Wednesday, August 09, 2017

LUKISAN JELEK - Cerita dari San Francisco


Angin musim panas menyambut letih saya – lebih dari 18 jam perjalanan saya tempuh dari  Jakarta menuju San Francisco. Desirannya sejuk dan kering. Angin pulang dari teluk yang selalu ramah di senja hari. Saya menatap langit, dan senja masih terang benderang, biasanya musim panas di San Francisco langit baru gelap diatas jam 8 malam. Suara tawa yang khas tiba-tiba menghapus letih saya. Seorang teman lama saya di San Francisco menjemput saya di bandar udara. Raut wajahnya selalu gembira, walau hidupnya sangat keras di Amerika. Dia baru saja bercerai hampir 6 bulan yang lalu. Sebuah episode kehidupan dirinya yang selalu ia buat menjadi lawakan walaupun sangat pahit. Kami berpelukan melepas kangen. Terakhir kami bertemu hampir 2 tahun yang lalu.

Usai memasukan koper di bagasi, kami meluncur kekota mencari makan. Saya meledek mobil tuanya, dan dia tertawa terbahak-bahak. Dia adalah salah satu orang yang saya kenal selalu optimis. Tidak peduli biar bagaiman hidup mencoba merobeknya berkeping-keping. Dia selalu tertawa dan selalu mencoba membalas meledek hidup. Dia selalu mengatakan kepada saya bahwa hidupnya adalah selembar plastik yang tahan dirobek. Saya banyak belajar dari dirinya, terutama dalam berkelit melewati hari-hari yang susah dalam kehidupan ini.

Kami meluncur ke Little Italy, dan sambil tertawa, dia mengatakan bahwa kali ini dia menemukan sebuah café, yang pasti saya akan suka. Saya tersenyum, karena teman yang satu ini memang tahu betul hobby dan kesukaan saya. Tiba di café, pengunjung mulai sepi. Karena hari hampir jam 09.00 malam. Saya memesan sup dan pasta sederhana. Saya tidak ingin malam ini “jet-lag” saya bertempur dengan perut yang kekenyangan. Lalu kami-pun heboh bercerita tentang “kacrut”-nya ekonomi di Indonesia dan situasi politik yang “kalut” di tanah air. Di tengah santap malam dia mengatakan sebuah kalimat yang saya tunggu-tunggu, “Elu bakal suka deh – café ini punya sejumlah lukisan jelek kesukaan elu” Saya tertawa terbahak-bahak. Dan akhirnya permisi ke WC untuk membuktikan.

Saya punya hobby melihat lukisan jelek. Dan entah kenapa, berbagai restoran diseluruh penjuru dunia selalu punya kebiasaan memajang lukisan jelek di WC mereka atau di gang menuju WC mereka. Apakah lukisan jelek merupakan atribut terbaik untuk dipajang di sebuah WC restoran atau café untuk menunjukan sebuah nilai keaslian ? Atau menunjukan sebuah dekor interior yang unik ? Café ini mungkin telah berusia lebih dari 30 tahun, dan di gang menuju WC tergantung beberapa lukisan yang memang sangat jelek, demikian juga didalam WC pria.
Saya selalu menikmati lukisan jelek, yang mungkin tidak memiliki nilai komersil.

Pernah sekali ketika masih sekolah di SD ulangan saya jeblok. Saat itu ayah saya memberikan satu petuah. Pesan beliau, “….. belajarlah menghargai semuanya, baik yang jelek dan yang baik. Karena semuanya adalah anugerah.  Kalau kamu bisa menghargai yang jelek maka yang baik itu nilainya akan berlipat ganda. Tetapi kalau kau tidak bisa menghargai yang jelek maka yang baik tidak akan pernah bisa membuat kau puas !” Awalnya saya tidak mengerti sama sekali petuah itu. Saya merasakan ayah saya mencoba menghibur dan memotivasi diri saya.

Suatu hari seorang teman dari Korea, mengajarkan saya cara minum teh yang baik dan benar. Awalnya saya tidak memperhatikan sama sekali. Karena di Indonesia, setiap kali makan kita sudah terbiasa minum es teh tawar. Dan kita tidak punya apresiasi banyak. Namun setelah saya di ajarkan yang baik dan benar, saya mulai mengerti petuah ayah saya, bahwa setelah sekian lama minum teh yang biasa-biasa saja, termasuk yang buruk dan tidak enak, maka ketika saya diajarkan minum teh yang baik dan benar, maka terasa bahwa yang baik dan benar nilainya menjadi berlipat-lipat ganda. Sejak itu sayapun terobesesi untuk berburu teh yang berkualitas tinggi.

Salah satu efek samping dari petuah ayah saya, maka akhirnya saya juga terobsesi untuk berburu “barang yang jelek” termasuk lukisan dan patung. Medan tempat saya berburu salah satunya tentu saja adalah WC di restoran dan café diseluruh penjuru dunia. Karena disanalah sarang lukisan jelek bermukim. Dan didalam kenikmatan saya menonton lukisan jelek, seringkali hadir sejumlah rasa penasaran serta pertanyaan yang membabi buta. Pertama kebanyakan lukisan itu adalah “mereka yang tidak dikenal” alias anonim. Sesuatu yang sangat berbeda ketika kita menonton lukisan di gallery dimana kita mengenal pelukisnya. Mereka yang anonim bisa saja seorang anak, seorang dewasa atau seorang manula. Bisa saja mereka melukis karena iseng atau mereka yang benar-benar berusaha menjadi pelukis tetapi gagal. Setelah saya melihat sekian banyak lukisan jelek di WC akhirnya saya belajar mengenali hal-hal yang menarik. Misalnya ada lukisan yang dibuat seadanya saja, karena memang iseng. Namun ada sejumlah lukisan yang memperlihatkan usaha, dan perjuangan. Hal itu terlihat dalam tarikan kuas dan warna dengan kesungguhan yang murni dan sangat jujur apa adanya. Pelukis komersil kebanyakan telah kehilangan roh itu. Mereka melukis untuk menyenangkan penonton dan kolektornya. Komersialisasi seringkali memadati kanvas mereka, membuat saya susah bernafas lega. Lukisan jelek sangat terbalik selalu punya persepsi baru karena dilukis dengan mata yang lebih lugu.

Entah kapan awalnya, saya akhirnya mulai mengoleksi barang jelek dan barang yang rusak, dan mencoba menjalani amanat ayah saya. Saya punya sejumlah patung yang cacat, jelek dan rusak. Saya beli ketika berburu barang-barang antik diberbagai gallery. Kebanyakan harganya sangat murah dan tidak diminati orang. Saya juga mengoleksi sejumlah lukisan palsu dan jelek. Salah satu lukisan yang sangat jelek, adalah lukisan yang saya beli di Djogdjakarta, sebuah lukisan tertanggal tahun 1998 dan merupakan lukisan tinta Cina di selembar karton. Konon pelukisnya adalah seorang penderita Schizophrenia yang kemudian meninggal tak lama sesudah ia melukis lukisan itu. Lukisan itu sangat jelek dan tidak berbentuk, namun bagi saya lukisan itu memiliki ketajaman yang indah dan sulit dilukiskan karena memiliki kerumitan emosi yang tidak mungkin terjelaskan.

 

Pernah sekali saya mengobrol dengan seorang pelukis tua di Djogdjakarta – beliau tanpa saya sangka mengatakan :”Saya kangen melukis yang jelek !”. Tentu saja saya terbahak. Namun dia menerawang dan menjelaskan, bahwa semua pelukis awalnya melukis dengan jelek. Tidak ada pelukis yang secara ajaib langsung melukis dengan indah. Titik awal dimana semua pelukis belajar dan mencari jati dirinya adlah masa-masa yang paling berbahagia. Sebuah masa tanpa noda dan dosa. Satu kesucian proses berkarya. Kalaupun lukisan kita jelek, semua orang akan maklum, karena dia masih belajar. Tapi sekarang ketika dia melukis sedikit saja kurang apik, semua kritikus seni akan bersorak mengeritiknya habis-habisan. Dia telah kehilangan era itu. “Saya kangen berbuat salah,” begitu kilahnya diakhir percakapan kami.

 

Kini saya sadar bahwa ayah saya mencoba mengajarkan kepada saya sebuah kebijakan tentang sebuah proses pembelajaran. Bahwa apapun yang kita lakukan, jangan takut apabila awalnya salah dan jelek. Karena setelah itu – kita akan semakin  mahir untuk mampu melakukan yang baik dan benar. Yang penting adalah tidak tinggal diam. Tetapi berani melakukan. Ini yang membedakan kita dengan yang lain. Ada orang tidak pernah punya keberanian untuk melakukan. Selama hidupnya dia hanya akan menjadi penonton. Sisanya justru bangkit dan melakukan. Mungkin awalnya salah dan jelek, tetapi kalau ia tetap berusaha dan bergiat, suatu hari dia akan menjadi maestro.

 


Di Union Square, saya dan teman saya berpisah. Langit telah gelap. Dan angin malam itu cukup dingin membekukan semua keletihan saya. Sebelum tidur, saya jadi teringat perkataan - Lang Leav, seorang penulis di New Zealand – yang menulis novel SAD GIRLS. Dia menulis dengan indahnya – "The most beautiful things are damaged in some way." Kalimat itu membawa saya kealam mimpi malam itu. Banyak orang mengejar kesempurnaan yang ilusif. Tanpa mengerti proses dan pembelajaran. Yang dikejar adalah titik terakhir yang sempurna. Padahal kesempurnaan dan keindahan seringkali adalah akibat sebuah perjalanan panjang. Sayangnya perjalanan itu jarang dimengerti banyak orang.

WASHINGTON APPLE MANIA !


Sehelai kain batik – Cerita dari Djogdjakarta.




Cerita ini diceritakan kepada saya beberapa tahun yang lalu, dan menjadi salah satu cerita favorit saya. Konon suatu saat seorang guru mengajak murid-muridnya, pada suatu hari sebelum subuh untuk mendaki gunung bersama-sama. Tidak ada satupun murid yang berani bertanya mengapa dan kenapa. Tiba dipuncak gunung, sang guru diam seolah melakukan meditasi dan menghadap fajar yang merekah perlahan. Ia membiarkan panas matahari pelan-pelan merasuk kedalam tubuh tuanya. Seolah menyerap enerji dari matahari. Semua murid-muridnya hanya meniru ulah sang guru. Diam dan melakukan hal yang sama. Ketika fajar selesai dengan sempurna, sang guru turun gunung dengan diam. Diikuti para murid-muridnya.

Sore hari menjelang senja, sang guru mengajak murid-muridnya kepantai. Dipantai sang guru melakukan hal yang sama. Berdiam diri, dengan sabar menunggu senja dan matahari tenggelam. Beberapa murid-muridnya tergoda untuk bermain di pantai. Lagi-lagi sang guru berdiam diri, seolah melakukan meditasi dan membiarkan tubuhnya menyerap panas matahari yang semakin senyap, ketika senja turun. Tidak ada murid yang berani bertanya mengapa dan kenapa. Namun seorang diantara mereka merasa sangat penasaran, dan bertanya lirih : “Guru apa maksud pelajaran hari ini ?” Sang guru tersenyum dan menjawab dengan pertanyaan pula : “ Bagaimana mungkin kau mengerti tentang senja ? Kalau kau tidak memiliki jawaban tentang fajar ?” Ditanya seperti itu tentu saja muridnya menjadi sangat bingung. Sang murid hanya memperlihatkan wajah yang bingung.

Malam hari ketika saat makan malam bersama, sang guru baru bercerita bahwa dalam hidup ini ada dua ujian yang sangat penting. Yang pertama adalah ujian terhadap usaha atau ihtiar kita. Itu sebabnya saat mereka ingin menikmati fajar, sang guru mengajak murid-muridnya bangun pagi dan berangkat keatas gunung untuk menonton fajar yang sempurna. Ujian yang kedua adalah kesabaran – dan itu diperlihatkan sang guru ketika kepantai dengan sabarnya menunggu senja jatuh dan hari berakhir. Kata sang guru usaha dan sabar ibarat diri kita dan bayang-bayang yang kita miliki. Kita tidak mungkin bisa sabar kalau kita tidak berusaha. Dan sebaliknya kita tidak mungkin berhasil berusaha kalau kita tidak sabar. Itu sebabnya sang guru berkata : “ Bagaimana mungkin kau mengerti tentang senja ? Kalau kau tidak memiliki jawaban tentang fajar ?”

Cerita diatas di ceritakan oleh seorang pengusaha batik dikota Djogdjakarta kepada saya, ketika beliau prihatin tentang seni batik yang terancam punah karena apresiasi kita terhadap batik semakin pudar oleh jaman dan tekhnologi. Menurut pengusaha ini – batik adalah simbolisasi filosofi Jawa yang berbunyi : “Alon-alon Maton Kelakon”. Artinya dalam hidup ini, kita harus mencapai cita-cita kita, walaupun pelan sekalipun. Dan batik memiliki nafas filosofi yang sama.

Mewarnai sepotong kain bisa dilakukan dengan berbagai cara. Misalnya warna dan motif bisa dicetak langsung di sepotong kain dengan mesin dan tekhnologi mewarnai yang sangat canggih dan hasilnya adalah sepotong kain yang bisa saja kaya dengan warna dan motif. Mudah dan sangat cepat. Cara yang kedua adalah dengan cara membatik. Cara ini sangat ruwet dan memerlukan usaha dan kesabaran yang tidak sedikit. Karena bayangkan saja, kain diberi lilin dan kemudian dicelup ke salah satu warna, baru menghasilkan satu motif dengan satu warna yang khusus. Untuk motif yang kedua, dilakukan hal yang sama, yaitu kain diberi lilin untuk motif lainnya dan dicelup ke warna khusus lain-nya. Demikian seterusnya, hingga dihasilkan motif dan kekayaan warna yang dikehendaki sang pembatik. Sebuah proses yang sangat memakan waktu dengan usaha dan kesabaran luar biasa. Dua kombinasi inilah yang membuat sehelai kain batik memiliki nilai yang sangat luar biasa.

Saya diperlihatkan sebuah kain batik tua warisan buyut-nya, yang konon dibuat 2 tahun sebelum beliau wafat. Kain batik sederhana itu di buat selama setahun lebih, dengan kesabaran yang luar biasa, serta usaha yang sangat mengagumkan. Saat itu buyutnya sudah sangat sepuh dan menderita rematik. Sehingga hanya bisa membatik perlahan-lahan dan pada saat rematiknya tidak terasa terlalu sakit. Sambil meneteskan airmata selama sejam saya diceritakan sejarah dan tiap garis yang ada di kain batik itu. Sepotong kain batik itu menjadi simbol perjuangan sang buyut dalam menghadapi hidup ini. Tiap garis yang tidak sempurna menjadi cerita kemenangan tersendiri dan bukan cacat. Sesuatu yang membanggakan. Bagi keluarga mereka sepotong kain batik ini menjadi rekam jejak akhir hidup sang buyut. Bukan sebuah buku harian yang penuh dengan cerita dan kalimat-kalimat yang indah. Melainkan sebuah potret apa adanya. Sebuah meditasi tentang kehidupan. Bagi saya dan mereka yang tidak mengerti maka sehelai kain batik tersebut cuma sebuah kain biasa. Dengan motif dan warna yang mirip dengan kain batik yang lain. Tetapi bagi keluarga mereka itulah pusaka yang tidak ternilai harganya karena menjadi sebuah prasasti tentang usaha dan kesabaran.

Menutup cerita tentang buyutnya, sang pengusaha mengatakan kepada saya, bahwa kepada anak cucunya, ia selalu mewariskan 2 nilai tersebut. Bahwa hidup ini sangat ditentukan dengan usaha kita. Siapa yang lebih giat berusaha pasti akan menerima hasil yang lebih baik dibandingkan dengan orang lain. Namun tidak selalu usaha kita itu menghasilkan sukses. Yang terpenting adalah jangan berhenti berusaha dan menyerah. Dan kesabaran adalah jiwa dan semangat yang harus kita miliki ketika berusaha. Apabila kita lelah biarlah kita berhenti dan beristirahat. Setelah itu berusaha kembali. Apabila kita gagal, jangan patah semangat. Bangkit dan berusaha kembali. Begitu seterusnya. Itulah inti dari filosofi – “Alon-alon Maton Kelakon”. Itu terekam dengan sangat indahnya dalam sehelai batik warisan sang buyutnya.  Sambil tersenyum sang pengusaha memberikan saya sebuah kalimat penutup, “Hidup ini sangat sederhana !”.


Teman saya seorang ahli nutrisi, bercerita bahwa bagi dirinya pribadi – berpuasa selama bulan suci Ramadhan adalah sebuah episode meditasi kehidupan yang lain. Banyak orang yang melakukan puasa tanpa kesadaran. Hanya mengikuti ritual. Sehingga ketika berbuka puasa, kita lupa dengan makna puasa, yang kita umbar hanya nafsu belaka dan memuaskan dahaga dan lapar secara berlebihan. Padahal sama seperti cerita sehelai kain batik diatas, berpuasa juga memadukan 2 elemen sederhana yaitu usaha dan kesabaran. Usaha kita untuk melatih diri menahan dan melawan nafsu, dan kesabaran dalam menghadapi semua godaan. Memaafkan semua orang yang berbuat salah dan jahat kepada kita. Sehingga diakhir puasa, kita bisa menjadi orang yang besar maafnya, sabar dan lebih tekun berusaha. Selamat menunaikan ibadah puasa. Marilah kita menyederhanakan hidup kita menjadi sehelai kain batik kehidupan. Tetap berusaha dan utuh bersabar ! – Alon-alon Maton Kelakon.