Sunday, July 31, 2011

IKAN MOLA MOLA



... salah satu keajaiban alam .... ikan Mola-Mola ini konon berasal dari perairan di Australia dan tinggal di laut yang sangat dalam .... satu-satunya cara melihat ikan ini adalah menyelam di Nusa Penida Bali pada bulan Agustus - September dimana ikan Mola Mola berimigrasi mencari air yang lebih hangat saat musim dingin di Australia

BAMBOO SAURUSS – mulai berpetualang menuju Jakarta

Thursday, July 28, 2011

INI DIE ..... FILM NYANG KITE KUDU NONTON !

THE MAKING OF BAMBOO SAURUSS

MAKANYA JANGAN MUDAH MENYERAH !



Maka, di suatu pagi, di sebuah rumah, di sebuah ruang tamu, seorang lelaki muda menghadapi seorang lelaki setengah baya, untuk 'merebut' sang perempuan muda, dari sisinya.



"Oh, jadi engkau yang akan melamar itu?" tanya sang setengah baya.

"Iya, Pak," jawab sang muda.



"Engkau telah mengenalnya dalam-dalam?" tanya sang setengah baya sambil menunjuk si perempuan.

"Ya Pak, sangat mengenalnya," jawab sang muda, mencoba meyakinkan.

"Lamaranmu kutolak. Berarti engkau telah memacarinya sebelumnya? Tidak bisa. Aku tidak bisa mengijinkan pernikahan yang diawali dengan model seperti itu!" balas sang setengah baya.

Si pemuda tergagap, "Enggak kok pak, sebenarnya saya hanya kenal sekedarnya saja, ketemu saja baru sebulan lalu."

"Lamaranmu kutolak. Itu serasa 'membeli kucing dalam karung' kan, aku takmau kau akan gampang menceraikannya karena kau tak mengenalnya. Jangan-dkau nggak tahu aku ini siapa?" balas sang setengah baya, keras.



Ini situasi yang sulit. Sang perempuan muda mencoba membantu sang lelaki muda. Bisiknya, "Ayah, dia dulu aktivis lho."



"Kamu dulu aktivis ya?" tanya sang setengah baya.

"Ya Pak, saya dulu sering memimpin aksi demonstrasi anti Orba di Kampus," jawab sang muda, percaya diri.

"Lamaranmu kutolak. Nanti kalau kamu lagi kecewa dan marah sama istrimu, kamu bakal mengerahkan rombongan teman-temanmu untuk mendemo rumahku ini kan?"

"Anu Pak, nggak kok. Wong dulu demonya juga cuma kecil-kecilan. Banyak yang nggak datang kalau saya suruh berangkat."

"Lamaranmu kutolak. Lha wong kamu ngatur temanmu saja nggak bisa, kok mau ngatur keluargamu?"



Sang perempuan membisik lagi, membantu, "Ayah, dia pinter lho."

"Kamu lulusan mana?"

"Saya lulusan Teknik Elektro UGM Pak. UGM itu salah satu kampus terbaik di Indonesia lho Pak."

"Lamaranmu kutolak. Kamu sedang menghina saya yang cuma lulusan STM ini tho? Menganggap saya bodoh kan?"

"Enggak kok Pak. Wong saya juga nggak pinter-pinter amat Pak. Lulusnya saja tujuh tahun, IPnya juga cuma dua koma Pak."

"Lha lamaranmu ya kutolak. Kamu saja bego gitu gimana bisa mendidik anak-anakmu kelak?"



Bisikan itu datang lagi, "Ayah dia sudah bekerja lho."

"Jadi kamu sudah bekerja?"

"Iya Pak. Saya bekerja sebagai marketing. Keliling Jawa dan Sumatera jualan produk saya Pak."

"Lamaranmu kutolak. Kalau kamu keliling dan jalan-jalan begitu, kamu nggak bakal sempat memperhatikan keluargamu."

"Anu kok Pak. Kelilingnya jarang-jarang. Wong produknya saja nggak terlalu laku."

"Lamaranmu tetap kutolak. Lha kamu mau kasih makan apa keluargamu, kalau kerja saja nggak becus begitu?"



Bisikan kembali, "Ayah, yang penting kan ia bisa membayar maharnya."

"Rencananya maharmu apa?"

"Seperangkat alat shalat Pak."

"Lamaranmu kutolak. Kami sudah punya banyak. Maaf."

"Tapi saya siapkan juga emas satu kilogram dan uang limapuluh juta Pak."

"Lamaranmu kutolak. Kau pikir aku itu matre, dan menukar anakku dengan uang dan emas begitu? Maaf anak muda, itu bukan caraku."



Bisikan, "Dia jago IT lho Pak"

"Kamu bisa apa itu, internet?"

"Oh iya Pak. Saya rutin pakai internet, hampir setiap hari lho Pak saya nge-net."

"Lamaranmu kutolak. Nanti kamu cuma nge-net thok. Menghabiskan anggaran untuk internet dan nggak ngurus anak istrimu di dunia nyata."

"Tapi saya ngenet cuma ngecek imel saja kok Pak."

"Lamaranmu kutolak. Jadi kamu nggak ngerti Facebook, Blog, Twitter, Youtube? Aku nggak mau punya mantu gaptek gitu."



Bisikan, "Tapi Ayah..."

"Kamu kesini tadi naik apa?"

"Mobil Pak."

"Lamaranmu kutolak. Kamu mau pamer tho kalau kamu kaya. Itu namanya Riya'. Nanti hidupmu juga bakal boros. Harga BBM kan makin naik."

"Anu saya cuma mbonceng mobilnya teman kok Pak. Saya nggak bisa nyetir"

"Lamaranmu kutolak. Lha nanti kamu minta diboncengin istrimu juga? Ini namanya payah. Memangnya anakku supir?"



Bisikan, "Ayahh.."

"Kamu merasa ganteng ya?"

"Nggak Pak. Biasa saja kok"

"Lamaranmu kutolak. Mbok kamu ngaca dulu sebelum melamar anakku yang cantik ini."

"Tapi pak, di kampung, sebenarnya banyak pula yang naksir kok Pak."

"Lamaranmu kutolak. Kamu berpotensi playboy. Nanti kamu bakal selingkuh!"


Sang perempuan kini berkaca-kaca, "Ayah, tak bisakah engkau tanyakan soal agamanya, selain tentang harta dan fisiknya?"

Sang setengah baya menatap wajah sang anak, dan berganti menatap sang muda yang sudah menyerah pasrah.

"Nak, apa adakah yang engkau hapal dari Al Qur'an dan Hadits?"

Si pemuda telah putus asa, tak lagi merasa punya sesuatu yang berharga.

Pun pada pokok soal ini ia menyerah, jawabnya, "Pak, dari tiga puluh juz saya cuma hapal juz ke tiga puluh, itupun yang pendek-pendek saja. Hadits-pun cuma dari Arba'in yang terpendek pula."

Sang setengah baya tersenyum, "Lamaranmu kuterima anak muda. Itu cukup. Kau lebih hebat dariku. Agar kau tahu saja, membacanya saja pun, aku masih tertatih."

Mata sang muda ikut berkaca-kaca.

Wednesday, July 27, 2011

Best Global Green Brands launched!

Green is Now:
More than another fashionable movement
By Paula Oliveira - Associate Director, Interbrand London

It is debatable among environmental specialists if the responsibility to act on climate change belongs to governments, general public, NGOs, or companies, but the fact is that more and more corporations have been taking responsibility into their own hands by optimizing their operations and supply chains, investing in more sustainable products and services, openly expressing their commitment and long-term targets, and smartly engaging their stakeholders in the debate.

This is very different from the green movement of the 1960s, when companies promoted their green credentials but didn’t really understand or do enough to fundamentally change their business and limit their negative influence in the environment. According to CorpWatch, a not-for-profit organization that promotes companies’ accountability and transparency in various issues, in 1969 alone, public utilities spent more than US $300 million on advertising, which was more than eight times their investment in anti-pollution research.

This first wave of “corporate green” peaked in late 1980s. At that time, people became more aware of menaces to the environment due to the increasing number of natural disasters such as floods, earthquakes, and famine. Suddenly, green products were cool; so were mitigation actions such as recycling. Companies saw the opportunity to engage with consumers and increasingly promoted their brands’ green credentials. But as John Grant states in his 2007 book, The Green Marketing Manifesto, the substance was lacking: for consumers, the movement was just a “brandwagon” they didn’t want to miss, but they were not ready to change behavior. Consumers were unsure if environmental catastrophic predictions were realistic, so their interest in the “green trend” faded quickly; as for companies, they failed to produce green products with true environmental benefits, high quality standards, and affordable prices. Examples include green cleaning products that didn’t clean, and recycled papers with poor resistance. All this made companies wary of communicating green credentials even when they were true, so they could avoid the risk of being accused of greenwashing, a popular term to nominate companies that speak loud about green credentials but don’t do enough.

But there were some good side effects of this first wave. New green charities were founded and existing ones such as Greenpeace and WWF became more renowned worldwide. Governments increased legislation regarding waste and gas emissions. Pollution was reaching unbearable levels in major cities and manufacturing businesses and car fleets were targeted as partially responsible. As a result, companies improved their operations in order to improve efficiency, generate less by-products and cleaner waste, reducing air and water pollution.

Nowadays, we don’t know if the weather is getting warmer or colder, we just know it’s changing. It is hard to know which animal species are more severely under threat – we just know many are. We don’t like to see rubbish thrown on the streets, we don’t like to see rivers or beaches dirty or polluted and we recycle our rubbish and we expect business and brands to do their part as well. This is not because legislation obliges us to follow rules, but because it is simply the right thing to do for our planet. Companies are listening and there are some notorious cases that illustrate the three ways companies are demonstrating their commitment to the environment: sustainable supply-chains, sustainable innovation, and sustainable engagement.

And this is not a wave. It is a new way of doing business that came to stay. It is about acting responsibly, not by focusing on short-term sales or other financial gains, but on the long-term sustainability of the business and of the planet.
Sustainable operations: L'Oréal

Sustainable IngredientsSustainable operations include all aspects related to the manufacturing process itself, supply chain, choice of partners, transportation, and logistics.

Even though this is not known to many people outside sustainability specialists or enthusiasts, L'Oréal is a company very committed to sustainable development, including the choice of natural ingredients, long-term relationships with its suppliers, water conservation, reduction of CO2 emissions in the whole process and development of sustainable buildings among others.

According to L'Oréal website for sustainable development, more than a third of L’Oréal’s existing suppliers have worked with the brand for decades, growing together with the business. The choice of ingredients must comply with 10 criteria (see illustration), guaranteeing that the choice does not affect biodiversity and is compliant with all international, regional, and local regulations. L'Oréal also has an annual Environment, Health and Safety award (EHS), encouraging teams and employees around the world to improve performance towards corporate environmental goals. These and other initiatives make L'Oréal one of the top performing companies in terms of sustainable development.
Sustainable innovation: Toyota

Sustainable innovation is where companies’ initiatives directly touch customers and consumers lives. Through innovative products and services, companies not only reduce their own carbon footprint, but also help their customers and consumers to improve theirs.

The Responsible Business, a 2011 book by Carol Sanford, that discusses a new paradigm shift in corporate responsibility, emphasizes the use of science and technology to solve issues around environment and other problems impacting humanity. Of course environmental issues should be balanced with primary customer needs, but in some cases customers do not know what they need or what is possible, hence the role of corporations to offer products and services that are relevant, differentiated, green, and ethical.

Examples abound in different industries, with Toyota Prius being one of the most recognizable symbols of a product that addresses those criteria. First launched in Japan in 1997, its hybrid technology not only protects the environment, but also helps consumers to save costs by using a well-designed and stylish car.
Sustainable engagement: Johnson & Johnson

As important as having a true commitment to the environment and acting responsibly is communicating environmental efforts with transparency and clarity. This is not only because of governance, but also to set an example and engage a wider community of business, employees, partners, consumers, and the wider community around changing the world.

Johnson & Johnson is a good case. Since 1987 the company has implemented environmental goals aimed at reducing emissions and their impact on the environment, including carbon reduction, water use, paper and packaging, waste reduction, compliance, and external manufacturing, among others.

Johnson & Johnson recently launched a website called “Johnson and Johnson Responsibility” helping the company to demonstrate its commitment and transparency towards its “Healthy Future 2015 Goals” and to illustrate Johnson & Johnson’s commitment to the environment through real cases, such as BAND-AID’s. 90 percent of world’s BAND-AID brand adhesive bandage boxes are produced in Brazil, where in 2006 over 2/3 of paper-based packaging were made of recycled paper or fiber from certified forests and numbers have been improving over the years. But the company is also transparent in recognizing there is a way to go, clearly stating its ambitious goals and fostering the power of external collaboration in a sustainable way.

Tuesday, July 26, 2011

BAMBOO SAURUSS – A Journey of Renewable Faith



BAMBOO SAURUSS – A Journey of Renewable Faith

Ritual berpuasa selama 30 hari penuh, barangkali tidaklah semestinya dianggap hanya sebagai kewajiban beragama. Barangkali maknanya jauh lebih dalam dan sangat dalam. Komikus terkenal Djogdjakarta Ismail Sukribo bersama dengan 7 orang perupa akan menempuh ritual puasa ini dengan sebuah perjalanan spiritual yang sangat unik. Sebuah patung T- Rex yang telah punah, kembali dihidupkan dan dibuat dari anyaman bamboo setinggi 3 meter. Patung T-Rex dari anyaman bamboo ini lalu diberi motif batik parang, dan rencananya akan di pamerkan di Pacific Place selama bulan Puasa. Patung ini diberi nama Bamboo Sauruss.

Kafi Kurnia, kurator dari Lentur Gallery di Roemah Pelantjong – Djogdjakarta menjelaskan bahwa Bamboo Sauruss merupakan sebuah simbolisasi perjalalanan spiritual untuk sebuah preservasi iman dan pencarian jati diri kembali (reinventing oneself). Itu sebabnya Bamboo Sauruss diberi tambahan embel-embel thema “A Renewable Faith”.

Bamboo Sauruss menurut KAFI KURNIA sarat makna dan perlambang. T-Rex sang dinosaurus yang telah jutaan tahun punah adalah simbolisasi titik awal. Simbolisasi ini misalnya dalam sebuah pertunjukan wayang kulit selalu dihadirkan dalam bentuk gunungan. Bamboo Sauruss setinggi 3 meter ini juga merupakan simbolisasi gunungan secara kontemporer.

Simbolisasi gunungan bukanlah sebuah sikap sombong dan arogan. Melainkan sebuah titik awal untuk merenung, meditasi dan introspeksi. Orang-orang zaman dahulu sudah menggunakan bentuk gunung ini untuk barang sehari-hari seperti caping, topi bambu berbentuk kerucut, sehingga air hujan tidak mengganggu kepala, akan tetapi mata tetap dapat memandang dengan leluasa. Selanjutnya, atap rumah joglo, yang menunjukkan bahwa pusat bangunan dengan lantai tertinggi terlelak di pusat, dibawah puncak atap dan merupakan tempat berdoa yang paling efektif. Nasi tumpeng juga berbentuk kerucut, dan puncaknya dipersembahkan kepada pimpinan tertinggi dalam acara ritual. Payung kraton bertingkat tiga juga menggambarkan tingkatan dari kamadhatu, rupadhatu dan arupadhatu.

Istilah kamadhatu, rupadhatu dan arupadhatu adalah tingkatan dari gunung. Bagian kaki melambangkan Kamadhatu, yaitu dunia yang masih dikuasai oleh kama atau nafsu,keinginan yang rendah, yaitu dunia manusia biasa. Bagian tengah melambangkan Rupadhatu, yaitu dunia yang sudah dapat membebaskan diri dari ikatan nafsu, tetapi masih terikat oleh rupa dan bentuk, yaitu dunianya orang suci dan merupakan “alam antara” yang memisahkan “alam bawah” (kamadhatu) dengan “alam atas” (arupadhatu). Bagian atas, Arupadhatu, yaitu “alam atas” atau nirwana, dimana kebebasan mutlak telah tercapai, bebas dari keinginan dan bebas dari ikatan bentuk dan rupa.

Jadi bentuk T-Rex adalah gunungan secara kontemporer yang mengawali sebuah titik permulaan. Simbol kedua adalah bambu yang dianyam menjadi patung T-rex. Bambu itu liat dan lentur. Meskipun berakar serabut, pohon bambu tahan terhadap terpaan angin kencang, dengan kelenturannya dia mampu bergoyang bak seorang penari balet, fleksibilitas itu lah bambu. gerak yang mengikuti arus angin ,tetapi tetap kokoh berdiri di tempatnya mengajarkan kita sikap hidup yang berpijak pada keteguhan hati dalam menjalani hidup walau penuh cobaan dan tantangan, namun tidak kaku.

Bambu juga dapat di simbolkan sebagai sebuah siklus hidup manusia, contohnya setelah tunas tumbuh lalu keluar lah rebung, dan lalu besar bertunas dan menjulang tinggi. ini mengajarkan bagaimana kita perlu proses untuk menjadi lebih baik, dengan kesabaran, ketekunan, kegigihan dalam berusaha. Itu lah yang akan menjadi pintu kesuksesan seseorang. Walaupun mungkin standar kesuksesan berbeda setiap orang, tapi itu bisa mengajarkan kita bagaimana cara berproses, hidup bukan sesuatu yang instan tapi dia berproses, tinggal bagaimana kita bisa menjadikan proses ini menjadi lebih berguna bagi kita semua.

Manfaat bambu yang sangat luar biasa, menjadikan juga bambu sebagai sebuah bahan baku ramah lingkungan dan yang selalu terbarukan. Siklus dan proses yang disimbolkan oleh bambu menjadi inti perjalanan spiritual kita bersama saat berpuasa. Menemukan diri kita yang sesungguhnya dan melahirkannya kembali dalam sebuah kesucian yang baru. Yang lebih baik. Yang lebih manusiawi.

Simbol terakhir adalah motif batik parang. Motif batik parang memiliki filosofi yang sangat dalam terkandung di dalamnya dan tidak sesederhana motifnya. Parang berasal dari kata pereng, yang berarti lereng. Perengan menggambarkan sebuah garis menurun dari tinggi ke rendah secara diagonal. Susunan motif leter S jalin-menjalin tidak terputus melambangkan kesinambungan. Bentuk dasar leter S diambil dari ombak samudra yang menggambarkan semangat tidak pernah padam. Batik parang memiliki nilai filosofis yang sangat tinggi berupa petuah agar tidak pernah menyerah sebagaimana ombak laut yang tak pernah berhenti bergerak. Batik parang pun menggambarkan jalinan yang tidak pernah putus, baik itu dalam arti upaya memperbaiki diri, upaya memperjuangkan kesejahteraan, maupun bentuk pertalian keluarga di mana batik parang di masa lalu merupakan hadiah dari bangsawan kepada anak-anaknya. Dalam konteks tersebut, motif parang mengandung petuah dari orang tua agar melanjutkan perjuangan yang telah dirintis. Garis lurus diagonal melambangkan rasa hormat dan keteladanan, serta kesetiaan pada nilai-nilai kebenaran

Introspeksi diri, menyadari proses dan siklus kedewasaan, serta perjuangan dengan semangat tidak pernah padam menjadikan BAMBOO SAURUSS, sungguh sebuah perjalanan spiritual yang unik di bulan puasa ini. Rencananya BAMBOO SAURUSS setelah dipamerkan akan dilelang dan hasilnya akan disumbangkan untuk misi-misi social.

KAFI KURNIA – ajaib@cbn.net.id

Sunday, July 24, 2011

SMS Malam Pertama





Alkisah ada 3 orang saudara, sebut saja mereka Vira, Voni, dan Veni yang
dinikahkan secara masal oleh orangtuanya. Setelah itu mereka pergi berbulan
madu bersamaan. Kalau Vira pergi ke Pulau Batam, Voni pergi Ke Kepulauan
Seribu dan Veni si bungsu pergi ke Bali .

Namanya orang Tua sayang sama anak, selama mereka berbulan madu kedua Orang
Tua mereka minta dikirim kabar tentang segala yang terjadi selama mereka
berbulan madu.

