Monday, April 07, 2008

NAGABONAR MASIH SATU

NAGABONAR

Perhatikan baik-baik kalau anda pergi ke Starbucks. Mereka menjual kopi tidak dengan ukuran gelas, “small-regular-large”. Tapi dengan istilah mereka sendiri yaitu “tall-grande-venti”. Dan teman saya punya teori tersendiri soal urusan ini. Katanya kopi Starbucks kan mahal, jadi mereka harus menciptakan persepsi tersendiri yang mengacaukan referensi kita terhadap ukuran gelas minuman. Seperti layaknya kalau kita membeli minuman ringan di resto cepat saji, yang cuma mematok ukuran “small-regular-large”. Supaya kita ngak merasa mahal ketika membeli kopi Starbucks.

Teori yang sama ini, di gagas mirip dengan komentar Barbara Seaman, seorang aktivis, penulis, dan jurnalis masalah kesehatan perempuan. Barbara pernah berkata bahwa produsen kondom mestinya punya imajinasi khusus untuk memasarkan kondom. Yaitu tidak selayaknya kondom dipasarkan dengan ukuran “small-medium-large”. Bayangkan betapa malunya pria yang memiliki ukuran “small” harus ke apotik dan menanyakan ukuran tersebut kepada seorang penjaga apotik. Menurut Barbara Seaman, seharus kondom itu dijual dengan ukuran jumbo, kolosal dan super kolosal. Sehingga setiap pria punya rasa percaya diri yang cukup, setiap kali ia membeli kondom.

Dari kedua cerita diatas, barangkali “wisdom” yang paling saya nikmati adalah pemasaran apapun strategi dan taktiknya, tetap saja membutuhkan imajinasi yang pas. Tanpa imajinasi itu, tidak peduli betapa hebohnya produknya, tetap saja bakalan tidak laku. Karena akan hampa tanpa roh pemasaran yang sesungguhnya. Hal yang sama dikatakan bang Deddy Mizwar kepada saya ditahun 2006, ketika beliau bercerita soal pembuatan film Nagabonar Jadi 2. Bahwa ia bisa membuat film bagus, tapi belum tentu bisa menjual film bagus. Ia menawarkan saya untuk jadi promotor film Nagabonar Jadi 2 dan bertanggung jawab mempromosikan-nya. Saat pertama saya ditawari, jelas banget saya ragu. Film adalah sesuatu yang baru buat saya. Saya juga belum paham lika-likunya. Pokoknya menakutkan deh ! Pemasaran Film di Indonesia jelas masih menjadi subyek abu-abu. Saya saat itu berusaha mencari buku teorinya. Apesnya ngak ketemu juga. Bang Deddy bilang :”ah…. Ente pasti sanggup deh. Kan ente orangnya kreatip…. Banyak imajinasinya”. Akhirnya sambil nyengir-nyengir nekat, saya iyakan juga tawaran bang Deddy itu.

Alhamdulilah, akhirnya Nagabonar Jadi 2 dipromosikan dengan kombinasi strategi + taktik + imajinasi yang kita ciptakan bersama. Kami bersyukur ketika film tersebut bisa menjadi film box-office ditahun 2007. Terus terang tadinya kami rada pesimis. Maklum Nagabonar Jadi 2 mengusung thema yang cukup berat. Nasionalisme, begitu kata sejumlah kritikus film. Disaat kehidupan kita yang serba plastik dan imitasi, terus terang kami semua ragu, kalau Nasionalisme bisa jadi topik yang ngetrend ! Yang luar biasa, ternyata publik memang kangen dengan nasionalisme. Boleh dikata malah ada rasa haus yang sangat luar biasa. Sejumlah inovasi juga terjadi di saat pemasaran film ini. Misalnya nonton bareng bersama selebriti, dan pejabat. Ritual ini kini menjadi sesuatu yang wajib untuk pemasaran film. Maklum saja film dipromosikan sangat kencang dari mulut ke mulut. Promosi getok tular yang ampuh dan perkasa.

Ketika Nagabonar Jadi 2 memasuki tahap yang cukup panas. Akhirnya kami putuskan untuk masuk kampus. Sejumlah kampus kami kunjungi di Jakarta, Bandung, Salatiga, dan Yogya. Terjadilah dialog yang sangat akrab dan mendalam antara mahasiswa dengan bang Deddy. Yang unik kami memotret sejumlah kesan yang sangat kuat. Terutama banyaknya permintaan untuk untuk menonton film asli NAGABONAR yang pertama ex 1987. Banyak para mahasiswa yang belum pernah nonton film NAGABONAR pertama dan sangat antusias ingin menonton prequel legendaris ini. Dan juga sejumlah komentar cantik soal Nagabonar Jadi 2 yang mengangkat kisah kasih sayang seorang bapak dan puteranya. Sesuatu yang sangat langka. Banyak mahasiswa yang menangis ketika menonton film Nagabonar Jadi 2, karena sangat menginggatkan mereka kepada bapaknya.

Menjelang bulan puasa 2007, bang Deddy membuka rahasia yang paling dalam. Bahwa memang inti kisah Nagabonar yang sesungguhnya adalah kisah cinta. Cinta tanah air. Dan juga “love story” yang romantik. Kalau di film Nagabonar 1987, adalah “love story” antara Nagabonar dengan Ibunya, dan Kirana. Maka di film Nagabonar 2007 adalah “love story” antara Nagabonar dengan puteranya. Film asli Nagabonar 1987, di remastered ulang dengan pewarnaan ulang pula, dan direkam dengan suara Dolby Digital terbaru, dengan orkestrasi musik asli yang direkam ulang oleh Franky Raden. Sehingga tak heran apabila menghabiskan biaya spektakuler milyaran rupiah. Frank Raden sendiri khusus pulang dari Amerika hanya untuk mengisi soundtrack Nagabonar. Sebagai terobosan baru, akhirnya saya berjodoh dengan Lala Hamid yang berhasil membujuk musisi kondang Melly Goeslaw dan Eross Chandra dari Sheila on 7, untuk membuat 2 lagu cinta sebagai tambahan soundtrack Nagabonar. Melly berduet dengan Deddy Mizwar untuk bernyanyi dalam theme song “love story” yang jenaka. Sedangkan dalam lagu Eross, Deddy Mizwar bernyanyi bersama paduan suara anak-anak Gita Swara theme song cinta tanah air yang patriotik. Usai merekam suara Deddy Mizwar, ia mengingatkan saya tentang sejumlah film berikutnya yang akan ia produksi dan harus saya promosikan. Saya cuma nyengir-nyengir saja. Karena jantung saya masih berdegup kencang setiap kali saya deg-degan meluncurkan satu ide gila. Nagabonar ini akan premiere diseluruh Indonesia mulai 8 Mei 2008.

1 comment:

Kritik Sastra said...

Bagi saya, kesuksesan Nagaboonar terletak dari keseriusan (nasionalis, teligi dan cinta) yang dikemas dengan sedehana. Tak jarang, lelucon pun diselipkan. Itulah hebatnya sang Dedy Mizwar dalam mengemas filmnya. Sukses untuk kru Nagaboonar!