Monday, February 11, 2008

DONGENG PINDANG BANDENG

Setiap Imlek, saya selalu ingat nenek saya. Terutama ketika menikmati pindang bandeng. Masakan yang menjadi tradisi kaum peranakan pada saat tahun baru. Ikan dalam tradisi Cina memang sangat penting. Konon kata ikan dalam bahasa Mandarin yang dilafalkan dengan ucapan “yu”, mirip dengan kata lain yang berarti berlimpah. Tak heran kalau dalam setiap jamuan makan besar ala tradisi Cina, hidangan ikan selalu ditampilkan di akhir jamuan, sebagai perlambang semoga rejeki dimasa-masa mendatang datang dengan berlimpah. Biasanya ikan disajikan utuh dengan kepala hingga ekor. Kepalanya seringkali diarahkan kepada tamu kehormatan yang hadir dalam jamuan itu. Bilamana anda hadir dalam sebuah jamuan makan besar, jangan anda tersinggung, apabila kepala ikan diberikan kepada anda. Karena sesungguhnya itulah penghormatan yang tertinggi, dimana anda dianggap sebagai tamu kehormatan.

Jadi tak heran apabila bandeng juga hadir sebagai masakan wajib pada tradisi Imlek kaum peranakan di Indonesia. Ketika masih kecil, saya sama sekali tidak menyukai pindang bandeng. Pertama bandeng banyak tulang, sehingga makan pindang bandeng selalu berabe dan menyusahkan. Apalagi saya pernah beberapa kali menelan tulang bandeng, yang kemudian nyangkut ditenggorokan saya. Sangat tidak nyaman sekali. Saat yang sama saya mulai kritis, dan mempertanyakan kenapa bandeng yang dipilih ? Apalagi bandeng adalah ikan rawa, kalau tidak teliti memasaknya, pasti akan bau tanah.

Memang banyak dongeng yang beredar tentang pindang bandeng. Salah satunya menyebutkan bahwa bandeng itu banyak durinya. Sehingga menjadi perlambang doa dan harapan agar tahun yang baru memberikan curahan rejeki yang berlimpah. Bagi saya, dongeng tentang pindang bandeng yang terbaik datang dari cerita nenek. Bahwa sesungguhnya pindang bandeng adalah masakan yang menyiratkan karakter seorang perempuan. Bandeng yang enak dipindang adalah bandeng yang gemuk dan berlemak. Beratnya harus minimal diatas 2 kilo. Menurut nenek saya, kalau seorang perempuan dijaman dahulu, malas ke pasar pagi-pagi, maka ia tidak akan mendapatkan bandeng segar terbaik yang paling gemuk. Ini adalah ujian pertama. Bahwa seorang perempuan harus rajin bangun pagi, dan telaten memilih dengan kepekaan yang seimbang.

Pindang bandeng bukan masakan mudah. Persiapannya cukup nyelimet. Bandeng harus benar-benar bersih sehingga tidak bau tanah rawa setelah dimasak nanti. Memasaknya juga harus super sabar, dengan api kecil, supaya dagingnya tidak hancur. Dimasak cukup lama sehingga durinya mudah lepas dari dagingnya. Nah, menurut nenek saya inilah ujian kedua. Seorang perempuan harus memiliki ketelitian dan kecermatan yang menyeluruh. Lalu kesabaran yang tak terhingga. Tanpa kombinasi ini, pindang bandeng tidak akan hadir dalam kelezatan yang prima. Jaman sekarang, banyak yang tidak sabar, sehingga bandeng di presto dahulu supaya tulangnya hancur.

Pindang bandeng yang sejati dan sesungguhnya, juga memiliki spektrum cita rasa yang lengkap. Yaitu keseimbangan yang pas antara asem, asin, dan manis. Pada saat mau makan biasanya baru diberikan irisan cabe rawit. Sehingga lengkap pula dengan pedasnya. Anda mungkin sudah bisa menebak, inilah ujian ketiga. Seorang perempuan harus mahir menciptakan keseimbangan. Karena dari keseimbangan ini, lahirlah keadilan dan kesempurnaan. Irisan cabe rawit yang dimasuk-kan terakhir sebelum makan, adalah pertanda bahwa seorang perempuan selalu memiliki trik terakhir atau ilmu simpanan. Perempuan menurut nenek saya, harus selalu panjang akal, tidak pernah putus asa. Selalu punya solusi.

Terpengaruh oleh romantisme cerita nenek saya, maka percaya atau tidak saya sejak saat itu selalu menantikan makan pindang bandeng. Kadang saking sayangnya saya sama pindang bandeng, bisa saya simpan berhari-hari. Saya makan sedikit demi sedikit untuk menikmatinya. Dan pindang bandeng yang lezat, justru semakin lama disimpan, dan semakin lama dipanasi, maka daging ikan bandeng akan semakin menyerap semua bumbu-bumbunya. Seorang perempuan sejati konon menurut nenek saya harus mirip dengan pindang bandeng. Semakin lama semakin sempurna. Duri bandeng kini tidaklah lagi menjadi masalah. Yang penting pada saat makan kita harus sabar memilah mana daging dan mana duri. Demikian pula nasehat terakhir nenek saya. Bahwa kehidupan ini mirip pindang bandeng. Dengan ditemani perempuan yang tepat seorang lelaki akan bisa dan mampu mengarungi hidup ini dengan sempurna, tidak peduli sebesar apapun badainya. Kalaupun ada hal-hal buruk yang terjadi, misalnya pindang terlalu manis atau terlalu asin, masih ada trik terakhir. Yaitu irisan cabe rawit yang pedas, yang akan membuat kita tetap makan dengan lahap.

Saya tidak tahu apakah cerita nenek tentang pindang bandeng, benar atau tidak. Tetapi percaya atau tidak memberikan saya sebuah perspektif unik untuk menghargai seorang perempuan. Sempurna seperti pindang bandeng.

7 comments:

handaru said...

WOW !

Catatan harian said...

seperti biasa, tulisan anda selalu menarik dan selalu saya nantikan untuk dibaca!
Salam kenal dari kota Malang

KAFI KURNIA said...

salam kenal kembali,

terima kasih banyak untuk komen-nya

salam saya;
kafi kurnia

abi said...

kalau maksudnya Pak Kafi
pindang bandeng = istri
irisan cabe rawit= WIL
saya seh setuju juga lho

KAFI KURNIA said...

ha....ha.....
bisa saja sampeyan,

gurih banget yah ......

Tata said...

mulanya saya hanya browsing untuk cari resep pindang bandeng. tapi malah ketemu kisah di balik masakan ini. mengagumkan ya! terima kasih banyak. saya minta ijin untuk menyimpannya dalam file pribadi saya. salam untuk nenek Anda!

Tata said...

mulanya saya hanya browsing untuk cari resep pindang bandeng. tapi malah ketemu kisah di balik masakan ini. mengagumkan ya! terima kasih banyak. saya minta ijin untuk menyimpannya dalam file pribadi saya. salam untuk nenek Anda!