Thursday, January 01, 2009

SAYUR ASEM ALA OASIS

Dalam budaya kuliner Indonesia, kita hampir tidak mengenal “sup” atau setidaknya cara menyeruput “sup” seperti layaknya dalam budaya kuliner negara lain, dima “sup” diletak-kan didepan sebagai hidangan pembuka. Secara main-stream, kita mengenal masakan berkuah dalam kuliner Indonesia. Salah satu diantaranya yang sangat terkenal seantero jagad raya, adalah hidangan soto. Dan soto didalam budaya kuliner Indonesia, bertebaran dimana-mana dari Sabang sampe Merauke. Dengan isi dan kuah yang sangat bervariasi. Mulai dengan yang menggunakan kaldu ayam, sapi, kambing hingga seafood dan jerohan. Ada yang bening, dan adapula yang bersantan. Jenis-jenis soto di Indonesia boleh dibilang sangat komplit. Cara makan-nya boleh dikata hampir seragam, yaitu dimakan disantap dengan nasi, ketupat, atau-pun lontong. Sangat jarang dimakan sendiri atau digado selayaknya kita menyantap “sup” dalam tata cara kuliner negara lain.

Selain soto, kita masih mengenal masakan berkuah lain-nya, seperti semur, rawon, serta variasi lainnya. Masakan berkuah, sebenarnya sangat “bersahabat” diperut. Sering disebut sebagai “liquid food” dan “comfort food” karena lebih nyaman dan mudah dicerna. Georges Ausguste Escoffier, yang dijuluki “the emperor of chefs” dan “emperor of the world’s kitchens” oleh Kaisar William II dari Jerman, berkat jasanya dalam menata manajemen dapur moderen, pernah berkata : "Soup puts the heart at ease, calms down the violence of hunger, eliminates the tension of the day, and awakens and refines the appetite."

Jadi “sup” atau masakan berkuah memang punya posisi yang strategis dalam tradisi kuliner. Escoffier sendiri sangat dikagumi dalam dunia kuliner, dan karirnya cukup impresif, yaitu pernah menjadi Chef di beberapa hotel terkenal termasuk, the Carlton Hotel di London, the Grande National Hotel di Lucerne, Switzerland, the Grand Hotel di Monte Carlo, the Savoy di London, serta the Ritz hotels di Paris dan New York City.

Dalam tradisi memasak Cina, “sup” memiliki porsi yang sangat penting. Karena bentuk dan strukturnya, yang memungkinkan “sup” dijadikan medium pengobatan dan tekhnik memasak yang lebih “advanced”. Membuat “sup” dalam teknik memasak Cina, bisa dilakukan dengan cara cepat dan api cukup besar, tetapi juga bisa dimasak dengan api sangat kecil dan memakan waktu berjam-jam. Malah ada juga tekhnik memasak “sup” dengan tidak langsung, alias dikukus atau “double boiled”. Dengan teknik ini, seorang tabib atau chef dapat merancang satu “sup” dengan tekhnik “infusion” dan melarutkan berbagai rempah-rempah untuk menciptakan cita rasa yang seimbang, harmonis dan kompleks. Tak heran apabila “sup” merupakan teknik memasak yang sangat canggih dan hasil “sup”nya bisa memperbaiki “chi” atau tenaga internal dari seseorang. Jadi jangan heran apabila anda suatu hari pergi kesebuah rumah makan Cina, dan menemukan makanan yang paling mahal, justru adalah “sup”, yang harganya bisa jutaan rupiah satu porsi, dengan isi dan rempah-rempah yang sangat exotic sekali.

Salah satu masakan berkuah yang menurut saya sangat luar biasa dalam fenomena kuliner Indonesia, adalah sayur asem. Di Indonesia sendiri, kemungkinan ada lebih dari selusin versi. Mulai dari versi Sumatera hingga puluhan versi lain-nya di pulau Jawa. Mpu Peniti, mentor saya, mengatakan bahwa Sayur Asem secara filosofis memang sangat luar biasa. Versi sayur asem yang sejati konon 100% adalah vegetarian. Namun berhasil menciptakan kompleksitas rasa dengan keseimbangan yang mengagumkan antara manis, asin, asem, dan pedas. Versi yang lebih gurih memang ada terasinya. Namun dalam perkembangannya, sayur asem ini memiliki aneka resep yang bervariasi. Misalnya saya pernah makan sayur asem versi Sumatera Selatan yang dimasak dengan kerupuk ikan. Atau sayur asem di Jawa Barat yang diberi daging tetelan dan urat. Semuanya saya suka dan semuanya sangat lezat. Pokoknya menurut Mpu Peniti, emosi seorang wanita diukur dari sayur asem yang dimasaknya. Sayur asem yang dimasak “camplang” menunjukan seorang wanita yang adem ayem. Tapi sayur asem yang medok dengan rasa kompleks bisa dimakan baik panas maupun dingin. Dan wanita yang memasaknya perlu diberi acungan jempol.
Masakan berkuah dengan rasa asam, sebenarnya dikenal diberbagai budaya kuliner lainnya di ASIA. Di Philipina dikenal sayur “sinigang”, di Thailand “tomyam”, di Cambodia “samlass m’chou moan” dan di Vietnam “canh chua ca”. Rempah-rempah yang menciptakan rasa asam seperti buah asam Jawa, jeruk nipis, cuka dan belimbing wuluh, konon memiliki sejumlah faedah kesehatan, termasuk diantaranya anti bakteri. Rasa asam juga berguna mendinginkan tubuh, yang sangat vital buat kita yang tinggal didaerah tropis. Dan yang terpenting adalah untuk membangkitkan selera.

Tak heran apabila sayur asem sering dipadukan dengan makanan yang paling sederhana. Seperti sambel terasi, lalap, sayur asem dan ikan asin, konon sudah bisa membuat seorang lelaki menghabiskan satu bakul nasi. Salah satu variasi sayur asem favorite saya adalah SAYUR ASEM ALA OASIS. Konon resep ini berasal dari daerah pesisir di Pulau Jawa. Kuah sayur asem yang 100% vegetarian dalam resep ini dimasak dengan kuah kaldu sari laut (seafood). Dan disajikan dengan udang windu yang besar. Kelezatannya jelas sangat berbeda. Karena memiliki “final edge” manis yang sangat kompleks dan gurih. Menurut salah satu teman saya yang berasal dari Jepang, sayur asem ala OASIS memiliki rasa gurih yang berasal dari “Umami” atau “Xian” dalam bahasa Cina. Ini adalah rasa atau flavour yang kelima setelah asin, manis,pahit, dan asam. Sehingga rasanya menjadi sangat esklusif sekali.

Restoran OASIS, di Jalan Raden Saleh 47, Cikini-Jakarta Pusat, pada malam tahun baru ini (31 DESEMBER 2008) akan menampilkan sebuah kreasi unik ini yaitu SAYUR ASEM UDANG WINDU. Sayur asem klasik yang menggunakan kaldu sari laut (seafood) dimasak dengan slow heat dan ditampilkan dengan udang windu yang segar. Rasanya amboi !

Bilamana anda ingin mencoba, SAYUR ASEM UDANG WINDU, silahkan membuat reservasi di telpon +62213150646. SAYUR ASEM UDANG WINDU dihadirkan khusus dalam Rijsttafel menyambut Old & New 2009.

No comments: