Saturday, October 28, 2017

SUMPAH PEMUDA 2017


Seorang Ibu dengan prihatin menulis sebuah email yang sangat panjang. Intinya ia menceritakan bagaimana kehidupan putra dan puterinya tergerus globalisasi. Sesuatu yang sangat wajar sebenarnya. Dan tidak akan mampu kita hindari. Namun dalam ceritanya itu, sang Ibu memiliki sebuah kesedihan panjang, bahwa kita menjadi miskin nilai. Kita menjadi anonim. Yang membuat kita gamang dan akhirnya menjadi mudah dipengaruhi. Sang Ibu mencontohkan kita ini ibarat sebuah baju putih yang kotor dan merindukan deterjen. Sebelum ia mengakhiri emailnya, sang Ibu bertanya – “Apakah kita butuh sebuah Sumpah Pemuda yang baru ?”

Saya jadi inget waktu sekolah dulu. Setiap Senin pagi diawal bulan, dilapangan olahraga selalu digelar upacara bendera. Disamping kita harus fasih bisa menyanyikan Indonesia Raya, kita juga harus bisa menghafal Sumpah Pemuda. Saat itu Sumpah Pemuda lebih bermakna sebagai hafalan wajib. Memang kita diajarkan juga sejarahnya mulai dari gerakan Kebangkitan Nasional di tahun 1908 hingga Sumpah Pemuda itu sendiri di tahun 1928. Yang tidak diajarkan kepada kami adalah hubungan strategis dari 3 elemen, yaitu tanah air, bangsa dan bahasa.

Waktu berjalan dengan cepat, ketika saya mulai bekerja seusai kuliah, barulah kemudian saya bertemu dengan teman-teman yang lebih cerdas menjabarkan nilai strategis Indonesia baik dari bentuknya yang berupa kepulauan hingga kekayaan alamnya, serta potensi ekonomi dan geopolitiknya. Dari semua penjelasan itu, hanya ada satu yang menjelaskannya kepada saya dengan gamblang dan sederhana. Saat itu saya masih bekerja di Pasar Swalayan Hero, dan saya bertemu dengan seorang pecinta makanan. Kalau istilah jaman sekarang seorang “Foodie”.

Lewat beliau inilah saya mendapat sejumlah dongeng, tentang kuliner Indonesia. Dongeng beliau selalu menawan dan menggugah imajinasi. Hingga suatu hari di bulan Oktober di tengah teriknya matahari kami menyantap sate kambing di Pancoran. Awalnya beliau bercerita sate hingga akhirnya entah bagaimana beliau akhirnya berkisah soal keragaman dalam kuliner Indonesia. Menurut beliau seni kuliner Indonesia intinya adalah keragaman. Ini yang sangat sulit dimengerti koki dari luar negeri. Sehingga vonis-nya selalu masakan Indonesia itu sangat sulit, nyelimet dan kompleks. Sebagai contoh beliau menjelaskan bahwa misalnya dalam kuliner di negara lain, sayur mayur dijadikan hidangan yang jauh sangat sederhana.  “Salad” secara harafiah sebenarnya  merupakan aneka sayur dan buah yang umumnya disajikan mentah lalu kemudian diberikan saus-saus  yang bisa berbeda dan umum dikenal sebagai “Salad Dressing”. Indonesia tidak mengenal jenis “Salad” secara persis. Namun kita punya sejumlah hidangan sayur mayur dan buah yang karena dipengaruhi berbagai budaya akhirnya  boleh saja dikatakan “Salad” ala Indonesia. Uniknya cara kita menyajikan sangat beragam, ada yang mentah, ada yang direbus, dan ada yang sudah diawetkan sebagai asinan. Ragamnya mungkin lebih dari selusin. Disinilah beliau menjabarkan bedanya antara gado-gado yang diulek dengan gado-gado siram. Beliau juga menceritakan bedanya karedok, pecel dan gado-gado. Juga bedanya asinan peranakan dan gado-gado peranakan. Waktu itu saya cuma mengangguk-angguk tanda kagum. Hari ini saya mengenang percakapan itu lebih dalam dan merasakan kebijakan ceritanya, tentang nilai keragaman yang dimiliki Indonesia. Disini saya baru merasakan keharuan yang luar biasa.

Tantangan seperti ini, tidak jarang membuat masakan Indonesia menjadi sangat sulit dipopulerkan. Padahal keragaman dan kemajemukan  itu tidak sepatutnya menjadi kompleksitas yang menyulitkan. Keragaman itu seharusnya menjadi sebuah persekutuan yang lezat dan indah. Sebuah eksotisme yang sangat langka.  Dalam analogi yang unik dan berbeda lagi, teman saya bercerita tentang keragaman lain di Indonesia. Menurut beliau hampir tiap hidangan di Indonesia, memiliki dua pasangan pedamping yang jarang diperhatikan orang. Yang pertama adalah sambal dan yang kedua adalah kerupuk. Tiap hidangan dalam khazanah kuliner Indonesia memiliki pasangan sambal dan kerupuk yang berbeda-beda. Sebut saja soto dari berbagai daerah di Indonesia, hampir semuanya memiliki jodoh dan pasangan sambal dan kerupuk yang berbeda-beda. Tanpa pasangan sambal yang tepat dan kerupuk yang pas, maka makan kita jadi kurang nikmat.

Sambal dan kerupuk adalah jodoh sejati seni kuliner Indonesia, begitu dongeng teman saya. Baginya dua hal inilah yang menjadi pengikat akhir sebuah cita rasa masakan Indonesia. Diakhir cerita teman saya dengan eloknya menjadikan Sumpah Pemuda yang dicetuskan tahun 1928 itu sebagai sebuah perumpamaan yang sederhana. Bahwa masakan Indonesia dengan kerupuk dan sambal merupakan satu ikatan yang tak terpisahkan. Antara tanah air, bangsa dan bahasa adalah kesatuan yang tak terpisahkan. Sebuah perumpamaan yang sederhana tapi menurut saya sangat pas dan bagus. Menurut beliau sebuah tanah air bisa saja elok dan permai. Tapi tanpa bangsa dan bahasa yang berbudaya maka tanah air itu menjadi hampa. Ibarat sebuah makanan yang hampa tanpa jiwa. Istilah populernya – “cemplang dan hambar”.

Barangkali disekolah kita cuma diajarkan Bhineka Tunggal Ika tanpa mengerti arti dan nilainya. Sebuah slogan saja. Padahal koneksitas Bhineka Tunggal Ika dengan Sumpah Pemuda sangat dalam dan bercerita tentang keragaman. Seorang anthropolog teman saya pernah berkomentar : “Bayangkan saja menurut data terakhir tahun 2017 – Indonesia memiliki 16.056 pulau.”  Padahal setahun sebelumnya Indonesia baru bisa mem-verikasi 14.572 pulau sehingga ada dugaan tahun 2018 jumlah pulau Indonesia akan terus bertambah. Itu baru jumlah pulau. Menurut Badan Pusat Statistik Indonesia – kita memiliki 1211 bahasa (1158 bahasa daerah). Keragaman kita secara fisik dan budaya sangat luar biasa. Barangkali ini perlu diajarkan kepada anak-anak kita disekolah. Makna dan nilainya secara strategis baik secara politik dan ekonomi.

Ini saya kutip dari – blog perpustakaan NTU di Singapore : “Wilayah tanah Indonesia luasnya hanya 1,3% planet bumi. Namun Indonesia adalah salah satu negara terkaya di dunia dalam hal keanekaragaman hayati. Indonesia adalah kepulauan yang terdiri dari sekitar 17.000 pulau dengan ekosistem sangat unik yang mengandung sejumlah besar spesies sangat beragam.   Menurut Conservation International, Indonesia adalah satu dari 17 negara yang paling beragam, dengan 2 dari 25 titik api biodiversitas di dunia. Dengan 24 Burung Endemik yang hampir punah.  Indonesia memiliki kekayaan 10% spesies berbunga di dunia (25.000 tanaman berbunga) dan menempati peringkat sebagai salah satu pusat dunia untuk agro keanekaragaman hayati kultivar tanaman dan ternak rumahan. Untuk keragaman fauna, sekitar 12% mamalia dunia (515 spesies) ada di Indonesia, menjadikan Indonesia  di posisi kedua, setelah Brasil. Indonesia berada diurutan ke-empat untuk kekayaan reptil dan primata - sekitar 16% reptil dunia (781 spesies) dan 35 spesies primata ada di Indonesia. Selain itu, 17% dari total spesies burung (1.592 spesies) dan 270 spesies amfibi dimiliki Indonesia yang membuat Indonesia tampil masing-masing di urutan kelima dan keenam di tingkat global.”


