Friday, October 03, 2008

MAAF LAHIR DAN BATHIN

Setiap tahun ketika Puasa menjelang berakhir, dan Lebaran hampir tiba, orang selalu bertanya kemana saya ingin berlibur ? Percaya atau tidak, saya justru ingin tidak kemana-mana. Makan seadanya, tidur yang banyak, bermalas-malasan se-enaknya. Anehnya prilaku saya justru dianggap aneh. Biasanya prilaku kaum metropolis, yang ditinggal pembantu, supir dan satpamnya, karena mudik, juga ikut exodus plesir ketempat lain. Saya malah terbalik. Jakarta yang sunyi di saat libur Lebaran, adalah Jakarta yang terbaik. Jakarta tanpa kemacetan. Jakarta tanpa hiruk pikuk. Jakarta yang lenggang justru memiliki pesona keanggunan yang luar biasa. Inilah saat yang saya selalu tunggu-tunggu selama setahun. Jakarta yang “slowing-down”.

Mungkin, budaya dan lingkungan kita sudah terbiasa dengan gerakan cepat. Kita dilatih adu cepat. Hanya dengan cepat kita tidak ketinggalan. Menang juga harus cepat. Akibatnya pelan atau “slow” tidak memiliki nilai tinggi yang patut kita apresiasikan. Padahal pelan atau “slow” memiliki wibawa tersendiri. Banyak hal disekeliling kita, yang justru harus dilakukan dengan pelan atau “slow”. Olah tubuh seperti Tai Chi, pilates dan yoga, justru memiliki gerakan serba pelan atau “slow”. Tai Chi, yang sudah berumur 2000 tahun, dipraktekan dengan gerakan serba pelan atau “slow”. Gerakan yang pelan ini, justru mewujudkan sebuah situasi yang membuat tubuh dan jiwa kita menjadi sangat relax. Tanpa “impact” yang berbenturan. Gerakan yang pelan konon bertujuan untuk meningkatkan kesadaran untuk membaca ritme tubuh. Menyadari bahasa tubuh. Gerakan Tai Chi mengalir dengan pelan membuat tubuh seimbang, dan mencegah tubuh terluka. Melakukan Tai Chi dalam situasi tenang 100% juga bertujuan untuk menajamkan konsenstrasi dan fokus alam pikiran. Tak heran apabila di Cina sendiri, setiap paginya 10 juta orang berolah-tubuh Tai Chi setiap hari.

Tai Chi, Pilates, dan Yoga, ketiganya adalah gerakan olah-tubuh yang mengharmonisasikan fungsi tubuh lewat pengembangan postur tubuh, gerakan nafas dan meditasi sekaligus. Disini terbukti pelan atau “slow” memiliki kekuatan yang unik. Setiap kali anda menonton siaran olah raga, dan terjadi satu prestasi, biasanya adegan itu diputar ulang justru dengan gerakan “slow motion”. Karena hanya dengan gerakan selambat itu, semua gerakan akan rinci terlihat. Jadi pelan atau “slow” sangat diperlukan kalau anda kebetulan ingin memperhatikan “details” yang sangat rinci.

Bilamana terjadi krisis, dan masalah yang sangat luar biasa, kita justru dinasehati untuk berpikir pelan dan rinci. Chin-Ning Chu, konsultan manajemen yang beken dan penulis buku best seller “Do Less Achieve More”, menulis bahwa kata sibuk dalam bahasa Cina terdiri dari 2 piktogram. Yang pertama memiliki arti jantung. Dan piktogram kedua memiliki arti mati. Jadi sejak ribuan tahun yang lalu, bangsa Cina sudah mengerti bahwa kesibukan yang luar biasa, akhirnya akan membinasakan kita. Itu sebabnya Chin-Ning Chu didalam bukunya yang konrovesial ini, mengajak kita berdamai dengan waktu. Jangan biarkan waktu memburu kita. Chin-Ning Chu menantang kita untuk mengalahkan waktu, bukan dengan adu cepat, melainkan adu pelan dan kalau perlu menyerah.
Beberapa hari yang lalu, saya sempat mengunjungi Mpu Peniti menjelang buka puasa. Sambil menunggu azan Magrib, kami ngobrol ngalor ngidul. Dan ketika suara azan bergema, Mpu Peniti langsung berbisik rasa syukur, “Alhamdulilah”. Dengan gerakan serba pelan yang teratur, Mpu Peniti mengambil air wudhu. Lalu sembahyang dengan sangat khidmat. Sayapun takjub melihat gerakan beliau. Sangat teratur satu demi satu. Ketika kami berbuka puasa bersama, saat beliau minum pertama kali dengan perlahannya, saya-pun lirih mendengar beliau berdoa. Saat itu pula saya merasakan getaran bahwa Mpu Peniti sangat menikmati puasanya.

Lain dengan satu situasi dimana saya ikut acara berbuka puasa dengan satu lembaga, dimana ketika suara azan bergema, semua orang langsung menyerbu makanan dan minuman. Yang terdengar kemudian cuma suara seruput sana sini, sibuknya orang makan dan minum. Mpu Peniti usai berbuka, meraba pikiran saya, dan kata beliau : “Puasa itu penuh hikmah dan kajian. Puasa melambatkan hidup kita selama sebulan. Bukan hanya sebagai ujian menahan lapar dan haus. Tetapi juga kesempatan untuk menciptakan keseimbangan antara jiwa dan raga. Sebulan penuh kita menata ulang gerakan, pikiran, emosi, nafsu, dan bahasa tubuh. Sehingga kita bisa mengalahkan waktu. Tidak lagi kita terjebak dalam hiruk pikuk yang setiap hari menjebak kita.”

Ditahun 80’an ketika saya masih bekerja di HERO GROUP, suatu malam saya sedang lembur. Almarhum Bapak MS.Kurnia yang melihat saya lembur, akhirnya menyuruh saya pulang. Sambil tersenyum beliau berkata kepada saya : “Apa kau pikir, dengan menyelesaikan semua masalah hari ini. Maka semua masalah selesai ? Percayalah, setiap pagi kita melangkahkan kaki kedalam kantor, maka sejuta masalah baru sudah datang menunggu.” Sambil garuk-garuk kepala akhirnya saya pulang juga.

Tak lama kemudian, saya mengundurkan diri dari HERO GROUP. Dan saya mulai “going solo” mencoba menjadi entrepener sendiri. Banyak orang mengira saya punya sekian ambisi dan ingin cepat-cepat meroket. Tanpa banyak orang yang tahu, saya justru mengambil jalan persis seperti apa yang dinasehati Chin-Ning Chu. “Make peace with time”, memperlambat hidup saya. Go Easy. Dan nasehat itu ternyata manjur sekali. Karena sejak itu setidaknya saya berhasil seperti apa kata beliau, “Do less, Achieve more !”

Setahun sekali, kita dianjurkan berpuasa. Setahun sekali, sebenarnya juga kita diberikan kesempatan untuk memperlambat hidup kita. Tentu saja secara positif. Untuk menjaga keseimbangan, lebih fokus, dan konsentrasi. Pelan atau “slow” punya kekuatan tersendiri. Yang terkadang kita remehkan. Diujung hari terakhir puasa, saya berharap semoga sebulan yang melambatkan hidup kita ini, memberikan kita sebuah kekuatan baru. Selamat hari raya Idul Fitri. Mohon maaf lahir dan bathin !

No comments: