Wednesday, June 22, 2011

DJOGDJAKARTA SLOWLY ASIA



Sungguh menarik mencermati pembukaan Roemah Pelantjong, milik ahli pemasaran dan penulis buku Biang Penasaran, Kafi Kurnia di kawasan Sendangadi, Sleman. Rumah Pelantjong adalah gerai yang berisi macam-macam dengan mengambil filosofi Jogja, alon-alon, slow, pelan. Filosofi yang ada di balik pembukaan gerai penak-pernik mengajak siapapun untuk belajar dan menikmati (budaya) pelan. Bahkan sampai-sampai dia membuat kaos oblong bertuliskan 'Jogja Slowly Asia'.



Di sini, Kafi ingin mengajak masyarakat pengunjung Jogja untuk menikmati budaya senggang sewaktu berwisata. Menurut dia, yang diperlukan orang yang sedang berwisata adalah menikmati waktu senggang, budaya pelan. Jogja memiliki budaya itu, dan sekarang tinggal bagaimana mengolahnya dan memasarkannya. Sebab, dilihat dari keberagaman dan kelengkapan objek wisata, Jogja jauh lebih unggul dibandingkan dengan Bali. Hanya saja infrastrukturnya belum mendukung. Jogja punya semua obyek wisata, dan tinggal bagaimana 'menggorengnya' menjadi sajian yang sedap.



Terlebih sekarang ini adalah masa-masa liburan panjang. Jelas harus membawa berkah tersendiri bagi para pelaku ekonomi di wilayah DIY. Para pelaku usaha bisnis ini mendapat cipratan rezeki akibat ramainya aktivitas wisatawan domestik yang melakukan liburan di kawasan ini. Maklum, predikat Jogja sebagai daerah tujuan wisata (DTW) domestik kedua setelah Bali, setidaknya membawa daya tarik tersendiri bagi masyarakat yang tengah menikmati liburan panjangnya.



Pendek kata, liburan panjang adalah periode panen raya bagi para pelaku bisnis di kawasan DIY, utamanya yang berhubungan langsung dengan sektor pariwisata dan pendukungnya. Namun, pertanyaan yang wajar mengemuka adalah apakah momentum ini bisa dipertahankan sepanjang tahun, tidak hanya 'meledak' di saat liburan sekolah dan liburan akhir tahun, layaknya yang dialami pelaku bisnis di pulau Bali?



Wisata kreatif

Para pelaku bisnis, jajaran pemda dan pemprov, tampaknya sudah menyadari masalah ini. Tumbuh suburnya desa-desa wisata, yang menawarkan sajian wisata berbeda belakangan ini, adalah wujud dan bentuk kreativitas yang sudah mulai tercipta. Wisata kreatif harus ditumbuhkan dan ini berbasiskan masyarakat lokal. Setidaknya kini sudah ada 45 desa wisata yang siap 'dijual' ke wisatawan. Desa wisata Kasongan, Tembi, Turi serta puluhan desa wisata lainnya merupakan beberapa contoh konsep penggarapan wisata berbasiskan masyarakat desa.



Di desa wisata, para wisatawan seolah ikut larut dalam kehidupan masyarakat desa yang tengah dikunjunginya. Mereka juga bisa ikut merasakan bagaimana menghasilkan karya seni yang dijualnya. Di desa Kasongan misalnya, wisatawan yang menginap di sana bisa belajar untuk membuat cindera mata dari bahan gerabah, mulai dari tanah liat hingga menjadi barang cindera mata yang siap untuk dijual. Nah, di sinilah perbedaan yang sangat nyata dengan tempat wisata lainnya. Di sini ada unsur edukasi.



Jelas paket wisata semacam ini sebenarnya bisa dijual ke sekolah-sekolah di seluruh tanah air, sehingga para siswa bisa belajar banyak tentang potensi yang ada di kawasan DIY. Kalau ini bisa dilakukan, niscaya keramaian kunjungan wisata tidak hanya terjadi pada masa liburan sekolah atau para saat liburan akhir tahun, namun bisa terjadi sepanjang masa. Para guru sekolah bisa memasukkan kurikulum wisata edukasi semacam wisata ke 'desa wisata' ini ke dalam kurikulum pelajaran, sehingga pada saat praktiknya mereka bisa mengunjungi kawasan DIY sesuai dengan kurikulum yang tersedia. Periodenya, menjadi tidak tergantung lagi pada musim liburan sekolah.



Masih banyak ide dan wacana yang bisa dikembangkan sehubungan dengan pengembangan sektor kepariwisataan, yang nyata-nyata sangat besar kontribusinya bagi pertumbuhan ekonomi daerah. Paket 'wisata wisuda' sarjana misalnya, juga bisa dikembangkan untuk turut menyemarakkan wisata DIY.



Bukankah paket semacam ini tanpa disadari juga akan berdampak cukup signifikan bagi menggeliatnya sektor pariwisata. Apalagi di DIY ini bercokol tidak kurang empat PTN dan puluhan PTS. Sebut saja UGM sebagai PT terbesar, dalam setahunnya mengadakan wisuda sebanyak empat kali. Bukankah ini merupakan potensi tersembunyi yang bisa dikembangkan di kemudian hari?



Tentunya, wisata kreatif lainnya bisa diciptakan lagi, seiring dengan perkembangan yang ada. Misalnya, paket training (pelatihan) perusahaan, yang dikemas dengan paket wisata (sarana refreshing). Intinya adalah, bisnis pariwisata di kawasan DIY hendaknya bisa terus bergulir sepanjang tahun tanpa jeda, tidak hanya periodik, momentum dan cenderung jangka pendek.



Tentunya, untuk mewujudkan impian itu perlu kerja keras dan cerdas. Masalah ini harus mendapatkan penajaman prioritas. Potensi DIY yang sangat hebat ini, harus dijembatani dan difasilitasi dengan kerja kreatif serta inovatif. Pencapaian kinerja wisata yang sudah bagus, perlu lebih ditingkatkan lagi. Puluhan pantai, hingga pesona Merapi yang tidak pernah membosankan, jelas memerlukan sentuhan yang lebih kreatif lagi. Itu semua untuk mewujudkan wisata DIY sebagai daerah tujuan wisata nomor satu di Indonesia.

No comments: