Monday, July 22, 2013

MANAJEMEN MEMBAHAGIAKAN PERUT RAKYAT
















Belum lama ini, sebuah laporan dari World Bank memuat data yang sangat mengejutkan. Yaitu 36% anak Indonesia dibawah usia 5 tahun mengalami pertumbuhan - "stunted growth", alias tinggi badan-nya dibawah standar rata-rata, alias kate atau kerdil. Angka ini lebih tinggi dibanding Vietnam (23,3%) dan Filipina (32%). Menempatkan Indonesia sejajar dengan negara-negara lebih miskin seperti Myanmar (35%), Kamboja (40,9%) dan Laos (44%).

Celakanya, Indonesia juga punya statistik yang mengejutkan, yaitu anak-anak yang terlampau gemuk tercatat 12,2%. Dan ini sangat tinggi, apabila dibandingkan Malaysia yang hanya 6%. Laporan ini juga mengutip bahwa pada tahun 2002, bayi di Indonesia yang menyusui ASI hingga 6 bulan ada 40%. Tahun 2010 angka tersebut hanya tinggal 15%.

Teman saya yang kebetulan adalah dokter, merasa sangat gusar dengan laporan ini, karena artinya anak-anak Indonesia mengalami masalah gizi berbarengan di dua sisi sekaligus. Disisi yang satu dapat dikatakan anak-anak kita terancam pertumbuhan-nya karena kekurangan gizi. Anak-anak Indonesia yang tinggi badan-nya di bawah standar, akan menimbulkan sejumlah masalah yang kompleks. Bayangkan kita menjadi bangsa yang kerdil alias kate. Sehingga mempengaruhi kemampuan kita dalam memproduksi sumber daya manusia yang berkualitas tinggi. Dan akan sangat sulit misalnya mendapatkan bakat untuk para atlit dimasa-masa mendatang.

Sebaliknya anak-anak kita yang sudah terlalu gemuk semenjak kecil, akan memiliki resiko, yang lebih tinggi terhadap penyakit-penyakit seperti diabetes dan jantung. Sehingga usia mereka cenderung lebih pendek. Mereka juga bakal mendapat sejumlah masalah emosional lain-nya yang cenderung menjadi masalah sosial yang lebih kompleks. Anda mungkin bingung kenapa Indonesia bisa terkena masalah ini dua-duanya sekaligus. Rasanya rada aneh.

Analisanya sangat mudah, namun jarang ada yang memperhatikan. Jumlah penduduk Indonesia konon sudah melebihi 220 juta orang. Lebih dari separuhnya belum berusia 30 tahun. Malah menurut perkiraan ada lebih dari 50 juta pemilih baru dalam pemilu 2014 mendatang. Ini data yang mengerikan, artinya kita punya rakyat dengan usia produktif yang sangat tinggi. Mereka membutuhkan lapangan kerja, perumahan dan layanan sosial lainnya yang sangat banyak. Kenyataan ini menjadi lebih runyam, karena menurut World Bank atau Bank Dunia, Indonesia setelah tahun 2014 punya potensi memiliki masayarakat kelas menengah yang bisa mendekati 150 juta orang. Bandingkan dengan negara-negara tetangga kita di ASEAN, yang sangat jauh dari 50 juta orang kelas menengah. Baik Filipina, Malaysia, Vietnam dan Thailand, semuanya tidak memiliki kemampuan yang sama.

150 juta kelas menengah Indonesia ini, memiliki aspirasi dan kemampuan membeli (purchasing power) yang sangat luar biasa. Namun jangan lupa kita juga memiliki 100 juta masyarakat pedesaan yang kemungkinan tingkat sosial dan kesejahteraan-nya semakin jauh bisa dibanding dengan yang 150 juta kelas menengah ini. Nampaknya jurang sosial yang semakin lebar inilah yang menyebabkan Indonesia memiliki masalah gizi rendah dan gizi berlebih sekaligus. Runyam bukan ?

Banyak kritik yang dilontarkan kepada pemerintah bahwa sudah 10 tahun lebih lamanya ekonomi Indonesia berjalan dengan 'auto pilot' - dimana pemerintah tidak berdaya melakukan kebijakan yang berimbas besar kepada ekonomi Indonesia. Akibatnya sebagian rakyat menjadi rakyat kelas menengah karena upaya mereka sendiri. Sedangkan masyarakat pedesaan yang seharusnya ditolong pemerintah untuk diberdayakan dan dimaksimalkan kesejahteraan-nya terbukti dan terlihat terlantar. Sehingga Indonesia memiliki masalah runyam ini.

Bukti lain yang sangat terlihat jelas, adalah dalam 18 bulan terakhir ini, pemerintah membuat berbagai kebijakan dibidang pangan yang sangat populis, karena maklum sudah menjalang pemilu 2014, dan saatnya Pemerintah terlihat memiliki citra untuk membela 'wong cilik' dan petani. Kebijakan itu terutama dibidang impor dan pengadaan bahan pangan. Namun apa yang terjadi ? Situasi menjadi kisruh dan runyam. Berturut-turut dan berulang kali kita diterpa krisis pangan. Mulai dari krisis bawang putih, krisis jengkol dan pete, krisis daging hingga krisis cabe dan bawang merah. Dalam beberapa bulan terakhir ini pangan juga memberati tingkat inflasi. Sehingga laju ekonomi Indonesia terguncang dan tersendat-sendat.

Keberpihakan kita jelas adalah 100% bagi petani Indonesia. Ini mutlak dan tidak bisa ditawar. Kita harus membela kepentingan Nasional. Tetapi kebijakan yang diterapkan semestinya memiliki kearifan yang menyeluruh dari perencanaan, hingga pelaksanaan. Bila tidak maka kebijakan yang semestinya membela petani hanya akan menjadi macan kertas saja. Terlihat apik, namun sangat sulit dilaksanakan. Ambil contoh masalah daging sapi. Pemerintah ingin memajukan peternakan sapi dan mensejahterakan perternak dalam negeri. Maka impor daging sapi dibatasi. Terlihat diatas kertas sangat baik. Dan sangat bijak. Namun pembatasan impor daging sapi tersebut sama dengan masalah gizi diawal artikel ini, disama ratakan kebijakan-nya. Padahal industri pariwisata dan industri cafe - restoran kita sedang tumbuh sangat luar biasa. Akibatnya daging impor untuk industri ini melonjak hingga 400 ribu rupiah perkg. Pengusaha menjerit ! Karena harga yang sedemikian tinggi, laba di daging impor juga menjadi menggiurkan. Perijinan impor daging menjadi lahan bisnis tersendiri. Maka meledak-lah kasus korupsi perijinan kouta impor daging dapi. Akhirnya pemerintah sadar juga, maka impor sapi khusus untuk hotel dan resto yang disebut dengan "prime cut beef" dibebaskan dari kouta, namun harus diimpor lewat pelabuhan udara. Yang tentunya akan membuat harga tetap mahal. Sebuah kebijakan yang kelihatan sekali diberlakukan dengan setengah hati.

Sementara situasi daging sapi dipasar domestik tetap ruwet dan runyam. Harga tetap tinggi dan tidak terjangkau. Maka presiden membuat instruksi agar dilakukan impor sapi darurat. Agar tidak terjadi permainan, maka diperintahkan Bulog sebagai pelaksana-nya. Tetap saja runyam, karena instansi terkait baru menggelontorkan ijin, akhir Juni lalu. Karena bulan puasa sudah semakin dekat, terpaksa Bulog mendatangkan daging sapi dengan pesawat terbang. Disamping harganya tetap mahal, jumlah yang bisa diimpor juga terbatas. Situasi belum berubah banyak, harga daging sapi tetap mahal. Masalah bertambah ketika, penjual dipasar menolah menjual daging impor Bulog, karena yang diimpor adalah daging beku. Konsumen hanya mau membeli daging segar.

Situasi runyam, ruwet ini akhirnya membuat pemerintah panik, dan hari ini di koran, diumumkan bahwa kouta daging impor akan dihapus. Contoh diatas menunjukan kebijakan pangan kita yang tambah sulam. Kalau bocor baru ditambal. Masalah pangan nasional sangat ruwet, karena dimulai dari keberpihakan kita terhadap petani Indonesia, hingga kedaulatan dan ketahanan pangan. Namun bagi konsumen persepsinya jauh berbeda, yaitu bagaimana mendapatkan pangan dalam jumlah yang cukup namun harganya sangat ekonomis.

Seorang pejabat yang sangat jujur, mengatakan kepada saya, bahwa salah satu masalahnya, adalah gengsi bangsa. Masa Indonesia, sebuah negara tropis yang sangat subur di Khatulistiwa sangat bergantung pada impor pangan. Secara matematik impor pangan kita sebenarnya sangat kecil. Misalnya saja impor hortikultura hanya sekitar 8% dari total konsumsi nasional. Tetapi lagi-lagi seperti awal dari tulisan ini, yang kita lihat hanya sisi bagus Indonesia. Pertumbuhan ekonomi yang bagus. Lonjakan kelas menengah yang fantastis. Ibarat kita berpakaian, diatas kita pinggang kita berpakaian utuh, dibawah pinggang kita telanjang. Demikian juga yang terjadi impor pangan terlihat sangat 'high visibility' kalau kita melihatnya di supermarket dan pusat belanja di mall yang dipenuhi dengan resto dan cafe mewah. Ketika kita menyatukan dua pasar yang berbeda - antara pasar kelas menengah yang bakal 150 juta itu dan pasar pedesaan yang hampir sama jumlahnya, maka penglihatan kita menjadi tidak lagi jelas. Warna menjadi sangat abu-abu.

Seorang pengusaha wanita yang marah pada semua keadaan ini membuat analogi yang sangat menarik. Kata beliau, kalau pemerintah mau melakukan kebijakan yang populis, maka hal yang sama harus diberlakukan disemua bidang, jangan hanya pangan. Misalnya, merek-merek baju yang sangat terkenal diseluruh dunia harus juga diberlakukan kouta dan dibatasi. Masyarakat harus diwajibkan berpakaian lurik dan batik. Mobil-mobil mewah juga harus dibatasi dan diberlakukan kouta. Masyatakat harus diwajibkan hanya membeli mobil Kijang saja. Begitu omelan sang Ibu pengusaha.

Andaikata kita mau merenung dan berpikir arif, ucapan sang Ibu banyak benarnya juga. Batik dan mobil Kijang, tidak pernah terancam dengan impor baju mewah dan impor mobil mewah. Kenapa bisa begitu ? Sederhana jawaban-nya ! Batik dan mobil Kijang tampil sangat menawan, dibeli dan dipakai oleh masyarakat, semata-mata karena dua hal. Pertama produknya makin modis dan kualitasnya semakin baik. Kedua baik batik dan mobil Kijang dipromosikan dengan pemasaran yang baik. Barangkali ini adalah kearifan yang tidak bisa terbantahkan.

Jadi kita bisa belajar dari dua kearifan diatas. Pangan produksi Indonesia, apakah itu daging, buah dan sayur, kalau ingin sukses seperti Batik dan mobil Kijang, harus menempuh jalan yang sama bahwa produknya mesti berkualitas dan memiliki daya saing yang tinggi. Sederhana sebenarnya. Dan harus pula dipromosikan dengan strategi pemasaran yang baik.

Kalau pemerintah tidak membatasi orang untuk berpakaian mewah dan memiliki mobil mewah, rasanya janggal kalau pemerintah membatasi orang untuk makan buah impor dan makan daging impor. Kecintaan konsumen Indonesia terhadap buah dan daging Nusantara, harusnya sama seperti batik, yaitu kita mencintai-nya karena pilihan semata. Bukan karena terpaksa gara-gara tidak ada pilihan lain. Semua peraturan pemerintah yang mempersulit impor pangan dan membuat bahan pangan impor menjadi sangat mahal adalah tindakan tidak adil terhadap kelas menengah Indonesia. Jangan mentang-mentang mereka sanggup membayar, biar saja mereka membayar dengan mahal. Hal ini akan menjadi pemiskinan terhadap kelas menengah.

Secara pribadi saya berharap, pemerintah punya kebijakan pangan yang jangan asal tembak dan asal tambal sulam. Pekerjaan rumah kita sangat banyak. Seharusnya pemerintah punya visi tahun 2020, dimana kedaulatan pangan dan ketahanan pangan kita bertahta dengan pemberdayaan petani dan semangat entrepener petani generasi baru. Saya melihat tantangan visi tahun 2020 akan sangat berat, bukan saja kita harus mampu menyediakan ketersedian pangan yang cukup dan harganya sangat ekonomis, tetapi bagaimana lewat pangan kita bisa mensejahterakan rakyat dengan pangan berkualitas tinggi. Bagaimana kita bisa membuat rakyat sehat lewat pangan. Tidak akan ada lagi gagal nutrisi baik kekurangan gizi dan kelebihan gizi.

Ini praktek manajemen yang sangat ruwet dan sulit. Teman saya menyebutnya sebagai manajemen untuk membahagiakan perut rakyat. Dan seperti praktek manajemen lain-nya, diperlukan tujuan dan visi. Kemampuan merencanakan yang sangat akurat. Pelaksaan yang efektif. Serta pengawasan yang arif. Saya berharap presiden baru kita mendatang akan arif untuk mewujudkan-nya.



No comments: