Wednesday, October 08, 2008

EKONOMI JALANAN

Terus terang, saya bukan seorang ekonom. Pengetahuan saya tentang eknomi sangat terbatas. Tapi karena saya orangnya memang “penasaran”, saya jadi ingin tahu krisis ekonomi yang digembar-gemborkan media … itu sebenarnya apa ? Sayapun iseng, bertanya kesana kemari. Ternyata saya tidak mendapatkan cerita yang tuntas menjelaskan secara rinci dalam bahasa sederhana yang saya mengerti betul tentang kejadian yang sesungguhnya. Malah saya mendapat gosip dan sejumlah cerita aneh. Seorang pengusaha memaparkan bahwa krisis ekonomi yang kita hadapi ini memang merupakan siklus 10 tahunan. Ingat krisis ekonomi 1997-1998 ? Nah, 2008 ini persis sepuluh tahun. Jadi kita berada diakhir siklus dan harus memulai siklus baru. Kok begitu ? Menurut sang pengusaha ekonomi tak ubahnya seperti sebuah musim. Mirip roda, sekali diatas dan sekali dibawah. Ngak bisa dong diatas terus ! Saya hanya garuk kepala, tetapi memang masuk akal juga.

Gosip lain yang lebih seram saya terima berupa teori konspirasi. Ceritanya konyol. Persis novel thriller. Kata yang punya cerita – Ekonomi Amerika itu besarnya diatas 10 trilyun dolar. Gede banget ! Biaya perang di Irak dan Afghanistan sudah mencapai 870 milliar dolar. Bandingkan dengan rencana penyelamatan ekonomi Amerika yang diperdebatkan itu, yang nilainya cuma 700 milliar dollar. Sedangkan ekonomi dunia kurang lebih sekitar 55 trilyun dolar. Jadi ekonomi yang terbesar jelas adalah Amerika. Nah, alkisah sang cerita berlanjut bahwa harga minyak dunia yang melambung terus, jelas tidak menguntungkan Amerika dan bisa-bisa akan membuat Amerika bangkrut. Lihat saja pembangunan di Timur Tengah yang sedang berlangsung saat ini. Luar biasa fantastisnya, dan semua dibiayai oleh petro dollar. Juga mesin ekonomi Asia seperti Cina dan India yang tumbuh dengan pertumbuhan spektakuler. Membuat Amerika taget empuk banjirnya produk-produk murah dari Cina yang datang bak air bah. Seorang teman yang bercerita bahwa betapa dahsyatnya barang Cina itu, sampai-sampai ornamen Natal yang menghiasi pohon Natal juga dibuat di Cina. Hal ini jelas menguras devisa Amerika. Tahun 2000 import produk Cina ke Amerika baru berjumlah 100 milyar dollar. Tahun 2007 jumlah itu membengkak sudah mencapai 321 milyar dolar. Sedangkan ekspor Amerika ke Cina hanya berjumlah 65 milyar dolar. Angka ini katanya membuktikan bahwa Amerika telah kehilangan sebagian besar dari kemampuan daya saing-nya.

Lalu dimana cerita ini menjadi konyol ? Menurut yang punya cerita, apa jadinya bilamana Amerika ingin membalik situasi semuanya ini dan mengembalikan jarum kompas ekonomi dunia agar berpihak ke Amerika lagi. Jawaban-nya sederhana ! Bayangkan kalau komputer anda “hang”. Apa yang anda lakukan ? Anda pasti akan mematikan komputer dan melakukan ‘re-boot’. Mungkinkah situasi saat ini adalah upaya sekelompok orang yang berkonspirasi untuk melakukan ‘re-boot’ ekonomi ? Dan karena size ekonomi Amerika yang sedemekian besar, maka ketika ‘re-boot’ selesai yang akan start dimuka adalah Amerika. Artinya ekonomi dunia sengaja dibangkrutkan. Sebagai jalan untuk mengembalikan kejayaan ekonomi Amerika.

Cerita diatas tentulah konyol. Tetapi kalau anda taruh pemikiran anda dalam konteks teori konspirasi, cerita itu masuk akal seperti layaknya sebuah film thriller. Kemarin sore ketika saya membahasnya dengan beberapa tokoh, kami semua tertawa-tawa. Hiburan terbaik disaat gonjang ganjing.

Malam harinya, seorang rekan yang tidak ikut acara sore hari, menelpon saya. Ia menyesal tidak ikut bergosip ria tadi sore. Ia adalah seorang yang mengerti betul ekonomi dan tidak seperti saya yang awam. Tokoh ini bercerita beda. Menurutnya pangkal dari semuanya ini adalah nafsu serakah biasa. Ibaratnya sebuah balon yang kita tiup melewati kapasitasnya. Di tahun 1996-1998, ASIA jatuh kena krisis karena semata-mata balon yang pecah tadi. Salah satu penyebabnya adalah properti. Dimasa balon ditiup bergelembung, konsumen membeli properti seperti orang kesurupan. Pokoknya beli, mahal tidak apa. Ngak punya duit – pinjam ke Bank. Ketika duit tidak ada dan pinjaman tak terbayar, maka properti harus dilego. Pasar lesu harga properti jatuh, dan Bank mengalami kerugian. Lalu macet dan duitnya tidak muter. Istilahnya kesulitan likuiditas. Saat inilah mulai terjadi efek domino yang saling menjatuhkan. Tak lama kemudian pasar saham terkena tsunami. Perusahaan mulai flu berat. Mau minjam ke bank tidak ada kredit, karena banknya juga sakit. Terjadilah ‘corporate failure’, dan perusahaan mulai PHK. Pengangguran naik, daya beli turun, pasar sepi, pertumbuhan ekonomi minus. Terjadilah perlambatan ekonomi atau resesi. Krisis ekonomi di Amerika juga terjadi katanya mirip dengan skenario diatas. Dengan pertumbuhan real estate di California, Las Vegas dan Florida yang spektakuler beberapa tahun berselang, ternyata kebutuhan konsumen jauh lebih kecil dibanding suplai yang ada.

Rekan saya mengingatkan bahwa dampaknya terhadap Indonesia bisa saja lumayan runyam. Dimulai dari permintaan ekspor ke Amerika dan Eropa yang melemah dalam 6 bulan mendatang. Pasar ekspor kita ke Amerika tahun 2007 ada sekitar 14 miliar dolar. Berikutnya jumlah turis menurun drastis. Perusahaan di Indonesia yang orientasinya ekspor akan susah berkelit. Perlahan-lahan mereka harus melakukan PHK. Bank juga akan mengalami problem likuditas karena resiko kredit semakin besar. Dan kredit bakal banyak yang macet. Ekonomi sulit tumbuh, lalu kita-pun terjebak lagi masuk pusaran ekonomi resesi. Itu dampaknya untuk Indonesia !

Mendengar cerita itu saya manut-manut saja. Barangkali kita mesti punya skenario tandingan untuk melawan ancaman krisis itu. Minimal pemerintah harus bikin kebijakan untuk memastikan bahwa penyaluran kredit usaha untuk perusahaan tersedia lancar. Pasar domestik Indonesia dengan populasi 200 juta orang memiliki kekuatan tersendiri. Kekuatan ini yang harus kita manfaatkan !

1 comment:

Anonymous said...

Berarti mau tak mau memang Indonesia harus bersiap untuk mengubah haluan pasar ya pak? Dengan mengandalkan pasar ekspor, apa ini juga jadi bukti bahwa Indonesia itu pengen cepat kaya. Dan mengindahkan 200 juta konsumen potensial di dalam negeri? Atau ini juga pengaruh dari sifat konsumen di Indonesia itu sendiri?

Saya suka tulisannya. Tapi kadang susah bacanya kalau puanjang :D.