Saturday, March 06, 2010

BUDAYA MALU TRIAD, MAFIA DAN YAKUZA



Sehabis menonton drama politik selama lebih dua bulan, teman saya yang juga seorang akademisi budaya, akhirnya cuma bisa geleng-geleng kepala. Entah dia binggung. Atau dia takjub luar biasa. Lalu ia-pun mendongeng. Sebuah cerita lama, yang dulu pernah juga saya dengar lewat ayah saya. Konon suatu hari Dr. Sun Yat Sen, seorang tokoh reformis yang membawa Tiongkok ke pemikiran moderen di dasa warsa 20’an, pernah sekali ikut dalam sebuah perjalanan naik kapal. Ketika berjalan-jalan didek kapal, seorang penumpang dengan se-enaknya meludah kelantai dek kapal. Meludah seenaknya, awalnya adalah kebiasaan yang umum bagi orang Tionghoa. Namun terlihat sangat menjijikan. Dan sering menjadi bahan ejekan, terutama di Barat. Dr. Sun Yat Sen, yang menyaksikan peristiwa itu, akhirnya mengeluarkan sapu tangan-nya, membungkuk dengan rendah hati dan menyeka bekas ludah dilantai dek kapal. Tanpa jijik sekalipun sapu tangan itu dimasuk-kan-nya kembali ke saku celananya. Semua saksi yang melihat peristiwa itu tertegun. Tak lama kemudian cerita ini melegenda. Cerita yang membuktikan kebesaran jiwa Dr. Sun Yat Sen. Yang bersedia menanggung malu dan berjiwa kesatria sekaligus.

Setelah peristiwa ini, banyak pihak yang terinspirasi. Hampir semua restoran dan tempat publik sekitar tahun 1930’an akhirnya menyediakan tempolong untuk orang meludah. Di Tea House Luk Yu di Central - Hong Kong, yang berdiri tahun 1933, dan yang hingga kini tetap menjadi restoran Dim Sum terbaik di Hong Kong, anda masih bisa menyaksikan saksi sejarah, dimana hampir disetiap samping meja dan kursi, disediakan tempolong untuk orang meludah.

Yang unik, konon menurut cerita dari mulut kemulut, Dr. Sun Yat Sen, memiliki pertalian dengan organisasi bawah tanah ‘Triad’ pada awalnya. Organisasi Triad kini dikenal sebagai kelompok Mafia dari Tiongkok dan menyebar kemana-mana. Pada tahun 1760 di Tiongkok berdiri sebuah komunitas yang disebut Tian Di Hui atau komunitas bumi dan langit. Awalnya komunitas ini menjadi gerakan bawah tanah untuk menggulingkan pemerintahan Man-Chu dan bercita-cita untuk mengembalikan kejayaan pemerintahan HAN. Setelah menyebar kemana-mana, kemudian komunitas ini berevolusi menjadi komunitas “Sanhehui”, yang artinya 3 masyarakat harmonis antara manusia, bumi dan langit. Organisasi ini menggunakan segi tiga sebagai identitas diantara sesama anggota. Pemerintahan kolonial Inggris yang kemudian menyebut organisasi ini sebagai ‘Triad’. Uniknya organisasi seperti ini sangat memegang teguh kode etik jiwa kesatria dan kehormatan. Kalau kita menyelami 36 pasal janji seorang anggota “Sanhehui”, semuanya dipenuhi dengan sumpah untuk menjadi orang yang terhormat dan berjiwa kesatria penuh.

Mungkinkah sikap yang diperlihatkan Dr. Sun Yat Sen itu juga merupakan refleksi kode etik yang dipelajarinya dari “Sanhehui” ? Sesuatu yang dianutnya dengan penuh penghayatan ? Teman saya, yang akademisi budaya ini, secara nakal bercerita bahwa anehnya, hampir semua kelompok mafia di muka bumi ini juga memiliki kode yang mirip, tentang pentingnya menjunjung kehormatan dan jiwa kesatria. Sebagai contoh, teman saya juga mencontohkan bahwa tahun lalu sutradara film Francesco Sbano, berhasil membuat sebuah film dokumenter yang sangat kontroversial tentang Mafia Calabrian yang berjudul “Uomini d’ Onore” atau manusia-manusia terhormat. Bertahun-tahun Francesco Sbano, melakukan riset dan secara sabar dan perlahan-lahan berhasil masuk ke organisasi mafia yang disebut ‘Onorata Societa’ atau organisasi terhormat. Komunitas Mafia atau yang disebut dengan ‘Onorata Societa’ ini, konon berawal dari pergerakan melawan situasi putus asa dan kemiskinan di wilayah Naples dan Palermo. Malah ada cerita unik, bahwa sebenarnya Sekutu juga menggunakan Mafia untuk menyiapkan penyerbuan terakhir mereka di Eropa pada perang dunia ke II. Kelompok Mafia juga menjunjung kode etik yang sama, tentang kehormatan dan jiwa kesatria. Salah satu kode etik mereka yang sangat terkenal adalah ‘Omerta’, atau konspirasi berdiam diri. Bilamana salah satu diantara mereka tertangkap, mereka pantang untuk nyanyi dan membeberkan rahasia anggota yang lain. ‘Omerta’ adalah gerakan tutup mulut yang hingga kini tetap dijunjung tinggi. Tidak ada dalam kamus mereka untuk berkhianat diantara sesama teman.

Yakuza, kelompok mafia di Jepang juga memiliki kode etik yang sangat mirip. Dalam tradisi Yakuza dikenal sebutan ‘machi-yakko’ atau penjahat kesatria. Didalam ‘machi-yakko’ , tergabung sejumlah nilai-nilai kode etik seorang samurai yang memiliki loyalitas, kehormatan, keberanian, tanggung jawab dan kegigihan. Satu ritual yang dipegang hingga kini sebagai perwujudan tanggung jawab dan budaya malu, adalah ‘seppuku’ atau ritual bunuh diri. ‘Seppuku’ sendiri merupakan bagian dari kode etik para samurai yang disebut Bushido. Budaya malu juga sering menjadi alasan, pemimpin usaha dan politis mundur dengan elegan di Jepang. Terutama setelah mereka merasa bersalah, tidak mampu dan sebagai bentuk tanggung jawab. Barangkali juga rahasia sukses Jepang dalam bernegara dan menjadi kekuatan ekonomi dunia terpatri dalam nilai-nilai budaya tersebut.

Belum lama ini Toyota menarik kembali, lebih dari 4 juta mobil produk mereka, karena kesalahan tekhnis produksi. Biaya yang mereka harus telan jumlah tak terkira-kan hingga milliaran dolar. Toyota dikritik habis-habisan. Mereka beresiko menghancurkan salah satu merek terbaik dan termahal didunia. Banyak praktisi PR yang mengkritik cara-cara mereka. Namun Toyota tidak peduli dan tetap jalan terus. Saya sendiri kagum. Tetapi itulah bentuk perwujudan budaya malu dan disiplin bertanggung jawab. Jiwa kesatria dan menjunjung sebuah kehormatan.

Sifat-sifat kemuliaan yang diperlihatkan Triad, Mafia dan Yakuza, barangkali kunci terpenting survival keberhasilan baik ‘leadership’ dan kesinambungan hidup organisasi mereka. Terlepas perkembangan jaman yang akhirnya membuat Triad, Mafia dan Yakuza bersebrangan dengan hukum pada umumnya, barangkali ada nilai-nilai luhur yang bisa dicontek para politisi tentang kehormatan, budaya malu dan jiwa kesatria. Mungkinkah ada pejabat kita yang segera mengundurkan diri, karena malu dan berjiwa kesatria dalam kasus skandal Bank Century ? Begitu teman saya mengakhiri dongeng-nya dengan sebuah harapan dan pertanyaan. Tinggal saya yang geleng-geleng kepala. Bingung bercampur takjub.

No comments: