Monday, November 12, 2012

"TUHAN ITU ADA ..... Bung !"






Seattle - 26 Oktober 2012 - jam 2 pagi. Sebuah SMS masuk, ".... hahahahahaha ..... Emang bener .... Tuhan itu ada, bung !". Saya hanya melihat sekilas. Tersenyum lalu berusaha untuk kembali tidur. Jetlag yang menyertai saya, masih lekat disemua syaraf saya, dan belum juga reda sama sekali. Tidur saya selalu tersiksa dalam beberapa hari ini. Tidak pernah pulas. Bagaikan lampu hias yang terus berkedip.

Esok harinya, ketika menyeruput cappuccino ditemani roti bakar, saya teringat SMS tadi subuh. Sebelum berangkat ke Amerika, teman karib saya, minta ketemu. Kami bertemu, ngobrol basa basi, lalu tiba-tiba saja ia menangis tersedu. Bukan cuma sebentar. Tapi 20 menit lebih. Ia juga tidak mau bercerita apa susah dan deritanya. Ia hanya menangis. Saya juga tidak mau usil dan bertanya. Usai menangis kami sempat ngobrol ngalor ngidul sampai hampir 2 jam. Ketika mau berpisah, kata saya, " Hampir semua teman-teman kita, hanya mengenal kau sebagai sosok yang selalu berbuat kebaikan. Selalu menolong teman. Percaya-lah Tuhan itu ada !" Begitu saya menghibur dia. Teman saya hanya mengangguk pelan. Lalu kami berpisah. Hingga selang seminggu kemudian SMS itu masuk ketika saya di Seattle. Sayapun lega. Harapan saya, apapun masalahnya, ia menemukan solusi yang terbaik.

Dalai Lama sendiri pernah mengatakan dengan sangat sederhana : " My religion is very simple. My religion is kindness." Pernah sekali waktu, satu hari mentor saya, Mpu Peniti, bertanya kepada saya "Andaikata kamu disuruh memilih. Kamu mau jadi orang baik ? Atau orang jahat ?" - Saya tertawa, dan langsung berkata enteng: "Yah, jadi orang baik dong !" - Mpu Peniti mengernyitkan dahinya, "Serius ?".

Saya langsung terdiam. Seolah ada sesuatu yang mengganjal kerongkongan saya. Dada saya terasa sesak. Karena saya tidak berani mengaku "orang yang baik". Saya hanya berusaha menjadi orang baik. Dan saya alami betul, menjadi orang baik sangat susah. Hidup tanpa dendam, tanpa iri, tanpa kelicikan, tanpa kebohongan, dan terus menerus baik - sangatlah susah. Barangkali hampir tidak mungkin ! Lalu Mpu Peniti, bercerita tentang seorang murid, yang baru saja kalah berkelahi, karena dikeroyok orang banyak. Sang murid bertanya kepada sang guru, minta nasehat. Apa yang harus ia lakukan ? Sang guru memejamkan matanya, menarik nafas. Lalu berkata perlahan, "Kau harus punya keberanian untuk memaafkan mereka." Sang murid bingung. Lalu protes. Ia berkata, bahwa ia telah luka, cedera, dan juga dipermalukan. Sang guru berkata, "Luka bisa sembuh. Harga diri bisa pulih. Tapi dendam tidak akan pernah habis. Dendam akan terus tumbuh." Sang murid menangis tidak bisa menerima nasehat gurunya. Akhirnya, sang guru menuntun muridnya menaiki sebuah bukit. Dipuncak bukit, sang guru mengajak sang murid diam sejenak dan melakukan meditasi. Lalu berceritalah sang guru. "Wahai murid-ku lihatlah. Puncak bukit selalu lebih runcing dan terjal. Karena runcing dan terjal maka puncak bukit tidak pernah bisa menampung air hujan. Akibatnya di puncak bukit tidak banyak kita temui pepohonan. Karena semua kesuburan-nya selalu dikikis air hujan dan dibawah ke lembah. Dan lihatlah lembah dibawah kita, sangat subur, penuh dengan tanaman. Karena semua air hujan turun kelembah bersama semua kesuburan-nya."

