-->
Setiap kali kita ingin makan di sebuah restoran Indonesia – bayangan kita
pasti sangat beragam dan bermacam-macam. Juga ekspektasi kita sangat banyak
serta saling berbeda. Seorang ahli kuliner mengatakan bahwa keragaman dalam
sajian kuliner Indonesia memang sangatlah kaya dan luar biasa. Begitu kayanya
sehingga orang mudah bingung dan “keblinger”. Beda dengan sajian kuliner negara
tetangga kita yang cenderung lebih homogen dan sederhana. Sehingga keragaman
ini seringkali menjadi pisau bermata dua. Di Indonesia Restoran Indonesia
seringkali berawal dari etnik kedaerahan – seperti restoran Peranakan, Padang,
Sunda, Jawa, Aceh dan seterusnya. Sisanya seringkali menampilkan hidangan khas,
seperti sate, soto, atau seafood dan gabungan beberapa masakan khas.
Uniknya walaupun ditengah keragaman yang semakin ramai – dalam sepuluh
tahun terakhir ini restoran Indonesia semakin naik daun, tumbuh berkembang dan
populer. Aneka restoran Indonesia yang moderen dan kontemporer lahir di
berbagai kota besar dengan kemewahan yang baru dan menjadi “trend-setter” yang
diperbincangkan orang.
Sebagai pelancong dan penikmat kuliner Indonesia – kita semua
percaya betul bahwa kuliner Indonesia memiliki takdir kejayaan yang akan segera
terwujud kedunia internasional. Istilah
“Nasi Goreng” telah menjadi istilah generik yang populer dan tercantum di
berbagai menu restoran dan café diseluruh dunia.
Dari segi cita rasa – Indonesia memiliki warisan budaya
rempah-rempah, dan tekhnik memasak yang mampu menghadirkan hidangan eksotik
yang mendunia. Tak heran apabila Nusantara dijaman dahulu kala sangat terkenal
dengan Jalur Rempah-Rempah yang menandingi Jalur Sutera dari Eropa hingga Asia.
Seorang teman dari Singapura bercerita
bahwa ia diam-diam sering ke Jakarta hanya untuk “Makan Enak” – dalam
petualangannya bertahun-tahun ia mengatakan bahwa kuliner favorit dia adalah
Mie yang bertebaran di seluruh Jakarta dengan aneka cita rasa dan keragaman.
Tiap daerah punya “signature” khas, dari Mie Aceh, hingga Mie Pontianak, Mie
Medan, Mie Jambi, dan Mie Bangka, serta banyak lagi. Ia menyebut Jakarta
sebagai Republik Mie.
Saking beragamnya usaha Mie ini dan hampir tiap bulan muncul
kreasi dan ciptaan baru, maka di Jakarta kini sering digelar festival mie
diberbagai mall di seluruh Jakarta. Festival ini semakin populer dan bisa saja
menjadi kalender pariwisata untuk kota Jakarta dan menjadi magnet turis dari
mancanegara.
Kuliner yang kedua yang memiliki potensi mendunia adalah
martabak. Sajian ini memiliki 2 cita rasa baik asin maupun manis. Dalam
tahun-tahun belakangan ini martabak manis mengalami evolusi inovasi yang luar
biasa dengan perkembangan rasa eksotik dengan fusi dari berbagai bahan baku
merek terkenal seperti coklat dan rasa-rasa lain.
Diluar Mie dan Martabak – Indonesia punya segambreng warisan
kuliner yang perlu sedikit sentilan agar mendunia. Kita semua percaya bahwa
Indonesia memang memiliki takdir kejayaan dalam dunia kuliner. Sekarang sedang
terjadi dan akan kita yakin akan ada restoran Indonesia disemua kota-kota besar
dunia.
Yang menarik adalah pertanyaan orang banyak tentang
bagaimana cara terbaik menikmati sajian kuliner Indonesia ?
Menikmati sajian kuliner Indonesia – barangkali bukan lagi sekedar ritual
goyang lidah seperti sajian kuliner di negara lain, melainkan sebuah pengalaman
yang lebih dalam yang lebih lekat dengan budaya dan tradisi, sehingga tradisi
makan di Indonesia memiliki kedalaman dan keakraban budaya yang sangat berbeda.
Indonesia memiliki “Jejak Kejayaan” dalam tradisi makan. Sehingga seorang
antropolog mengatakan kalau di luar negeri barangkali makan itu memiliki
jenjang antara makan kecil hingga makan besar. Makan kecil artinya jamuan makan
sederhana, sedangkan makan besar artinya jamuan makan yang sangat lengkap.
Budaya makan besar inilah yang misalnya dalam jaman kolonial Belanda menjadi
tradisi makan besar yang disebut – “rijsttafel “ (makan dengan lauk pauk lebih dari
40 macam hidangan). Konon “Jejak Kejayaan” ini bukan saja dalam tradisi “makan
besar” tetapi juga dalam ungkapan yang khas yaitu “Makan Enak”. Sang Antropolog
meng-klaim bahwa “Makan Enak” barangkali sangat sukar untuk diterjemahkan
menjadi ungkapan yang sama dalam bahasa dan budaya lain.
“Jejak Kejayaan” seni kuliner Indonesia sangatlah banyak dan
juga beragam. Mulai dari pemahaman rempah-rempah dan bumbu hingga tekhnik
mengolah dan memasak. Contoh yang paling sederhana barangkali adalah Tempe,
yang merupakan salah satu “Jejak Kejayaan” seni kuliner Indonesia yang termuat
dalam buku Serat Centhini di abad ke 16-17 sebagai produk ciptaan asli
Indonesia, dan sedang diperjuangkan menjadi Warisan Budaya Dunia Unesco tahun
2021.
Seni kuliner Indonesia yang memiliki “Jejak Kejayaan” yang
sangat panjang, tidak hanya legendaris dalam menciptakan kuliner yang
spektakuler tetapi juga menjadi kawah candra dimuka yang melahirkan sejumlah
fusi inovasi dari negara-negara lain. Misalnya saja Tiongkok mungkin adalah
pencipta kecap, sejak abad ke 2 Masehi, namun Indonesia-lah yang melakukan inovasi
hingga muncul kecap manis yang sangat unik dan diperkaya dengan rempah-rempah
Indonesia. Kecap manis barangkali akan mengikuti tempe sebagai salah satu
“jejak kejayaan” seni kuliner Indonesia.
Kecap manis menjadi sangat dominan dalam seni kuliner Indonesia,
dan mungkin peran-nya sebagai saus universal akan sangat sulit digantikan oleh
bumbu lain. Sehingga ada ungkapan “apalah artinya hidup ini tanpa kerupuk dan
kecap manis !”
Yang juga sangat menarik – catatan sejarah tentang kerupuk
dan sambal di Indonesia muncul secara berbarengan sekitar abad ke 10 dalam
berbagai literatur dan prasasti. Sejak itu hampir setiap hidangan dalam seni
kuliner Indonesia memiliki sambal dan kerupuk yang berbeda, sebuah keunikan
yang tidak kita jumpai dalam seni kuliner yang lain.
“Kisah Sepotong Ikan Asin”
Hampir 30 tahun yang lalu saya diberi oleh-oleh sebungkus ikan asin oleh
seorang teman. Konon ikan asin itu adalah oleh-oleh khas dari kota Tegal.
Karena tidak tahu nilainya, ikan asin itu saya berikan kepada pembantu saya.
Pembantu saya berbinar-binar ketika melihat ikan asin itu, seperti layaknya
melihat sebuah harta karun yang sangat langka. Malam harinya ketika makan malam
saya disuguhi pembantu saya pepes ikan asin itu. Kelezatannya sangat maut
sekali. Barangkali itulah makanan yang paling lezat yang pernah saya santap
seumur hidup saya. Pembantu saya baru kemudian bercerita bahwa itulah ikan asin
kuro yang legendaris dan masyhur. Satu minggu itu pembantu saya memasak
sejumlah hidangan super lezat dengan ikan asin itu, mulai dari hanya digoreng
biasa, dicampur dalam nasi goreng, hingga menjadi bumbu telur dadar. Barangkali
saat itu adalah titik pencerahan tertinggi saya tentang kuliner Indonesia.
Tak lama berselang ketika saya berkunjung ke Hongkong – seorang kolega
saya mengajak saya wisata kuliner disebuah restoran, diakhir jamuan kami
dihidangkan sajian nasi goreng yang luar biasa lezatnya. Kolega saya mengatakan
bahwa bumbu rahasia sesungguhnya adalah ikan asin. Waktu itu saya terperanjat
bukan main dan saya langsung teringat pencerahan saya dengan ikan asin kuro
oleh pembantu saya. Pengalaman kuliner tentang ikan asin ini kemudian berlanjut
ke berbagai benua. Di Jepang suatu saat saya disuguhkan ikan teri asin yang
dijadikan camilan. Gurih dan membuat saya ketagihan luar biasa. Dan di Italy
suatu saat saya disajikan pizza dengan taburan ikan asin. Juga sangat lezat dan
membuat saya ketagihan. Saat itu saya berpikir dalam ternyata ikan asin itu
sesungguhnya sangat mendunia. Karena bisa kita temui dalam tiap kultur dan
budaya.
Kisah tentang ikan asin ini kemudian berlanjut, ketika saya diajak
berdiskusi dengan seorang ahli kuliner. Beliau bercerita bahwa ikan asin ada
hampir disemua budaya dan kultur, karena ikan asin ini kaya dengan cita rasa
umami.
Umami dalam dunia kuliner dikenal sebagai cita rasa ke 5, dan cita rasa
inilah yang kemudian menjadi dasar cita rasa dalam MSG, yang membuat sebuah
hidangan menjadi sangat gurih dan lezat. Menurut ahli kuliner ini, di Jepang
secara tradisional serutan ikan tuna sering ditambahkan di hidangan berkuah
karena kaya dengan rasa umami ini. Ini yang menjadi rahasia populeritas ikan
asin dan kelezatannya dalam berbagai tradisi kuliner.
Uniknya dalam sebuah diskusi tentang kuliner Indonesia, saya pernah
ditanya tentang masakan Indonesia yang perlu kita angkat dan kita populerkan
sebagai daya tarik kuliner dunia. Ketika saya menyebut ikan asin, maka saya
ditertawakan ramai-ramai di forum. Kisah ini kemudian saya ceritakan kepada
mentor saya, Mpu Peniti. Beliau juga ikut tertawa terbahak-bahak. Hati saya
menjadi galau luar biasa.
Minggu berikutnya saya diajak mentor saya ke sebuah pasar di Jakarta yang
menjual berbagai jenis ikan asin. Saya terus terang kaget luar biasa. Karena
setelah saya hitung, jenis ikan asin yang dijual itu, jenisnya lebih dari
selusin. Kegalauan saya berubah menjadi kekaguman luar biasa !
Konon sejak abad ke 9 dan 10 diberbagai prasasti yang ditemukan diberbagai
wilayah Nusantara sudah ditemukan bukti-bukti tentang adanya industri ikan
asin. Bukti ini juga didukung dengan bukti-bukti lain tentang industri
pembuatan garam. Dongeng ini kemudian menjadi bukti sejarah bagaimana nenek
moyang kita berhasil secara naluri mengembangkan sebuah “kearifan lokal”. Karena mereka berhasil “memanfaatkan” nilai geografis kita yang berupa kepulauan dan yang
“kaya” dengan hasil ikan-ikan – lalu
memadukan-nya dengan “keahlian”
mengawetkan ikan dengan pengembangan industri garam ! Sehingga menjadi sebuah
kekayaan kuliner dan budaya yang sangat luar biasa.
Mpu Peniti, mentor saya kemudian bertutur, bahwa kita yang sangat kaya
dengan budaya seringkali meremehkan sejarah dan budaya kita. Barangkali itu
yang terjadi dengan ikan asin. Kita semua meremehkan ikan asin. Kita menganggap
enteng ikan asin. Mengutuknya sebagai makanan murahan dan makanan orang miskin.
Kita gagal melihat potensinya. Kita miskin visi untuk menjadikan ikan asin
Indonesia sebagai sebuah potensi kuliner yang dahsyat.
Jonathan Swift (30 November 1667 – 19 October 1745) seorang pemikir pernah mengatakan bahwa visi adalah sebuah
penglihatan yang nyata bagi seorang pemimpin -
yang tidak bisa dilihat oleh orang lain. Dan visi adalah salah satu
kualitas pemimpin besar.
Kita tidak bisa memungkiri bahwa Indonesia memiliki begitu banyak “ jejak kejayaan” mulai dari tradisi,
budaya, sejarah dan kearifan lokal. Jejak kejayaan ini sambung menyambung
menjadi sebuah mozaik kekayaan dan kemakmuran yang menunggu masa panen. Dan
jejak kejayaan ini semakin dekat menjadi takdir kejayaan. Misalnya saja
Indonesia tahun 2030 diramalkan akan menjadi ekonomi terbesar ke 5 di dunia
dengan nilai ekonomi US$ 5.424 triliun. Bagi saya pribadi -saya yakin Indonesia
akan mencapai takdir kejayaan-nya. Bukan-kah nenek moyang kita pernah juga
memberi wangsit dan warisan – bahwa Indonesia akan “Gemah Ripah Loh Jinawi tata tentrem
kerta raharja”
Barangkali
masalahnya kita selalu bertanya – kapan takdir kejayaan itu akan terwujud ?.
Berangkat dari tantangan ini - disaat Hari Kebangkitan Nasional yang keramat ditahun
2018 ini, mungkin kita bisa memberikan sentilan baru. Yaitu Kebangkitan Kuliner
Indonesia memenuhi Takdir Kejayaan-nya di dunia Internasional. Siapa tahu di
hari Kebangkitan Nasional 2018, ada pemimpin kita yang mau merenung bahwa
kejayaan Indonesia sebenarnya jauh lebih sederhana dari yang kita bayangkan –
bahwa tempe, sambal, kerupuk dan ikan asin bisa menjadi inspirasi nyata jalur
kejayaan yang seharusnya kita tempuh. Yang terpenting adalah mengobarkan semangat
takdir kejayaan itu – bahwa sebagai bangsa kita punya takdir kejayaan yang
harus kita wujudkan bersama-sama dengan segenap rakyat Indonesia.