Saturday, July 27, 2013

Kebahagian itu ada ! Kebahagian itu pasti !


Ketika saya kuliah, bertahun-tahun saya sulit tidur. Hal ini terus terbawa ketika saya mulai masuk dunia nyata dan bekerja. Perasaan ini menyiksa luar biasa. Tiap malam saya terpaksa terjaga hingga larut malam dan kemudian baru tidur. Itupun hanya beberapa jam saja. Sama seperti orang lain, saya punya segunung perasaan takut dan cemas. Apakah saya akan sukses ? Apakah saya akan kaya raya ? Dan apakah saya akan bahagia ? Melihat dunia nyata yang begitu agresif, maka sekian pertanyaan itu tumbuh dan merasuk jiwa raga saya, tanpa bisa saya bendung sama sekali. Tekanan datang bertubi-tubi, apalagi kalau kita rajin menengok kanan dan kiri - melihat teman-teman kita sebaya lebih berhasil atau lebih sukses dari kita. Stress yang kita gendong di pundak kita bertambah berat, dengan iri dan cemburu. Kita merasa kelinci yang diburu oleh sekian banyak pemburu. Hidup ini kita jalani dengan nafas tersengal. Kita tidak pernah lagi kehabisan amarah dan dengki. Begitu banyak. Dan selalu luber seperti banjir yang meradang sehabis hujan.

Setelah tahun 1990, ketika saya memutuskan untuk menata ulang kehidupan saya, ada 2 pelajaran yang saya dapat dari mentor spriritual saya Mpu Peniti. Beliau mengajarkan saya tentang 2 jenis kebahagian. Yang pertama adalah kebahagian yang pasif. Yaitu kebahagian yang datang kepada kita karena dari luar kita. Misalnya kita punya karir sangat tinggi, banyak uang dan kaya raya. Maka rejeki yang berlimpah itu bisa saja memberikan sejumlah kebahagian dan kepuasan. Mulai dari rumah hingga mobil mewah. Semuanya memberikan anda kepuasan, kesenangan dan akhirnya seporsi kebahagian. Kebahagian ini bisa saja menaik-kan gengsi, wibawa, kharisma, dan harkat diri anda.

Namun ada juga kebahagian yang kedua. Yaitu kebahagian yang aktif. Yang datang bukan dari luar, melainkan dari dalam. Bahwa anda berbuat sesuatu yang baik, sehingga kebaikan itu mampu menjadi enerji positif. Dan anda merasa bahagia yang sangat berbeda. Kebahagian yang lebih emosional dan spiritual. Perasaan ini bisa anda simak dari sekian banyak perbuatan sehari-hari. Mulai dari yang sangat sederhana. Misalnya anda sedang berkendara dalam mobil dalam sebuah siang hari yang sangat panas. Tiba-tiba ada pengemis yang cacat mengetuk jendela mobil anda. Anda bisa saja menggelengkan kepala menolak bersedekah. Atau menyuruh supir anda memberikan uang receh. Semata karena anda mampu. Dan karena bersedekah memang dianjurkan dalam agama kita. Tetapi anda bisa saja melakukan sesuatu yang berbeda dari dua tindakan diatas. Anda bisa saja menatap sang pengemis, hingga rasa iba anda tersentuh. Lalu menurunkan kaca mobil. Mengambil uang lalu memberikan kepada sang pengemis sambil tersenyum. Kemudian mendoa-kan beliau, agar Tuhan Yang Maha Esa memberkati sang pengemis, melindunginya dan menjaganya dengan kebaikan yang tidak pernah habis. Percayalah diakhir perbuatan anda itu, kebahagian akan merembes masuk tanpa anda sadari. Andaikata anda melakukan 3 perbuatan seperti itu dalam satu hari, satu di pagi hari, satu di siang hari dan satu dimalam hari, maka hidup anda akan kenyang dengan kebahagian. Anda tidak akan pernah lagi lapar dari kebahagian.

Sejak tahun 1990, saya kemudian mencoba mempraktek-kan ajaran hidup itu. Mencoba melakukan praktek kebahagian yang aktif. Bukan yang pasif. Saya melakukan-nya dengan kegiatan yang sangat sederhana. Menulis dan mengajar. Mencoba untuk melekatkan sebuah inspirasi kecil kepada orang lain. Dengan harapan agar inspirasi itu bermanfaat dan bisa menjadi kebahagian buat orang lain. Awalnya saya tidak pernah tahu kalau apa yang saya lakukan itu berhasil atau tidak. Saya baru tahu dan baru yakin, ketika saya mengalami sebuah peristiwa yang sangat membahagiakan diri saya.

Alkisah, suatu hari lebih dari 20 tahun yang lalu, di Pasar Baru saya sedang menunggu supir datang dengan mobil saya. Tiba-tiba seorang lelaki separuh baya datang menghampiri saya. Wajahnya sangat gembira melihat saya. Lalu ia menjabat tangan saya. Dan mengatakan dengan terbata-bata : "Mas Kafi ..... terima kasih ! Anda telah menyelamatkan hidup saya." Awalnya saya kaget bukan main. Lalu dia bercerita bahwa profesi awalnya adalah supir. Suatu hari di mobil, ia membaca artikel saya disebuah majalah. Dan majalah itu adalah majalah majikan-nya yang ditaruh di mobil. Gara-gara artikel itu, ia berhenti menjadi supir dan berubah menjadi entrepener. Ia mengaku sangat berbahagia. Kami barangkali cuma sempat mengobrol 2 menit. Namun 2 menit itulah yang mengubah hidup saya hingga kini. Sejak itu saya bertekad menjadi praktisi kebahagian yang aktif. Saya ingin menulis lebih baik. Mengajar lebih baik. Membantu orang untuk menemukan inspirasi hidup. Agar hidup mereka lebih baik.

Namun cobaan hidup yang datang terus menerus, kadang membuat kita sering ragu. Apakah kebahagian itu ada ? Dan apa kebahagian itu pasti ? Sama dengan anda saya juga sering bertanya dengan pertanyaan yang sama. Mpu Peniti pernah bercerita 2 cerita tentang kebahagian.

Cerita yang pertama tentang se-ekor ikan kecil. Konon, suatu hari ia mendengar pembicaraan ditepi danau antara seorang guru dan muridnya. Sang guru berceramah tentang air. Bagaimana air itu secara mujizat menjadi sumber kehidupan bagi berbagai mahluk hidup. Mulai dari tanaman, hewan hingga manusia. Semua mahluk hidup sangat membutuhkan air. Mendengar hal itu sang ikan yang kecil menjadi penasaran. Ia ingin mencari dimana gerangan sang air itu berada. Awalnya ia bertanya kepada ayah dan ibunya. Keduanya menggeleng. Karena memang tidak tahu. Lalu ia bertanya kepada gurunya disekolah. Gurunya juga tidak tahu. Ikan kecil ini hampir putus asa. Lalu ia dianjurkan menemui ikan sepuh yang selalu bertapa ditengah danau. Sang ikan yang selalu bertapa ini tahu hampir segalanya. Dan ia pasti tau dimana letaknya sang air. Bergegaslah sang ikan kecil untuk menemui sang ikan yang selalu bertapa. Ketika bertemu, sang ikan kecil langsung bertanya, dimanakah ia bisa mendapatkan air. Ikan yang selalu bertapa tersenyum, dan mengatakan air itu ada disekeliling sang ikan kecil. Mulanya sang ikan kecil merengut, tidak mengerti. Lalu sang ikan yang selalu bertapa menjelaskan bahwa sang ikan kecil berenang didalam air.

Kebahagian itu ada. Tergantung persepsi anda. Kalau anda pasif, maka kebahagian itu ada disekeliling anda. Tantangan-nya apakah anda mau mengenali mana yang disebut kebahagian itu ? Tetapi kalau anda aktif maka anda sama seperti ikan kecil, yaitu anda berenang didalam kebahagian. Anda tidak lagi harus mengenali kebahagian, tetapi apakah anda mau bahagia ? Dan menikmati apa yang ada disekeliling anda. Menjadikan apa yang ada disekeliling anda sebuah kebahagian yang lengkap. Jadi kebahagian itu memang ada. Kebahagian itu ternyata pilihan hidup.

Cerita yang kedua adalah cerita seorang pangeran yang diberi tugas oleh ayahnya sang Raja. Suatu hari Raja menugaskan putera mahkota untuk pergi ke danau mencari ikan yang paling besar dan sempurna untuk dijadikan santapan buat sang Raja. Maka pergilah sang pangeran memancing ke danau sesuai dengan perintah sang Raja. Anehnya, sang pangeran tidak pulang berhari-hari. Barulah setelah seminggu sang pangeran pulang. Mukanya pucat dan kuyu. Ia pulang dengan tangan kosong. Tidak membawa se-ekor ikan-pun. Dengan sedih sang pangeran bercerita tentang kegagalan-nya. Awalnya ia berhasil menangkap beberapa ikan yang besar-besar. Namun ia selalu penasaran, dan ingin mencari ikan yang lebih besar lagi. Celakanya, ikan yang ia tangkap bukan semakin besar tetapi semakin kecil. Sehingga ia putus asa total.

Lalu ayahnya menasehati sang pangeran. Bahwa kebahagian dalam hidup kita adalah sesuatu yang pasti. Asalkan kita bersedia menerima apa yang diberikan Tuhan Yang Maha Esa dengan suka cita. Kebahagian bukanlah sesuatu yang harus selalu kita bandingkan. Rumah yang lebih besar. Atau mobil yang lebih mahal. Belajar menerima apa yang kita miliki adalah sebuah perbuatan kebahagiaan. Karena sesungguhnya kebahagian adalah pilihan hidup. Kebahagian itu ada. Dan kebahagian itu pasti !

Monday, July 22, 2013

MANAJEMEN MEMBAHAGIAKAN PERUT RAKYAT
















Belum lama ini, sebuah laporan dari World Bank memuat data yang sangat mengejutkan. Yaitu 36% anak Indonesia dibawah usia 5 tahun mengalami pertumbuhan - "stunted growth", alias tinggi badan-nya dibawah standar rata-rata, alias kate atau kerdil. Angka ini lebih tinggi dibanding Vietnam (23,3%) dan Filipina (32%). Menempatkan Indonesia sejajar dengan negara-negara lebih miskin seperti Myanmar (35%), Kamboja (40,9%) dan Laos (44%).

Celakanya, Indonesia juga punya statistik yang mengejutkan, yaitu anak-anak yang terlampau gemuk tercatat 12,2%. Dan ini sangat tinggi, apabila dibandingkan Malaysia yang hanya 6%. Laporan ini juga mengutip bahwa pada tahun 2002, bayi di Indonesia yang menyusui ASI hingga 6 bulan ada 40%. Tahun 2010 angka tersebut hanya tinggal 15%.

Teman saya yang kebetulan adalah dokter, merasa sangat gusar dengan laporan ini, karena artinya anak-anak Indonesia mengalami masalah gizi berbarengan di dua sisi sekaligus. Disisi yang satu dapat dikatakan anak-anak kita terancam pertumbuhan-nya karena kekurangan gizi. Anak-anak Indonesia yang tinggi badan-nya di bawah standar, akan menimbulkan sejumlah masalah yang kompleks. Bayangkan kita menjadi bangsa yang kerdil alias kate. Sehingga mempengaruhi kemampuan kita dalam memproduksi sumber daya manusia yang berkualitas tinggi. Dan akan sangat sulit misalnya mendapatkan bakat untuk para atlit dimasa-masa mendatang.

Sebaliknya anak-anak kita yang sudah terlalu gemuk semenjak kecil, akan memiliki resiko, yang lebih tinggi terhadap penyakit-penyakit seperti diabetes dan jantung. Sehingga usia mereka cenderung lebih pendek. Mereka juga bakal mendapat sejumlah masalah emosional lain-nya yang cenderung menjadi masalah sosial yang lebih kompleks. Anda mungkin bingung kenapa Indonesia bisa terkena masalah ini dua-duanya sekaligus. Rasanya rada aneh.

Analisanya sangat mudah, namun jarang ada yang memperhatikan. Jumlah penduduk Indonesia konon sudah melebihi 220 juta orang. Lebih dari separuhnya belum berusia 30 tahun. Malah menurut perkiraan ada lebih dari 50 juta pemilih baru dalam pemilu 2014 mendatang. Ini data yang mengerikan, artinya kita punya rakyat dengan usia produktif yang sangat tinggi. Mereka membutuhkan lapangan kerja, perumahan dan layanan sosial lainnya yang sangat banyak. Kenyataan ini menjadi lebih runyam, karena menurut World Bank atau Bank Dunia, Indonesia setelah tahun 2014 punya potensi memiliki masayarakat kelas menengah yang bisa mendekati 150 juta orang. Bandingkan dengan negara-negara tetangga kita di ASEAN, yang sangat jauh dari 50 juta orang kelas menengah. Baik Filipina, Malaysia, Vietnam dan Thailand, semuanya tidak memiliki kemampuan yang sama.

150 juta kelas menengah Indonesia ini, memiliki aspirasi dan kemampuan membeli (purchasing power) yang sangat luar biasa. Namun jangan lupa kita juga memiliki 100 juta masyarakat pedesaan yang kemungkinan tingkat sosial dan kesejahteraan-nya semakin jauh bisa dibanding dengan yang 150 juta kelas menengah ini. Nampaknya jurang sosial yang semakin lebar inilah yang menyebabkan Indonesia memiliki masalah gizi rendah dan gizi berlebih sekaligus. Runyam bukan ?

Banyak kritik yang dilontarkan kepada pemerintah bahwa sudah 10 tahun lebih lamanya ekonomi Indonesia berjalan dengan 'auto pilot' - dimana pemerintah tidak berdaya melakukan kebijakan yang berimbas besar kepada ekonomi Indonesia. Akibatnya sebagian rakyat menjadi rakyat kelas menengah karena upaya mereka sendiri. Sedangkan masyarakat pedesaan yang seharusnya ditolong pemerintah untuk diberdayakan dan dimaksimalkan kesejahteraan-nya terbukti dan terlihat terlantar. Sehingga Indonesia memiliki masalah runyam ini.

Bukti lain yang sangat terlihat jelas, adalah dalam 18 bulan terakhir ini, pemerintah membuat berbagai kebijakan dibidang pangan yang sangat populis, karena maklum sudah menjalang pemilu 2014, dan saatnya Pemerintah terlihat memiliki citra untuk membela 'wong cilik' dan petani. Kebijakan itu terutama dibidang impor dan pengadaan bahan pangan. Namun apa yang terjadi ? Situasi menjadi kisruh dan runyam. Berturut-turut dan berulang kali kita diterpa krisis pangan. Mulai dari krisis bawang putih, krisis jengkol dan pete, krisis daging hingga krisis cabe dan bawang merah. Dalam beberapa bulan terakhir ini pangan juga memberati tingkat inflasi. Sehingga laju ekonomi Indonesia terguncang dan tersendat-sendat.

Keberpihakan kita jelas adalah 100% bagi petani Indonesia. Ini mutlak dan tidak bisa ditawar. Kita harus membela kepentingan Nasional. Tetapi kebijakan yang diterapkan semestinya memiliki kearifan yang menyeluruh dari perencanaan, hingga pelaksanaan. Bila tidak maka kebijakan yang semestinya membela petani hanya akan menjadi macan kertas saja. Terlihat apik, namun sangat sulit dilaksanakan. Ambil contoh masalah daging sapi. Pemerintah ingin memajukan peternakan sapi dan mensejahterakan perternak dalam negeri. Maka impor daging sapi dibatasi. Terlihat diatas kertas sangat baik. Dan sangat bijak. Namun pembatasan impor daging sapi tersebut sama dengan masalah gizi diawal artikel ini, disama ratakan kebijakan-nya. Padahal industri pariwisata dan industri cafe - restoran kita sedang tumbuh sangat luar biasa. Akibatnya daging impor untuk industri ini melonjak hingga 400 ribu rupiah perkg. Pengusaha menjerit ! Karena harga yang sedemikian tinggi, laba di daging impor juga menjadi menggiurkan. Perijinan impor daging menjadi lahan bisnis tersendiri. Maka meledak-lah kasus korupsi perijinan kouta impor daging dapi. Akhirnya pemerintah sadar juga, maka impor sapi khusus untuk hotel dan resto yang disebut dengan "prime cut beef" dibebaskan dari kouta, namun harus diimpor lewat pelabuhan udara. Yang tentunya akan membuat harga tetap mahal. Sebuah kebijakan yang kelihatan sekali diberlakukan dengan setengah hati.

Sementara situasi daging sapi dipasar domestik tetap ruwet dan runyam. Harga tetap tinggi dan tidak terjangkau. Maka presiden membuat instruksi agar dilakukan impor sapi darurat. Agar tidak terjadi permainan, maka diperintahkan Bulog sebagai pelaksana-nya. Tetap saja runyam, karena instansi terkait baru menggelontorkan ijin, akhir Juni lalu. Karena bulan puasa sudah semakin dekat, terpaksa Bulog mendatangkan daging sapi dengan pesawat terbang. Disamping harganya tetap mahal, jumlah yang bisa diimpor juga terbatas. Situasi belum berubah banyak, harga daging sapi tetap mahal. Masalah bertambah ketika, penjual dipasar menolah menjual daging impor Bulog, karena yang diimpor adalah daging beku. Konsumen hanya mau membeli daging segar.

Situasi runyam, ruwet ini akhirnya membuat pemerintah panik, dan hari ini di koran, diumumkan bahwa kouta daging impor akan dihapus. Contoh diatas menunjukan kebijakan pangan kita yang tambah sulam. Kalau bocor baru ditambal. Masalah pangan nasional sangat ruwet, karena dimulai dari keberpihakan kita terhadap petani Indonesia, hingga kedaulatan dan ketahanan pangan. Namun bagi konsumen persepsinya jauh berbeda, yaitu bagaimana mendapatkan pangan dalam jumlah yang cukup namun harganya sangat ekonomis.

Seorang pejabat yang sangat jujur, mengatakan kepada saya, bahwa salah satu masalahnya, adalah gengsi bangsa. Masa Indonesia, sebuah negara tropis yang sangat subur di Khatulistiwa sangat bergantung pada impor pangan. Secara matematik impor pangan kita sebenarnya sangat kecil. Misalnya saja impor hortikultura hanya sekitar 8% dari total konsumsi nasional. Tetapi lagi-lagi seperti awal dari tulisan ini, yang kita lihat hanya sisi bagus Indonesia. Pertumbuhan ekonomi yang bagus. Lonjakan kelas menengah yang fantastis. Ibarat kita berpakaian, diatas kita pinggang kita berpakaian utuh, dibawah pinggang kita telanjang. Demikian juga yang terjadi impor pangan terlihat sangat 'high visibility' kalau kita melihatnya di supermarket dan pusat belanja di mall yang dipenuhi dengan resto dan cafe mewah. Ketika kita menyatukan dua pasar yang berbeda - antara pasar kelas menengah yang bakal 150 juta itu dan pasar pedesaan yang hampir sama jumlahnya, maka penglihatan kita menjadi tidak lagi jelas. Warna menjadi sangat abu-abu.

Seorang pengusaha wanita yang marah pada semua keadaan ini membuat analogi yang sangat menarik. Kata beliau, kalau pemerintah mau melakukan kebijakan yang populis, maka hal yang sama harus diberlakukan disemua bidang, jangan hanya pangan. Misalnya, merek-merek baju yang sangat terkenal diseluruh dunia harus juga diberlakukan kouta dan dibatasi. Masyarakat harus diwajibkan berpakaian lurik dan batik. Mobil-mobil mewah juga harus dibatasi dan diberlakukan kouta. Masyatakat harus diwajibkan hanya membeli mobil Kijang saja. Begitu omelan sang Ibu pengusaha.

Andaikata kita mau merenung dan berpikir arif, ucapan sang Ibu banyak benarnya juga. Batik dan mobil Kijang, tidak pernah terancam dengan impor baju mewah dan impor mobil mewah. Kenapa bisa begitu ? Sederhana jawaban-nya ! Batik dan mobil Kijang tampil sangat menawan, dibeli dan dipakai oleh masyarakat, semata-mata karena dua hal. Pertama produknya makin modis dan kualitasnya semakin baik. Kedua baik batik dan mobil Kijang dipromosikan dengan pemasaran yang baik. Barangkali ini adalah kearifan yang tidak bisa terbantahkan.

Jadi kita bisa belajar dari dua kearifan diatas. Pangan produksi Indonesia, apakah itu daging, buah dan sayur, kalau ingin sukses seperti Batik dan mobil Kijang, harus menempuh jalan yang sama bahwa produknya mesti berkualitas dan memiliki daya saing yang tinggi. Sederhana sebenarnya. Dan harus pula dipromosikan dengan strategi pemasaran yang baik.

Kalau pemerintah tidak membatasi orang untuk berpakaian mewah dan memiliki mobil mewah, rasanya janggal kalau pemerintah membatasi orang untuk makan buah impor dan makan daging impor. Kecintaan konsumen Indonesia terhadap buah dan daging Nusantara, harusnya sama seperti batik, yaitu kita mencintai-nya karena pilihan semata. Bukan karena terpaksa gara-gara tidak ada pilihan lain. Semua peraturan pemerintah yang mempersulit impor pangan dan membuat bahan pangan impor menjadi sangat mahal adalah tindakan tidak adil terhadap kelas menengah Indonesia. Jangan mentang-mentang mereka sanggup membayar, biar saja mereka membayar dengan mahal. Hal ini akan menjadi pemiskinan terhadap kelas menengah.

Secara pribadi saya berharap, pemerintah punya kebijakan pangan yang jangan asal tembak dan asal tambal sulam. Pekerjaan rumah kita sangat banyak. Seharusnya pemerintah punya visi tahun 2020, dimana kedaulatan pangan dan ketahanan pangan kita bertahta dengan pemberdayaan petani dan semangat entrepener petani generasi baru. Saya melihat tantangan visi tahun 2020 akan sangat berat, bukan saja kita harus mampu menyediakan ketersedian pangan yang cukup dan harganya sangat ekonomis, tetapi bagaimana lewat pangan kita bisa mensejahterakan rakyat dengan pangan berkualitas tinggi. Bagaimana kita bisa membuat rakyat sehat lewat pangan. Tidak akan ada lagi gagal nutrisi baik kekurangan gizi dan kelebihan gizi.