Sang guru menarik nafas panjang. Lalu melanjutkan, "Semua kebaikan apabila disatukan maka akan menjadi sebuah kebaikan besar yang menciptakan sebuah kesejahteraan yang besar. Namun kalau saja kita mengumpulkan semua yang tidak baik menjadi satu, maka yang akan timbul adalah keserakahan, dendam, iri, cemburu, permusuhan, dan perperangan diantara sesama. Tidak ada kesatuan. Maka semuanya meruncing, menjadi terjal, tajam, dan kering sendiri" Saat itulah Mpu Peniti, menasehati saya agar berbuat kebajikan dan kebaikan sebanyak mungkin. Menurut beliau dalam hidup ini, lebih baik menjadi lembah yang subur. Dari pada puncak gunung yang gersang.


Setahun setelah kuliah kebajikan yang saya terima dari Mpu Peniti, saya bertemu seorang Romo di Hongkong. Saat itu saya sedang makan siang sendiri. Rupanya Romo penggemar tulisan saya dibeberapa kolom majalah. Lalu kami ngobrol di sebuah kedai kopi. Sang Romo menemani seorang pengusaha yang sedang melakukan cangkok hati di China. Sang pengusaha ketakutan sekali akan penyakitnya. Dan minta ditemani. Obrolan saya dan Romo berkembang serius setelah kami menghabiskan secangkir kopi, dan beringsut ke cangkir berikutnya. Romo juga bercerita soal kebaikan dan kebajikan. Saya ingat betul beliau mengutip sebuah ayat di Alkitab, Matius - 5:39 yang berbunyi, "Tetapi Aku berkata kepadamu: Janganlah kamu melawan orang yang berbuat jahat kepadamu, melainkan siapapun yang menampar pipi kananmu, berilah juga kepadanya pipi kirimu". Saya sempat tersenyum ketika mendengar ayat kontroversial itu. Karena ketika saya sekolah dulu, ayat itu sering diutarakan dalam berbagai misa dan kebaktian, namun seringkali ayat itu lebih diagungkan sebagai sikap dan kepribadian Kristus yang luar biasa. Yang sangat bijak dan welas asih.

Lain dengan cerita Romo sore itu kepada saya. Beliau menasehati saya, bahwa yang diajarkan Kristus sangat sederhana. Jangan membalas kejahatan dengan kejahatan. Rumusnya cuma satu. Apapun juga harus dibalas dengan kebaikan. Hanya kebaikan yang patut kita lakukan. Bayangkan saja kalau dunia ini lebih banyak orang berbuat baik. Maka kita tidak perlu polisi. Kita tidak perlu penjara. Kita tidak perlu senjata. Tidak akan ada korupsi. Tidak akan ada kejahatan. Anda mungkin tertawa ! Dan berkata - "mana mungkin sih". Karena terus terang kita semua selalu ragu pada kebaikan. Tidak pernah percaya pada kebaikan. Pemimpin dunia saja masih meragukan pada kebaikan setiap saat. Mereka lebih percaya kepada senjata dan tentara. Andaikata pemimpin dunia percaya kepada kebaikan, dan menghapus semua bujet militer. Dunia ini akan sejahtera. Aman dan makmur. Seperti lagu John Lennon, "berikanlah kesempatan pada perdamaian".

Lalu apakah sejak peristiwa itu saya otomatis jadi orang baik ? Tentu saja tidak. Tapi cerita Romo memotivasi saya untuk lebih banyak berbuat kebaikan. Perlahan-lahan saya rasakan akibatnya. Pertama saya lebih bisa membedakan mana yang baik dan mana yang jahat. Saya lebih mudah memilih kebaikan. Kedua, lingkungan saya terasa penuh dengan enerji kebaikan yang positif. Orang disekeliling saya perlahan-lahan lebih banyak berbuat kebaikan. Dan ketiga yang saya rasakan kebaikan selalu mendatangkan lebih banyak kebahagian.

Hal luar biasa yang kini saya rasakan, adalah kebaikan yang telah saya perbuat, seperti benih yang saya tanamkan. Entah sudah berapa kali saya alami, seolah benih yang saya tanamkan akhirnya berbuah. Entah berapa kali, saya mengalami kesulitan, selalu saja saya menemukan solusi dan jalan keluarnya. Hidup ini seperti ada yang menuntun. Apakah itu Tuhan atau bukan ? Yang terpenting, saya merasakan kehadiran itu. Hingga saya berani mengatakan kepada siapa saja, "Tuhan itu ada bung !"

Saya percaya bahwa dunia ini hanya akan bisa berubah dengan kita bersama-sama berbuat kebaikan. Bukan bersama-sama berbuat kejahatan. Rumus ini lebih masuk akal rasanya.