Tapi agar berita yang dikirim singkat dan tidak terlalu Vulgar, mereka
menggunakan Kode/Sandi tentang moto-moto Iklan. Supaya praktis dan murah,
berita dikirim lewat SMS.

3 hari setelah kepergian anak mereka berbulan madu, diterimalah sebuah
SMS... yang rupanya dari VIRA di Pulau Batam. Isi beritanya cukup sederhana,
"STANDARD CHARTERED". Setelah membaca berita tersebut mereka mencari Iklan
Standard Chartered di koran dan terbacalah tulisan besar berbunyi, "BESAR,
KUAT dan BERSAHABAT!" .

Tersenyumlah kedua orang tua mereka membaca berita dari Vira. Hari ke 4
datang SMS kedua, yang rupanya berasal dari Voni di Kepulauan Seribu. Isi
beritanya juga cukup singkat yaitu, "NESCAFE". Setelah membaca surat
tersebut, dengan tergesa-gesa kedua orang tua mereka mencari koran dan
membaca Iklan NESCAFE yang berbunyi, "NIKMATNYA SAMPAI TETES TERAKHIR".

Maka kedua orang tua mereka pun tersenyum bahagia sambil sedikit haha..
hihi.. Hari ke 5 ditunggu tidak ada berita/SMS yang datang. Hari ke 6 begitu
pula tidak ada sebuah SMS pun. Hari ke 7 begitu pula tidak ada kabar dari
anak bungsu mereka si Veni yang berbulan Madu....

Memasuki hari ke 8... akhirnya kedua orangtua mereka menerima SMS juga dari
Veni yang berbulan madu di Bali dan isi beritanya cukup singkat, " CATHAY
PACIFIC".

Segera kedua orang tua mereka mencari Iklan penerbangan Cathay Pasific yang
ada dikoran, dan dijumpailah iklan penerbangan dengan tulisan besar, "7 KALI Sehari Non Stop"

Tuesday, July 19, 2011

.... TIME TO WAKE UP .... AND FOLLOW YOUR DREAM

KETIKA DUNIA TIDAK LAGI MEMILIH BATAS



1990, saya mulai bekerja disebuah perusahaan Amerika. Saya ingat betul hal pertama yang diberikan perusahaan kepada saya adalah sebuah alamat email. Itupun menggunakan alamat dan perusahaan internet “compuserve”. Sebuah internet provider pemula dan sangat beken di tahun 80’an di Amerika. Sayangnya tak lama kemudian Compuserve dibeli AOL alias pesaing “America On Line”. Compuserve lalu memudar, dan tidak lagi mengudara semenjak Agustus 2009. Saya ingat betul, saat itu mengakses internet sangatlah sulit. Karena harus menggunakan dial-up modem. Dan jasa pelayanan internet provider di awal tahun 1990an di Indonesia belum banyak pilihan-nya. Sambungan internet seringkali putus ditengah jalan. Browsing di internet masih merupakan sebuah kemewahan hidup yang belum bisa kita nikmati.

Pada tahun yang sama, saya membaca buku karangan Kenichi Ohmae, yang berjudul The Borderless World. Usai membaca buku itu, terus terang darah saya mendesir kencang. Mirip burung yang lepas dari sangkarnya. Usai membaca buku itu saya berkhayal, seorang pengrajin jaket kulit di GARUT menerima order dari seorang biker di Rusia. Atau sekelompok pelukis di Djogdjakarta mengerjakan mural pesanan sebuah hotel di Afrika. Dunia kehilangan batas-batasnya, semua dihubungkan dengan internet dan kita memiliki sejumlah kemungkinan dan peluang.

Sejak itu, kemanapun saya pergi, orang dan relasi bisnis saya bertanya, apakah saya “wired” ? Artinya apakah saya memiliki alamat email dan terhubung dengan internet. Istilah “wired” sendiri menjadi sebuah istilah budaya baru, yang begitu keren dan beken saat itu. Sehingga jurnalis Louis Rossetto berpartner dengan teman jurnalis lain Jane Metcalfe, mendirikan sebuah majalah dengan nama yang sama Wired, pada tahun 1993. Sejak itulah lahir sebuah konsep Utopia yang baru. Sebuah Utopia didunia maya. Majalah Wired menjadi bacaan wajib semua geek, nerd, dan techie diseluruh dunia. Berbagai publikasi mengikuti jejak mereka, namun kebanyakan tidak bertahan lama.

Dunia tanpa batas, seperti prediksi Kenichi Ohmae, bukan tanpa sebab dan akibat. Melainkan membuka sebuah kotak Pandora. Dengan satur trilyun keajaiban. Demikian kata seroang techie kepada saya di Portland awal dasa warsa 90’an. Namun apakah semua pemimpin dunia mengalami pencerahan yang sama, dan berani berbuat yang ajaib pula, dan menggunakan internet untuk menciptakan sebuah utopia ekonomi yang baru. Kenyataan-nya tidak demekian. Konon Indonesia yang memiliki lebih dari 240 juta penduduk. Penetrasi Internet di Indonesia kurang dari 40 juta atau hanya sekitar 16 %. Ini data terakhir tahun 2010. Padahal dengan investasi internet yang pragmatis, pembangunan wilayah tertinggal dapat diakselerasi lebih dari 200% dalam 5 tahun. Dan mungkin juga kita tidak memerlukan seorang mentri untuk mengurus masalah ini.

Tahun 1995, datang buku kedua yang memberikan pencerahan kedua kepada saya. Yakni buku Bill Gates yang berjudul The Road Ahead. Konon Bill Gates dibayar di muka 2.5 juta dollar ketika buku ini ditulis. Biaya promosi buku ini sendiri, konon melebihi 1 juta dollar. Didalam buku ini Bill Gates membuat ramalan bahwa ketika populasi internet mencapai titik kritis yang massif, maka Utopia maya, tidak lagi menjadi angan-angan. Melainkan sebuah realita ekonomi yang luar biasa. Bill Gates bercerita tentang sebuah “dompet cerdas”, yang dapat melakukan hampir seluruh transaksi ekonomi. Dan ramalan itu hampir menjadi kenyataan.

Jaringan internet tidak lagi harus lewat sambungan kawat. Internet menjadi jalan toll informasi yang semakin cepat dan mengudara begitu saja seperti layaknya sebuah jaringan radio, tv dan telpon selular. Dimana-mana kita menemukan akses internet diberikan gratis. Malah Negara seperti Singapura, berambisi menjadikan seluruh negaranya menjadi satu jaringan internet bebas bead an bebas pulsa. Akibatnya orang dimungkinkan untuk selalu berhubungan dengan internet selama 24 jam.

Hal ini mengubah paradigma Utopia Maya yang berkembang di awal tahun 90’an.Tahun 1990’an orang bertanya kepada saya “Are You Wired ?” atau apakah saya memiliki alamat email. Tahun 2000’an pertanyaan itu sudah mengalami metamorfosa, dan berubah menjadi “Are You OnLine ?” atau apakah saya memiliki alamat web-site. Sepuluh tahun kemudian. Saya memiliki lebih dari selusin alamat email. 3 blog dan lebih dari 3 nomer telpon selular. Kita tidak lagi “on-line” kata teman techie saya di Portland, melainkan kita melebur dengan internet. Teman techie saya menyebutnya. “Are you sync ?” Itu pertanyaan terbaru di 2011.

Apple telah menciptakan iCloud, sebuah platform sync untuk menyatukan semua file kita dari semua peralatan elektronik kita seperti iPhone, iMac, iPod dan iPad. Inilah era convergence yang baru. Seperti ramalan Bill Gates. Bahwa kita akan memiliki satu alat, mungkin sekecil telpon selular kita, dan kita menggunakannya untuk belanja, komunikasi, game, music, foto dan komputasi sekaligus. Sekarang hampir semua telpon cerdas seperti Blackberry, iPhone dan lainnya, sudah mampu melakukan itu semua, kecuali satu, sebagai dompet. Untuk membayar. Sebagian aplikasi dan jalan menuju aplikasi itu memang sudah dirancang, dan saya yakin ketika semua pemerintahan didunia menerima pulsa telpon sebagai alat pembayaran, maka Bank dan perusahaan Telekomunikasi akan merger menjadi satu.

Kini dengan semua platform telpon cerdas menggunakan aplikasi, sambungan dan akses kita lewat internet tidak lagi melulu harus masuk satu pintu, seperti dulu, yaitu lewat web. Dan dengan aplikasi yang semakin mudah, semakin menarik, dan lebih praktis, maka komputisasi lewat telpon selular juga sudah sangat berubah. Yang menarik adalah bahwa Indonesia kemungkinan akan loncat masuk kepenetrasi internet dalam tahap berikutnya. Dengan rendahnya penetrasi internet Indonesia sekitar 16-18 %, kebanyakan generasi techie Indonesia tidak mengalami akses internet lewat dial-up modem, dan juga broadband dengan kabel. Saya meramalkan penetrasi internet kita akan melompat langsung menjadi berlipat ganda 100% atau 200% menjadi diatas 40% semuanya lewat telpon selular cerdas. Dan ini bisa saja terjadi dalam 5 tahun mendatang.

Yang menarik platform e-business di Indonesia, kebanyakan dan kemungkinan tidak akan lagi web based. Tetapi apps based. Dan ini adalah pusaran kreatif yang baru untuk memikirkan perkembangan apps based yang komersil. Konon telpon cerdas selular di Indonesia, telah memiliki populasi lebih dari 3 juta account. Ini merupakan sebuah pasar yang perlu kita simak dengan teliti. Karena ketika dunia memilih tanpa batas, maka kemakmuran dan rejeki juga memilih batas batas yang sama. Alias bisa mengalir kemana saja dan kepada siapa saja.

Sunday, July 17, 2011

BROWNIES KISMIS



Sebuah kreasi baru dari Bandung - BROWNIES KISMIS !!!!
Rasanya gurih, lembut dan renyah dengan KISMIS Sunmaid
Kelezatan yang akrab dalam sebuah inovasi baru yang trendy

Saturday, July 16, 2011

Thursday, July 07, 2011

Wednesday, July 06, 2011

ROEMAH PELANTJONG DI JOGJA TV



Yogyakarta, www.jogjatv.tv - Dengan misi meningkatkan kunjungan wisata Yogyakarta, Rumah Pelancong, sebuah restoran dalam balutan konsep galery resmi dibuka untuk memamerkan berbagai macam minatur khas Yogyakarta. Lewat ide ini, sang pendiri Rumah Pelancong ingin mengkampanyekan Yogyakarta sebagai tujuan wisata di Asia.