Ini praktek manajemen yang sangat ruwet dan sulit. Teman saya menyebutnya sebagai manajemen untuk membahagiakan perut rakyat. Dan seperti praktek manajemen lain-nya, diperlukan tujuan dan visi. Kemampuan merencanakan yang sangat akurat. Pelaksaan yang efektif. Serta pengawasan yang arif. Saya berharap presiden baru kita mendatang akan arif untuk mewujudkan-nya.



Sunday, July 14, 2013

CERITA SEBUNGKUS GARAM




Bulan Ramadhan yang lalu, Mpu Peniti mentor saya, titip agar saya membeli sebungkus garam buat beliau. Mulanya saya garuk garuk kepala terheran-heran. Buat apa sebungkus garam. Beliau cuma tertawa, dan menjawab singkat - "Buat masak makanan buka puasa". Maka 2 jam sebelum puasa saya sudah tiba dirumah Mpu Peniti dengan sebungkus garam. Beliau gembira betul melihat saya membawa sebungkus garam pesanan beliau. Garam tersebut dibawanya ke dapur, dan Mpu Peniti sibuk memasak.

Saya menunggu diteras belakang. Sehabis sholat setelah bedug berbuka puasa, Mpu Peniti mengajak saya makan. Menunya sangat sederhana. Nasi putih, tahu dan tempe goreng, serta tumis kangkung. Entah kenapa saya seperti tersihir, makan dengan sangat lahap. Rasanya enak luar biasa. Sebuah pengalaman yang sangat magis. Awalnya saya pikir saya dikerjai Mpu Peniti. Tapi ternyata tidak. Sehabis makan beliau baru cerita. Bahwa nasi tadi ditanak dengan air kelapa dan dibubuhi sedikit garam supaya gurih. Sedangkan tahu dan tempe sebelum digoreng direndam di-air garam dan bawang putih. Dan tumis kangkung ditumis dengan cabe, bawang merah, dan garam. Tapi mengapa bisa begitu enak ? Mpu Peniti hanya tertawa terkekeh-kekeh. Karena resepnya memang sangat rahasia.

 Pada akhirnya beliau bertutur juga. Tentang pelajaran hidup yang beliau ingin turunkan kepada saya. Maka berceritalah beliau tentang budaya prihatin. Beliau menasehati saya agar selalu hidup prihatin. Menurut Mpu Peniti, prihatin bukanlah artinya kita harus menyiksa diri kita. Hidup serba susah. Pertama-tama Prihatin lebih kepada alam pikir kita. Sebuah "state of mind". Bahwa kita dalam kepekaan berpikir. Sehingga panca indera kita menjadi lebih tajam dan fokus. Dalam hal ini Mpu Peniti mencontohkan nasi yang ditanak dengan campuran air kelapa dan garam. Betapa sering kita mengabaikan nasi. Yang kita pentingkan selalu adalah lauk-nya. Kita sering menganggap nasi apa adanya. Tetapi ketika nasi ditanak dengan resep khusus bersama air kelapa dan garam, maka nasi yang tidak pernah kita anggap malah menjadi kelezatan tersendiri. Nasi tampil menjadi yang utama. Garam mirip dengan prihatin. Ketika hidup ini menjadi sedemikian hambar, maka prihatin menjadi sebuah kekuatan yang luar biasa.

Bayangkan anda berada disebuah ruangan. Lalu anda menyetel musik sekeras-kerasnya. Maka bukan kemerduan dan keindahan musik yang anda dengarkan, melainkan suara yang sangat bising yang membuat anda sangat terganggu. Tetapi bilamana anda turunkan suaranya hingga ketingkat yang pas, maka yang terdengar adalah suara musik yang sangat indah. Konsep prihatin sama dengan menurunkan suara musik kelevel yang bisa kita nikmati. Bilamana kita telah terlatih dengan gaya hidup prihatin maka apresiasi kita terhadap kesenangan, kebahagian, dan kepuasan menjadi berlipat ganda. Ibaratnya kita sudah terbiasa makan sangat sederhana, suatu hari kita dijamu dengan makanan mewah. Maka kepuasan dan kebahagian kita akan menjadi luar biasa. Tetapi bilamana kita sudah terbiasa makan mewah setiap hari maka kita menjadi mati rasa. Kebal ! Tingkat kepuasan dan kebahagian kita menjadi susah dijangkau.

Maka dengan menambahkan sedikit garam saja kepada sang nasi, Mpu Peniti berhasil mengubah nasi yang sangat sederhana menjadi sebuah hidangan spektakuler. Prihatin justru menjadi alat kreatif untuk menyetel kebahagian hidup kita. Prihatin justru membantu kita untuk lebih bahagia, lebih puas dan lebih menghargai hidup.

Peranan garam dalam masakan kedua, yaitu tahu dan tempe goreng punya makna tersendiri, tutur Mpu Peniti. Merendam tahu dan tempe dengan rempah-rempah bawang putih, sebenarnya sudah merupakan ksebuah kesempurnaan tersendiri, tetapi menambahnya dengan garam dalam jumlah yang pas, menjadi keajaiban teresendiri, buktinya tahu dan tempe goreng menjadi lezat luar biasa. Hal yang sama dengan budaya prihatin. Bilamana kita sudah terbiasa hidup prihatin, percaya atau tidak kita akan punya panca indera tambahan. Yaitu kita menjadi tau diri, terhadap penderitaan orang lain. Ini adalah kualitas pemimpin yang sangat penting. Apakah pemimpin bisnis atau pemimpin bangsa. Tanpa panca indera ini, pemimpin akan buta penderitaan terhadap mereka-mereka yang dipimpin-nya.

Teman saya seorang HRD manajer disebuah perusahaan besar. Sehabis kenaikan BBM, ia mengajukan proposal untuk memperbaiki gaji dan upah diperusahaan-nya. Kebetulan presiden direktur sudah generasi kedua. Masih muda. Namun sejak kecil, sudah hidup mewah dan berlimpah. Hingga SMP sekolah di Singapura. Lalu melanjutkan ke Inggris. Sejak kecil hingga dewasa, hidupnya dikelilingi pembantu dan supir. Semua kebutuhan-nya selalu dilayani tanpa terkecuali. Semua permintaan-nya harus ada. Ia tidak pernah sekalipun hidup susah. Ia tidak tahu artinya menderita. Prihatin tidak ada dalam kamus hidupnya. Maka ketika ia disodori proposal penyesuaian gaji dan upah, dengan serta merta ditolaknya. Malah manajer HRD itu dimarahi habis-habisan. Sang presiden menuduh teman saya ingin kudeta.

Teman saya dengan lesu menceritakan semua pengalaman itu, dan mengatakan bahwa andaikata proposal itu diberikan kepada ayah sang presiden direktur, maka situasinya akan sangat berbeda. Proposal itu pasti akan dipertimbangkan dengan seksama, dan teman saya yakin, bahwa proposal itu akan dikabulkan minimal sebagian, sesuai dengan kemampuan perusahaan. Bedanya, sang ayah mulai dari bawah, mulai dari kondisi hidup miskin dan mendirikan perusahaan. Setelah sukses sang ayah masih menjalankan hidup prihatin. Karena pernah hidup susah dan menderita, sang ayah sangat mengerti dan menyelami penderitaan karyawan-nya. Ia punya panca indera itu. Maka prihatin disini menjadi garam yang melengkapi. Garam yang menciptakan keajaiban.

Buddha mengalami jalan hidup yang sama. Seorang pangeran yang seumur hidupnya dipenjara oleh kelimpahan dan kemewahan istana. Dan ketika ia menyamar keluar istana, dan melihat penderitaan rakyat. Ia dengan suka rela membuka mata hatinya, lalu mengisinya dengan ke-prihatinan. Buddha lalu belajar hidup prihatin. Meditasi, bertapa dan mencoba memahami penderitaan rakyatnya. Dan akhirnya Buddha mencapai titik pencerahan tertinggi. Ini adalah kualitas pemimpin yang semakin langka. Negara dan bangsa membutuhkan pemimpin seperti ini, yang mau prihatin. Mengerti penderitaan rakyat. Bukan mengejar kesenangan. Bukan mengejar kekayaan. Dan bukan pula mengejar kesempurnaan citra.

Dalam masakan ketiga, tumis kangkung, garam tidak tampil didepan. Tetapi dibelakang cabe dan bawang. Prihatin tidak tampil didepan. Prihatin hanya menjadi pelengkap. Sebuah bekal yang menyempurnakan. Seorang Ibu yang sepuh, namun sangat kaya raya, pernah mendatangi Mpu Peniti. Uangnya berlimpah. Anak-anaknya tidak berambisi. Ia bertanya seakan hidupnya kosong. Tidak memiliki kebahagian sama sekali. Ia sudah mencoba dengan berbuat amal kemana-mana. Menolong banyak orang. Kenapa ia masih juga belum berbahagia ? Sederhana kata Mpu Peniti, ia itu ibarat tumis kangkung dengan cabe dan bawang tapi tidak ada garamnya. Ia menolong orang bukan karena ingin menolong orang itu. Ia ingin menolong orang semata karena ia ingin punya perasaan bisa dan berkuasa menolong orang. Ia mengejar pujian dan ucapan terima kasih. Ia ingin punya reputasi bahwa ia orang baik hati yang menolong orang kemana-mana. Ia tidak menolong orang karena prihatin. Maka ia tidak akan pernah berbahagia.

Ketika saya bertemu pertama kali dengan Mpu Peniti, saya berpikir ia mirip dukun ramal. Maka pertama yang saya tanya adalah nasib saya dimasa mendatang. Apakah saya bisa menjadi "seseorang" dan "sukses besar". Apakah saya bakal punya segalanya ? Lalu beliau menjawab dengan cerita tentang Buddha. Konon ketika Buddha selesai meditasi beliau ditanya apa yang didapat dari meditasi ? Buddha hanya menggeleng. Tersenyum dan berkata, "Tidak ada". Lalu mengapa Buddha melakukan meditasi ? Bila ia tidak mendapat apa-apa ? Buddha tersenyum, "Aku melakukan meditasi, bukan untuk mendapatkan apa-apa, melainkan justru untuk menghilangkan semua hal-hal yang negatif. Untuk menghilangkan rasa marah, kegelisahan, cemburu, dengki, rasa takut pada usia tua dan kematian" Dan barangkali dengan pemikiran revolusioner seperti itu, Mpu Peniti mengajarkan saya untuk hidup prihatin. Semata agar kebahagian hidup yang kita kejar adalah kebahagian hakiki yang datang dari kehidupan kita yang sesungguhnya. Bukan dari sesuatu yang semu karena harta. Tetapi kebahagian yang bisa memberikan nilai dan martabat hidup.

Sejak itu saya melakukan sejumlah kegiatan usaha, untuk mencoba sikap prihatin itu. Di Djogdjakarta saya dan beberapa teman melakukan Gerakan Pelan Indonesia, memberdayakan budaya Jawa - "Alon Alon Maton Kelakon". Agar kita prihatin dengan kehidupan yang serba cepat. Dan berusaha pelan. Untuk membuat hidup kita lebih bahagia. Mpu Peniti pernah menasehati saya, kata beliau, andaikata kita naik mobil dengan sangat cepat, kita tidak akan pernah menikmati pemandangan disepanjang jalan. Beda apabila kita menempuhnya dengan berjalan kaki. Maka semua pemandangan akan kita nikmati dengan luar biasa.

Bersama dengan seorang teman karib, saya membuka sebuah pusat penyembuhan di Jalan Senopati di Jakarta. Juga karena prihatin bahwa biaya kesehatan di negara ini sangat tinggi, dan orang harus keluar negeri untuk sembuh. Berbagai penyakit moderen dalam kehidupan kita yang serba cepat kebanyakan disebabkan karena gaya hidup yang serba menuntut. Kita kehilangan panca indera kita yang paling penting. Yaitu prihatin pada sekeliling alam semesta dan manusia disekeliling kita.

Dan keprihatinan saya yang paling besar, adalah fenomena cacat sastra yang diderita oleh anak-anak kita. Dimana anak anak kita mampu dan bisa menggunakan bahasa Indonesia tetapi cacat untuk menggunakan bahasa Indonesia sebagai sebuah keindahan. Kita tidak lagi menulis surat. Kita tidak lagi menulis puisi. Cerpen semakin menjadi seni yang hampir punah. Dengan keprihatinan yang sangat dalam, maka saya mendirikan sebuah penerbitan "AKOER", yang berjuang untuk menerbitkan buku-buku berkualitas, dan mendermakan buku-buku itu ke sejumlah perpustakaan diseluruh Indonesia.

Semua usaha ini dilakukan dengan satu sikap. Prihatin. Saya merugi banyak secara finansial. Namun secara batin, saya merasa sangat kaya. Prihatin telah menjadi bola kehidupan saya. Yang membuat saya melambung kemana-mana karena berbenturan dengan berbagai dinding dan lantai yang keras.

Maka dibulan suci Ramadhan ini, biarkan saya bersujud didepan anda. Mohon maaf lahir dan bathin. Dan doa saya sangat sederhana, marilah kita menjalani puasa ini dengan 100% prihatin. Dengan kesederhaan yang suci. Bukan dengan kemewahan dan kemeriahan. Semoga dengan sikap prihatin yang sama. Bangsa dan negara kita dihantarkan kegerbang kejayaan oleh Tuhan Yang Maha Esa.