Thursday, April 03, 2008

BOROS

Teman saya, seorang ahli efesiensi dari London. Kerja-nya sehari-hari memusuhi segala pemborosan. Ia dibayar mahal oleh berbagai perusahaan hanya untuk mengenali, pos-pos ongkos yang boros, dan memangkasnya agar ongkos perusahaan menjadi irit. Menurut pengalaman beliau, pemborosan seringkali terjadi semata-mata karena khilaf dan kurang cermat berhitung. Tapi ada juga pemborosan yang sengaja dibuat semata-mata hanya untuk menciptakan proyek bagi pihak-pihak tertentu. Ia bercerita tentang sebuah gedung perkantoran di Hong Kong yang memiliki 40 tingkat. Tiap tingkat ada 6 WC. Sehingga seluruhnya ada 240 WC. Ia mengamati bahwa di 240 WC itu terjadi pemborosan luar biasa. Mulai dari listrik hingga tissue dan sabun. Untuk menghemat ongkos, ia mengusulkan di 240 WC tersebut dipasang sensor „movement“, dimana kalau didalam WC sudah tidak ada orang lampu WC akan mati sendiri. Keran air ia ganti dengan keran yang juga memiliki sensor „movement“. Tissue diganti dengan mesin pengering. Dan sabun juga ia usulkan diganti dengan sabun yang lebih kental dan murah. Luar biasa, akhirnya gedung menghemat biaya puluhan ribu dollar selama setahun. Itu baru dari WC. Contoh sederhana yang unik, tapi efektif.

Usai memberikan konsultasi di sebuah perusahaan di Jakarta, teman saya berniat keliling Jawa dan Bali untuk plesir. 2 minggu penuh ia menjadi turis keliling. Pulang plesir, saya sempat ngobrol dengan beliau sebelum dia pulang. Kata pertama yang ia ucapkan, adalah ia menemukan pemborosan yang luar biasa dimana-mana. Saya cuma tertawa mendengarnya. Ia mencontohkan beberapa contoh unik. Menurut pengamatan ia merasa cukup heran setiap kali mau terbang pindah kota. Airport-airport di berbagai Negara di luar negeri, umumnya orang langsung ke counter check ini, menyerahkan koper dan bagasi. Dan baru di „scan“ untuk security pas mau masuk ke ruang tunggu pesawat. Di Indonesia beda. Kalau kita ke airport, pas masuk ada petugas khusus yang memeriksa tiket kita. Lalu, semua koper kita di scan. Baru check in. Dan kemudian di “scan” lagi sebelum masuk ruang tunggu ke pesawat. Jadi dua kali “scan”. Sambil garuk-garuk kepala, teman saya menjabarkan bahwa menurut penglihatannya, jelas ini adalah pemborosan yang luar biasa. Lucunya ia juga bercerita bahwa yang ia juga tidak mengerti mengapa di sebuah airlines, kalau koper kita mau di check in dan dimasuk-kan kedalam bagasi harus di-ikat dulu dengan tali plastik. Konon tradisi ini ia hanya temukan di Indonesia. Menurutnya ia juga pemborosan yang tidak perlu. Hanya menambah ongkos saja. Saya sambil meringis berusaha menjelaskan kepada teman saya, bahwa kalau sistim ini dirubah, wah bakalan berabe sekali. Karena pengangguran akan terjadi dimana-mana dan dalam jumlah yang banyak sekali.



Teman saya ngakak mendengar penjelasan saya. Iapun maklum. Tapi ia juga membeberkan bahwa pemborosan yang terjadi uniknya tidak juga konsisten. Misalnya saja dalam hal pemunggutan airport tax. Teman saya menuturkan, bahwa sistim di airport Cengkareng, paling efektif. Kita tinggal bayar di counter check ini, boarding pass ditempeli stiker, selesai dan praktis. Tapi tidak dikota-kota lain. Pada umumnya kita harus bayar di loket khusus. Dan sebelum naik pesawat ada petugas khusus yang akan memeriksa airport tax kita dan menyobek buktinya. Sanggah teman saya, ini hal yang tidak konsisten dan jelas-jelas boros.



Kritik teman saya, bahwa pemborosan bisa berbahaya, karena akan menciptakan pendangkalan kualitas sumber daya manusia. Bayangkan saja, berapa sih yang harus kita bayar untuk seorang petugas yang kerjanya hanya menyobek karcis. Barangkali pendidikan-nya juga tidak usah terlalu tinggi. Di training satu jam-pun ia akan bisa bekerja dengan lancar. Tapi karena kerja-nya di airport, barangkali prosedur penerimaan pegawai cukup berliku dan persyaratan-nya sangat berat. Apa jadinya kalau seorang pemuda yang cape-cape sekolah keperguruan tinggi, usai menjadi sarjana, hanya bekerja sebagai penyobek karcis di airport. Inilah pendangkalan kualitas sumber daya manusia yang dimaksud oleh teman saya.



Seorang ekonom pernah bercerita kepada saya, bahwa di Indonesia yang paling parah, adalah angka pengangguran terselubung. Artinya kaum pekerja yang tidak bekerja sesuai dengan kualifikasinya, bekerja dengan jam minimum dan penghasilan yang tidak pernah tetap. Beliau mencontohkan tukang parkir tidak resmi. Yang sebenarnya seorang pengangguran, kerjanya hanya nongkrong disalah satu pojok jalan. Dan kalau ada mobil parkir ia belaga menjadi juru parkir dan memungut ongkos parkir. Ia tidak punya seragam juru parkir dan tidak pula memiliki karcis parkir resmi. Celakanya kalau sang juru parkir ini dalam angka statistik dianggap tidak nganggur. Tapi justru entrepener juru parkir. Angka yang pas tentang pengangguran di Indonesia barangkali tidak pernah terekam secara akurat. Dan untuk menghitungnya dengan pasti, juga merupakan tantangan tersendiri. Yang bukan main sulitnya !

1 comment:

Anonymous said...

Who knows where to download XRumer 5.0 Palladium?
Help, please. All recommend this program to effectively advertise on the Internet, this is the best program!