Dalam perenungan saya, tersirat bahwa mungkin kita tidak memerlukan sebuah Sumpah Pemuda yang baru. Sumpah Pemuda tahun 1928 sudah bagus, baik, dan benar. Hanya saja kita perlu mendalami maknanya. Siapapun yang memimpin negeri dan bangsa ini kiranya bisa menjadikan Sumpah Pemuda sebagai sebuah strategi ekonomi yang baru. Barangkali ini visi yang terpendam, sejak jaman Sriwijaya, hingga Majapahit. Bahwa selayaknya Indonesia ini memiliki masa depan yang gemilang, hanya dengan menjaga keutuhan tanah air, bangsa dan bahasa kita. Indonesia !

Tuesday, October 24, 2017


HAYOOOO MIKIR DONG !!!!


Setiap tahun sebelum 17 Agustus, saya punya ritual berdiskusi dengan beberapa teman. Mirip sebuah rembuk mencari inspirasi bagi republik. Biasanya kami lakukan sembari menyantap nasi kuning atau nasi uduk bersama. Bukan karena kami pro terhadap sebuah golongan, melainkan agar terasa lebih khusuk. Seperti perjalanan mencari keaslian jati diri masing-masing.

Tahun ini, karena kesibukan teman-teman, ritual ini terpaksa kami lakukan setelah 17 Agustus kemarin. Sayangnya restoran tempat kami bertemu hanya menyajikan nasi campur. Terpaksa menu nasi campur, teh pahit dan kopi tubruk, kami plonco secara resmi. Acara kali ini saya buka dengan melontarkan satu pertanyaan, “Apa makian anda di kantor yang paling favorit ?” Mendengar tantangan saya itu, banyak diantara teman diskusi saya yang terbahak-bahak. Lalu saya menjelaskan bahwa makian bisa menjadi cermin karakter dan situasi republik saat ini. Sehabis saya menjelaskan, tiba-tiba teman-teman terdiam sesaat. Seperti ada sebuah jedah panjang yang sunyi.

Lalu diantara kesibukan menyantap nasi campur dan menyeruput kopi dan teh, seorang teman kami yang wanita berkomentar : “Mungkin makian gue yang paling populer di kantor itu – ‘Mikir dong luuuu !’…” Lalu teman-teman yang lain ikut tertawa. Diskusi kamipun menjadi gaduh dan heboh. Karena memang makian seperti itu dalam berbagai tipe dan versi, merupakan sebuah sarkasme yang sangat kerap kita lontarkan dikantor setiap harinya. Atas perilaku entah itu sebuah kealpaan dan atau sebuah kebodohan yang tiap hari kita perangi. Tentu saja makian itu ada versi yang lebih vulgar dan kasar. Tetapi intinya, kata salah seorang teman saya, bahwa budaya kita ini memang sarat dengan kebodohan dan ketololan. Lihat saja istilahnya yang beragam. Mulai dari istilah tersirat seperti “otakmu didengkul” atau “otak udang” hingga istilah preman yang populer seperti “bloon” dan “tulalit”.

Diskusi ini secara seru akhirnya juga memicu perdebatan bahwa seringkali karena kita frustasi dengan situasi setempat, sehingga tidak jarang kosa kata kita tentang kebodohan dan ketololan itu sangat bervariasi jenis dan derajatnya. Misalnya ada istilah “tell me” yang sebenarnya lebih mendiskripsikan keadaan seseorang yang selalu berpikir telat alias kurang cerdas. Atau istilah “dongo” yang menurut teman saya untuk level kebodohan dan ketololan yang sangat parah.

Dalam perjalanan pulang usai diskusi, hati saya galau bukan kepalang. Apakah ada kemungkinan bahwa bangsa kita memang malas berpikir ? Atau lagi-lagi sistim pendidikan kita yang harus disalahkan karena lebih banyak membuat anak-anak menghafal dan tidak tertantang untuk berpikir ? Salah satu teman diskusi kami malah menuduh bahwa sebagai bangsa kita miskin dengan budaya berpikir. Ia mencontohkan bangsa-bangsa dengan budaya besar seperti Tiongkok dan Yunani itu dipenuhi dengan filsuf dan pemikir. Tiongkok punya banyak pemikir mulai dari Lao-Tze hingga Confucius. Yunani punya filsuf seperti Plato dan Seneca yang hingga kini buah pikiran-nya masih dikutip orang tiap hari.

Celakanya media kita entah itu radio atau televisi, lebih senang menayangkan acara-acara yang lucu dan bukan acara-acara serius yang memotivasi orang untuk berpikir. Seorang teman yang sudah malang melintang didunia radio sekian puluh tahun mengatakan bahwa yang serius dan berat tidak pernah laku. Akibatnya media kita lebih mengharumkan acara-acara lucu yang tidak jarang di selipkan aneka adegan ketololan dan kebodohan. Misalnya hampir semua film dan tayangan sandiwara di televisi selalu saja ada peran pembantu rumah tangga yang dijadikan subyek untuk melucu secara tolol dan bodoh . Sebuah praktek budaya yang seharusnya dilarang. Tak heran apabila film-film kita juga  lebih banyak bergenre komedi dan horror. Semenjak sineas nasional kita, Teguh Karya wafat, sineas kita yang lain jarang menggarap film-film besar yang non komedi dan non horror. Kita sepertinya malas berpikir untuk menonton film-film serius, kita lebih bahagia santai menonton film yang tidak harus berpikir. Seperti film action, komedi dan horror.

Menurut teman saya itu, pemimpin kita kalau menulis buku, lebih banyak menulis biografinya dan kisah-kisah sukses mereka. Bukan buah pikiran mereka. Malah menurutnya satu-satunya buku pemikir Indonesia yang hingga kini masih terkenal dan diajarkan dalam buku-buku sejarah disekolah, adalah buku RA Kartini, yang berjudul “Habis Gelap Terbitlah Terang. Itupun buku yang ditulis oleh orang asing, berdasarkan surat-surat RA Kartini. Selain buku ini, barangkali Indonesia tidak memiliki buku lain yang legendaris.

Selama 20 tahun terakhir hati saya sangat galau, karena saya melihat dimana-mana kita sebagai bangsa yang sangat besar kehilangan kemampuan kita untuk berbahasa. Saya menyebutkan sebagai sebuah fenomena “Cacat Sastra”. Seorang pemerhati seni mengatakan kepada saya, sebagai bangsa kita menjadi lebih visual dalam 50 tahun terakhir ini. Karya seni lukisan kita misalnya banyak diapresiasi kolektor luar negeri dan harganya cukup tinggi di berbagai ajang pelelangan di luar negeri. Sebaliknya selama 50 tahun terakhir ini kita kehilangan penyair dan pujangga. Nama sastrawan besar yang terakhir kita inggat barangkali cuma WS Rendra. Setelah Rendra, kita kehilangan tokoh besar. Berpuisi dan menulis cerpen menjadi sebuah keahlian yang semakin langka. 

Padahal bahasa adalah media dan bahan baku untuk berpikir sekaligus. Tanpa bahasa cara berpikir kita menjadi visual dan kehilangan logika. Sesuatu yang visual akan lebih sulit diperdebatkan. Seperti otak kita mengalami kemunduran sebelah. Menurut saya pribadi kemunduran kita berbahasa merupakan sebuah penyakit budaya yang sangat serius. Sebuah karat yang perlahan membuat kita keropos. Tanpa bahasa kita kehilangan cerita. Tanpa cerita kita tidak bisa membuat film, kita tidak bisa menghidupkan legenda, kita akan kehilangan inspirasi. Alangkah sedihnya kalau dalam 50 tahun mendatang bahasa Indonesia punah secara budaya. Kita masih bisa menggunakan-nya hanya untuk bicara dan komunikasi. Namun Bahasa Indonesia akan kehilangan emosi dan intelektualnya. Marilah kita bersama-sama mulai berpikir. Selain gratis, berpikir akan sangat sehat bagi otak dan jiwa kita !