Thursday, February 08, 2007

KEBAHAGIAAN

“If you want happiness for an hour, take a nap. If you want happiness for a day, go fishing. If you want happiness for a year, inherit a fortune. If you want happiness for a lifetime, help somebody.” – A Chinese proverb



Pernah sekali Mpu Peniti membisiki saya, kata beliau, semua sumber ketidak bahagiaan adalah pengetahuan. Artinya semakin besar dan dalam pengetahuan kita, semakin kita tidak berbahagia. Saya tentu saja tidak setuju dengan nasehat seperti itu. Karena seolah-olah mengajak kita untuk cuek, masa bodoh, dan tidak mau belajar. Bagi saya ini nasehat yang ngawur. Sampai 2 minggu yang lalu, saya disadarkan petuah itu oleh sebuah peristiwa. Teman saya di Hong Kong, baru saja kehilangan ayahnya. Ketika diberitahu kabar itu, saya langsung mengirimkan email, dan memberikan ucapan bela sungkawa. Teman saya membalas email tersebut, isinya cukup mengejutkan. Ia bercerita bahwa ayahnya sudah sangat tua. Sudah 90 tahun lebih. Sering sakit. Jadi kepergian-nya sebenarnya cukup melegakan. Karena dalam 20 tahun terkahir ini, ayahnya banyak menghabiskan biaya pengobatan, dan sangat menyusahkan anak-anaknya. Jawaban ini tentu saja membuat saya merenung. Hati saya kacau sekali dibuatnya.

Seorang teman yang lain, juga mengalami hal yang sama. Ia baru baru saja kehilangan ayahnya. Prosesnya beda. Ketika pagi hari ia ingin membangunkan ayahnya, ia kaget setengah mati. Ayahnya meninggal dalam tidur. Dan wajahnya tersenyum. Konon menurut dokter, ayahnya meninggal karena serangan jantung. Ayahnya memang tidak pernah mau disuruh periksa kedokter. Lain dengan teman saya yang di Hong Kong, ayahnya sangat teliti, ketika memasuki usia 70 tahun, sebuah pemeriksaan yang teliti, menunjukan sejumlah komplikasi dan kelainan. Ia lalu menjalani hidup serba hati-hati. Ia memang berhasil hidup hingga 90 tahun lebih, tapi dengan membuat anak-anaknya cukup repot. Kedua cerita diatas mungkin sangat ekstrim. Dan bukan contoh yang bijaksana. Tapi kenyataan hidup yang sebenarnya memang begitu.

Mentor bisnis saya, almarhum bapak MS Kurnia, anehnya juga pernah menasehati saya hal yang mirip. Ia mengatakan kepada saya, bahwa dalam mengelola perusahaan kadang ada saatnya kita harus belajar untuk tidak tahu, tidak peduli, cuek, dan masa bodoh. Karena semakin anda ingin tahu, kadang semakin banyak masalah yang justru kita temukan. Anda akan menjadi semakin kuatir. Hidup kita akan semakin stress jadinya. Dan akhirnya kita hanya akan dihadang dengan sejumlah kekurangan, kelemahan dan kesalahan yang menumpuk. Kita menjadi tidak bahagia.
Sama pula dengan kekayaan. Semakin banyak harta kita, semakin besar rasa kuatir kita. Takut dirampok. Takut ditipu. Kita jadi repot pasang alarm. Bikin tembok yang semakin tinggi. Menambah jumlah kunci dan gembok. Kalau perlu punya sejumlah pengawal dan satpam. Atau memborong berbagai asuransi. Lain halnya kalau anda tidak banyak memiliki harta. Maka semua kebutuhan tadi menjadi lenyap. Terdengar ironis, tapi nyatanya begitu.

Oleh Mpu Peniti, saya dinasehati untuk belajar cuek, dan masa bodoh. Konon demi kebahagian diri saya. Kemarin, disebuah taksi, saya berjumpa seorang supir taxi yang berusia lanjut. Rambut dikepalanya hampir putih semua. Ia mengeluh ekonomi yang semakin susah. Jumlah taxi yang semakin banyak dan setoran yang sedikit. Anaknya yang kuliah di Universitas Indonesia, sudah tidak bisa kuliah, karena menunggak uang kuliah sekian lama. Ia mengaku sudah menghadap rektor, tapi juga tidak mendapat keringanan. Ketika ia menasehati anaknya untuk kerja saja, anaknya malah menangis pilu. Ia jadi susah hati. Ia juga mengisahkan bahwa kemarin dulu, pernah sekali uang setoran taxinya kurang Rp.19.000.-. Esok harinya ia disandera tidak boleh bekerja. Ia harus melunasi kekekurangan setorannya itu. Apa daya ia tidak punya uang sama sekali. Ketika ia mencari pinjaman kanan dan kiri, hanya ada satu teman yang bisa meminjamkan Rp. 5.000.-. Syukurlah dengan mencicil Rp.5.000.- ia diperkenankan menarik taxi kembali.

Saya ikut trenyuh mendengar ceritanya itu. Namun yang membuat saya lega adalah semangat hidupnya yang sangat luar biasa. Ia bertutur, katanya kalau ia membandingkan nasibnya dengan teman-teman-nya yang lain, mungkin ia sudah bunuh diri. Tidak sanggup katanya. Kalau ia putus asa melihat anaknya tidak bisa kuliah, mungkin ia sudah menipu dan merampok. Survival-nya selama ini, adalah berkat sikapnya untuk belajar cuek dan masa bodoh. Apapun situasinya, ia tetap fokus dan konsentrasi menarik taxi. Ia belajar tidak peduli dengan nasibnya. Lalu dimana letak kebahagiannya. Menurutnya, hanya ada 2. Ia bahagia, setiap hari apabila bisa pulang dengan selamat dan bisa meluangkan waktu dengan keluarganya. Syukur-syukur apabila ia pulang membawa uang hasil menarik taxi yang lumayan. Ia Ia juga bahagia setiap kali bangun tidur, diberikan kesehatan oleh Allah, yang mampu membuatnya sujud dan menjalan sholat dengan khusuk. Lalu berangkat kerja untuk menarik taxi.

Mendengar cerita sang bapak supir taxi, saya menjadi sangat bersyukur, karena limpahan rahmat dan kesejahteraan yang telah diberikan oleh Allah selama ini. Saya berjanji untuk tidak lagi membanding-bandingkan nasib saya dengan orang lain. Karena sesungguhnya kebahagiaan yang telah dilimpahkan kepada saya, jumlahnya sangat banyak dan tak terkira.

No comments: