Ingat film “Star Wars” ? Pendekar Jedi, Obi-Wan membisiki murid belia-nya Luke Skywalker – “Luke, …. feel the force…” Instruksinya sederhana sekali. Rasakan medan enerji disekeliling kita. Rasakan getaran dan vibrasinya. Maka enerji itu akan menyatu dengan diri kita. Ini adalah perumpamaan populer yang sering saya manfaatkan juga untuk menjelaskan proses membaca trend dalam pemasaran. Bagi pemasar sendiri trend ibarat mercu suar atau senter yang memberikan kita petunjuk tentang arah didepan. Begitu pentingnya trend, hingga kadang perusahaan merasa perlu membayar konsultan untuk memprediksi trend musiman dan tahunan. Beberapa media juga rajin menginterview saya diakhir tahun, dengan satu pertanyaan klasik : “Bisnis apa yang bakal nge-trend tahun depan ?”
Trend juga menunjukan posisi kepemimpinan di pasar. Seorang pengusaha plastik, yang membuat aneka produk rumah tangga dari plastik bercerita bahwa ia umumnya emoh untuk mengikuti trend. Karena hal itu akan memposisikan dirinya cuma sebagai pengekor atau ‘follower’. Ia cenderung membalik situasi dengan menjadi pencipta trend atau ‘trendsetter’. Untuk itu selama setahun ia rajin berkeliling dunia. Ke China, Jepang, Taiwan, dan Korea untuk melihat trend-trend yang sedang marak. Lalu membandingkan-nya dengan trend-trend yang berbeda di pasar Australia, Amerika dan Eropa. Dengan mengurut sejumlah trend yang sedang digandrungi pasar, ia mencoba menciptakan trend baru. Sang pengusaha bercerita, ibaratnya nonton sebuah sinetron berseri. Ia mencoba menebak cerita episode mendatang. Baginya mekanisme dan proses ini mirip dengan latihan melatih intuisinya. Kadang ada tebakan yang manjur dan sukses. Tapi seringkali tebakan itu juga berakhir ngaco dan ngawur. Setelah menajamkan intuisinya untuk menebak trend berikutnya selama bertahun-tahun, dan membandingkan trend-trend sebelumnya, kini intuisi itu telah berubah menjadi ilmu yang mirip matematika. Ia mulai bisa menghitung trend !
Dalam praktek, walaupun kita berusaha terus menerus memantau trend dan mengikuti trend, banyak pemasar yang merasakan kalah cepat atau kalah sigap. Seolah mengejar trend adalah lomba maraton yang melelahkan. Trend pada intinya adalah konsumen yang berubah terus menerus. Berubah gaya hidupnya. Dan sekaligus berubah juga seleranya. Mirip evolusi yang bergerak. Tidak pernah berhenti. Itu sebabnya belajar dari pengusaha di plastik dan cerita Star Wars, ‘trend’ adalah perubahan yang perlu diantisipasi. Market Leader tidak akan pernah berada dibelakang ‘trend’. Tetapi selalu selangkah lebih awal didepan ‘trend’.
Henrik Vejlgaard, seorang pengamat ‘trend’ yang menjadi pionir dalam ‘trend sociology’ yaitu sebuah studi tentang proses terciptanya ‘trend’, menulis didalam bukunya “ANATOMY OF A TREND”, beberapa nasehat untuk mengantisipasi ‘trend’. Terciptanya sebuah ‘trend’ menurut Henrik, tidak akan pernah tiba-tiba. Tetapi lebih mirip dengan menggodok jamu, yaitu mendidih pelan-pelan. Pelakunya selalu manusia dan dipicu oleh media atau gossip di kalangan tertentu. Kadang ‘trend’ juga adalah reaksi balik dari sebuah kejenuhan di ‘mainstream’. Jadi menurut Henrik, ‘trend’ bisa dicermati, disimak, dan diobservasi sejak awal. Triknya adalah merasakan getaran dan vibrasinya.
Henrik membagi sejumlah sub-kultur yang berpengaruh menjadi kelompok-kelompok yang harus di observasi, misalnya kelompok anak muda, socialite, selebriti, desainer, artis, dan juga kaum gay. Kelompok inilah yang lewat interaksi dan persaingan group, berusaha beda dan menciptakan indentitas dan kepribadian yang baru dan beda. Mereka memiliki nafsu dan gairah untuk menjadi ‘trendsetter’. Kelompok ini pula yang selalu diliput media. Dan menjadi pusat perhatian.
Henrik juga menyebutkan bahwa kota-kota di dunia menjadi sumber ‘trend’, seperti Paris, Milan, London, Tokyo, Shanghai dan New York untuk fashion dunia. Kota inilah yang dijadikan tolok ukur. Untuk elektronik lain lagi, kota-kota seperti Hong Kong, Seoul, Tokyo dan Taipeh justru menjadi pusat enerji ‘trend’. Itu sebabnya kita sering mendengar ucapan-ucapan : “Eh, di Bali lagi ngetrend apa sih ? Resto yang lagi ‘in’ apa aje ?”
‘Trend’ juga memiliki siklus. Dengan mengamati kisaran waktu sebuah ‘trend’ anda bisa memprediksi terjadi sebuah trend berikutnya. Henrik menciptakan sebuah model yang menyebutkan bahwa kisaran cepatnya sebuah ‘trend’ beredar dari ‘trendsetter’ ke ‘mainstream’ berbeda-beda. Kosmetik 1-2 tahun, fashion 2-3 tahun, asesoris 2-3 tahun, alat olahraga 6-8 tahun. Akhir kata Henrik menutup, bahwa ‘trend’ bukanlah ilmu nujum tentang masa depan. Karena memang prosesnya berbeda. Tetapi dengan mengerti dan memahami proses terjadinya sebuah ‘trend’ sedikit banyak kita bisa mengintip ke masa depan. Hal ini merupakan sebuah kemewahan yang langka !
Trend juga menunjukan posisi kepemimpinan di pasar. Seorang pengusaha plastik, yang membuat aneka produk rumah tangga dari plastik bercerita bahwa ia umumnya emoh untuk mengikuti trend. Karena hal itu akan memposisikan dirinya cuma sebagai pengekor atau ‘follower’. Ia cenderung membalik situasi dengan menjadi pencipta trend atau ‘trendsetter’. Untuk itu selama setahun ia rajin berkeliling dunia. Ke China, Jepang, Taiwan, dan Korea untuk melihat trend-trend yang sedang marak. Lalu membandingkan-nya dengan trend-trend yang berbeda di pasar Australia, Amerika dan Eropa. Dengan mengurut sejumlah trend yang sedang digandrungi pasar, ia mencoba menciptakan trend baru. Sang pengusaha bercerita, ibaratnya nonton sebuah sinetron berseri. Ia mencoba menebak cerita episode mendatang. Baginya mekanisme dan proses ini mirip dengan latihan melatih intuisinya. Kadang ada tebakan yang manjur dan sukses. Tapi seringkali tebakan itu juga berakhir ngaco dan ngawur. Setelah menajamkan intuisinya untuk menebak trend berikutnya selama bertahun-tahun, dan membandingkan trend-trend sebelumnya, kini intuisi itu telah berubah menjadi ilmu yang mirip matematika. Ia mulai bisa menghitung trend !
Dalam praktek, walaupun kita berusaha terus menerus memantau trend dan mengikuti trend, banyak pemasar yang merasakan kalah cepat atau kalah sigap. Seolah mengejar trend adalah lomba maraton yang melelahkan. Trend pada intinya adalah konsumen yang berubah terus menerus. Berubah gaya hidupnya. Dan sekaligus berubah juga seleranya. Mirip evolusi yang bergerak. Tidak pernah berhenti. Itu sebabnya belajar dari pengusaha di plastik dan cerita Star Wars, ‘trend’ adalah perubahan yang perlu diantisipasi. Market Leader tidak akan pernah berada dibelakang ‘trend’. Tetapi selalu selangkah lebih awal didepan ‘trend’.
Henrik Vejlgaard, seorang pengamat ‘trend’ yang menjadi pionir dalam ‘trend sociology’ yaitu sebuah studi tentang proses terciptanya ‘trend’, menulis didalam bukunya “ANATOMY OF A TREND”, beberapa nasehat untuk mengantisipasi ‘trend’. Terciptanya sebuah ‘trend’ menurut Henrik, tidak akan pernah tiba-tiba. Tetapi lebih mirip dengan menggodok jamu, yaitu mendidih pelan-pelan. Pelakunya selalu manusia dan dipicu oleh media atau gossip di kalangan tertentu. Kadang ‘trend’ juga adalah reaksi balik dari sebuah kejenuhan di ‘mainstream’. Jadi menurut Henrik, ‘trend’ bisa dicermati, disimak, dan diobservasi sejak awal. Triknya adalah merasakan getaran dan vibrasinya.
Henrik membagi sejumlah sub-kultur yang berpengaruh menjadi kelompok-kelompok yang harus di observasi, misalnya kelompok anak muda, socialite, selebriti, desainer, artis, dan juga kaum gay. Kelompok inilah yang lewat interaksi dan persaingan group, berusaha beda dan menciptakan indentitas dan kepribadian yang baru dan beda. Mereka memiliki nafsu dan gairah untuk menjadi ‘trendsetter’. Kelompok ini pula yang selalu diliput media. Dan menjadi pusat perhatian.
Henrik juga menyebutkan bahwa kota-kota di dunia menjadi sumber ‘trend’, seperti Paris, Milan, London, Tokyo, Shanghai dan New York untuk fashion dunia. Kota inilah yang dijadikan tolok ukur. Untuk elektronik lain lagi, kota-kota seperti Hong Kong, Seoul, Tokyo dan Taipeh justru menjadi pusat enerji ‘trend’. Itu sebabnya kita sering mendengar ucapan-ucapan : “Eh, di Bali lagi ngetrend apa sih ? Resto yang lagi ‘in’ apa aje ?”
‘Trend’ juga memiliki siklus. Dengan mengamati kisaran waktu sebuah ‘trend’ anda bisa memprediksi terjadi sebuah trend berikutnya. Henrik menciptakan sebuah model yang menyebutkan bahwa kisaran cepatnya sebuah ‘trend’ beredar dari ‘trendsetter’ ke ‘mainstream’ berbeda-beda. Kosmetik 1-2 tahun, fashion 2-3 tahun, asesoris 2-3 tahun, alat olahraga 6-8 tahun. Akhir kata Henrik menutup, bahwa ‘trend’ bukanlah ilmu nujum tentang masa depan. Karena memang prosesnya berbeda. Tetapi dengan mengerti dan memahami proses terjadinya sebuah ‘trend’ sedikit banyak kita bisa mengintip ke masa depan. Hal ini merupakan sebuah kemewahan yang langka !
No comments:
Post a Comment