Wednesday, February 20, 2008

OCCAM'S RAZOR

Seorang klien bercerita, bahwa kantornya belum lama ini dibobol oleh karyawan-nya sendiri. Sejumlah uang raib. Jumlahnya cukup banyak. Ketika diselidiki, kemana uang itu lari, semua bingung. Sang karyawan yang membobol kas, kelihatan sederhana. Berbagai teori bermunculan. Mulai dari uangnya dipakai untuk narkoba, hingga kawin lagi. Semuanya diselidiki. Tidak ketemu juga penyebab kemana uang itu dipergunakan.

Saat cerita ini dipaparkan kepada saya, terbayang satu nasehat Mpu Peniti. Beliau selalu mengatakan kepada saya untuk mencari jejak motif yang paling ‘simple’ dalam setiap kasus dan masalah. Dan dalam kasus seperti ini, penjelasan ‘simple’ orang gelap mata untuk korupsi cuma satu yaitu nafsu dan keserakahan. Benar saja, tak lama kemudian terbukti uangnya dipake untuk ngobyek proyek lain. Apa mau proyeknya gagal dan sang karyawan ditipu. Kerugian yang besar menyebabkan karyawan tersebut gali lubang tutup lubang, untuk mengelabui perusahaan.

Pendeta William Ockham yang hidup pada periode 1285-1349, dikenal dengan perkata-annya “Entia non sunt multiplicanda praeter necessitatem” atau entitas tidak semestinya dilipat gandakan bilamana tidak perlu. Atau sederhananya seringkali solusi atau penjelasan dari sebuah masalah, yang tepat seringkali adalah justru yang paling sederhana. Dari pernyataan ini maka muncul-lah sebuah aliran pemikiran yang dikenal dengan nama Occam’s Razor. Istilah pisau tajam atau ‘razor’ adalah terminologi yang populer karena aliran pemikiran ini sering memangkas asumsi yang berlebihan dan dianggap tidak perlu. Barangkali pemikiran ini bukanlah pemikiran baru. Karena beberapa filsuf dan pemikir seperti John Duns Scotus (1265–1308), Thomas Aquinas (c. 1225–1274), Alhacen (965-1039), dan Aristotle (384–322 BC), juga memiliki akar pemikiran yang serupa.

Occam’s Razor muncul pertama kali justru dalam karya, Sir William Rowan Hamilton (1805–1865), ditahun 1852. 6 abad setelah William Ockham wafat. Occam’s Razor kini sangat populer digunakan dalam perlbagai cabang keilmuan. Mulai dari kedokteran, biologi, fisika sampai kepada filsafat dan teologi. Occam’s Razor menjadi pilar pemikiran populer karena ‘simplicity’ sendiri menawarkan opsi yang lebih praktis. Kalau misalnya ada dua teori untuk menjelaskan satu fenomena. Dan yang satu lebih ‘simple’ daripada satunya, maka yang ‘simple’ cenderung yang diadopsi. Semata karena ia menawarkan penjelasan yang lebih mudah dan praktis. Walaupun Occam’s Razor diperdebatkan karena mitos ‘simplicity’ bukanlah kesempurnaan. Albert Einstein sendiri di tahun 1933 memperingatkan bahwa “"Theories should be as simple as possible, but no simpler." Namun uniknya Occam’s Razor bertahan hingga kini, menjadi sebuah disiplin untuk berpikir sederhana. Tak heran apabila muncul kemudian sebuah ungkapan populer KISS principle yaitu “Keep it Simple, Stupid”.

Terus terang Occam’s Razor adalah metode favorit saya dalam mengambil keputusan. Pertama, kita memangkas semua asumsi yang kompleks, nyelimet, dan menyesatkan. Kedua, kita menggelar beberapa solusi yang paling simple. Ketiga, kita mengkajinya dengan ‘common sense’ dan menggunakan pengalaman sebagai bandul penimbang. Maka setelah 3 langkah ini, biasanya muncul solusi manjur, mujarab, dan cespleng. Buat Mpu Peniti sendiri, Occam’s Razor adalah pedang bermata dua. Beliau selalu wanti-wanti agar saya tetap cermat, waspada, jangan menggampangkan segalanya. Mpu Peniti selalu gusar kalau Occam’s Razor digunakan semena-mena. Misalnya di Indonesia betapa sering kita mendengar penjelasan bahwa satu tempat bisnis, entah itu toko, kantor, rumah sakit, sekolah atau apa-pun yang bisnisnya menurun dan sepi, akhirnya selalu diberikan penjelasan ‘yang menggampangkan’ yaitu ada penunggunya atau ada hantunya !

Ini kritik Mpu Peniti. Yaitu ‘simplicity’ dijadikan ‘penggampangan segalanya’. Memang serba salah juga. Seorang pejabat bercerita bahwa, kadang ia berusaha memberikan penjelasan yang sesungguhnya dan sejujurnya. Tetapi justru yang benar itu susah dimengerti. Percaya atau tidak seringkali ‘setan’, ‘gaib’, dan semua yang berbau klenik lebih mudah dipercaya dan masuk akal. Seorang desainer beken bercerita, bahwa seringkali ia mendesain sesuatu dengan bentuk tertentu dan menggunakan warna tertentu semata karena alasan ‘ergonomics’ dan keseimbangan estetika. Namun menjelaskan keduanya kepada klien hal yang sejujurnya, resikonya besar sekali. Klien mungkin tidak mengerti, dan akibatnya desain bisa ditolak mentah-mentah. Jadi ia mengambil jalan alternatif, selalu menjelaskan konsep desain-nya lewat penjelasan ala feng-shui. Ternyata penjelasan seperti ini lebih mudah diserap, dan masuk akal dikepala klien-nya. Apa boleh buat, itulah kenyataan yang sesungguhnya. Leonardo da Vinci sendiri mengatakan “Simplicity is the ultimate sophistication.”

No comments: