Dalam keadaan sangat letih, ketika pulang dari New York ke Jakarta tahun yang lalu, di airport JFK saya membeli sebuah buku kecil, berjudul “The Power of Kindness”, karangan Piero Ferruci, seorang psychotherapist dan filsuf moderen yang tinggal di Florence, Itali. Buku itu saya beli karena judulnya yang lompat menohok kalbu saya. Rasanya seperti sebuah kesejukan yang luar biasa menyiram semua kepenatan saya.
Berbulan-bulan buku itu nangkring dimeja saya. Pernah berkali-kali saya baca sekilas- sekilas saja. Juga pernah sekali saya tunjukan kepada Mpu Peniti. Ia membaca pikiran saya, yang tidak pernah tuntas membacanya. Komentar beliau, “… pasti takut, karena habis membaca, terbukalah rahasia hidup ini sebenarnya sangat sederhana. Yaitu menjadi orang baik yang selalu baik hati”. Saya cuma tersenyum kecut mendengar komentar beliau. Karena sesungguhnya dalam hidup ini, kadang kita kapok juga menjadi orang baik. Menjadi orang baik yang selalu baik hati, tidak selalu mudah. Itu sebabnya hampir 20 tahun saya berguru kepada Mpu Peniti, saya belum sampai 10% pun mewarisi kebaikan hatinya.
Minggu lalu, baru saja seorang pengusaha mengeluh panjang lebar. Ia bosan jadi orang baik. Ia merasa terlalu banyak dimanfaatkan orang-orang disekelilingnya. Ia merasa reputasinya sebagai orang baik yang baik hati adalah beban hidupnya. Mpu Peniti, rada kurang setuju. Menurut beliau, hidup ini mirip sebuah lakon. Cuma ada dua pilihan. Orang baik jadi jagoan. Dan orang jahat jadi bandit. Pilih yang mana ? Menjadi orang baik yang baik hati, mirip menanam bunga mawar. Indah dan harum bunganya, tetapi sesekali kita disengat durinya. Kitapun luka dan berdarah. “Luka selalu akan sembuh pada akhirnya”, ujar Mpu Peniti. Jangan gara-gara luka itu kita kapok menanam bunga mawar. Jangan gara-gara kita disakiti dan dikecewakan sejumlah orang kita kapok jadi orang baik. Malah pindah jadi orang jahat. “Suatu saat Tuhan akan mengajarkan kamu pelajaran tentang berbaik hati”, itu kata Mpu Peniti menjelang tahun baru 2008. Dan pelajaran itu datang minggu lalu, secara tiba-tiba.
Saya sedang dalam perjalanan pulang dari Chicago ke Jakarta. Ketika boarding kedalam pesawat, dan menuju tempat duduk sesuai boarding pass, saya menemukan seorang nenek sedang asyik duduk dibangku saya. Dengan halus saya mencoba menegurnya. Sang nenek cuma tersenyum dan tertawa-tawa, sambil bergumam dalam bahasa yang tidak saya mengerti. Tebakan saya, sang nenek dari Vietnam. Dan benar saja, setelah sekian menit mencari di tas-nya, akhirnya ketemu juga sang tiket. Nama sang nenek memang khas nama Vietnam, dan rupanya ia duduk disebelah saya. Mulanya saya sempat kesal juga, karena dalam perjalanan panjang 15.5 jam dari Chicago ke Hong Kong, saya sangat berharap bangku disebelah saya kosong. Eh, malah diisi nenek-nenek. Kekesalan saya bertambah setelah saya juga mencium bau balsem yang dipakai sang nenek. Bukan-nya keharuman parfum yang saya hirup, malah bau balsem yang menyengat.
Tak lama ketika kapal sudah berangkat, kami mulai ditawari minum dan snack. Saya memilih Coca-Cola. Sang pramugari mulanya bertanya kepada saya minuman apa yang diinginkan sang nenek. Ia pikir saya puteranya. Ketika sang pramugari sadar kekeliruannya, saya mencoba membantu. Dengan bahasa tangan mencoba bertanya kepada sang nenek, dan menawarinya minum. Sang nenek kembali tertawa renyah dan menunjuk kaleng Coca-Cola saya. Demikian pula ketika ditawari makan. Sang nenek selalu tertawa, dan selalu saja ia lolos dari segala kesulitan memilih. Lama-lama saya tersentuh juga dengan gayanya itu. Terutama setelah makan, ia menawarkan saya tusuk gigi sambil tertawa-tawa. Juga ketika ia menawarkan permen karet. Dan memperlihatkan foto-foto cucunya di Amerika. Ia melakukannya dengan tertawa-tawa. Seketika itu saya merasakan kebaikan hatinya. Saat itu juga saya tersentak, seperti ada tangan yang menampar pipi saya. Membuat saya terbangun, inikah pelajaran “THE POWER OF KINDNESS” yang dimaksud Mpu Peniti ? Dan Tuhan telah memperlihatkannya langsung didepan mata saya. Apapun juga bentuknya, yang jelas saya merasakan betul, kekuataan orang baik yang baik hati. Selama 15 jam, kami berdua yang tidak mengerti bahasa masing-masing, namun dengan kebaikan hati kami sempat berkomunikasi, dan merasakan sebuah kehangatan yang unik. Terakhir saya melihat sang nenek bergandengan tangan dengan salah seorang teman-nya, naik kapal melanjutkan perjalanan ke Ho Chi Minh, Vietnam. Dari kejauhan saya masih melihat ia tertawa kepada saya.
Di Hong Kong, saya sempat transit hampir 3 jam. Dan di toko buku saya membeli sebuah buku kecil, lucunya berjudul “The Art of Being Kind”, karangan Stefan Einhorn. Entah kenapa secara spiritual saya merasa tersentuh. Sebuah pencerahan total. Dalai Lama menulis dalam kata sambutan di buku “The Power of Kindess”, - “Kindness and compassion are among the principal things that make our lives meaningful. They are the source of lasting happiness and joy”. Hari itu saya merasakan seutuhnya !
Berbulan-bulan buku itu nangkring dimeja saya. Pernah berkali-kali saya baca sekilas- sekilas saja. Juga pernah sekali saya tunjukan kepada Mpu Peniti. Ia membaca pikiran saya, yang tidak pernah tuntas membacanya. Komentar beliau, “… pasti takut, karena habis membaca, terbukalah rahasia hidup ini sebenarnya sangat sederhana. Yaitu menjadi orang baik yang selalu baik hati”. Saya cuma tersenyum kecut mendengar komentar beliau. Karena sesungguhnya dalam hidup ini, kadang kita kapok juga menjadi orang baik. Menjadi orang baik yang selalu baik hati, tidak selalu mudah. Itu sebabnya hampir 20 tahun saya berguru kepada Mpu Peniti, saya belum sampai 10% pun mewarisi kebaikan hatinya.
Minggu lalu, baru saja seorang pengusaha mengeluh panjang lebar. Ia bosan jadi orang baik. Ia merasa terlalu banyak dimanfaatkan orang-orang disekelilingnya. Ia merasa reputasinya sebagai orang baik yang baik hati adalah beban hidupnya. Mpu Peniti, rada kurang setuju. Menurut beliau, hidup ini mirip sebuah lakon. Cuma ada dua pilihan. Orang baik jadi jagoan. Dan orang jahat jadi bandit. Pilih yang mana ? Menjadi orang baik yang baik hati, mirip menanam bunga mawar. Indah dan harum bunganya, tetapi sesekali kita disengat durinya. Kitapun luka dan berdarah. “Luka selalu akan sembuh pada akhirnya”, ujar Mpu Peniti. Jangan gara-gara luka itu kita kapok menanam bunga mawar. Jangan gara-gara kita disakiti dan dikecewakan sejumlah orang kita kapok jadi orang baik. Malah pindah jadi orang jahat. “Suatu saat Tuhan akan mengajarkan kamu pelajaran tentang berbaik hati”, itu kata Mpu Peniti menjelang tahun baru 2008. Dan pelajaran itu datang minggu lalu, secara tiba-tiba.
Saya sedang dalam perjalanan pulang dari Chicago ke Jakarta. Ketika boarding kedalam pesawat, dan menuju tempat duduk sesuai boarding pass, saya menemukan seorang nenek sedang asyik duduk dibangku saya. Dengan halus saya mencoba menegurnya. Sang nenek cuma tersenyum dan tertawa-tawa, sambil bergumam dalam bahasa yang tidak saya mengerti. Tebakan saya, sang nenek dari Vietnam. Dan benar saja, setelah sekian menit mencari di tas-nya, akhirnya ketemu juga sang tiket. Nama sang nenek memang khas nama Vietnam, dan rupanya ia duduk disebelah saya. Mulanya saya sempat kesal juga, karena dalam perjalanan panjang 15.5 jam dari Chicago ke Hong Kong, saya sangat berharap bangku disebelah saya kosong. Eh, malah diisi nenek-nenek. Kekesalan saya bertambah setelah saya juga mencium bau balsem yang dipakai sang nenek. Bukan-nya keharuman parfum yang saya hirup, malah bau balsem yang menyengat.