“Alon-alon Maton Kelakon”, slogan ini yang kental di Rumah Pelancong. Rumah pelancong yang beralamatkan di Jalan Magelang kilometer 8 ini, menawarkan berbagai keunikan dari sebuah tempat tujuan berbelanja dan kuliner. Dari segi makanan dan minuman yang ditawarkan, Rumah Pelantjong memiliki menu khas Soto Yogyakarta dan teh pelan, tak hanya itu berbagai cinderamata menarik seperti kaos, mug dan hasl kerajinan juga siap menarik perhatian pengunjung. Dilantai 2 sebuah ruang pameran menjadi wahana bagi seniman yang siap berkarya. Media bagi produk-produk UMKM juga tersedia untuk memasarkan hasil produksinya untuk mengangkat perekonomian usaha mikro.

Pembukaan rumah pelancong yang digelar Sabtu siang(18/6), berlangsung dalam suasana penuh keakraban, dengan deklarasi “Yogyakarta The City Of Slow”. Manager Rumah Pelancong, Kafi Kurnia menuturkan, degan dibukanya Rumah Pelancong diharapkan dapat mengenalkan Yogyakarta sebagai tujuan wisata di Asia melalui budaya dan ciri khas yang ada, setelah Indonesia hanya dikenal lewat pariwisata Pulau Bali.

KAFI KURNIA - SI BIANG PENASARAN

Sunday, July 03, 2011

Sembah dan Salam



Hampir tiap perusahaan, ingin memiliki cara yang paling unik untuk memberikan salam. Konon hal ini dilakukan sebagai bagian aktivasi dari sebuah merek. Dan juga mempertajam ciri khas pelayanan mereka. Toko oleh-oleh dan kaos oblonk Joger di Bali misalnya, membuat ritual untuk menyambut pelanggan-nya dengan ucapan “Selamat Pagi !”. Tidak peduli apakah itu sudah siang, sore atau malam sekalipun. Konon ucapan “Selamat pagi” dimaksudkan sebagai sebuah optimisme bahwa di Joger sepanjang hari selalu pagi. Tetap cerah dan tetap semangat. Beberapa motivator Indonesia juga rajin membuat salam khusus. Ada yang berseru”Luar biasa !”. Ada pula yang berseru “Dahsyat !”. Dan seterusnya.

Di Asia sendiri, salam yang paling umum adalah merapatkan kedua belah tangan didada. Diberbagai negara di Asean, memberi salam dengan bahasa tubuh seperti ini cukup popular. Di Thailand misalnya, kita sering disambut dengan salam seperti ini, sambil yang member salam berucap “Sawadikap”. Di Indonesia salam seperti ini juga popular. Malah salam ini sepertinya dijadikan bagian dari budaya pelayanan di perusahaan penerbangan Garuda, belum lama ini. Konon salam dengan merapatkan kedua belah tangan didada, berasal dari sebuah filosofi tua. Dalam tradisi dan kultur Tiongkok, dikenal sebuah salam khusus yang dikenal dengan “soja”. Melakukan “soja” artinya memberikan salam sambil berhormat. Sebuah gerakan yang membentuk bahasa tubuh, untuk merendah. Diperkirakan “soja” terinspirasi dari kata “xin” dalam bahasa Tiongkok. Yang memiliki arti jantung dan hati sekaligus. Aksara dalam bahasa Tiongkok bukan berupa alphabet seperti lazimnya di berbagai bahasa. Melainkan sebuah pictogram alias symbol yang memiliki arti. Kata “xin” memiliki pictogram dengan kedua belah tanggan didada dan dibawahnya ada sebuah perahu besar. Artinya kiasan sebuah kehidupan yang sehat dengan keseimbangan dan tau caranya selalu merendah. Barangkali jadi ada benarnya bahwa inti dari sebuah pelayanan yang berhasil apabila yang melayani selalu rendah hati.

Desainer kondang Indonesia, Harry Darsono pernah mendongeng tentang filsafat NOL. Bahwa setiap orang yang ingin melayani dengan baik perlu mengosongkan dirinya menjadi NOL. Karena hanya dengan menjadi NOL, maka kita menjadi bermanfaat dan bermakna. Mangkok atau gelas kalau kosong baru bisa di-isi. Koper kosong baru berguna untuk berpergian. Dan mobil yang kosong baru bisa ditumpangi. Dengan menjadi NOL kita siap siaga untuk mengisinya dengan segala macam keluhan konsumen. Tetapi kalau kita bukan NOL, kita akan sulit berfungsi. NOL adalah simbol rendah hati yang paling pas.

Rendah hati adalah pelatihan sikap dan mental pelayanan yang paling kritis. Saya pernah mendengar cerita bahwa kalau kita mengikuti pelatihan di Universitas Burger punya McDonald maka awal dari training adalah bukan langsung membuat burger. Melainkan membersihkan WC dan meja-meja yang kotor. Ini mirip metode membuat NOL diri kita. Dengan membersihkan toilet, meja dan sampah, secara tidak langsung kita diberi pelatihan disiplin tentang kebersihan. Dan kalau kita sudah memiliki mental dan sikap bersih 100%, maka ketika kita masuk kedalam dapur, kita dengan rendah hati akan mempraktekan kebersihan dengan disiplin yang sangat tinggi.

Di Jepang, ketika pagi hari saat sebuah toko mau buka, mereka punya tradisi dengan membungkuk kepada konsumen. Sebagai sebuah penghormatan. Ritual ini dinamakan Ojirei. Bagi mereka yang belum terbiasa, tradisi ini bisa saja dirasakan berlebihan. Namun sebenarnya Ojirei atau membungkuk hormat, punya fungsi sama, yaitu membuat diri kita NOL dan mendisiplinkan kita agar selalu rendah hati.

Betapa sering kita menguping pembicaraan entah itu disebuah restoran atau kafe, sejumlah pramusaji menggosipkan ulah tamu yang seringkali sulit dilayani. Pelit memberikan tip. Atau tamu yang dianggap kelewatan bersikap. Tidak jarang dalam bisik-bisik itu sang tamu mendapat julukan, “ Si Pelit “ atau “Om Konyol” dan “Tante Rese”. Maka arti sesungguhnya dari sebuah pelayanan tercemar. Dan semua salam, hormat dan sembah hanya menjadi kepura-pura-an yang terasa sangat imitasi dan plastic.

Pernah sekali ketika saya berdinas di Yokohama, Jepang, saya dan rekan bisnis saya berkesempatan naik taksi menuju sebuah desa wisata. Taksinya bukanlah sebuah mobil yang baru. Mirip sebuah Toyota Crown lama. Namun sangat bersih dan terawat sekali. Jok mobil semuanya diberi sarung kain putih yang bersih. Ketika kami mau naik, sang supir keluar dari taksi merapikan bajunya, lalu memakai topinya yang juga putih, setengah membungkuk, membuka-kan kami pintu dan mempersilahkan kami masuk. Setelah kami masuk, ia masuk dan mencopot topinya yang putih dan barulah ia mengendarai mobil taksi. Maka kamipun melaju. Rekan bisnis saya senyum-senyum, lalu kami membahasnya ketika makan siang. Karena jelas penghormatan yang diberikan sang supir taksi membuat kami sangat tersanjung. Rekan saya berkata bahwa supirnya saja di Jakarta tidak sesopan dan seramah itu. Bahasa tubuh sang supir taksi memperlihatkan status NOL-nya. Kami berdua sangat tersentuh secara emosional.

Pada saat yang sama kami menginap disebuah penginapan tradisional ala Jepang yang disebut Ryokan. Ini bukan hotel biasa. Mirip losmen dengan pelayanan serba pribadi. Ketika check-in, koper saya yang cukup berat diangkat oleh 2 pelayan hotel yang kebetulan wanita berpakaian kimono. Tentu saja saya menjadi malu, dan meminta agar koper itu saya bawa sendiri. Sang pelayan bertahan dan tidak membolehkan saya mengangkat koper saya. Dari lobi hotel kita masuk ke ruang dalam. Sepatu saya diminta dicopot, dan saya diberi sepasang sandal. Saat saya masuk kamar, semuanya tertata sangat rapid an bersih sekali. Walaupun tidak ada perabot yang mewah. Pas didalam kamar kurang lebih sepuluh menit, saya mendadak ingat sesuatu dan harus ke lobi lagi. Maka bergegaslah saya ke lobi. Di gerbang halaman luar, sandal saya ditukar kembali dengan sepatu saya. Dan yang membuat saya kaget, sepatu saya sudah sangat bersih, mengkilat luar biasa, plus harum. Sepatu saya diletakan di keranjang rotan yang dilapisi kain. Luar biasa. Saya heran, bagaimana mungkin mereka melakukan-nya hanya dalam kisaran 10 menit. Usai dari lobi saya kembali balik masuk kamar. Kembali saya kaget. Karena jelas-jelas ketika saya ke lobi, ada orang yang masuk dan merapikan kamar saya. Pengalaman di Yokohama ini, memberikan saya sebuah pencerahan baru. Bahwa pelayanan membutuhkan dedikasi yang sangat luar biasa. Bukan hanya sekedar sembah dan salam biasa.

Teman saya yang memiliki sebuah toko kecil di Tokyo, mengatakan dengan sederhana bahwa ritual membungkuk – Ojirei pada saat membuka toko juga dilakukan sama pada saat menutup toko. Bukan saja bertujuan untuk mendisplinkan karyawan agar memiliki sikap dan mental NOL dalam melayani. Tetapi juga mengingatkan karyawan bahwa yang melayani harus selalu lebih rendah dari yang dilayani. Anda boleh saja merasa terusik dengan filosofi ini, tapi arti sesungguhnya dari sebuah pelayanan yang sempurna memang terungkap pas pada ritual ini. Tidak lebih tidak kurang.