Monday, September 01, 2008

EMOTIONOMICS

Setiap manusia punya kebutuhan. Seperti makan, tidur, kerja dan sebagainya. Memenuhi kebutuhan adalah tindakan ekonomi. Seperti kapan kita makan dan berapa gaji yang kita ingin-kan. Tetapi saat kita menentukan apa yang akan kita makan, dan di perusahaan mana yang kita sukai untuk bekerja, hampir dapat dikatakan lebih dari 50% keputusan itu ditentukan oleh sesuatu yang sifatnya emosional. Tindakan kita memilih berdasarkan emosi kini disebut tindakan emotionomics. Zig Ziglar, ‘coach salesmanship’ yang beken banget di Amerika menulis “People don't buy for logical reasons. They buy for emotional reasons.”

Kita para pemasar, selalu berdebat bahwa emosi tidak bisa kita ukur. Karena semuanya relatif dan bergantung kepada selera para individu masing-masing. Misalnya rasa enak dan lezat untuk satu produk mie instant boleh dibilang sangat bervariasi. Apa yang enak dan lezat buat saya, belum tentu enak buat anda. Andaikata emosi bisa diukur setepat-tepatnya, para produsen dan pemasar bakal girang bukan main. Kesulitan seperti ini yang akhirnya menyebabkan, para produsen dan pemasar hanya fokus pada masalah desain produk yang menyangkut fitur, kualitas dan harga. Kebanyakan pada hal-hal tekhnis yang menyangkut tindakan ekonomi. Bukan emotionomics !

Seorang pemasar yang produknya adalah pakaian dan produk fashion berkisah unik. Katanya ungkapan emosional “baju baru buat Lebaran” tahun-tahun belakangan ini mengalami revolusi yang cukup serius. Dulu, yang namanya “baju baru buat Lebaran”, memang bener-bener harus kelihatan baru secara fisik. Licin seperti baru keluar dari pabrik. Jaman sekarang “baru” secara emosional tidak lagi berarti hal yang sama. Bayangkan jeans belel, yang robek-robek ngak keruan bisa saja baju baru. Atau kemeja dan blus batik yang lecek, belel, dan hampir pudar warnanya, juga ‘qualify’ untuk baju baru. Yang penting belinya baru dan belum pernah dipakai. Saya tertawa ngakak mendengarnya. Iya juga yah !

Dunia industri entertainment, seperti film dan musik, juga punya definisi ‘baru’ yang secara emosional juga beda. Jaman dahulu kala, kalau mau bikin film, ‘casting’ pemeran film betul-betul diperhatikan mencari pemain yang terkenal dan beken. Sebagai jaminan film-nya apik dan bakalan banyak penonton-nya. Seorang sineas muda, mencibir kepada saya tentang teori ini. Kata beliau di Hollywood memang betul harus begitu. Tapi ngak di Indonesia. Di Indonesia, konon menurut teori beliau, para bintang naik dengan cepat, tapi bisa juga jatuh dengan sangat cepat. Bagaimana tidak ? Tayangan infotainment yang begitu banyak semuanya mencari kelemahan, kebusukan, dosa dan skandal para kaum artis dan selebriti. Di satu pihak televisi yang menciptakan selebriti ini meroket, tetapi televisi pula yang menembaknya jatuh. Jadi menurut sineas muda itu, bikin film di Indonesia harus bisa mencari aktor dan aktris yang baru – istilah populernya ‘belum pernah masuk angin’. “They want fresh face”, kata sineas muda itu mantap dalam bahasa Inggris ketika menutup percakapan kita berdua. Baru dalam dunia film artinya ‘unknown’. Yang belum dikenal inilah yang membuat orang penasaran.

“Baru” sebagai pakem dalam dunia otomotif, real-estate atau ‘high-end’ fashion diterjemahkan secara berbeda lagi. Mobil baru tidak lagi aneh. Konsumen punya standar “baru” yang kadang cukup edan. “Baru” kini harus esklusif, otentik, dan mahal. Baru konsumen tertarik dan mungkin terjerat membeli. Kalau hanya sekedar baru, sudah tidak aneh lagi, dan tidak mempan buat konsumen. Produsen juga sudah pandai dan cerdas untuk memainkan emosi konsumen. Dalam hal peluncuran video games baru seperti Playstation, Xbox atau WII, biasanya produk disiapkan dulu digudang dalam jumlah cukup banyak dan diluncurkan menjelang Natal dan Tahun Baru. Artinya supaya produk ini menyebar dari mulut-ke-mulut, butuh jumlah tertentu untuk menciptakan populasi fans yang cukup besar untuk membuat produk ini meledak. Terlampau sedikit bisa membuat konsumen frustasi. Dan tidak tertarik membeli.

Untuk mobil lain lagi. Seorang dealer, mengatakan bahwa untuk bikin penasaran, biasanya pabrik sengaja menciptakan waktu indent, biar menciptakan kesan jumlah permintaan mobil baru lebih banyak dari suplai mobil. Cara ini membuat konsumen ‘excited’ dan merasa memang mobil yang ditunggunya ‘baru’ beneran. Buktinya laris banget sampai ngak ada stock. Cuma saja, kadang mobilnya meledak sangat laris diluar perkiraan, sehingga waktu indent menjadi terlampau lama. Konsumen jadi kesal dan mangkel.

Emotionomics kita menjadi buku populer yang ditulis oleh Dan Hill, dan menjadi peta baru praktisi pemasaran, untuk menjadi kompas yang menuntun kita menjelajah wilayah emosi konsumen. Emotionomics menjadi pencerahan baru untuk melariskan produk kita, dijaman gonjang ganjing seperti saat kini.

1 comment:

Anonymous said...

uang sama dengan emosi
wah banyak tuh contohnya

ada uang abang disayang
gak ada uang abang ditendang

emosi gak???

dasar uang...