Tak lama ketika kapal sudah berangkat, kami mulai ditawari minum dan snack. Saya memilih Coca-Cola. Sang pramugari mulanya bertanya kepada saya minuman apa yang diinginkan sang nenek. Ia pikir saya puteranya. Ketika sang pramugari sadar kekeliruannya, saya mencoba membantu. Dengan bahasa tangan mencoba bertanya kepada sang nenek, dan menawarinya minum. Sang nenek kembali tertawa renyah dan menunjuk kaleng Coca-Cola saya. Demikian pula ketika ditawari makan. Sang nenek selalu tertawa, dan selalu saja ia lolos dari segala kesulitan memilih. Lama-lama saya tersentuh juga dengan gayanya itu. Terutama setelah makan, ia menawarkan saya tusuk gigi sambil tertawa-tawa. Juga ketika ia menawarkan permen karet. Dan memperlihatkan foto-foto cucunya di Amerika. Ia melakukannya dengan tertawa-tawa. Seketika itu saya merasakan kebaikan hatinya. Saat itu juga saya tersentak, seperti ada tangan yang menampar pipi saya. Membuat saya terbangun, inikah pelajaran “THE POWER OF KINDNESS” yang dimaksud Mpu Peniti ? Dan Tuhan telah memperlihatkannya langsung didepan mata saya. Apapun juga bentuknya, yang jelas saya merasakan betul, kekuataan orang baik yang baik hati. Selama 15 jam, kami berdua yang tidak mengerti bahasa masing-masing, namun dengan kebaikan hati kami sempat berkomunikasi, dan merasakan sebuah kehangatan yang unik. Terakhir saya melihat sang nenek bergandengan tangan dengan salah seorang teman-nya, naik kapal melanjutkan perjalanan ke Ho Chi Minh, Vietnam. Dari kejauhan saya masih melihat ia tertawa kepada saya.
Di Hong Kong, saya sempat transit hampir 3 jam. Dan di toko buku saya membeli sebuah buku kecil, lucunya berjudul “The Art of Being Kind”, karangan Stefan Einhorn. Entah kenapa secara spiritual saya merasa tersentuh. Sebuah pencerahan total. Dalai Lama menulis dalam kata sambutan di buku “The Power of Kindess”, - “Kindness and compassion are among the principal things that make our lives meaningful. They are the source of lasting happiness and joy”. Hari itu saya merasakan seutuhnya !
6 comments:
First you have to be kind to your self. For if you are not, you can never understand what kindness is and there fore you will not be able to be kind to others :)
More and more people are awakening now because live is getting harder & harder. The more people give up and surrender - the more chances they became awakened. The world is giving more and more pressure with it's negative energy. To escape from it, we need to be the light... the positive energy from within. This is part of the cycle of life. What goes around comes around :) When it's is too much, we human, will eventually know it's time to say 'enough' and see something else that had been long forgotten.
Namaste,
Zara
Sudah lama kita kehilangan apa yang disebut bung Kahfi kebaikan hati. Tak pelak menurut saya, menguapnya "baik hati" itu karena kita selalu menghitung setiap perbuatan kita, "akan dapat apa saya kalau saya berbuat itu?". Amat jarang kita ikhlas. Lebih parah lagi, kita terkadang selalu mengharap "kebaikan hati dari orang lain" dalam bentuk materi
Sudah lama kita kehilangan apa yang disebut bung Kahfi kebaikan hati. Tak pelak menurut saya, menguapnya "baik hati" itu karena kita selalu menghitung setiap perbuatan kita, "akan dapat apa saya kalau saya berbuat itu?". Amat jarang kita ikhlas. Lebih parah lagi, kita terkadang selalu mengharap "kebaikan hati dari orang lain" dalam bentuk materi
Pencerahan-pencerahan kecil datangnya dari peristiwa-peristiwa kecil dalam kehidupan sehari-hari :)
Nenek2 itu dulu waktu mudanya cantik lho Kang Kafi, cuma sayangnya Kang Kafi baru ketemunya sekarang he he he ...
apa yang membuat saya menulis artikel ini, percaya atau tidak - adalah sebuah pengalaman yang sakral, ..... berkali-kali saya ditolong oleh orang-orang dalam situasi yang sangat tak terduga,
dan berkali-kali pula saya menerima kebaikan hati orang yang membuat saya terjaga dan bangun,
dimana pada akhirnya saya merasa bahwa setiap kali saya melakukan kebajikan dan perbuatan baik hati, maka Tuhan memberikan saya ganjaran semakin banyak menerima kebaikan hati orang lain,
dititik inilah saya mengerti sejujurnya .... bahwa rahasia kebahagian hidup sangat sederhana, yaitu menjadi orang baik yang baik hati....
dan barangkali dunia ini akan menjadi dunia yang lebih baik kalau kita memenuhinya dengan THE POWER OF KINDNESS
Setuju Kang ! Apa yang kita berikan pasti akan balik lagi ke kita ...
Post a Comment