Thursday, January 24, 2013

Pilih mana ? Mau jadi boss atau komendan ?




Anda pasti bosan mendengarnya ! Bahwa kita masih terbelengu dengan warisan feodal. Tapi teman saya yang kebetulan mengamati perilaku memberi salam, punya pengamatan yang sangat menarik. Katanya secara turun menurun kita mewarisi perasaan tidak percaya diri. Disatu sudut kita punya kebutuhan emosi untuk disanjung. Tetapi kita juga punya kebutuhan untuk merendahkan diri. Secara humor, teman saya ini bercerita, kalau kita terkadang "maksain diri", kadang "ngak tau diri". Tapi tidak pernah utuh percaya diri. Itu analisa dia.

Kalau "ngak tau diri" - fenomena ini rada umum, menurut teman saya. Tapi "maksain diri" menjadi tekanan masyarakat yang semakin keras, yang memaksa kita menguras kartu kredit dan berhutang, demi untuk punya status. Yang lebih parah lagi ada fenomena untuk "maksain diri" punya istri banyak. Teman saya membuktikan-nya dengan mengajak saya makan siang dengan seorang pegawai negeri. Sang pegawai negeri ini umurnya diawal 40'an. Ketika ia datang, ia membawa wanita muda. Cantik dan sintal. Mereka tampak mesra. Dan ketika makan, tak lupa saling suap-suapan. Usai makan dan pegawai negeri ini mohon diri, saya dan teman saya lanjut untuk mengobrol ditemani kopi.

Ceritanya sang pegawai negeri ini, sudah punya satu istri dengan 2 anak. Lalu punya lagi istri simpanan dengan satu anak. Dan dengan wanita muda tadi, ia sedang pacaran. Konon dalam taraf membelikan rumah dan mobil. Pertanyaan-nya mengapa ia memaksa-kan diri untuk punya 3 istri. Apakah memang ia punya nafsu gede, tapi takut dosa ? Ataukah karena alasan lain ? Teman saya yang sudah ngobrol panjang lebar dengan sang pegawai negeri, menyimpulkan bahwa sang pegawai negeri punya istri 3, semata untuk status. Pertama biar dia dikenal dilingkungan-nya sebagai pria perkasa. Pejantan bereputasi. Begitu istilah teman saya. Kedua percaya atau tidak sebagai faktor motivasi membuat ia lebih percaya diri menghadapi staff wanita di kantor. Pilar pemimpin yang kokoh. Kilah sang pegawai negeri. Dan yang ketiga sebagai status kemapanan. Terus terang ini juga warisan feodal jaman dulu. Bahwa raja hingga jagoan, selalu punya istri dan selir yang sangat banyak dijaman dulu.

Saya merasa semua alasan itu diluar logika. Tidak masuk akal. Tapi itulah fenomena "maksain diri". Yang super parah sang pegawai negeri menjadi mata duitan. Lapar bukan main untuk korupsi. Kemana-mana ngobyek dan cari mangsa. Hal ini terpaksa dilakukan demi memenuhi kebutuhan 3 keluarga itu. Saya jadi merinding mendengarnya. Fenomena "maksain diri" bisa jadi penyakit ganas di masyarakat kita.

Nah, teman saya melanjutkan dengan cerita menarik lain-nya. Menurut teman saya, sebagai bangsa kita sangat sopan. Kita selalu menyebut seseorang dengan "Bapak" dan "Ibu". Dan terkadang ditambahkan "yang terhormat" bapak anu dan ibu anu. Tidak pernah kita menyebut dengan nama langsung. Terasa tidak nyaman dan tidak sopan. Untuk orang yang lebih tua, tidak jarang kita meminjam istilah feodal warisan Belanda. Seperti Om dan Tante, atau juga Opa dan Oma.

Ketika kecil dulu, beberapa pembantu Ibu saya, yang masih bersikap feodal, memanggil saya dengan sebutan "babah" atau "sinyo". Saya selalu risih dengan sebutan Ibu. Teman saya menuturkan bahwa  dijaman Hindia Belanda dahulu, menyalami orang dengan tingkat status lebih tinggi juga sudah ada tradisinya. Untuk orang Belanda kita memanggilnya dengan Meneer. Dan khusus orang Tionghoa, tidak jarang mereka diberi sebutan "tauke". Setelah jaman kemerdekaan, dan terutama di tahun 70'an, yang lebih populer adalah panggilan "boss". Barangkali film-film gangster seperti "Godfather" dan film Bruce Lee "The Big Boss", ikut mengukuhkan posisi sebutan "boss" ini cukup lama. Dijaman ini, kita secara gamblang mempopulerkan sebutan "boss", baik secara negatif maupun secara positif. Menjadi "boss" barangkali juga menjadi idaman banyak orang. Pokoknya "boss" adalah status yang membanggakan.

Setelah reformasi tahun 1998, menurut teman saya terjadi perkembangan status yang lebih unik. Kita masih malu-malu untuk mempopulerkan kesederajatan dan persamaan. Maka muncul istilah "broer" dan "bro". Yang bertujuan untuk mengakrabkan antara kita dengan teman atau kolega yang lain. Kita mencoba menghilangkan semua jurang pemisah dan kecanggungan bergaul dengan menjadikan teman, sahabat dan kolega kita sebagai saudara, atau muculnya semangat persaudaraan.

Yang menarik, anak-anak muda, mengubah sebutan "boss" menjadi ucapan yang lebih ngetrend, ramah dan bersahabat. Maka muncul-lah sebutan "Juragan" yang kemudian disingkat menjadi "gan". Sebutan ini cukup populer diinternet dan dikalangan anak muda. Jadi menurut teman saya, sikap tidak percaya diri kita mengalami evolusi yang sangat unik. Bahwa kita tetap saja, ingin merendah, dan apakah kita haus idola pimpinan nasional yang bisa menjadi panutan. Perkembangan terakhir, adalah sebutan "komandan" terhadap pimpinan atau orang yang kita hormati.

Suatu hari di sebuah lounge di airport Surabaya, seorang pria yang sedang menelpon, berulang kali menjawab "Siap - komandan". Disaat itulah saya jadi tertawa dan ingat semua penuturan teman saya ini. Teman saya menyimpulkan, bahwa bahasa tubuh kita, sepertinya rindu dengan seorang pemimpin besar yang bisa mengayomi dan memberikan perintah yang pas. Bagi calon presiden 2014, fenomena ini bisa jadi kajian super unik. Bukan mustahil, istilah "komandan" adalah kerinduan publik terhadap pemimpin dengan latar belakan militer. Atau ketidak puasan kita terhadap pemimpin sipil yang dianggap tidak tegas, korup, dan tidak bisa membuat perubahan berati setelah reformasi berumur 15 tahun ?

Apapun juga kesimpulan-nya, sebagai bangsa, rasanya kita harus punya revolusi sikap. Ini penting banget ! Yaitu sebagai bangsa, kita perlu optimis dan percaya diri. Punya keinginan untuk tampil memimpin. Jangan terus menerus ingin menjadi bawahan dan dipimpin. Barangkali dalam kesempatan yang sama - revolusi sikap ini juga menjadi obor yang menyalakan semangat kita untuk berpelilaku baru. Menghapus semua stigma tentang sikap yang selalu "ngak tau diri". Dan sikap yang "maksain diri". Cukup menggantinya dengan sikap percaya diri. Membentuk kesatuan bahwa kita percaya diri dan bangga dengan diri kita dan Indonesia.