Monday, August 29, 2011

Cerita Menjelang Idul Fitri



Saya memanggilnya Om Koki, karena di tangan kanannya ada sebuah tattoo ikan mas Koki. Usianya sudah mendekati 70an. Sangat kokoh dan tegap. Walaupun tinggi badannya dibawah rata-rata. Matanya sangat tajam. Berwajah bengis. Selalu serius. Saya belum pernah melihatnya tertawa, sekalipun. Kalau datang berkunjung ke rumah Mpu Peniti selalu dikawal. Minimal 2 body guard. Kadang malah lebih. Pernah sampai 6 orang. Menurut Mpu Peniti bisnisnya retenir.

Kemarin ketika saya berkunjung ke rumah Mpu Peniti, saya mendapati Om Koki sedang tertawa terkekeh-kekeh bersama Mpu Peniti. Tiba-tiba saja, saya melihat sosok Om Koki yang sangat berbeda. Untuk pertama kalinya, saya melihat kerapuhan beliau sebagai manusia. Tokoh yang serius menakutkan sirna begitu saja. Saya pun ikut tersenyum melihatnya.

Menurut Mpu Peniti, Om Koki tidak pernah teratur datang. Tetapi seminggu sebelum Lebaran, Om Koki selalu datang. Dan kunjungan ini tidak pernah meleset semenjak hampir 20 tahun yang lalu. Kalau datang Om Koki selalu bawa duit. Jumlahnya tidak pernah sama. Kadang 50 juta, kadang lebih. Rekornya adalah 300 juta, beberapa tahun yang lalu. Uang itu ia berikan kepada Mpu Peniti, untuk digunakan guna keperluan sosial atau menolong orang yang sedang membutuhkan. Mulanya saya berpikir Om Koki mirip Robin Hood. Namun ceritanya ternyata jauh dan sangat berbeda dari dugaan saya.

Konon Om Koki, sudah yatim piatu sejak kecil. Ketika berumur belasan tahun , ia menjadi anak pasar. Kerjanya mencuri, dan berusaha mendapatkan nafkah dengan cara apa saja di pasar. Kadang jadi kuli, atau kadang jadi tukang parkir. Lama-lama statusnya naik pangkat, ia lalu jadi preman pasar. Suatu hari terjadi perkelahian antar kelompok preman. Om Koki dikeroyok, dan hampir meninggal, kalau saja ia tidak ditolong oleh seorang saudagar batik. Akhirnya ia diangkat anak oleh saudagar batik itu. Siapa sangka ternyata selain menjadi saudagar batik, bisnis sampingannya adalah rentenir. Om Koki belum berusia 30 tahun, ketika sang saudagar wafat. Bisnis batiknya diserahkan kepada keluarga almarhum, dank arena Om Koki bekas preman, maka ia meneruskan bisnis rentenir sang saudagar.

Tak lama kemudian bisnis Om Koki melesat sangat maju dalam tempo yang sangat singkat. Om Koki hidup mewah. Sampai suatu saat ia menderita sakit Dan disaat kritis itulah Om Koki berkenalan dengan Mpu Peniti. Lalu berkelanjutan, berdua merekapun menjadi sahabat karib. Kemarin ketika bertemu Om Koki, beliau baru mau bercerita tentang kisah hidupnya yang sangat unik. Mulanya ketika Mpu Peniti membantu proses kesembuhan Om Koki hingga sembuh, Om Koki merasa perlu membayar mahal jasa Mpu Peniti. Namun ketika ditanya apa permintaan Mpu Peniti. Beliau hanya menggeleng. Dan tidak meminta bayaran. Om Koki yang menjadi rentenir tentu saja bingung. Ia sudah terbiasa hidup dengan konsep bahwa setiap jasa dan pertolongan harus ada imbalannya alias bunga. Itu ideologi yang dianut Om Koki.

Lanjut cerita, Mpu Peniti akhirnya terlibat dalam sebuah percakapan serius dengan Om Koki. Entah apa yang dibicarakan, mereka berdua. Yang jelas setelah diskusi serius itu, Om Koki membuat satu perubahan besar didalam hidupnya. Kebetulan Om Koki mau bercerita kepada saya. Ceritanya Mpu Peniti pernah mengutip sebaris kata dari Confucius, yang berbunyi : “ Janganlah pernah malu pada sebuah kesalahan. Lalu akhirnya menghakiminya menjadi sebuah perbuataan jahat “ Om Koki tersenyum, lalu melanjutkan. Kata beliau, kata-kata itu dalam sekali. Mpu Peniti memberikan sindiran bahwa beliau tidak menghakimi Om Koki sebagai penjahat, yang melanggar hukum, karena profesinya sebagai rentenir. Mpu Peniti hanya menganggap Om Koki manusia biasa dengan sejumlah kesalahan. Setiap kesalahan bisa diperbaiki. Dan Mpu Peniti secara halus menegur Om Koki untuk memperbaiki kesalahannya.

