Monday, December 10, 2007

THE PASSION

Ini adalah serial ketiga dari 5 artikel yang saya persiapkan sebagai ritual menghadapi tutup dan awal tahun sekaligus. Setelah saya mengangkat topik manajemen dan pemasaran dalam 2 artikel terdahulu, maka untuk topik ketiga, saya sempat mengalami kebuntuan ide. Untuk menyegarkan pemikiran akhirnya saya berangkat kerumah Mpu Peniti. Siapa tau diberi inspirasi baru.

Sore itu Mpu Peniti sedang dikebun rumah belakang, asyik menyirami rumpun pohon-pohon melati. Beliau tampak rileks sekali. Ditemani tempe dan tahu goreng kesukaan beliau, kami ngobrol sambil nyeruput kopi tubruk. Duh, nikmatnya selangit banget. Perlahan-lahan saya bertanya kepada beliau, andaikata beliau boleh memilih hanya satu kata. Maka kata apa sih yang paling penting untuk Indonesia saat ini ? Mpu Peniti memejamkan matanya. Nafasnya terdengar sangat berat. Beberapa menit kemudian, tanpa berkata apapun beliau berdiri dan masuk kedalam rumah. Meninggalkan saya sendiri kebingungan di teras rumah belakang. Tak lama kemudian beliau muncul lagi membawa selembar kertas. Isinya sebuah surat dari seorang koleganya.

Salah seorang teman Mpu Peniti, baru saja kehilangan isterinya, karena direngut penyakit kanker rahim yang sangat ganas. Isi surat itu ternyata bukan berisi kesedihan, tetapi sebaliknya surat yang penuh kegembiraan. Konon menurut surat itu, 6 bulan terakhir sebelum isterinya wafat, itulah saat-saat yang paling menggembirakan dalam kehidupan 30 tahun lebih perkawinan mereka. Sang suami merasakan bahwa isterinya justru paling bersemangat didalam 6 bulan terkahir itu. Itulah saat-saat yang paling membahagiakan mereka berdua. Diakhir surat, teman Mpu Peniti, mengutip sebuah ungkapan dari The Beatles ”And in the end the love you take is equal to the love you make ” – sebuah potongan lirik dari lagu The Beatles yang berjudul The End, dari labum Abbey Road yang direkam antara 23 Juli -18 Agustus 1969.

Membaca surat itu, hati saya ikut luluh. Barulah saya menyadari dari kunci dari kehidupan ini memang cuma satu kata, yaitu ”Semangat”. Tidak lebih dan tidak kurang. Dalam sejarah bangsa ini, barangkali cuma 3 kali kita mengalami luapan semangat yang luar biasa. Pertama ketika Gajah Mada menggelegarkan sumpah Palapa dan menggerakan bangsa ini, menyatukannya menjadi satu negeri Nusantara. Kedua ketika Bung Karno lewat pidato-pidatonya membakar semangat kita dan menggelorakan revolusi kemerdekaan. Dan ketiga barangkali adalah Rudy Hartono. Juara 8 kali All England.

Saya ingat betul bagaimana Rudy Hartono kalah dari Svend Pri di final All England 1975. Dan ia bangkit kembali di tahun 1976 dengan semangat yang luar biasa. Itu tercermin dalam pertandingan semi final dengan Fleming Delfs. Di set pertama Rudy Hartono mengalahkan Fleming Delfs dengan 15-10. Tetapi sepatu baru Rudy Hartono rupanya membuat masalah di set kedua. Sehingga berbalik Rudy kalah 7-15 di set itu. Tetap bersemangat luar biasa di set ketiga, Rudy sudah sempat ketinggalan 2-9. Namun dalam sebuah demonstrasi mental baja dan semanggat membara, Rudy memperlihatkan sebuah keteguhan perjuangan yang sangat luar biasa. Point demi point di raih Rudy. Hingga akhirnya tiba di detik mendebarkan 9-13. Rudy di jurang kekalahan. Tapi Rudy tetap mengusung semangat didepan. Rudy berhasil akhirnya menyamakan skore 13-13. Dalam perpanjangan 5 angka, dengan semangat yang tidak bisa diungkapan, Rudy akhirnya memenangkan pertandingan itu 18-13. Di final, Rudy mengalahkan Lim Swie King dan akhirnya menjadi juara 8 kali All England. Saat itu seluruh negeri lompat, bersorak, dan joged bersama.

Menengok lintasan sejarah itu, barangkali memang benar, apa yang dikatakan Mpu Peniti. Bangsa dan negeri ini butuh satu ajian mujizat : SEMANGAT ! Masalahnya siapa yang bisa menggelorakan-nya ? Barangkali kita butuh Gajah Mada, Bung Karno atau Rudy Hartono yang baru. Semangat ibarat sayap ajaib yang bisa membawa kita kemana saja. Berkat semangat satu kompi serdadu bisa mengalahkan satu batalion musuh yang jumlahnya sangat besar. Semangat adalah faktor penentu yang dicari setiap pemimpin. Saya jadi ingat pertempuran raja Sparta yang terkenal Leonidas ( tahun 480 sebelum Masehi ). Berbekal semangat yang sangat luar biasa, Leonidas ditemani hanya 300 orang serdadu berhasil menahan raja Xerxes 1 dari Persia yang membawa hampir 250.000 serdadu. Pertempuran yang tidak seimbang itu pada akhirnya memang tidak dimenangkan Leonidas. Tetapi korban dipihak Persia konon mencapai 20.000 orang lebih. Semangat adalah bulldozer yang bisa mengubah apa yang tidak mungkin menjadi mungkin.

6 comments:

Unknown said...

Numpang lewat,
Bener Mas, semangat itu sepertinya sudah semakin pudar. Kapan ya tokoh itu datang?
Saya tunggu posting selanjutnya.
Salam,
http://mypotret.wordpress.com/

KAFI KURNIA said...

he....he.....
makasih komen-nya

aye juge lagi nungguin
pemimpin nyang bisa ngasih
semangat sama kite-kite
semue

thanks;
kafi kurnia

riri.novita said...

Kalau pemimpin itu nggak bisa ngasih semangat, atau yang ada malah bikin kita 'nglokro' atau nyaris patah arang. Ya mau nggak mau kita sendiri yang harus bergerak. Prihatin iya. Tapi sudahlah. Siapa dong yang pantas untuk 2009 kalau keadaannya seperti sekarang? Hehehe...

Nassa said...

benar banget Pak kafi saat ini kita
banyak memiliki pemimpin yang hanya bersemangat dalam mempromosikan diri bila sudah terpilih. terpaksa kita harus menghibur diri dengan lagu tinggi gunung seribu janji lain dibibir lain di hati.

hehehe

Nassa said...
This comment has been removed by the author.
KAFI KURNIA said...

barangkali;
itulah tantangtan aseli negeri ini,
mencari pemimpin yang mampu,
menggetarkan,
dan menggelorakan,
semangat kita,

he....he.....