Saturday, January 03, 2009

EKONOMI TEH - EKONOMI JALANAN PART V

Ini cerita yang sesungguhnya terjadi. Teman saya makan disebuah restoran ternama. Ketika beliau ditanya ingin pesan minum apa ? Teman saya menjawab, “teh panas”. Sang pelayan pria dengan gaya-nya yang sangat kemayu mirip aktor sinetron, dengan suara yang kenes menjawab, tidak ada. Adanya hanya “hot tea!”. Teman saya tentu saja melotot dan berang. Ia merasa dipermainkan. Karena apa bedanya “teh panas” dengan “hot tea” ? Namun sang pelayan pria dengan gayanya yang kemayu itu, menjelaskan lagi, bahwa “teh panas” itu gratis….. tapi “hot tea” itu bayar dan ada di menu. Akhirnya teman saya dengan mata masih melotot mengiyakan pesanan-nya “hot tea”.

Tak lama kemudian muncul secangkir teh panas dengan teko mungil yang berisi “teh Lipton”. Sambil minum teman saya masih meradang. Komentarnya dengan emosi tinggi “Ini dia, kekonyolan republik kita ! Katanya minuman soft drink nomer satu di Indonesia adalah “Teh Botol”, masak sih kita masih pake teh impor untuk minum teh panas ?” Komentar teman saya memang “nyentil” banget. Dan membuat kuping kita merah merona.
Karena alkisah, Indonesia memang salah satu penghasil teh terbesar didunia. Konon Indonesia adalah penghasil teh nomer 6 terbesar didunia. Atau memproduksi sekitar 5% total produksi dunia. Produsen terbesar adalah Cina (27%) di-ikuti dengan India (23%), lalu Kenya (9%), Sri Lanka (9%) kemudian Turki (6%). Sejarah teh di Indonesia, adalah sebuah warisan yang unik dari jaman penjajahan Belanda. Adalah Andreas Cleyer seorang pegawai VOC yang bertugas di Batavia sekitar tahun 1697-1698, yang kebetulan adalah seorang pemerhati tumbuh-tumbuhan, seorang dokter dan juga pengajar, yang membawa teh ke tanah Jawa. Sejarah perkebunan teh di Indonesia ternyata tidak senantiasa mulus. Mungkin dijaman itu dianggap sebagai komoditi yang rendah nilainya. Karena baru hampir 200 tahun kemudian, tepatnya tahun 1835 teh hasil Indonesia dikapalkan ke Eropa untuk layak dilelang. Itupun hasilnya cuma 200 peti.

Walaupun ritual minum teh di Indonesia kelihatan-nya sangat umum dan populer, budaya minum teh kita tidak mengakar dan sekaya negara lain. Memang di Indonesia kita memiliki sejumlah ritual turunan yang kemudian menjadi sangat unik seperti minum teh yang diracik dengan aneka rempah-rempah, dan ritual populer lain-nya seperti teh poci. Tetapi hanya sebatas itu. Lain dengan negara-negara lain. Diberbagai negara lain misalnya, teh dikenal dengan “provenance” tertentu. “Provenance” asalnya dari bahasa Perancis, yang artinya “tempat asal”. Dalam konsep marketing “provenance’ sangat penting. Ambil contoh, salak pondoh dari Yogyakarta, duren dari Medan, kopi dari Kintamani dsbnya.

Teh Assam, misalnya adalah teh dengan “provenance” dari India yang beken dan populer. Teh Assam ini kebanyakan ditanam di wilayah Jorhat – India, yang sangat unik, karena daerah tanamnya cukup rendah. Warnanya cukup kuat ketika di seduh, dan memiliki rasa yang cukup “malty”. Demekian juga teh dari India yang berikutnya : Darjeeling. Dianggap sebagai “Champagne of teas” karena cita rasanya yang segar, dengan sedikit “final note” asam diujungnya. Disamping “provenance”, metode dan proses peracikan teh, juga sangat berpengaruh. Karena metode peracikan akhir, sangat menentukan kualitas, cita rasa dan aroma teh ketika diseduh nanti. Cina dan Taiwan merupakan “provenance” dari varitas teh yang dikenal dengan “oolong” atau “Ti-Kwan-Yin”. Jenis teh ini melewati proses yang cukup rumit, yaitu setelah dipetik, biasanya di panggang untuk menciptakan aroma “slight toastiness” dan kemudian disimpan selama setahun. Lalu dikeluarkan dan diproses ulang, dan dipanggang serta disimpan kembali selama setahun. Demekian proses ini dijalani berulang selama 4 tahun dan baru di jual.

Lain lagi dongeng tentang cerita teh Earl Grey yang sangat legendaris. Nama Earl Grey berasal dari perdana menteri Inggris yang berkuasa di tahun 1830’an. Komposisi teh Early Grey adalah teh hitam yang diberi minyak bergamot sehingga aromanya sangat luar biasa. Bergamot adalah sejenis jeruk yang tumbuh di Italia Selatan. Kemungkinan besar teh ini awalnya adalah upeti dari seorang pejabat atau tokoh masyarakat yang berasal dari tanah jajahan Inggris di ASIA. Ada 2 cerita yang kedua-duanya kabur, bahwa satu cerita teh tersebut berasal dari seorang pedagang teh Cina dan satunya lagi berasal dari seorang Maharaja di India. Siapapun penciptanya tak pernah jelas. Hanya saja perusahaan teh – Jacksons of Picadilly – mengaku bahwa resep aslinya memang berasal dari Lord Grey sendiri dan diberikan kepada partner perusahaan itu George Charlton. Konon resep aslinya tidak pernah dibeberkan kepada publik. Jadi teh Earl Grey yang diproduksi perusahaan lain, semuanya adalah tiruan belaka.

Di Cina ada lagi dongeng teh yang tidak kalah fenomenal-nya. Yaitu cerita tentang Pu-Erh. Teh yang satu ini berlainan dengan teh lain yang menggunakan daun pohon teh yang terkecil atau pucuknya, Pu-Erh terbaik justru datang dari pohon tua atau pohon teh liar yang sudah sangat tua, dan dipetik dari helai daun yang paling lebar. Teh ini kemudian di press dan dicetak dalam cetakan khusus dan dibiarkan terfermentasi selama bertahun-tahun. Saat ini penggemar teh diseluruh dunia berburu Pu-Erh yang sudah disimpan tahunan, biasanya antara 10-50 tahun. Malah di Cina masih dijual Pu-Erh dari jaman terakhir dinasti Qing yaitu diawal 1900’an. Saya sendiri tidak menyukai Pu-Erh karena rasanya apek dan hampir tidak memiliki rasa. Secara tradisi Pu-Erh disajikan dalam jamuan makan yang berat-berat dan sangat berminyak. Pu-Erh misalnya populer disajikan bersama dim-sum. Semata-mata dipercaya Pu-Erh memiliki khasiat membantu pencernaan, menghancurkan lemak dan khasiat anti-oxidant yang sangat tinggi sekali. Pu-Erh juga dipercaya mampu merendahkan kolesterol darah. Dipasar internasional Pu-Erh yang langka dijual dengan harga diatas puluhan ribu dollar, dan lebih mahal dari anggur langka sekalipun.

Tak dapat disangkal, bahwa budaya minum teh akan semakin mendunia. Di seantero penjuru jagad, telah muncul butik-butik teh seperti Lupicia yang menyediakan lebih dari 400 jenis teh yang berbeda, dan juga bermunculan sejumlah warung teh atau “tea-house” kontemporer, sebagai antiklimaks dari budaya minum kopi. Berlainan dengan kopi Indonesia yang memiliki “provenance” kaliber dunia seperti Java Jampit, Sumatera Mandheling atau Toraja Kalosi, teh dari Indonesia tidak satupun yang dikenal memiliki “provenance” top. Sehingga harganya selalu menjadi sangat murah karena hanya dipakai sebagai oplosan atau pencampur teh dari negara lain. Selain teh melati, proses meracik teh ala Indonesia juga tidak ada yang terkenal mendunia. Namun secara kuantitas Indonesia punya potensi sebagai produsen nomer 6 didunia. Tinggal bagaimana cara kita mendesain sebuah strategi pemasaran berkaliber dunia untuk memberdayakan teh Indonesia ini. Barangkali meraciknya dengan rempah-rempah kesohor lain Indonesia atau mencampurnya dengan jus buah tropis Indonesia.

Kalau saja “Teh Botol” sudah menjadi minuman soft drink favorit kita, maka bukan tidak kemungkinannya, suatu saat teh Indonesia akan mendunia. Seperti Darjeling atau Assam dari India, dan Oolong dari Cina.

1 comment:

Ardian said...

busyet, udah bisa jadi ahli teh juga nih?