Om Koki sangat terharu dan tersentuh. Ia lalu bertanya apa yang harus ia lakukan. Mpu Peniti hanya minta, setiap orang yang tidak bisa membayar pinjaman-nya Om Koki, mohon jangan ditagih. Biarkan saja kata Mpu Peniti. Mulanya Om Koki kaget. Karena berdasarkan pengalaman, bisa-bisa semua orang tidak akan membayar. Sungguh sebuah permintaan yang sangat berat. Dengan berat hati akhirnya permintaan Om Koki dijalani juga. Om Koki lalu membuat persiapan baru, ucapan Mpu Peniti membuat ia sadar untuk benar-benar memilih konsumen yang ia perkirakan mampu membayar. Ia menjadi berhati-hati untuk memberikan pinjaman kepada sembarang orang.

Tahun pertama, benar saja ada sejumlah orang yang tidak membayar. Om Koki dengan tulus menuruti janjinya kepada Mpu Peniti. Ia sama sekali tidak menagih dengan memaksa. Ia biarkan saja. Tahun kedua, menurut Om Koki terjadi sebuah keajaiban. Banyak diantara yang gagal membayar, lalu datang sendiri. Ada yang mencicil. Ada yang membayar lunas. Dan ada pula yang membayar lebih dengan bonus. Kebanyakan datang pada saat menjelang hari Raya. Ada yang datang menjelang Lebaran. Menjelang Natal. Menjelang Imlek. Atau menjelang Tahun Baru.

Om Koki mulanya bingung. Uangnya mau dikemanakan ? Akhirnya ia membuat sebuah resolusi. Mengumpulkan semua kembalian pinjaman yang ia sangka telah hilang. Lalu sebelum Lebaran membawanya kepada Mpu Peniti untuk digunakan buat keperluan-keperluan amal. Itu sebabnya jumlahnya tidak pernah sama dari tahun ke tahun.

Om Koki menutup ceritanya pada saya, dengan satu kearifan. Dulu ia selalu menganggap semua hutang yang tak tertagih adalah sebuah kegagalan bisnis. Yang tidak jarang mengusiknya dan membuat ia stress. Sesuatu yang dianggapnya menjadi hambatan. Sesuatu yang membuat ia tertahan. Namun setelah ia mengikuti nasehat Mpu Peniti ; ia menjadi sangat berbeda. Hidupnya ia rasakan lebih bebas merdeka. Om Koki kini menjadi semakin cerdas memilih konsumen. Tidak lagi sembarang. Ia juga tidak lagi mematok bunga yang sangat tinggi. Disatu titik ia punya batas. Dititik lain yang tidak memiliki batas. Menurutnya kita perlu menjadi orang yang royal meminjamkan maaf kepada siapa saja dan kapan saja. Maaf tidak semestinya diberikan setahun sekali. Kita juga harus royal memberikan kesempatan kepada siapa saja. Karena hidup ini seringkali membutuhkan kesempatan berkali-kali. Dan ketika pintu itu kita buka-kan kepada siapa saja dan kapan saja, maka pintu yang sama juga akan dibukakan untuk kita. Seperti kata Confucius, bagi orang yang mau mengakui kesalahannya, maka masih akan ada kesempatan untuk memperbaikinya. Namun bagi mereka yang menolak memperbaiki. Lama kelamaan kesalahan itu mengakar dan menjadi kejahatan.

Saya tidak pernah tau apa agama Om Koki. Mpu Peniti juga hanya diam ketika saya bertanya apa agama Om Koki. Namun kehadiran Om Koki menjelang Lebaran, membuat saya semakin merenungi ibadah saya dalam memaafkan orang-orang disekeliling saya. Semoga Lebaran kali ini memberi kita hikmah dan pengalaman yang semakin bernilai. Dengan rendah hati saya minta anda semua memaafkan saya lahir dan batin.

1 comment:

Anonymous said...

Keren Gan. Ijing sharing ya.