinya awalnya ikut berbahagia bersama keluarga.

Tahun ketiga, ternyata paman Simon punya rencana busuk. Ia tega menipu Simon. Perusahaan bangkrut dan Simon dikejar hutang yang cukup banyak. Situasi inilah yang kemudian menjadi bara yang mengawali api besar yang menghancurkan rumah tangga Simon. Ibarat parlemen, istrinya mulai menyalahkan Simon. Seribu satu kesalahan ditumpahkan kepada Simon. Sehingga akhirnya mereka pisah ranjang. Mereka hidup serumah tetapi tidak saling bicara. Simon harus mengurus dirinya sendiri. Mulai dari memasak hingga mencuci bajunya. Ia juga mulai kerja serabutan. Apa saja asal menghasilkan uang. Kehidupannya sedemikian miris, sehingga Simon harus meminjam uang kepada saya setiap kali anaknya ulang tahun atau ketika menjelang Natal dan Imlek. Simon tidak punya tabungan dan uang lebih untuk membeli hadiah atau sekedar kado buat anak-anaknya.

Celakanya pula, beda pendidikan dan status diantara mereka yang cukup lebar itu, yang awalnya biasa-biasa saja, lalu menjadi masalah besar ketika mereka cekcok. Mpu Peniti, pernah sekali bercerita kepada saya, bahwa secara omong besar, katakanlah seorang Presiden yang sangat cerdas dan terpelajar bisa saja bergaul dengan rakyat dari segala golongan. Lapisan bawah, menengah dan atas – tidak akan ada masalah. Kalau situasinya damai dan hanya untuk ala kadarnya saja. Tapi lain perkara kalau mereka harus berdebat, dan berselisih. Perdebatan dan perselisihan itu bagaikan air dan minyak. Cara berpikir yang sangat berbeda membuat perselisihan dan perdebatan mereka menjadi runyam dan ruwet bukan kepalang. Itu yang diceritakan Simon kepada saya. Bahwa ketika mereka akur-akur saja, komunikasi mereka baik-baik saja. Tetapi ketika mereka berselisih, berdebat dan bertengkar, Simon merasa tidak mengenal siapa sebenarnya sang istrinya itu.

Lima tahun lebih Simon pisah ranjang. Ia sangat menderita. Namun ia adalah orang baik. Tiap bulan ia berusaha memenuhi nafkah ekonomi kepada keluarganya tanpa kurang satu sen pun. Ia bercerita seringkali ia berhemat hanya makan roti dan mie instan demi keluarganya. Betapa sering dalam situasi yang serba sulit itu ia merasa hampir gila saking putus asanya. Tetapi untunglah Tuhan selalu memberikan kekuatan yang tersembunyi. Dan selalu disaat-saat yang istimewa. Setiap kali Simon pulang kerumah dimalam hari dan melihat kedua anaknya belajar, Simon selalu saja tersentak dan seolah ia merasa mampu mengintip masa depan-nya. Hal ini yang membuat ia bertahan, tidak menyerah dan tetap berjuang hingga kini.

Minggu lalu, ketika saya singgah di Singapore dalam perjalanan menuju Seattle, Simon mengirim SMS dan mengajak makan. Kami ngobrol panjang lebar. Simon kini memiliki 3 pekerjaan. Pagi ia bekerja di perusahaan kurir. Siang hari ia berkerja mengurus administrasi di sebuah perusahaan kecil. Dan malam hari ia bekerja sebagai tele-marketing disebuah perusahaan asuransi. Yang membuat saya terkejut adalah perkataan Simon, sebelum kami berpisah. Ia bercerita bahwa akhirnya istrinya memutuskan untuk bercerai, dan Simon juga sudah setuju. Awalnya saya sedih mendengarnya. Karena dalam hati kecil saya, selalu terbesit harapan dan optimisme bahwa mereka suatu hari akan rujuk kembali dan rumah tangga mereka akan utuh lagi. Harapan itu pupus sudah.

Sebelum kami berpisah, Simon sembari tersenyum mengatakan : “Biarkanlah saya menjadi orang gila yang berbahagia !” Saya ikut tersenyum getir mendengar komentarnya. Kalimat itu nempel pada saya berhari-hari. Mulanya saya tidak mengerti seluruh ungkapan itu. Dalam perjalanan dari Portland ke San Francisco, dipesawat saya teringat wajah seorang gelandangan yang sering lewat rumah saya. Kata orang-orang, ia menjadi gelandangan karena pikiran-nya kurang waras. Istilah populer di masyarakat “orgil” atau orang gila. Namun gelandangan ini agak berbeda. Ia tidak pernah terlihat marah-marah atau maki-maki sendirian. Wajahnya cukup lumayan. Setiap beberapa bulan ia berganti pakaian baru. Seperti masih ada keluarga yang menjaga dan mengatur hidupnya. Saya sering melihatnya disudut-sudut perempatan, duduk sembari merokok. Yang menakjubkan adalah roman mukanya yang selalu terlihat gembira dan berbahagia. Sesekali terkadang saya juga melihatnya tersenyum. Entah apa perasaan-nya, siapapun tidak akan pernah tahu. Barangkali ketidak sempurna-annya berpikir yang waras, merupakan taktik survivalnya menghadapi hidup yang sangat keras ini.

Bahwa dalam hidup ini, seperti Simon dan gelandangan itu, kebahagian kita tidak melulu harus berada ditempat yang pas dan semestinya. Karena kadang kebahagian kita itu disembunyikan Tuhan dengan eloknya, agar bisa kita mengerti dan kita nikmati dalam pigura dan arti yang sangat pribadi. Pada saat itulah kita merasakan, sesungguhnya bagaimana Tuhan telah merawat dan menjaga kita masing-masing. Dalam cara yang selalu msiterius dan tidak mungkin kita mengerti.

Saturday, March 06, 2010

BUDAYA MALU TRIAD, MAFIA DAN YAKUZA



Sehabis menonton drama politik selama lebih dua bulan, teman saya yang juga seorang akademisi budaya, akhirnya cuma bisa geleng-geleng kepala. Entah dia binggung. Atau dia takjub luar biasa. Lalu ia-pun mendongeng. Sebuah cerita lama, yang dulu pernah juga saya dengar lewat ayah saya. Konon suatu hari Dr. Sun Yat Sen, seorang tokoh reformis yang membawa Tiongkok ke pemikiran moderen di dasa warsa 20’an, pernah sekali ikut dalam sebuah perjalanan naik kapal. Ketika berjalan-jalan didek kapal, seorang penumpang dengan se-enaknya meludah kelantai dek kapal. Meludah seenaknya, awalnya adalah kebiasaan yang umum bagi orang Tionghoa. Namun terlihat sangat menjijikan. Dan sering menjadi bahan ejekan, terutama di Barat. Dr. Sun Yat Sen, yang menyaksikan peristiwa itu, akhirnya mengeluarkan sapu tangan-nya, membungkuk dengan rendah hati dan menyeka bekas ludah dilantai dek kapal. Tanpa jijik sekalipun sapu tangan itu dimasuk-kan-nya kembali ke saku celananya. Semua saksi yang melihat peristiwa itu tertegun. Tak lama kemudian cerita ini melegenda. Cerita yang membuktikan kebesaran jiwa Dr. Sun Yat Sen. Yang bersedia menanggung malu dan berjiwa kesatria sekaligus.

Setelah peristiwa ini, banyak pihak yang terinspirasi. Hampir semua restoran dan tempat publik sekitar tahun 1930’an akhirnya menyediakan tempolong untuk orang meludah. Di Tea House Luk Yu di Central - Hong Kong, yang berdiri tahun 1933, dan yang hingga kini tetap menjadi restoran Dim Sum terbaik di Hong Kong, anda masih bisa menyaksikan saksi sejarah, dimana hampir disetiap samping meja dan kursi, disediakan tempolong untuk orang meludah.

Yang unik, konon menurut cerita dari mulut kemulut, Dr. Sun Yat Sen, memiliki pertalian dengan organisasi bawah tanah ‘Triad’ pada awalnya. Organisasi Triad kini dikenal sebagai kelompok Mafia dari Tiongkok dan menyebar kemana-mana. Pada tahun 1760 di Tiongkok berdiri sebuah komunitas yang disebut Tian Di Hui atau komunitas bumi dan langit. Awalnya komunitas ini menjadi gerakan bawah tanah untuk menggulingkan pemerintahan Man-Chu dan bercita-cita untuk mengembalikan kejayaan pemerintahan HAN. Setelah menyebar kemana-mana, kemudian komunitas ini berevolusi menjadi komunitas “Sanhehui”, yang artinya 3 masyarakat harmonis antara manusia, bumi dan langit. Organisasi ini menggunakan segi tiga sebagai identitas diantara sesama anggota. Pemerintahan kolonial Inggris yang kemudian menyebut organisasi ini sebagai ‘Triad’. Uniknya organisasi seperti ini sangat memegang teguh kode etik jiwa kesatria dan kehormatan. Kalau kita menyelami 36 pasal janji seorang anggota “Sanhehui”, semuanya dipenuhi dengan sumpah untuk menjadi orang yang terhormat dan berjiwa kesatria penuh.

Mungkinkah sikap yang diperlihatkan Dr. Sun Yat Sen itu juga merupakan refleksi kode etik yang dipelajarinya dari “Sanhehui” ? Sesuatu yang dianutnya dengan penuh penghayatan ? Teman saya, yang akademisi budaya ini, secara nakal bercerita bahwa anehnya, hampir semua kelompok mafia di muka bumi ini juga memiliki kode yang mirip, tentang pentingnya menjunjung kehormatan dan jiwa kesatria. Sebagai contoh, teman saya juga mencontohkan bahwa tahun lalu sutradara film Francesco Sbano, berhasil membuat sebuah film dokumenter yang sangat kontroversial tentang Mafia Calabrian yang berjudul “Uomini d’ Onore” atau manusia-manusia terhormat. Bertahun-tahun Francesco Sbano, melakukan riset dan secara sabar dan perlahan-lahan berhasil masuk ke organisasi mafia yang disebut ‘Onorata Societa’ atau organisasi terhormat. Komunitas Mafia atau yang disebut dengan ‘Onorata Societa’ ini, konon berawal dari pergerakan melawan situasi putus asa dan kemiskinan di wilayah Naples dan Palermo. Malah ada cerita unik, bahwa sebenarnya Sekutu juga menggunakan Mafia untuk menyiapkan penyerbuan terakhir mereka di Eropa pada perang dunia ke II. Kelompok Mafia juga menjunjung kode etik yang sama, tentang kehormatan dan jiwa kesatria. Salah satu kode etik mereka yang sangat terkenal adalah ‘Omerta’, atau konspirasi berdiam diri. Bilamana salah satu diantara mereka tertangkap, mereka pantang untuk nyanyi dan membeberkan rahasia anggota yang lain. ‘Omerta’ adalah gerakan tutup mulut yang hingga kini tetap dijunjung tinggi. Tidak ada dalam kamus mereka untuk berkhianat diantara sesama teman.

Yakuza, kelompok mafia di Jepang juga memiliki kode etik yang sangat mirip. Dalam tradisi Yakuza dikenal sebutan ‘machi-yakko’ atau penjahat kesatria. Didalam ‘machi-yakko’ , tergabung sejumlah nilai-nilai kode etik seorang samurai yang memiliki loyalitas, kehormatan, keberanian, tanggung jawab dan kegigihan. Satu ritual yang dipegang hingga kini sebagai perwujudan tanggung jawab dan budaya malu, adalah ‘seppuku’ atau ritual bunuh diri. ‘Seppuku’ sendiri merupakan bagian dari kode etik para samurai yang disebut Bushido. Budaya malu juga sering menjadi alasan, pemimpin usaha dan politis mundur dengan elegan di Jepang. Terutama setelah mereka merasa bersalah, tidak mampu dan sebagai bentuk tanggung jawab. Barangkali juga rahasia sukses Jepang dalam bernegara dan menjadi kekuatan ekonomi dunia terpatri dalam nilai-nilai budaya tersebut.

Belum lama ini Toyota menarik kembali, lebih dari 4 juta mobil produk mereka, karena kesalahan tekhnis produksi. Biaya yang mereka harus telan jumlah tak terkira-kan hingga milliaran dolar. Toyota dikritik habis-habisan. Mereka beresiko menghancurkan salah satu merek terbaik dan termahal didunia. Banyak praktisi PR yang mengkritik cara-cara mereka. Namun Toyota tidak peduli dan tetap jalan terus. Saya sendiri kagum. Tetapi itulah bentuk perwujudan budaya malu dan disiplin bertanggung jawab. Jiwa kesatria dan menjunjung sebuah kehormatan.

Sifat-sifat kemuliaan yang diperlihatkan Triad, Mafia dan Yakuza, barangkali kunci terpenting survival keberhasilan baik ‘leadership’ dan kesinambungan hidup organisasi mereka. Terlepas perkembangan jaman yang akhirnya membuat Triad, Mafia dan Yakuza bersebrangan dengan hukum pada umumnya, barangkali ada nilai-nilai luhur yang bisa dicontek para politisi tentang kehormatan, budaya malu dan jiwa kesatria. Mungkinkah ada pejabat kita yang segera mengundurkan diri, karena malu dan berjiwa kesatria dalam kasus skandal Bank Century ? Begitu teman saya mengakhiri dongeng-nya dengan sebuah harapan dan pertanyaan. Tinggal saya yang geleng-geleng kepala. Bingung bercampur takjub.

Thursday, March 04, 2010

Tuesday, March 02, 2010

ILMU KECOA DARWIN



Charles Darwin, biang teori evolusi, sekali pernah berkata, bahwa spesies mahluk hidup yang paling sukses bertahan terhadap perubahan jaman, seringkali bukanlah yang terkuat fisiknya. Juga bukan pula yang paling cerdas. Melainkan percaya atau tidak adalah species yang paling pandai bereaksi terhadap perubahan dan beradaptasi terhadap perubahan itu sendiri. Terus terang Darwin bukan asal ‘ngomong’ begitu saja tanpa bukti. Salah satu spesies mahluk hidup yang telah bertahan lebih dari 300 – 350 juta tahun percaya atau tidak adalah kecoa.

Anda boleh merasa jijik, atau tertawa mendengarnya. Tetapi kecoa yang mungkin anda anggap enteng dan mahluk tidak berguna, alias hama yang mengganggu, ternyata punya kemampuan survival yang mengagumkan. Sebagai contoh kecoa sanggup bertahan pada suhu yang ekstrem. Bahkan mendekati titik beku sekalipun, kecoa masih bisa bertahan hidup. Kecoa sanggup puasa tanpa makanan selama sebulan. Dan sanggup menahan nafas selama 40 menit.

Seringkali anda kesal, apabila sudah menginjak kecoa, dan kepalanya putus, sang kecoa masih tetap hidup ? Teorinya kecoa sanggup hidup tanpa kepala selama seminggu, karena otaknya tidak berada dikepala tetapi diseluruh badan-nya. Kecoa betina cukup dibuahi sekali dalam seumur hidupnya, maka setelah itu ia akan hamil terus menerus selama hidupnya. Kemampuan-nya yang sedemkian luar biasa inilah yang membuat kecoa mampu ‘survive’ dan bertahan sedemikian lama hampir-hampir mengalahkan sejarah.

Meminjam teori Darwin ini, perubahan disekeliling kita memiliki strategi dan taktik yang sangat mirip. Siapapun yang tetap berjaya, karena mahir menyiasati perubahan. Gagal berubah, bayaran-nya musnah seketika. Seorang pengusaha kuliner dari Medan, minggu lalu mengajak saya makan sate kambing. Sepanjang bersantap kami cerita ‘ngalor ngidul’. Sang pengusaha bercerita tentang trend Rumah Makan Padang di Indonesia, sebuah pengamatan yang ia tekuni semenjak sekolah dasar. Dengan kagum beliau bercerita, bahwa Rumah Makan Padang hingga kini tetap ‘survive’ dan berkembang dengan sangat agresif dimana-mana. Harus diakui, konsep Rumah Makan Padang, sama persis dengan konsep ‘fast-food’ ala barat. Barangkali itu salah satu kehebatan-nya. Langsung dihidangkan. Konsumen tinggal memilih. Praktis dan sangat populer.

Rumah Makan Padang kalau boleh dibilang, telah mengalami evolusi yang lumayan panjang. Misalnya saja isi dan menu-nya yang semakin bervariasi. Banyak Rumah Makan Padang yang telah mengadopsi menu-menu tertentu, sebagai reaksi menjawab perubahan jaman. Yang menarik, Rumah Makan Padang tidak saja ber-evolusi secara horizontal, tetapi juga berevolusi secara vertikal. Artinya ada Rumah Makan Padang kelas kampung, yang sangat murah dan harganya terjangkau, tetapi ada juga beberapa Rumah Makan Padang di Mall dan Hotel, yang konsepnya mewah dan moderen. Katakanlah ini Rumah Makan Padang kelas elite. Dikampung-kampung banyak pula Rumah Makan Padang hanya dengan modal gerobak. Ada pula yang ‘hybrid’, ¾ masakan Padang + ¼ masakan Jawa. Atau yang ½ masakan Padang + ½ lagi masakan campur-campur. Pokoknya Rumah Makan Padang ada dimana-mana dengan berbagai versi.

Namun ada satu fenomena evolusi Rumah Makan Padang, yang menurut teman saya cukup menggelitik. Begini ceritanya; sepuluh tahun atau katakanlah sebelum kita tergila-gila minum air mineral, setiap kali kita masuk dan duduk di Rumah Makan Padang, kita biasanya langsung diberikan air putih atau air teh panas. Gratis dan tanpa kita minta. Tapi jaman telah beda. Air mineral harganya bisa 15 ribu rupiah. Maka Rumah Makan Padang ikut berevolusi. Kini kalau anda masuk Rumah Makan Padang, pertama kali yang ditawarkan mereka adalah anda ingin minum jus buah apa ? Ini taktik dagang mereka. Karena jus buah cukup mahal, populer karena memiliki kesan yang sehat, sehingga menguntungkan Rumah Makan Padang. Air putih dan teh hangat tawar tidak lagi disajikan gratis. Uniknya air mineral dalam botol, kini langsung disajikan dan diletakan diatas meja bersama kerupuk. Ini juga taktik dagang mereka yang terbaru. Setelah anda minum jus buah, makan masakan Padang yang pedas, anda akan mengambil dan minum air mineral didalam botol secara otomatis. Dengan begitu anda minimal minum 2 macam minuman selama anda bersantap. Buat Rumah Makan Padang jaman yang berubah, dengan evolusi yang berubah, akhirnya membuat sikap mereka berubah, dan penghasilan mereka bertambah. Kalau anda tidak menyadari fenomena ini, perhatikan kalau besok-besok anda bersantap di Rumah Makan Padang.

Dr. Neale Martin, seorang konsultan pemasaran di Amerika menulis sebuah buku yang sangat menarik, judulnya “Habit: The 95% of Behaviour Marketers Ignore”. Menulis, bahwa kita sebagai pemasar, seringkali melupakan konsumen kita yang telah berubah dan berevolusi panjang. Atau kalaupun kita sadar, seringkali kita melihatnya dengan kaca mata yang cenderung sangat rumit. Padahal seringkali seperti kata Darwin, perubahan itu dialami lebih sederhana, hanya sebagai kemampuan ber-reaksi tanpa kekuatan dan tanpa kecerdasan. Persis kecoa. Perubahan itu menjadi sebuah rentetan peristiwa yang membuat kebiasaan kita berubah. Seringkali tanpa kita sadari. Dan terjadi begitu saja. Hampir boleh dikatakan alamiah dan otomatis.

Belum lama ini kantor berita CNN membuat sebuah laporan tentang trend pertumbuhan Blackberry yang fenomenal di Indonesia. Dengan pemakai telpon selular diatas 120 juta orang bayangkan masa depan Blackberry di Indonesia ? Akan sangat luar biasa. Tetapi sebagai konsumen, perubahan yang mengubah kebiasaan kita ini, hampir tidak pernah kita pertanyakan. Sebagai konsumen kita menerimanya sebagai evolusi yang normal-normal saja. Seorang anak ABG di sebuah mall, pernah saya tanya, mengapa ia tertarik menggunakan Blackberry. Sambil mengangkat bahu, ia menjawab acuh tak acuh “Abis …. Semuanya pake Blackberry. Masa aku ngak pake ???” Saya-pun tertawa mendengarnya.

Teman saya yang berkerja disebuah perusahaan telekomunikasi, bergurau bahwa mestinya Blackberry berterima kasih dengan sejumlah perusahaan yang menciptakan tiruan Blackberry dari China. Karena ibaratnya api, merekalah yang menuangkan bensin dan membuat Blackberry mania menjadi semakin hebat di Indonesia. Tanpa mereka sadar sebenarnya ini proses aliansi yang sangat menguntungkan. Secara alamiah Blackberry China yang palsu menciptakan proses edukasi dan training yang gratis. Sehingga konsumen terbiasa menggunakan alat mirip Blackberry. Nah, suatu hari kalau mereka sudah terbiasa, dan punya sedikit rejeki, bukan tidak mungkin mereka akan membeli Blackberry yang asli.

Kita tidak akan pernah bisa lolos dari perubahan. Itu sebabnya perubahan mesti kita siasati dengan bijak. Apakah kita tetap survive dan bisa memanfaatkan perubahan ? Atau kita dikalahkan perubahan dan musnah sekaligus ! Dititik ini barangkali kita semua perlu belajar pada kecoa.