Sunday, February 03, 2008

MEMANFAATKAN MUSUH

Di Kuala Lumpur, minggu lalu – minggu lalu saya sempat ngopi bareng dengan beberapa desainer senior interior plus teman-teman mereka yang bergerak di bidang real estate. Mulanya pembicaraan kami seputar proyek-proyek di Jakarta. Entah, dari mana asalnya, ujung-ujungnya kami membicarakan kehidupan bertetangga di kota-kota besar seperti Jakarta, Hong Kong, Singapura, dan Kuala Lumpur. Realitanya banyak diantara kami yang sudah tidak mengenal tetangga. Banyak pula yang mengatakan bahwa tetangga kini seringkali juga menjadi “the best enemy”. Karena suka complaint ini dan itu, dan seterusnya.

Ketika pembicaraan memanas, seorang teman yang bergerak dibidang real-estate, malah menasehatkan bahwa tetangga itu biarpun “the best enemy” kadang bisa juga menjadi “the best friend”. Berdasarkan pengalaman beliau, kalau mau menjual rumah, calon pembeli terbaik justru adalah tetangga disebelah kanan dan kiri. Karena mereka-lah yang biasanya berani menawar paling mahal. Karena siapa tahu mereka ingin meluaskan rumahnya menjadi 2-3 kali. Hal itu langsung saya iyakan. Saya pernah mengalami hal serupa.

Didalam bisnis, juga terjadi hal yang sama. Musuh dan kompetitor kita adalah juga teman dan sahabat terbaik. Filsuf Yunani – Antisthenes yang hidup antara tahun 375 – 444 sebelum Masehi, dan dikenal sebagai bapak dari ”Cynic school of philosophy”, sekali pernah mengatakan bahwa hanya 2 orang didunia ini yang berani mengatakan dengan jujur tentang diri kita yang sesungguhnya. Pertama adalah teman yang benar-benar mencintai kita. Dan kedua adalah musuh yang marah besar. Kayanya dijaman susah begini, mencari teman yang benar-benar mencintai kita rada susah. Mungkin lebih mudah mencari seorang musuh yang sejati !

Satu pelajaran bisnis yang paling berkesan selama ini, saya dapatkan dari seorang salesman ulung di Bangkok, kira-kira 15 tahun yang lalu. Usianya saat itu sudah 50 tahun lebih. Ia sudah malang melintang menjadi sales selama 30 tahun lebih. Sampai akhirnya ia dijadikan penasehat disebuah group konglomerat. Berkat pengalamannya yang segudang itu. Bos besarnya menjuluki dia sebagai sebuah oasis yang tidak pernah kering. Ia mengajarkan saya, bahwa survival kita didalam bisnis sangat bergantung kepada musuh-musuh kita. Menurut beliau kita harus punya manajemen khusus untuk memelihara musuh.
Mulanya saya kaget bukan main. Buat apa baik hati memelihara musuh ? Konon ada pribahasa Cina kuno yang mengatakan lebih baik punya musuh didepan mata daripada musuh diseberang lautan. Musuh didepan mata, bisa kita awasi gerak-geriknya. Apa-pun move yang dilakukan musuh kita, dengan mudah bisa kita antisipasi. Berkat lokasinya didepan kita. Tetapi musuh yang tidak kelihatan, akan sangat berbahaya. Bisa menikam kita dari belakang, kapan saja. Makanya ada istilah musuh dalam selimut. Musuh yang tidak terlihat ! Jadi ”stay close with your enemy”.

Pelajaran ini dilanjutkan dengan jurus kedua – “be friend with your enemy”. Ini lebih gendeng abis ! Lalu saya diceritakan, bahwa sang salesman senior itu, punya hitungan tentang musuh-musuhnya. Mirip strategi perang Sun Tzu. Yang mengisyaratkan bahwa kalau kita tau persis siapa-siapa saja musuh kita maka, 50% dari pertempuran, sudah berhasil kita menangkan. Beliau misalnya selalu menyisakan waktu untuk bergaul dengan musuh dan kompetitornya. Entah itu makan bersama. Ngobrol di Café atau berkaraoke bersama. Menurut beliau, musuh adalah tempat belajar terbaik. Berteman dengan musuh memberi kesempatan untuk mempelajari mereka, dan kadang kalau beruntung, selalu saja ada informasi yang ‘keceplosan’ dan menjadi bonus intelijen penting.

Pernah sekali, mereka dihadang kompetitor baru yang sangat agresif dari luar negeri. Melawan musuh itu sama saja dengan bunuh diri. Untung saja sang salesman berteman baik dengan para kompetitor yang baru. Serta merta ia menciptakan aliansi dan bersekutu dengan para kompetitor lain untuk menghadang kompetitor baru tersebut. Upaya mereka berhasil sukses. Sang kompetitor agresif tadi berhasil mereka halau. Usai krisis, aliansi dan sekutu mereka bubar, dan mereka langsung baku hantam dipasar kembali. Akses ke musuh atau ke kompetitor dalam kasus ini terbukti pas dan manjur. Ironis memang, tapi itulah yang dikatakan bekas presiden Amerika Abraham Lincoln, ”cara terbaik untuk menghilangkan musuh, adalah justru dengan mengubahnya menjadi seorang teman”.

Setelah pelajaran itu saya jadi belajar respek terhadap musuh. Kata Bruce Lee, sebelum berkelahi, kita harus membungkuk dengan benar untuk menghormati musuh. Setelah itu baru berkelahi. Sesungguhnya memang demekian, kalau kita menghormati musuh dengan penuh respek, maka kita mau belajar dari mereka. Musuh atau kompetitor membuat kita lebih pandai dan lebih kuat. Mereka adalah ’sparing partner’ kita. Mereka adalah motivator kita untuk maju kedepan. Membuat terobosan baru. Berinovasi. Manajemen musuh adalah kunci keberhasilan bisnis yang seringkali dilupakan orang. Belajarlah memanfaatkan musuh anda !

2 comments:

Tanpabatas Net said...

gile benerrr. asik banget bacanya, mudah2-an musuh gue ngak ikutan baca. ;-)

budisungkono said...

article yg menarik, meski ga mudah melaksanakannya karena kita tentu juga tidak ingin dipelajarin oleh kompetitor kita pada saat bersamaan...