Sunday, November 06, 2011
Andaikata supir taxi menjadi Presiden (bagian 3)
Di kota kembang Bandung, masih saja banyak taxi yang tidak bermeter argo. Kalau anda tidak berpengalaman menggunakan jasa pelayanan ini, tidak jarang anda bakal mengalami pengalaman yang tidak menyenangkan. Mulai dari cekcok mulut hingga ongkos taxi yang terlalu mahal. Siang itu saya ingin makan di sebuah resto kecil diatas Dago, dan saya minta bell-boy hotel mencarikan saya taxi langganan mereka yang minimal ramah dan jujur. Akhirnya saya bertemu dengan Husen. Supir taxi yang akan mengantar saya ke atas Dago.
Siang itu kota Bandung agak macet. Sama seperti kota besar lainnya, Bandung tertular penyakit kronis. Terlalu banyak kendaraan yang akhirnya membuat jalanan menjadi sangat macet. Terlebih disaat-saat akhir pekan, Bandung diserbu ratusan hingga ribuan turis mendadak dari Jakarta. Husen asli anak Bandung. Usianya masih belia. Umurnya belum lagi 25. Seusai SMA, ia langsung terjun bebas. Tidak kuliah, karena memang tidak ada uang dan tidak ada biaya. Awalnya ia kerja serabutan. Apa saja yang bisa memberinya uang jajan. Kebetulan ayahnya supir angkot. Masuklah Husen ke bisnis transportasi dan perhubungan. Ia pernah jadi kenek. Pernah juga jadi tukang parkir. Dan kerja dibengkel motor, mencuci motor hingga service motor. Setelah hampir 4 tahun malang melintang di bisnis transportasi perkotaan ini, suatu hari ia mendapat keberuntungan yang mendongkrak karirnya. Tetangganya kebetulan, adalah seorang supir taxi senior. Yang suatu hari mendadak mulai sakit-sakitan. Husen ditawari menjadi supir aplusan. Ia hanya menjadi supir taxi kalau kebetulan tetangganya sakit. Itu awal karir Husen menjadi supir taxi. Lama-lama akhirnya ia menjadi supir taxi full-time.
Sebagai anak muda, Husen gila bola. Total. Ia juga fans fanatik PERSIB. Ia hafal semua jagoan bola. Hobi-nya begadang nonton bola. Malah menurut Husen, ia juga jagoan bola di kampungnya. Dan kalau ada pertandingan bola antar kampong, Husen selalu main dan mencetak gol. Obrolan kami soal bola, akhirnya juga menyentuh prestasi bola di republik ini. Husen agak emosional ketika bicara soal yang satu ini. Kata Husen, sebagai anak muda, ia ingin sekali-kali melihat Indonesia menjadi juara dunia dimasa mendatang. Karena menurut Husen, masa sih dari 238 juta penduduk Indonesia kita tidak bisa mencari 11 jago bola. Sampai-sampai kita harus impor pemain asing. Entah kenapa model matematik seperti ini selalu muncul menjadi perdebatan. Bahwa Indonesia dengan penduduk 238 juta mestinya menjadi kolam bakat dengan potensi yang tak terhingga. Realitanya barangkali tidak semudah itu. Karena Olah Raga membutuhkan infra struktur yang luar biasa. Dan duit yang sangat banyak. Kalau memang kita ingin serius.
Husen, supir taxi dari Bandung, punya pendapat yang sama. Bahwa kita ngak serius ! Husen menasehati saya bahwa serius itu penting. Lalu ia membawa saya balik sekilas menerawang kisah hidupnya. Dulu sehabis SMA dan Husen menjadi kenek buat angkot ayahnya, Husen cuma punya uang jajan ala kadarnya. Buat beli rokok, makan dan terkadang bila ada lebih baru buat beli kaos baru. Ia tidak pernah serius untuk membawa kehidupan-nya. Pada fase ini Husen menyebut hidupnya fase keblinger alias masa-masa ia tersesat. Barulah ketika ia bekerja di bengkel motor, dan ia punya pacar tetap, maka ia memasuki fase kehidupan yang ia sebut lieur alias membingungkan. Karena ia baru merasakan butuh duit banyak, untuk mengajak pacarnya nonton, makan atau membelikan oleh-oleh. Husen menyebut 2R yang paling sulit.
Barulah kemudian ia dinasehati neneknya. Bahwa hidup kudu serius. Punya tujuan. Punya arah. Punya cita-cita. Dan Husen-pun menekuni hidup dengan sangat serius. Biarpun jadi tukang taksi, ia bertekad punya kehidupan yang mapan, bisa menikah dan punya keluarga. Begitu tekad Husen yang serius. Lalu neneknya menasehatinya dengan filosofi Sunda yang unik. Husen menyebutnya 5R yang menuntun hidupnya. Pertama, menurut neneknya, Husen harus belajar menjadi manusia yang Bageur (Alias Baik), karena itulah modal hidup terpenting. Punya maksud baik, bersikap baik, dan selalu berbuat baik. Kedua, Husen harus selalu Beneur (Alias Benar), berahlak tahu membedakan mana yang benar dan mana yang salah. Selama Husen berbuat yang benar, ia tidak perlu takut pada apapun. Yang ketiga, neneknya berpesan agar Husen selalu Cageur (Alias Sehat) , bukan saja sehat jasmani, tetapi juga sehat rohaninya. Sebagai tukang taksi, yang bekerja lebih dari 10 jam sehari Husen paham betul nasehat nomer tiga itu. Husen juga bercerita bahwa selama ia menjadi supir taksi, godaan bukan main banyaknya. Maklum ia membawa ratusan penumpang tiap harinya, mulai dari yang normal hingga yang bergajul. Mulai dari yang sehat hingga yang bejat. Untunglah ia masih tetap sehat dan tidak pernah tergoda.
Nah, R yang berikutnya adalah, Pinter (Alias Cerdas) . Husen, menuturkan biarpun ia cuma tamatan SMA, ia selalu berupaya menambah ilmu. Belajar kemana-mana. Belajar menabung. Kini setiap Lebaran, ia selalu bisa membelikan hadiah yang layak buat pacarnya, dan ayah ibunya. R yang terakhir adalah Singer (Alias Cekatan). Nenek Husen berpesan agar ia selalu menjadi supir taxi yang cekatan, terampil dan professional. Bukan supir taxi yang ugal-ugalan. Tetapi supir taxi kebanggaan. Husen bangga karena ia seringkali direkomendasikan hotel untuk membawa tamunya. Dan itulah 5R , yang harus menjadi tulang kehidupan kita sehari-hari. Karena kalau tidak, Husen mengatakan hidup kita bakal keblinger (sesat) dan lieur (bingung). Menurut Husen, ia seorang super taxi biasa, namun karena serius menekuni filsafat hidup itu, Husen hidup aman sejahtera.
Menurut Husen, apa sih susahnya buat pemimpin kita menekuni filsafat hidup yang sama. Dan menghantarkan republik ini menjadi aman sejahtera. Kuncinya sederhana, asalkan serius !!! Mendengar cerita Husen, saya jadi malu sendiri. Cuma ikut senyum-senyum. Karena dari 5R yang disebut Husen, saya sendiri sering khilaf, kurang menekuni, dan tidak selalu bisa serius. Iseng-iseng saya tanya, mau tidak Husen menjadi presiden di republik ini ? Husen ngakak kencang sekali. Ia berkelit, dan mengatakan bahwa untuk yang satu ini, ia sama sekali tidak serius. Giliran saya yang tertawa keras-keras. Ketika saya mau turun dari taxi dan membayar ongkos, Husen sambil tersenyum, mengatakan andaikata dia menjadi ketua PSSI, mungkin saja ia akan menerapkan filosofi 5R itu, dan membuat Indonesia juara dunia. Saat itu saya merasakan kalau Husen serius berkata demikian.
Kurang dari seminggu lagi, pesta olah raga SEA GAMES akan digelar. Semua orang was-was dengan prestasi Indonesia. Sanggupkah Indonesia menjadi juara umum ? Apapun juga hasilnya nanti, apakah setelah itu kita akan serius mengurus prestasi olah raga di republik ini ? Dan buat pemimpin kita, mungkin kita bisa belajar dari Husen, tentang keseriusan menjadi pemimpin dan keseriusan memimpin. Kalau kita renungkan pelan-pelan nasehat nenek Husen, rasanya kok sederhana sekali. Akan tetapi seringkali rahasia sukses memang selalu sederhana adanya. Tidak pernah nyelimet. Tidak pernah rumit. Hanya kita yang memang tidak pernah mau serius menjalankan-nya. Barangkali tantangan kita memang sesederhana itu. Mau ngak kita lebih serius ?
Saturday, October 22, 2011
Andaikata supir taxi jadi Presiden ( Part 2 )
Badan saya sebenarnya remuk redam. Cape dan pegel menyatu dalam satu ikatan. Mestinya situasi seperti ini akan membuat saya cepat tertidur. Tapi entah kenapa, hampir sejam saya tergolek di tempat tidur, kantuk belum juga hinggap dan membawa saya terbang bermimpi. Akhirnya saya menyambar jaket, pake sepatu dan turun ke lobby. Hari sudah hampir menjelang tengah malam. Petugas hotel yang saya suruh mencarikan taxi, senyum-senyum dan menyapa : “Ndak bisa tidur ? Pak ?” . Saya mengangguk sambil nyengir -nyengir bajing.
Didalam mobil taxi, sang supir taxi bertanya tentang arah dan tujuan saya. Lalu saya jawab pendek, “Ketempat orang senang”. Sang supir ngakak dan langsung tancap gas. Udara malam kota Djogdjakarta sedikit dingin. Angin bertiup sangat perlahan. Sang supir taxi terheran-heran, ketika saya berhenti kurang dari ½ jam ditempat pertama. Saya beri alas an pendek, “Cuma survey doang, koq mas !” Lagi-lagi sang supir taxi ngakak. Akhirnya kami berkenalan. Namanya Slamet. Konon ayahnya menamakan dirinya Slamet, biar selalu aman, sentosa dan hidupnya selalu selamat dari cobaan apapun. Dan ternyata nama itu memang sakti mandra guna. Ia merasa perjalanan hidupnya selalu selamat berkat nama yang disandangnya itu.
Setelah singgah beberapa kali “ditempat senang” yang saya survey, pembicaraan kami bertambah hangat. Mulai dari kehidupan malam kota Djogdjakarta, hingga prilaku remaja kota Djogdjakarta, dan juga perkawinan pak Slamet. Secara filosofis, pak Slamet mengaku bahwa sejak dahulu bapaknya sudah menanamkan filosofi Bibit-Bebet-Bobot, semenjak ia masih sekolah. Ayahnya selalu berpesan agar ia jangan salah pilih. Terlebih saat puber, pak Slamet termasuk anak yang nakal. Biarpun tampang tidak segagah Roy Marten, namun pak Slamet dikenal sebagai jajaran “playboy” dikampungnya, begitu cerita pak Slamet.
Dalam filosofi Jawa, Bibit artinya asal usul atau akar keturunan. Kalau menanam sesuatu, pilihlah bibit yang baik, maka hasilnya tidak akan mengecewakan. Begitu penjelasan singkat ayah pak Slamet ketika menjelaskan pilar filosofi pertama kepada pak Slamet. Jadi kalau mau memilih istri yang baik, pilihlah dari keturunan keluarga yang baik-baik. Yang kedua adalah Bebet yang artinya lingkungan disekitar sang calon pasangan hidup. Biarpun bibitnya bagus tetapi kalau lingkungan tempatnya tumbuh tidak baik, maka akhirnya akan terpengaruh tidak baik juga. Sebatang pohon yang tumbuh ditempat yang banyak angin, akan tumbuh condong kearah angin bertiup. Pilar dari filosofi yang terkahir adalah Bobot, yaitu nilai kepribadian, karakter, dan pengetahuan dari seseorang. Kalau ketiganya terpenuhi dengan baik, maka konon jaminan istri atau suami yang baik akan terpenuhi.
Filosofi Bibit-Bebet-Bobot, konon dianggap terlalu berat atau feodal. Karena seleksi berdasarkan 3 kriteria ini banyak dianut oleh kaum bangsawan, dan dianggap sebagai sebuah sistim penilaian yang terlampau berlebihan. Banyak teman-teman saya dari keturunan Jawa menganggap sistim ini kuno. Dan konyol. Namun menurut pak Slamet justru filosofi inilah yang menyelamatkan perkawinannya. Ketika saya berdebat dengan pak Slamet lebih jauh, malah pak Slamet menganjurkan agar sebaiknya dan semestinya pak SBY menggunakan filosofi ini untuk memilih para calon menteri-menterinya. Sehingga tidak sering-sering “reshuffle cabinet”.
Saya terhenyak mendengar komentar pak Slamet. Kaget dan agak tersipu. Pak Slamet mengkritik “reshuffle cabinet” yang katanya mirip dengan kawin cerai. Menurut pak Slamet perkawinan itu mestinya jalan satu arah tanpa kesempatan untuk memutar. Kalau sejak awal kita sudah memikirkan cerai, dengan pertimbangan enteng, maka langkah kita memasuki sebuah ajang pernikahan tanpa beban sama sekali. Matematika dan perhitungan-nya, kawin aja sekarang, kalau tidak cocok biarlah kita bercerai. Dan masih bisa kawin lagi. Begitu dan seterusnya. Padahal sebuah perkawinan itu sangat sakral, dan kalau bermasalah, harus kita upayakan sehingga berhasil. Bukan dengan solusi bercerai. Selama 32 tahun pak Slamet menikah dan punya 6 anak, rumah tangganya penuh dengan dinamika dan prahara. Tidak selalu mulus-mulus saja. Tetapi pak Slamet tidak pernah puny aide bercerai. Ia selalu berjuang dan bertahan. Kata pak Slamet, andaikata pak SBY cermat dan hati-hati memilih calon menterinya 2 tahun yang lalu, maka “reshuffle cabinet” tidak perlu terjadi. Kritik pak Slamet, kita membuang waktu dengan percuma.
Tak lama setelah pak Slamet bertutur seperti itu, kami berpisah. Setengah jam kemudian saya tertidur pulas. Keesokan paginya dalam pesawat yang membawa saya pulang ke Jakarta, disebuah harian nasional masih termuat berita gonjang ganjing kocok ulang cabinet. Disana ada analisa bahwa komposisi kabinet pemerintahan didominasi oleh politikus atau kader partai. Kaum professional yang benar benar unggul dan kompeten di bidangnya sangatlah lebih sedikit. Tiba-tiba saja filosofi Jawa – Bibit-Bebet-Bobot ala pak Slamet terlintas dipikiran saya kembali.
Barangkali kalau pak Slamet jadi presiden, maka proses pemilihan menteri akan menjadi sangat berbeda. Hanya saja saya bertanya-tanya apabila pak Slamet punya masalah sama dengan pak SBY soal koalisi, apakah pak Slamet masih bisa bebas memilih menterinya ? Satu hal yang saya setuju dengan pak Slamet, bahwa kebiasaan “reshuffle cabinet” adalah kebiasaan buruk mirip kawin cerai. Barangkali dalam kontrak politik berikutnya, dengan siapapun yang menang pemilu nanti. – kalau ada jatah pembagian kursi menteri dalam kabinet, maka partai koalisi harus menyodorkan kader yang lulus sejumlah kriteria. Andaikata kader yang disodorkan tidak memenuhi syarat, maka presiden bisa saja menolak calon yang disodorkan.
Saya juga setuju dengan konsep pak Slamet, bahwa selama perkawinan, setiap masalah, dinamika dan prahara harus diperjuangkan bersama hingga berhasil tuntas. Memberhentikan menteri sebelum masa berakhir tugasnya, bukanlah edukasi manajemen pemerintahan yang baik. Karena mestinya ada mekanisme pimpinan nasional untuk selalu check dan re-check, dan mengarahkan prestasi menteri ke jalur yang menguntungkan dan benar. Bukan hanya sekedar penilaian lulus atau tidak lulus, kemudian diberhentikan karena prestasinya yang jelek. Karena terus terang bagi menteri yang kena copot gara-gara “reshuffle”, malunya akan sangat bukan main. Didalam sejarah, dia akan dicatat sebagai menteri yang tidak berhasil dan gagal. Maka akibatnya dia dicopot dari kabinet. Terus terang ini aib yang luar biasa.
Menurut pak Slamet, janda korban perceraian selalu punya kesan dan impresi tertentu dalam masyarakat kita. Apapun sebab dan musababnya. Tidak peduli salah siapa. Dia akan tetap disebut sebagai janda. Menteri yang dicopot dari kabinet sebelum masa akhir tugasnya, barangkali punya kesan yang mirip. Janda kabinet. Kalau memang boleh disebut demikian. Dan malunya itu, tetap saja sangat dalam – sangat memalukan !
Sunday, October 16, 2011
PANGGIL SAYA ,...."TANTE SEKAR !"
Kami berkenalan di Facebook. Halaman Face Book-nya kelihatan disembunyikan agar terlihat misteri. Sesekali kami saling bertegur sapa. Chatting seadanya. Basa basi biasa. Tidak ada yang istimewa. Lalu tanpa sengaja kami ngobrol soal New York, karena kebetulan saya akan singgah di kota itu dalam perjalanan dinas saya ke Amerika. Ia mengajak saya minum teh sore hari di Bergdorf Goodman. Ketika saya tanya apakah ia tinggal di New York, ia hanya tertawa mengelak. Saat itu saya anggap hanya sebuah canda biasa.
Hari itu saya tiba di New York, menjelang tengah hari. Tiba di hotel, kamar saya belum siap, dan saya disuruh menunggu. Saya tidak sanggup menunggu. Bayangkan terbang selama 24 jam lebih dari Jakarta. Lelah yang saya rasakan ada disetiap ujung syaraf saya. Terpaksa saya menerima tawaran kamar yang sudah siap, walaupun harus membayar lebih. Petugas reception tersenyum ketika memberikan kunci kamar kepada saya. Buat saya itu senyum yang penuh ejekan. Tiba di kamar, saya langsung menyerbu kasur. Dan terbenam didalamnya. Dalam pikiran saya cuma ada satu kata : TIDUR !
Entah berapa jam saya tertidur. Rasa lapar juga yang akhirnya membangunkan diri saya. Ketika saya melirik arloji, hari hampir jam 3 sore waktu New York. Saya bergegas mandi. Lalu ingat janji dengan teman di Face Book. Department Store Bergdorf Goodman, adalah department store favorit saya di New York. Mereka punya sejarah panjang semenjak tahun 1928. Dan dilantai 7 mereka memiliki sebuah resto namanya BG. Setiap hari antara jam 3 hingga jam 5, mereka menyajikan hidangan Tea Time yang paling elegan dengan Dammann Frères Tea yang esklusif. Pemandangan dari restoran ini menghadap Central Park. Luar biasa sekali.
Pesan di Blackberry saya, menyebutkan kita akan bertemu jam 4 di resto BG, dilantai 7. Jam 4 lebih saya baru tiba di tempat. Maklum jarak Bergdorf Goodman dari haotel saya hampir 10 blok. Suara seorang wanita menyapa saya : “Panggil saya, Tante Sekar”, begitu ia memperkenalkan dirinya. Observasi saya, Tante Sekar usianya sudah diatas 60 tahun lebih. Walaupun wajahnya Nampak awet muda. Tante Sekar tidak memiliki tubuh tinggi bak seorang model, malah agak gemuk dan wajahnya biasa-biasa saja. Ketika kami bertemu Tante Sekar mengenakan setelan atas dan bawah berwarna ungu cerah. Dan juga tas Birkin Hermes berwarna ungu. Yang menarik adalah, biarpun secara fisik Tante Sekar tidak cantik, namun jelas-jelas Tante Sekar seorang pesolek ulung. Hal itu terlihat dari kuku tangannya yang terawat sangat rapi dan diberi perona cat kuku berwarna pink. Kontras dengan kostum Tante Sekar sore itu.
Awalnya kami cuma bicara seadanya. Basa basi tentang udara dan restoran di kota New York. Ketika saya bertanya apa bisnis Tante Sekar ? Tante Sekar hanya tertawa dan tiba-tiba saja pandangan matanya menerawang jauh. Tiba-tiba saja Tante Sekar lalu bercerita sekelumit kisah hidupnya. Tante Sekar lahir di kota Malang. Ayah ibunya sangat miskin. Sehingga ia akhirnya hidup bersama neneknya, dan membantu neneknya berjualan kue dipasar. Tante Sekar hanya sempat sekolah hingga kelas 4 SD. Ketika berumur 16 tahun, ia sudah dikawinkan dengan seorang saudagar terkenal dari Jakarta. Ketika menikah sang saudagar sudah berumur 50 tahun. Tante Sekar juga bukan dijadikan istri resmi, melainkan cuma istri simpanan. Tante Sekar tidak pernah tahu juga berapa jumlah isteri sesungguhnya dari suaminya. Menurut gossip lebih dari selusin.
Tante Sekar tidak menikah terlalu lama. Ketika ia berusia 24 tahun, suaminya meninggal dalam perjalanan bisnis di luar negeri. Sambil senyum-senyum, Tante Sekar berusaha mengingat kisah kasih perkawinan-nya yang pertama. Konon suaminya tidak meninggalkan harta yang banyak. Cuma sebuah rumah kecil dan sejumlah tabungan ala kadarnya. Tante Sekar bercerita untunglah suaminya itu mengajarkan satu ilmu yang paling berharga. Yaitu ilmu membahagiakan lelaki. Selama 8 tahun perkawinan-nya Tante Sekar belajar membuat suaminya senang dan bahagia, mulai dari kepala hingga ujung jempol kaki. Ia belajar memasak hingga seni bercinta dengan lelaki. Suaminya selalu mengatakan bahwa buat lelaki senakal dia dengan sejumlah isteri, maka tiap isteri harus bisa bersaing ketat membuat dia bahagia. Tanda-tanda seorang istri simpanan paling disayang dan berhasil memenangkan hati sang suami, adalah betapa sering ia dikunjungi suaminya. Semakin sering dikunjungi artinya semakin disayang.
Ajaran itu di yakini betul oleh Tante Sekar. Suaminya tidak pernah absen tiap minggu berkunjung ke Tante Sekar tiap minggu. “Kadang lebih”, kata Tante Sekar sambil tertawa kecil. Tante Sekar dibabak kehidupan berikutnya, berjuang keras menghidupi dirinya sendiri. Bebekal tabungan seadanya ia berusaha mencari uang dengan berbagai cara, dan menggunakan jaringan kawan-kawan almarhum suaminya. Ternyata tidaklah semudah ia bayangkan. Ia malah lebih banyak digoda oleh teman-teman suaminya. Mulai dari yang mengajak kawin, hingga yang cuma mengajak selingkuh ala kadarnya. Mulanya ia frustasi dan hampir mengambil jalan yang paling mudah yaitu menikah lagi. Entah bagaimana awalnya, Tante Sekar juga tidak ingat. Tapi Tante Sekar bertemu dengan sekelompok wanita yang semuanya janda. Mereka melakukan arisan sebulan sekali. Dalam bertukar cerita saat arisan, Tante Sekar, akhirnya mendapat pencerahan. Saat itulah ia mengubah garis kehidupan-nya.
Lirih, Tante Sekar mengatakan, dua hal yang ia pelajari dalam kehidupan ini; pertama begitu banyak sekali pria yang tidak bahagia dalam kehidupan ini. Dan yang kedua hampir semua pria tidak terpuaskan nafsunya. Maka ia memutuskan untuk menjadi “sosialita plus”. Begitu istilah Tante Sekar. Berkedok sebagai penjual permata, Tante Sekar akhirnya bergaul dipapan atas lingkaran social di Indonesia. Namun jualan sebenarnya, adalah merayu dan membuat puas, serta mambahagiakan lelaki-lelaki yang sangat kaya raya. Tante Sekar emoh disebut sebagai pelacur kelas atas. Tetapi lebih sebagai terapis kebahagian. Begitu kilahnya. Karena setiap lelaki yang menjadi kliennya semua memiliki hubungan emosi dan bukan hanya hubungan fisik belaka. Sebagai “sosialita plus”, Tante Sekar berusaha membekali dirinya dengan berbagai skills, termasuk bahasa, budaya, seni, music, dsbnya.
Diakhir pertemuan kami, Tante Sekar tidak bisa menyembunyikan kegelisahan hidupnya yang kini paling ia takuti. Tante Sekar kesepian. Dulu ketika ia sangat laris, ia tidak memikirkan untuk menikah, punya anak atau memunggut anak. Kini ia hidup beberapa bulan di Indonesia. Antara Jakarta dan Bali. Lalu beberapa bulan di New York. Dan sisanya ia jalani di Macau dan Shanghai. Tante Sekar ingin bertemu saya, barangkali semata-mata agar saya mau menulis cerita tentang dirinya. Kami memang berjanji untuk bertemu kembali di Indonesia, agar Tante Sekar mau cerita lebih banyak. Siapa tahu petualangan Tante Sekar bakalan asyik dibuat buku.
Sebagai bahan lamunan saya, Tante Sekar mengatakan, bahwa dirinya berfungsi untuk memuaskan nafsu lelaki, namun ia tidak pernah memanfaatkan nafsu lelaki. Pantangan hidup Tante Sekar, adalah menjadi wanita yang serakah untuk minta ini dan itu dari lelaki. Menurut Tante Sekar, setiap kali ia berhasil membahagiakan seorang lelaki, tidak pernah sekalipun lelaki itu mengecewakan dirinya. Tante Sekar selalu saja kebanjiran hadiah. Itu rahasia Tante Sekar bertahan sekian lama. Wanita yang tamak dan selalu ingin menguras harta lelaki, biasanya tidak akan bertahan lama. Hingga hari ini cerita itu masih menjadi bahan lamunan saya setiap hari. Menjelang malam kami berpisah. Kami berpelukan dan Tante Sekar mencium saya dipipi. Wangi parfumnya menjadi baying-bayang yang tidak mau pergi. Arrrggghhh !!!!
Sunday, September 18, 2011
Andaikata supir taxi jadi Presiden ( Part 1 )
Menjelang krisis ekonomi 1998, saya berada di New York. Dan sempat membeli sebuah buku kecil yang berjudul TAXI DRIVER WISDOM. Sebuah uneg-uneg dari para supir taxi di New York yang sempat dikumpulkan Risa Mickenberg. Lucu, menggelitik dan kalau direnungkan terasa kebenaran yang polos terkadang nyelekit. Barangkali saja, memang Tuhan menakdirkan supir taxi memiliki pemikiran yang sangat berbeda. Yang membuat mereka bijaksana dengan cara yang sangat unik. Bayangkan saja, seorang supir taxi bisa keliling kota selama 8-12 jam seharinya. Bertemu dengan puluhan hingga ratusan orang tiap hari. Berinterkasi dengan mereka. Hingga akhirnya muncul persepsi yang sangat istimewa ini. Lalu menjadi pelajaran hidup dengan sudut pandang yang tidak akan kita temukan dimana-pun.
Terus terang, awalnya saya seringkali segan, ngobrol dengan supir taxi. Kadang dalam berbagai perjalanan yang melelahkan, tidak jarang supir taxi mengusik kantuk dan lelah saya. Terkadang kita suka bertemu juga dengan supir taxi yang bawel dan bicara ngalor ngidul ngak keruan. Hal itu sering terasa tidak nyaman. Namun setelah membaca buku TAXI DRIVER WISDOM, saya jadi lebih memberikan perhatian. Dan sesekali saya bertemu dengan supir taxi yang memberikan saya sejumlah pencerahan hidup yang sangat bernilai. Beberapa diantaranya saya kumpulkan dalam 10 tahun terakhir ini.
Sebut saja supir taxi ini pak Koeswanto. Saya naik Taxi pak Koes dari hotel menuju Bandara di Surabaya. Badannya kekar. Usianya mungkin menjelang 50 an. Rambutnya tipis hampir botak. Dan dipergelangan tangannya ia memakai gelang bahar. Ia mengaku dari Madiun. Di ajak ikut saudaranya berpetualang di Surabaya. Konon ia sudah 20 tahun lebih di Surabaya. Sempat bekerja bermacam-macam. Mulai dari penjaga gudang hingga berjualan soto. Namun sudah 8 tahun terakhir ini ia menjadi supir taxi.
Dalam perjalanan ke Bandara, kami melihat sekelompok anak muda memadati bagian jalan, sehingga membuat jalan menjadi macet. Pak Koes lalu menggerutu macam-macam. Sampai pada kisah yang menarik, menurut cerita beliau. Salah satu tetangga beliau, anaknya masuk rumah sakit karena demam berdarah. Tidak ada biaya. Dan anak sang tetangga tidak bisa ditebus. Mulanya saya tersenyum saja. Ini cerita biasa di republik ini. Kisahnya banyak kita temukan dikoran setiap hari. Dan sayapun bisa menebak kelanjutan cerita, pasti tetangganya akan menjadi maling dan nyolong sesuatu. Benar saja. Lanjut pak Koes sang tetangga lalu nyolong dan menjadi maling. Ia membawa kabur motor salah satu tokoh terpandang di kampong. Tertangkap basah oleh massa dan sang tetangga digebukin habis. Ironisnya sang tetangga harus masuk rumah sakit dan dipenjara. Sang anak akhirnya tidak tertebus. Terpaksa para tetangga urunan dan menebus sang anak agar bisa keluar dari rumah sakit. Cerita yang biasa dan basi sebenarnya. Lalu dimana pencerahan yang kita tunggu-tunggu ?
Secara menarik lalu pak Koes mengurai cerita tadi. Kata beliau, orang kecil, seringkali di cap sebagai tidak berpendidikan, tidak tahu hokum dan seringkali main hakim sendiri. Begitu kilah pak Koes atas berita yang sering ditulis di Koran. Disinilah tanpa saya sangka datang pencerahan pak Koes. Kata beliau, orang kecil di kampong seringkali frustasi. Karena mereka merasa jarang sekali mendapat perlindungan hukum. Ia secara sinis mencontohkan dan bertanya, kapan terakhir kali saya melihat polisi membantu orang biasa menyebrang jalan ? Saya jadi tersenyum mendengarnya. Lalu ia mencontohkan bagaimana bedanya orang penting kalau berpergian. Mobil orang penting cuma satu, tapi yang mengawal bisa selusin, dan galaknya bukan main. Semua mulut jalan ditutup. Akibatnya bikin macet dimana-mana. Pak Koes tertawa terkekeh-kekeh. Ia bilang kenapa sih, para orang penting itu selalu terburu-buru ? Kenapa mereka ngak bisa pelan sedikit dan ikut bersama rakyat menikmati kemacetan kota. Secara sinis pak Koes mengatakan bahwa mungkin itulah sebabnya jalanan tetap macet, karena orang penting tidak pernah merasakan macet dan tidak pernah tau masalah macet. Inilah pencerahan pak Koes yang membuat saya terpingkal-pingkal. Iseng saya tanya apakah pak Koes mau jadi Presiden ? Biar dikawal kemana-mana ? Kini gantian pak Koes yang tertawa. Ia tidak menjawab.
Usai tertawa berdua, pak Koes melanjutkan. Ia bercerita seringkali maling digebuki ramai-ramai, bukan karena main hakim sendiri. Tapi masyarakat seringkali merasa perlu bahwa maling itu diberi pelajaran agar kapok tidak lagi mau mencuri dimasa depan. Dan menjadi peringatan agar maling-maling lain-nya tidak berani mencuri di kampong mereka. Pak Koes dengan gaya politikus kampong, lalu menggugat situasi korupsi yang sekarang beredar. Ia secara kritis mengatakan koq jaman sekarang yang korupsi semakin banyak. Lalu saya ceritakan bahwa sekarang Indonesia sedang gencar memberantas korupsi. Makanya ada KPK segala. Pak Koes tidak setuju dengan saya. Beliau bilang koruptor harus dibikin kapok. Persis maling motor tadi. Kalau perlu digebukin rame-rame dan dihukum mati. Saya terkesima. Barangkali pak Koes benar adanya. Sistim hukuman para koruptor di republik ini terlalu ringan dan tidak membuat jera para pelakunya.
Pak Koes bercerita, bahwa kenapa tetangganya mencuri motor tokoh terpandang dikampunya, semata-mata karena tokoh terpandang itu terlalu suka pamer. Dan motornya diparkir dipekarangan tanpa dikunci. Sehingga menjadi godaan terbesar. Pak Koes menyindir bahwa yang diperlukan republik ini adalah sistim untuk mencegah kemalingan. Mencegah kemalingan menurut pak Koes tidak bisa dengan menangkap maling. “Iya kalau ketangkap ? Kalau kabur malingnya ?”, begitu sanggah pak Koes. Saya bersyukur atas pencerahan unik ini. Saya yakin andaikata pak Koes jadi presiden tahun 2014 nanti, ia akan punya sistim lebih baik untuk mencegah korupsi.
Barangkali pemerintah mau memakai logika sederhana pak Koes. Bahwa di republik ini, yang diperlukan adalah pemikiran baru tentang pemberantasan korupsi. Menurunkan angka korupsi barangkali lebih murah kalau lewat pencegahan korupsi. Daripada lewat upaya menangkap sebanyak-banyaknya koruptor dan menghukumnya. Karena kita akan membutuhkan aparat, jaksa, sistim peradilan dan penjara. Juga belum tentu hukuman itu bakal membuat jera dan menjadi contoh agar orang tidak berani korupsi lagi.
Mungkin ada baiknya kita hitung berapa biaya yang sudah dikeluarkan Negara untuk memburu koruptor, menangkap koruptor, mengadili koruptor dan menghukum koruptor. Pasti akan mahal sekali. Seperti kata pak Koes, andaikata motor itu dikunci dan tidak dipamerkan secara sembrono, tetangganya tidak akan tergoda mencurinya. Kata pepatah mencegah penyakit seringkali lebih murah dari pada mengobati penyakit. Ah, andaikata pak Koes jadi Presiden saya,…….
Monday, August 29, 2011
Cerita Menjelang Idul Fitri
Saya memanggilnya Om Koki, karena di tangan kanannya ada sebuah tattoo ikan mas Koki. Usianya sudah mendekati 70an. Sangat kokoh dan tegap. Walaupun tinggi badannya dibawah rata-rata. Matanya sangat tajam. Berwajah bengis. Selalu serius. Saya belum pernah melihatnya tertawa, sekalipun. Kalau datang berkunjung ke rumah Mpu Peniti selalu dikawal. Minimal 2 body guard. Kadang malah lebih. Pernah sampai 6 orang. Menurut Mpu Peniti bisnisnya retenir.
Kemarin ketika saya berkunjung ke rumah Mpu Peniti, saya mendapati Om Koki sedang tertawa terkekeh-kekeh bersama Mpu Peniti. Tiba-tiba saja, saya melihat sosok Om Koki yang sangat berbeda. Untuk pertama kalinya, saya melihat kerapuhan beliau sebagai manusia. Tokoh yang serius menakutkan sirna begitu saja. Saya pun ikut tersenyum melihatnya.
Menurut Mpu Peniti, Om Koki tidak pernah teratur datang. Tetapi seminggu sebelum Lebaran, Om Koki selalu datang. Dan kunjungan ini tidak pernah meleset semenjak hampir 20 tahun yang lalu. Kalau datang Om Koki selalu bawa duit. Jumlahnya tidak pernah sama. Kadang 50 juta, kadang lebih. Rekornya adalah 300 juta, beberapa tahun yang lalu. Uang itu ia berikan kepada Mpu Peniti, untuk digunakan guna keperluan sosial atau menolong orang yang sedang membutuhkan. Mulanya saya berpikir Om Koki mirip Robin Hood. Namun ceritanya ternyata jauh dan sangat berbeda dari dugaan saya.
Konon Om Koki, sudah yatim piatu sejak kecil. Ketika berumur belasan tahun , ia menjadi anak pasar. Kerjanya mencuri, dan berusaha mendapatkan nafkah dengan cara apa saja di pasar. Kadang jadi kuli, atau kadang jadi tukang parkir. Lama-lama statusnya naik pangkat, ia lalu jadi preman pasar. Suatu hari terjadi perkelahian antar kelompok preman. Om Koki dikeroyok, dan hampir meninggal, kalau saja ia tidak ditolong oleh seorang saudagar batik. Akhirnya ia diangkat anak oleh saudagar batik itu. Siapa sangka ternyata selain menjadi saudagar batik, bisnis sampingannya adalah rentenir. Om Koki belum berusia 30 tahun, ketika sang saudagar wafat. Bisnis batiknya diserahkan kepada keluarga almarhum, dank arena Om Koki bekas preman, maka ia meneruskan bisnis rentenir sang saudagar.
Tak lama kemudian bisnis Om Koki melesat sangat maju dalam tempo yang sangat singkat. Om Koki hidup mewah. Sampai suatu saat ia menderita sakit Dan disaat kritis itulah Om Koki berkenalan dengan Mpu Peniti. Lalu berkelanjutan, berdua merekapun menjadi sahabat karib. Kemarin ketika bertemu Om Koki, beliau baru mau bercerita tentang kisah hidupnya yang sangat unik. Mulanya ketika Mpu Peniti membantu proses kesembuhan Om Koki hingga sembuh, Om Koki merasa perlu membayar mahal jasa Mpu Peniti. Namun ketika ditanya apa permintaan Mpu Peniti. Beliau hanya menggeleng. Dan tidak meminta bayaran. Om Koki yang menjadi rentenir tentu saja bingung. Ia sudah terbiasa hidup dengan konsep bahwa setiap jasa dan pertolongan harus ada imbalannya alias bunga. Itu ideologi yang dianut Om Koki.
Lanjut cerita, Mpu Peniti akhirnya terlibat dalam sebuah percakapan serius dengan Om Koki. Entah apa yang dibicarakan, mereka berdua. Yang jelas setelah diskusi serius itu, Om Koki membuat satu perubahan besar didalam hidupnya. Kebetulan Om Koki mau bercerita kepada saya. Ceritanya Mpu Peniti pernah mengutip sebaris kata dari Confucius, yang berbunyi : “ Janganlah pernah malu pada sebuah kesalahan. Lalu akhirnya menghakiminya menjadi sebuah perbuataan jahat “ Om Koki tersenyum, lalu melanjutkan. Kata beliau, kata-kata itu dalam sekali. Mpu Peniti memberikan sindiran bahwa beliau tidak menghakimi Om Koki sebagai penjahat, yang melanggar hukum, karena profesinya sebagai rentenir. Mpu Peniti hanya menganggap Om Koki manusia biasa dengan sejumlah kesalahan. Setiap kesalahan bisa diperbaiki. Dan Mpu Peniti secara halus menegur Om Koki untuk memperbaiki kesalahannya.
Om Koki sangat terharu dan tersentuh. Ia lalu bertanya apa yang harus ia lakukan. Mpu Peniti hanya minta, setiap orang yang tidak bisa membayar pinjaman-nya Om Koki, mohon jangan ditagih. Biarkan saja kata Mpu Peniti. Mulanya Om Koki kaget. Karena berdasarkan pengalaman, bisa-bisa semua orang tidak akan membayar. Sungguh sebuah permintaan yang sangat berat. Dengan berat hati akhirnya permintaan Om Koki dijalani juga. Om Koki lalu membuat persiapan baru, ucapan Mpu Peniti membuat ia sadar untuk benar-benar memilih konsumen yang ia perkirakan mampu membayar. Ia menjadi berhati-hati untuk memberikan pinjaman kepada sembarang orang.
Tahun pertama, benar saja ada sejumlah orang yang tidak membayar. Om Koki dengan tulus menuruti janjinya kepada Mpu Peniti. Ia sama sekali tidak menagih dengan memaksa. Ia biarkan saja. Tahun kedua, menurut Om Koki terjadi sebuah keajaiban. Banyak diantara yang gagal membayar, lalu datang sendiri. Ada yang mencicil. Ada yang membayar lunas. Dan ada pula yang membayar lebih dengan bonus. Kebanyakan datang pada saat menjelang hari Raya. Ada yang datang menjelang Lebaran. Menjelang Natal. Menjelang Imlek. Atau menjelang Tahun Baru.
Om Koki mulanya bingung. Uangnya mau dikemanakan ? Akhirnya ia membuat sebuah resolusi. Mengumpulkan semua kembalian pinjaman yang ia sangka telah hilang. Lalu sebelum Lebaran membawanya kepada Mpu Peniti untuk digunakan buat keperluan-keperluan amal. Itu sebabnya jumlahnya tidak pernah sama dari tahun ke tahun.
Om Koki menutup ceritanya pada saya, dengan satu kearifan. Dulu ia selalu menganggap semua hutang yang tak tertagih adalah sebuah kegagalan bisnis. Yang tidak jarang mengusiknya dan membuat ia stress. Sesuatu yang dianggapnya menjadi hambatan. Sesuatu yang membuat ia tertahan. Namun setelah ia mengikuti nasehat Mpu Peniti ; ia menjadi sangat berbeda. Hidupnya ia rasakan lebih bebas merdeka. Om Koki kini menjadi semakin cerdas memilih konsumen. Tidak lagi sembarang. Ia juga tidak lagi mematok bunga yang sangat tinggi. Disatu titik ia punya batas. Dititik lain yang tidak memiliki batas. Menurutnya kita perlu menjadi orang yang royal meminjamkan maaf kepada siapa saja dan kapan saja. Maaf tidak semestinya diberikan setahun sekali. Kita juga harus royal memberikan kesempatan kepada siapa saja. Karena hidup ini seringkali membutuhkan kesempatan berkali-kali. Dan ketika pintu itu kita buka-kan kepada siapa saja dan kapan saja, maka pintu yang sama juga akan dibukakan untuk kita. Seperti kata Confucius, bagi orang yang mau mengakui kesalahannya, maka masih akan ada kesempatan untuk memperbaikinya. Namun bagi mereka yang menolak memperbaiki. Lama kelamaan kesalahan itu mengakar dan menjadi kejahatan.
Saya tidak pernah tau apa agama Om Koki. Mpu Peniti juga hanya diam ketika saya bertanya apa agama Om Koki. Namun kehadiran Om Koki menjelang Lebaran, membuat saya semakin merenungi ibadah saya dalam memaafkan orang-orang disekeliling saya. Semoga Lebaran kali ini memberi kita hikmah dan pengalaman yang semakin bernilai. Dengan rendah hati saya minta anda semua memaafkan saya lahir dan batin.
Sunday, August 21, 2011
SINDIRAN - SENTILAN DAN SARKASME
Seorang teman wafat dalam usia sangat belia. Saat itu saya sedang di LOS ANGELES, ketika mendapat kabar duka cita tersebut. Sekejap saya terhenyak. Ia figure pengusaha yang cukup sukses. Cerdas. Dan pintar bergaul. Ketika saya pulang ke Jakarta, sejumlah kabar berhembus. Kebanyakan negatif. Kembali saya terhenyak untuk kedua kalinya. Cerita suksesnya sirna semua. Konon ia meninggalkan istrinya 5 bulan yang lalu demi seorang wanita yang lebih muda dan lebih cantik. Dan ia meninggal saat karena kecelakaan saat pelesir dengan istri barunya. Untuk itulah ia dikutuk dan dianggap pantas menerima ganjaran kematian yang mengenaskan itu.
Masyarakat disekeliling kita seringkali bertindak sangat kejam. Tanpa diskon. Tanpa embel-embel. Tanpa kepedulian. Seringkali member label dan cap yang sangat negatif dan berlebihan. Tetapi juga, barangkali cerita diatas bukanlah sesuatu yang baru. Sesuatu yang sangat using dan kuno. Sama kunonya dengan pribahasa - “Gara-gara nila setitik. Rusak susu sebelanga”. Kata mentor saya Mpu Peniti, “yang tidak pernah using adalah kebenaran. Betapun usang dan kunonya !” Dan ucapan inilah yang menghibur saya dan sekaligus membuat saya tertawa ketika menerima kiriman humor di BB tetang 7 presiden kita yang semuanya memiliki referensi negatif. Perasaan itu tidak menyentuh saya terlalu lama. Perlahan berganti dengan sebuah kengerian, betapa kehidupan kita dijejali dengan perasaan sinis yang sangat berlebihan. Seolah dengan meledek dan memuaskan perasaan sinis kita, membuat kita tertawa dan berbahagia.
Konon perbuatan sinis, atau sarkasme, punya sejarah sangat panjang. Ketika manusia telah fasih menggunakan bahasa dan menjadikan-nya sebuah media artistic, naka sinisme ikut hadir dan menjadi seni tersendiri. Sejarah Romawi kuno misalnya dipenuhi dengan sejumlah artis yang mahir menggunakan sinisme. Mulai dari politikus hingga filsuf. Dari Romawi, konon menjalar cepat ke Inggris. Dan hingga hari ini, masih bisa kita saksikan seni aslinya dalam perdebatan para politikus di parlemen. Dimana tak jarang mereka saling menyindir dan mengejek dengan sinis. Bangsa Asia konon terlambat mengenal sinisme. Barangkali kultur dan budaya kita awalnya menganggap sinisme atau sarkasme tabu dan sangat tidak sopan.
Bagi anda yang penasaran ? Mungkin anda jadi ingin tau, kenapa sinisme ini lalu tumbuh subur dalam budaya kita saat ini ? Mengapa humor kita di SMS, televisi, dan BB jadi penuh dengan sindiran dan sinisme ? Seorang wartawan yang sering menulis masalah budaya, menjelaskan kepada saya, bahwa barangkali sindiran, sinisme dan sarkasme muncul dan menjadi bahan lawakan pada saat yang bertepatan munculnya pelawak intelek dari kampus. Konon menurut cerita, tahun 1973 di Perkampungan Mahasiswa Universitas Indonesia di Cibubur, sedang berlangsung konsolidasi mahasiswa. Mereka akan menentang rencana kedatangan Perdana Menteri Jepang, Kakuei Tanaka ke Jakarta untuk bertemu dengan Presiden Soeharto. Di sana Kasino, Nanu, dan Rudy Badil yang paling menonjol mengatur acara supaya ramai dan tidak menjenuhkan.
Temmy Lesanpura, mahasiswa UI yang juga Kepala Program Radio Prambors menemui Kasino, Nanu, dan Rudy Badil di dalam acara konsolidasi mahasiswa tersebut. Ia menawari ketiganya untuk mengisi acara radio Prambors. Maka lahirlah ‘Obrolan Santai di Warung Kopi’. September 1973. Itulah awal kelahiran Warung Kopi Prambros, yang menawarkan sentilan humor yang lebih intelek, dengan gaya sinisme yang cerdas, melawan semua kemapanan yang ada. Manajemen Warung Kopi Prambors kelihatan serius dan meniru manajemen group lawak di luar negeri. Yaitu mencari penulis, periset, dan pemulung bahan lawakan. Salah satu staff mereka adalah Tubagus Dedi Gumelar alias Miing Bagito. Yang kemudian keluar dan mendirikan group lawakan baru yaitu BAGITO, dengan tambahan dua personil yaitu Didin dan Hadi Prabowo alias Unang . Nama group Bagito konon berupa singkatan Bagi Roto.
Sejak itu kampus menjadi “traning camp” dan tempat merekut pelawak yang potensial. Maka sindiran, sentilan, sinisme, sarkasme, menjadi bahan baku tertawaan kita sehari-hari saat ini. Dan kemampuan meledek seolah menjadi alat ukur kecerdasan. Sehingga pintar meledek semakin cerdas kita nampaknya. Meledek dengan sinisme ini juga muncul dalam bentuk lain, misalnya dalam lagu berbagai composer dan juga film-film kita saat ini. Agar lebih intelek, maka istilah yang digunakan adalah satire.
Ketakutan saya pada bangsa ini, adalah kita akan mati rasa bersama-sama. Konon ketika Orde Baru berakhir, Indonesia mengalami reformasi dan demokrasi dalam berbagai bentuk. Bukan saja yang positif, tetapi juga yang negatif sekaligus. Seorang politikus mengatakan pada saya, bahwa di jaman orde baru, yang bisa korupsi hanya golongan tertentu. Yaitu golongan yang punya koneksi dengan pusat kekuasaan. Setelah reformasi situasi itu berubah. Istilah teman politikus saya adalah “….. gantian dong. Sekarang giliran gue korupsi”. Maka jumlah korupsi saat ini secara kuantitas dan kualitas sangat masif dan merajalela. Mungkin jumlahnya berkali-kali lipat di banding jaman Orde Baru. Tiap hari media menulis soal korupsi secara gambling. Namun karena kita sudah mati rasa. Membacanya kita cuma senyum. Kita tidak lagi berang. Karena secara keseluruhan kita sudah kena penyakit 3 B (Buta-Budeg-Bisu).
Reaksi kita menjadi terbatas dengan membalas lewat sindiran, sinisme atau sarkasme. Ini yang membuat kita sebagai bangsa semakin mahir meledek. Di saat yang sama meledek menjadi kepuasan yang tercukupi. Seorang anthropolog menyebutnya sebagai “orgasme lewat masturbasi”. Lama lama kita kehilangan kepedulian kita. Mpu Peniti, mentor saya, mengatakan, dalam kasus teman saya yang wafat gara-gara kecelakaan itu, saya dan teman-teman mengalami cacat batin. Yaitu kita kehilangan sebagian kemampuan manusiawi kita untuk berduka. Ketidak mampuan untuk merasa kehilangan. Kegagalan untuk bersedih hati. Kegagalan secara cerdas untuk mengenang seorang teman. Cacat batin ini menjadi keterbatasan baru, yang dilampiaskan lewat sinisme atau sarkasme. Terus terang saya harus setuju dengan Mpu Peniti soal yang satu ini. Saya ingat ketika kecil dulu, saya paling tidak mau diajak ayah melayat keluarga yang meninggal. Karena situasinya sangat mencekam. Tak jarang penuh kesedihan. Sekarang kalau saya pergi melayat, suasana mencekam dan penuh kesedihan itu sudah jauh berkurang. Situasinya jauh lebih santai. Kesedihan seperti musuh yang harus kita jauhi. Karena jaman sekarang yang sudah penuh sesak dengan stress, kenapa juga harus ditambah dan dilengkapi dengan kesedihan. Ibu saya mengatakan dahulu banyak sekali film dari Hong Kong dan Taiwan yang sangat sedih. Selalu membuatnya menangis tersedu-sedu didalam bioskop. Sekarang sudah tidak ada lagi. Semua film komedi atau aksi. Ibu saya merindukan kesedihan itu. Saya juga merindukan kesedihan itu. Yang percaya atau tidak terasa sangat nikmat dan melegakan. Diam-diam akhirnya saya mengenang teman saya dengan kesedihan yang sangat dalam. Saya menangis untuknya. Dan saya berdoa semoga arwahnya diterima disisi Tuhan Yang Maha Esa.
Monday, August 15, 2011
PAMERAN SAJADAH DAN KERUDUNG
Mulai tanggal 12 Agustus hingga Lebaran, Roemah Pelantjong di Djogdjakarta menggelar sebuah acara esklusif berupa pameran “Sajadah dan Kerudung”. Pameran unik ini digagas Roemah Pelantjong sebagai salah satu event untuk merayakan Ramadhan 2011. Event seperti ini direncanakan akan dilakukan secara teratur di bulan-bulan berikutnya dengan berbagai tema kreatif dan unik.
Kurator senior Roemah Pelantjong, KAFI KURNIA mengatakan bahwa Roemah Pelantjong akan terus menerus menggali berbagai kekayaan budaya dan etnik Indonesia dan mengangkatnya menjadi sebuah event seni, semata-mata sebagai gerakan motivasi untuk membangkitkan gairah para pengrajin untuk terus menerus berinovasi.
KAFI KURNIA, berharap misi dan visi Roemah Pelantjong – Djogdjakarta sebagai sebuah kawah candradimuka untuk menggagas inovasi dan kreativitas karya-karya kontemporer akan terus berkelanjutan dan bisa sekaligus memosisikan Djogdjakarta sebagai tujuan utama pariwisata di ASIA.
Pameran “Sajadah dan Kerudung” sangat kritis dan strategis, karena walaupun jumlah produk yang dipamerkan sangat terbatas, namun pameran ini mampu menampilkan sebuah keberanian baru untuk berkreasi, terutama karena karya-karya yang ditampilkan mewakili desainer muda dengan interpretasi segar.
Sebagai contoh, Sajadah yang akrab dengan ritual berdoa dan shalat yang biasanya ditampilkan dalam tenunan permaidani secara klasik, kini tampil berbeda dengan kain berkonsep perca yang unik. Sejarah teknik menjahit dengan perca, telah dikenal sejak ribuan tahun yang lalu. Awalnya barangkali adalah untuk menyelamatkan potongan-potongan sisa kain tua, lalu menjahitnya menjadi satu, dan menjadi kain yang lebih berguna seperti selimut.
Itu sebabnya teknik ini banyak berkembang diberbagai jaman revolusi dan kolonial, ketika rakyat mengalami masa-masa sulit. Kain-kain yang disambung menjadi satu ini, awalnya tidak memerhatikan motif dan bentuk, tampil seadanya. Lalu berkembang menjadi keragaman motif yang memukau. Dan dikenal dalam berbagai budaya etnik, mulai dari Mesir, Rusia hingga Amerika.
Sajadah yang ditampilkan di Roemah Pelantjong, kali ini adalah juga karya seorang pengrajin Ibu rumah tangga dari Jakarta, yang awalnya bereksperimen dengan sisa kain. Lalu dikembangkan dengan menggunakan kain dan bahan berkualitas tinggi, menampilkan motif mozaik dengan warna dan desain kontemporer. Dibuat dengan bantuan perangkat lunak modern dan tingkat ketepatan (presisi) yang sangat tinggi, masing-masing sajadah yang dibuat mempunyai kekhasan tersendiri, tidak ada yang sama persis.
Produk kedua yang dipamerkan adalah kerudung. Sebuah asesori yang dipakai kaum perempuan dalam berbagai agama termasuk Islam. Kerudung menampilkan perempuan dalam sosok yang khusuk dan anggun. Dalam berbagai budaya, kerudung seringkali dipakai dalam saat-saat penting seperti ketika berduka cita, atau peristiwa keagamaan yang sangat besar, termasuk Lebaran. Kali ini Roemah Pelantjong menampilkan dua sumbu desain yang sangat berbeda dan esklusif.
Yang pertama, Roemah Pelantjong bekerja sama dengan seorang desainer muda asal Djogdjakarta menampilkan desain batik kontemporer, yang membuat interpertasi, baik gaya, warna dan motif yang baru. Desain kedua sangat tumpul dan lebih mono-krome, yaitu berupa aneka kerudung terbuat dari sutera liar. Tampil dalam warna yang sangat sederhana, apa adanya namun berkonsep ramah lingkungan yang berbeda. Esklusivitas dalam kesederhanaan alam. Keduanya menampilkan sebuah harmonisasi dan integritas yang baru dan segar.
Sebagai bonus, kurator senior Roemah Pelantjong, KAFI KURNIA, juga menampilkan berbagai sarung dengan warna-warna yang berlawanan dengan desain klasik terdahulu. Motif sarung secara klasik yang sangat maskulin, berupa garis yang berpotongan membentuk kotak, sangat tradisional, dikenal bukan saja di Indonesia, tetapi juga dibeberapa negara. Motif desain yang dikenal sebagai ‘tartan’ ini, misalnya dikenal secara filosofis dan mengakar di Scotlandia dan Amerika. Uniknya bagaimana motif tartan bisa masuk dalam motif sarung di Indonesia, masih menjadi misteri tersendiri. Beberapa rumah mode di luar negeri musim panas 2011, kembali mengangkat motif ‘tartan’ dalam berbagai desain.
Sarung yang ditampilkan Roemah Pelantjong, walaupun masih mengakar pada desain ‘tartan’ yang klasik namun dengan tampilan warna yang sangat bergairah dan ‘festive’. Tampilan warna yang sangat berani ini dimaksud sebagai arahan modis yang baru.
ROEMAH PELANTJONG dengan pameran mini ‘Sajadah dan Kerudung’ berusaha menampilkan sebuah kesegaran yang baru, dengan gaya bergagas inovatif. Menjadikan Lebaran menjadi lebih marak namun sekaligus punya arti yang lebih dalam.
Thursday, August 04, 2011
SAYEMBARA BAMBOO SAURUSS
... SAYEMBARA BAMBOO SAURUSS - A journey of re newable faith .... caranya mudah : Kunjungi BAMBOO SAURUSS di PACIFIC PLACE - Jakarta - hingga tanggal 11 SEPTEMBER 2011 .... sebuah patung bambu setinggi 3 meter dalam bentuk T-Rex bermotif batik parang .... Anda cukup berfoto didepannya dengan gaya yang unik dan nyeleneh ..... kirim foto anda ke ajaib@cbn.net.id ..... foto yang terpilih akan mendapatkan hadiah berupa merchandise khas ROEMAH PELANTJONG
Wednesday, August 03, 2011
Sunday, July 31, 2011
IKAN MOLA MOLA
... salah satu keajaiban alam .... ikan Mola-Mola ini konon berasal dari perairan di Australia dan tinggal di laut yang sangat dalam .... satu-satunya cara melihat ikan ini adalah menyelam di Nusa Penida Bali pada bulan Agustus - September dimana ikan Mola Mola berimigrasi mencari air yang lebih hangat saat musim dingin di Australia
Thursday, July 28, 2011
MAKANYA JANGAN MUDAH MENYERAH !
Maka, di suatu pagi, di sebuah rumah, di sebuah ruang tamu, seorang lelaki muda menghadapi seorang lelaki setengah baya, untuk 'merebut' sang perempuan muda, dari sisinya.
"Oh, jadi engkau yang akan melamar itu?" tanya sang setengah baya.
"Iya, Pak," jawab sang muda.
"Engkau telah mengenalnya dalam-dalam?" tanya sang setengah baya sambil menunjuk si perempuan.
"Ya Pak, sangat mengenalnya," jawab sang muda, mencoba meyakinkan.
"Lamaranmu kutolak. Berarti engkau telah memacarinya sebelumnya? Tidak bisa. Aku tidak bisa mengijinkan pernikahan yang diawali dengan model seperti itu!" balas sang setengah baya.
Si pemuda tergagap, "Enggak kok pak, sebenarnya saya hanya kenal sekedarnya saja, ketemu saja baru sebulan lalu."
"Lamaranmu kutolak. Itu serasa 'membeli kucing dalam karung' kan, aku takmau kau akan gampang menceraikannya karena kau tak mengenalnya. Jangan-dkau nggak tahu aku ini siapa?" balas sang setengah baya, keras.
Ini situasi yang sulit. Sang perempuan muda mencoba membantu sang lelaki muda. Bisiknya, "Ayah, dia dulu aktivis lho."
"Kamu dulu aktivis ya?" tanya sang setengah baya.
"Ya Pak, saya dulu sering memimpin aksi demonstrasi anti Orba di Kampus," jawab sang muda, percaya diri.
"Lamaranmu kutolak. Nanti kalau kamu lagi kecewa dan marah sama istrimu, kamu bakal mengerahkan rombongan teman-temanmu untuk mendemo rumahku ini kan?"
"Anu Pak, nggak kok. Wong dulu demonya juga cuma kecil-kecilan. Banyak yang nggak datang kalau saya suruh berangkat."
"Lamaranmu kutolak. Lha wong kamu ngatur temanmu saja nggak bisa, kok mau ngatur keluargamu?"
Sang perempuan membisik lagi, membantu, "Ayah, dia pinter lho."
"Kamu lulusan mana?"
"Saya lulusan Teknik Elektro UGM Pak. UGM itu salah satu kampus terbaik di Indonesia lho Pak."
"Lamaranmu kutolak. Kamu sedang menghina saya yang cuma lulusan STM ini tho? Menganggap saya bodoh kan?"
"Enggak kok Pak. Wong saya juga nggak pinter-pinter amat Pak. Lulusnya saja tujuh tahun, IPnya juga cuma dua koma Pak."
"Lha lamaranmu ya kutolak. Kamu saja bego gitu gimana bisa mendidik anak-anakmu kelak?"
Bisikan itu datang lagi, "Ayah dia sudah bekerja lho."
"Jadi kamu sudah bekerja?"
"Iya Pak. Saya bekerja sebagai marketing. Keliling Jawa dan Sumatera jualan produk saya Pak."
"Lamaranmu kutolak. Kalau kamu keliling dan jalan-jalan begitu, kamu nggak bakal sempat memperhatikan keluargamu."
"Anu kok Pak. Kelilingnya jarang-jarang. Wong produknya saja nggak terlalu laku."
"Lamaranmu tetap kutolak. Lha kamu mau kasih makan apa keluargamu, kalau kerja saja nggak becus begitu?"
Bisikan kembali, "Ayah, yang penting kan ia bisa membayar maharnya."
"Rencananya maharmu apa?"
"Seperangkat alat shalat Pak."
"Lamaranmu kutolak. Kami sudah punya banyak. Maaf."
"Tapi saya siapkan juga emas satu kilogram dan uang limapuluh juta Pak."
"Lamaranmu kutolak. Kau pikir aku itu matre, dan menukar anakku dengan uang dan emas begitu? Maaf anak muda, itu bukan caraku."
Bisikan, "Dia jago IT lho Pak"
"Kamu bisa apa itu, internet?"
"Oh iya Pak. Saya rutin pakai internet, hampir setiap hari lho Pak saya nge-net."
"Lamaranmu kutolak. Nanti kamu cuma nge-net thok. Menghabiskan anggaran untuk internet dan nggak ngurus anak istrimu di dunia nyata."
"Tapi saya ngenet cuma ngecek imel saja kok Pak."
"Lamaranmu kutolak. Jadi kamu nggak ngerti Facebook, Blog, Twitter, Youtube? Aku nggak mau punya mantu gaptek gitu."
Bisikan, "Tapi Ayah..."
"Kamu kesini tadi naik apa?"
"Mobil Pak."
"Lamaranmu kutolak. Kamu mau pamer tho kalau kamu kaya. Itu namanya Riya'. Nanti hidupmu juga bakal boros. Harga BBM kan makin naik."
"Anu saya cuma mbonceng mobilnya teman kok Pak. Saya nggak bisa nyetir"
"Lamaranmu kutolak. Lha nanti kamu minta diboncengin istrimu juga? Ini namanya payah. Memangnya anakku supir?"
Bisikan, "Ayahh.."
"Kamu merasa ganteng ya?"
"Nggak Pak. Biasa saja kok"
"Lamaranmu kutolak. Mbok kamu ngaca dulu sebelum melamar anakku yang cantik ini."
"Tapi pak, di kampung, sebenarnya banyak pula yang naksir kok Pak."
"Lamaranmu kutolak. Kamu berpotensi playboy. Nanti kamu bakal selingkuh!"
Sang perempuan kini berkaca-kaca, "Ayah, tak bisakah engkau tanyakan soal agamanya, selain tentang harta dan fisiknya?"
Sang setengah baya menatap wajah sang anak, dan berganti menatap sang muda yang sudah menyerah pasrah.
"Nak, apa adakah yang engkau hapal dari Al Qur'an dan Hadits?"
Si pemuda telah putus asa, tak lagi merasa punya sesuatu yang berharga.
Pun pada pokok soal ini ia menyerah, jawabnya, "Pak, dari tiga puluh juz saya cuma hapal juz ke tiga puluh, itupun yang pendek-pendek saja. Hadits-pun cuma dari Arba'in yang terpendek pula."
Sang setengah baya tersenyum, "Lamaranmu kuterima anak muda. Itu cukup. Kau lebih hebat dariku. Agar kau tahu saja, membacanya saja pun, aku masih tertatih."
Mata sang muda ikut berkaca-kaca.
Wednesday, July 27, 2011
Best Global Green Brands launched!
Green is Now:
More than another fashionable movement
By Paula Oliveira - Associate Director, Interbrand London
It is debatable among environmental specialists if the responsibility to act on climate change belongs to governments, general public, NGOs, or companies, but the fact is that more and more corporations have been taking responsibility into their own hands by optimizing their operations and supply chains, investing in more sustainable products and services, openly expressing their commitment and long-term targets, and smartly engaging their stakeholders in the debate.
This is very different from the green movement of the 1960s, when companies promoted their green credentials but didn’t really understand or do enough to fundamentally change their business and limit their negative influence in the environment. According to CorpWatch, a not-for-profit organization that promotes companies’ accountability and transparency in various issues, in 1969 alone, public utilities spent more than US $300 million on advertising, which was more than eight times their investment in anti-pollution research.
This first wave of “corporate green” peaked in late 1980s. At that time, people became more aware of menaces to the environment due to the increasing number of natural disasters such as floods, earthquakes, and famine. Suddenly, green products were cool; so were mitigation actions such as recycling. Companies saw the opportunity to engage with consumers and increasingly promoted their brands’ green credentials. But as John Grant states in his 2007 book, The Green Marketing Manifesto, the substance was lacking: for consumers, the movement was just a “brandwagon” they didn’t want to miss, but they were not ready to change behavior. Consumers were unsure if environmental catastrophic predictions were realistic, so their interest in the “green trend” faded quickly; as for companies, they failed to produce green products with true environmental benefits, high quality standards, and affordable prices. Examples include green cleaning products that didn’t clean, and recycled papers with poor resistance. All this made companies wary of communicating green credentials even when they were true, so they could avoid the risk of being accused of greenwashing, a popular term to nominate companies that speak loud about green credentials but don’t do enough.
But there were some good side effects of this first wave. New green charities were founded and existing ones such as Greenpeace and WWF became more renowned worldwide. Governments increased legislation regarding waste and gas emissions. Pollution was reaching unbearable levels in major cities and manufacturing businesses and car fleets were targeted as partially responsible. As a result, companies improved their operations in order to improve efficiency, generate less by-products and cleaner waste, reducing air and water pollution.
Nowadays, we don’t know if the weather is getting warmer or colder, we just know it’s changing. It is hard to know which animal species are more severely under threat – we just know many are. We don’t like to see rubbish thrown on the streets, we don’t like to see rivers or beaches dirty or polluted and we recycle our rubbish and we expect business and brands to do their part as well. This is not because legislation obliges us to follow rules, but because it is simply the right thing to do for our planet. Companies are listening and there are some notorious cases that illustrate the three ways companies are demonstrating their commitment to the environment: sustainable supply-chains, sustainable innovation, and sustainable engagement.
And this is not a wave. It is a new way of doing business that came to stay. It is about acting responsibly, not by focusing on short-term sales or other financial gains, but on the long-term sustainability of the business and of the planet.
Sustainable operations: L'Oréal
Sustainable IngredientsSustainable operations include all aspects related to the manufacturing process itself, supply chain, choice of partners, transportation, and logistics.
Even though this is not known to many people outside sustainability specialists or enthusiasts, L'Oréal is a company very committed to sustainable development, including the choice of natural ingredients, long-term relationships with its suppliers, water conservation, reduction of CO2 emissions in the whole process and development of sustainable buildings among others.
According to L'Oréal website for sustainable development, more than a third of L’Oréal’s existing suppliers have worked with the brand for decades, growing together with the business. The choice of ingredients must comply with 10 criteria (see illustration), guaranteeing that the choice does not affect biodiversity and is compliant with all international, regional, and local regulations. L'Oréal also has an annual Environment, Health and Safety award (EHS), encouraging teams and employees around the world to improve performance towards corporate environmental goals. These and other initiatives make L'Oréal one of the top performing companies in terms of sustainable development.
Sustainable innovation: Toyota
Sustainable innovation is where companies’ initiatives directly touch customers and consumers lives. Through innovative products and services, companies not only reduce their own carbon footprint, but also help their customers and consumers to improve theirs.
The Responsible Business, a 2011 book by Carol Sanford, that discusses a new paradigm shift in corporate responsibility, emphasizes the use of science and technology to solve issues around environment and other problems impacting humanity. Of course environmental issues should be balanced with primary customer needs, but in some cases customers do not know what they need or what is possible, hence the role of corporations to offer products and services that are relevant, differentiated, green, and ethical.
Examples abound in different industries, with Toyota Prius being one of the most recognizable symbols of a product that addresses those criteria. First launched in Japan in 1997, its hybrid technology not only protects the environment, but also helps consumers to save costs by using a well-designed and stylish car.
Sustainable engagement: Johnson & Johnson
As important as having a true commitment to the environment and acting responsibly is communicating environmental efforts with transparency and clarity. This is not only because of governance, but also to set an example and engage a wider community of business, employees, partners, consumers, and the wider community around changing the world.
Johnson & Johnson is a good case. Since 1987 the company has implemented environmental goals aimed at reducing emissions and their impact on the environment, including carbon reduction, water use, paper and packaging, waste reduction, compliance, and external manufacturing, among others.
Johnson & Johnson recently launched a website called “Johnson and Johnson Responsibility” helping the company to demonstrate its commitment and transparency towards its “Healthy Future 2015 Goals” and to illustrate Johnson & Johnson’s commitment to the environment through real cases, such as BAND-AID’s. 90 percent of world’s BAND-AID brand adhesive bandage boxes are produced in Brazil, where in 2006 over 2/3 of paper-based packaging were made of recycled paper or fiber from certified forests and numbers have been improving over the years. But the company is also transparent in recognizing there is a way to go, clearly stating its ambitious goals and fostering the power of external collaboration in a sustainable way.
More than another fashionable movement
By Paula Oliveira - Associate Director, Interbrand London
It is debatable among environmental specialists if the responsibility to act on climate change belongs to governments, general public, NGOs, or companies, but the fact is that more and more corporations have been taking responsibility into their own hands by optimizing their operations and supply chains, investing in more sustainable products and services, openly expressing their commitment and long-term targets, and smartly engaging their stakeholders in the debate.
This is very different from the green movement of the 1960s, when companies promoted their green credentials but didn’t really understand or do enough to fundamentally change their business and limit their negative influence in the environment. According to CorpWatch, a not-for-profit organization that promotes companies’ accountability and transparency in various issues, in 1969 alone, public utilities spent more than US $300 million on advertising, which was more than eight times their investment in anti-pollution research.
This first wave of “corporate green” peaked in late 1980s. At that time, people became more aware of menaces to the environment due to the increasing number of natural disasters such as floods, earthquakes, and famine. Suddenly, green products were cool; so were mitigation actions such as recycling. Companies saw the opportunity to engage with consumers and increasingly promoted their brands’ green credentials. But as John Grant states in his 2007 book, The Green Marketing Manifesto, the substance was lacking: for consumers, the movement was just a “brandwagon” they didn’t want to miss, but they were not ready to change behavior. Consumers were unsure if environmental catastrophic predictions were realistic, so their interest in the “green trend” faded quickly; as for companies, they failed to produce green products with true environmental benefits, high quality standards, and affordable prices. Examples include green cleaning products that didn’t clean, and recycled papers with poor resistance. All this made companies wary of communicating green credentials even when they were true, so they could avoid the risk of being accused of greenwashing, a popular term to nominate companies that speak loud about green credentials but don’t do enough.
But there were some good side effects of this first wave. New green charities were founded and existing ones such as Greenpeace and WWF became more renowned worldwide. Governments increased legislation regarding waste and gas emissions. Pollution was reaching unbearable levels in major cities and manufacturing businesses and car fleets were targeted as partially responsible. As a result, companies improved their operations in order to improve efficiency, generate less by-products and cleaner waste, reducing air and water pollution.
Nowadays, we don’t know if the weather is getting warmer or colder, we just know it’s changing. It is hard to know which animal species are more severely under threat – we just know many are. We don’t like to see rubbish thrown on the streets, we don’t like to see rivers or beaches dirty or polluted and we recycle our rubbish and we expect business and brands to do their part as well. This is not because legislation obliges us to follow rules, but because it is simply the right thing to do for our planet. Companies are listening and there are some notorious cases that illustrate the three ways companies are demonstrating their commitment to the environment: sustainable supply-chains, sustainable innovation, and sustainable engagement.
And this is not a wave. It is a new way of doing business that came to stay. It is about acting responsibly, not by focusing on short-term sales or other financial gains, but on the long-term sustainability of the business and of the planet.
Sustainable operations: L'Oréal
Sustainable IngredientsSustainable operations include all aspects related to the manufacturing process itself, supply chain, choice of partners, transportation, and logistics.
Even though this is not known to many people outside sustainability specialists or enthusiasts, L'Oréal is a company very committed to sustainable development, including the choice of natural ingredients, long-term relationships with its suppliers, water conservation, reduction of CO2 emissions in the whole process and development of sustainable buildings among others.
According to L'Oréal website for sustainable development, more than a third of L’Oréal’s existing suppliers have worked with the brand for decades, growing together with the business. The choice of ingredients must comply with 10 criteria (see illustration), guaranteeing that the choice does not affect biodiversity and is compliant with all international, regional, and local regulations. L'Oréal also has an annual Environment, Health and Safety award (EHS), encouraging teams and employees around the world to improve performance towards corporate environmental goals. These and other initiatives make L'Oréal one of the top performing companies in terms of sustainable development.
Sustainable innovation: Toyota
Sustainable innovation is where companies’ initiatives directly touch customers and consumers lives. Through innovative products and services, companies not only reduce their own carbon footprint, but also help their customers and consumers to improve theirs.
The Responsible Business, a 2011 book by Carol Sanford, that discusses a new paradigm shift in corporate responsibility, emphasizes the use of science and technology to solve issues around environment and other problems impacting humanity. Of course environmental issues should be balanced with primary customer needs, but in some cases customers do not know what they need or what is possible, hence the role of corporations to offer products and services that are relevant, differentiated, green, and ethical.
Examples abound in different industries, with Toyota Prius being one of the most recognizable symbols of a product that addresses those criteria. First launched in Japan in 1997, its hybrid technology not only protects the environment, but also helps consumers to save costs by using a well-designed and stylish car.
Sustainable engagement: Johnson & Johnson
As important as having a true commitment to the environment and acting responsibly is communicating environmental efforts with transparency and clarity. This is not only because of governance, but also to set an example and engage a wider community of business, employees, partners, consumers, and the wider community around changing the world.
Johnson & Johnson is a good case. Since 1987 the company has implemented environmental goals aimed at reducing emissions and their impact on the environment, including carbon reduction, water use, paper and packaging, waste reduction, compliance, and external manufacturing, among others.
Johnson & Johnson recently launched a website called “Johnson and Johnson Responsibility” helping the company to demonstrate its commitment and transparency towards its “Healthy Future 2015 Goals” and to illustrate Johnson & Johnson’s commitment to the environment through real cases, such as BAND-AID’s. 90 percent of world’s BAND-AID brand adhesive bandage boxes are produced in Brazil, where in 2006 over 2/3 of paper-based packaging were made of recycled paper or fiber from certified forests and numbers have been improving over the years. But the company is also transparent in recognizing there is a way to go, clearly stating its ambitious goals and fostering the power of external collaboration in a sustainable way.
Tuesday, July 26, 2011
BAMBOO SAURUSS – A Journey of Renewable Faith
BAMBOO SAURUSS – A Journey of Renewable Faith
Ritual berpuasa selama 30 hari penuh, barangkali tidaklah semestinya dianggap hanya sebagai kewajiban beragama. Barangkali maknanya jauh lebih dalam dan sangat dalam. Komikus terkenal Djogdjakarta Ismail Sukribo bersama dengan 7 orang perupa akan menempuh ritual puasa ini dengan sebuah perjalanan spiritual yang sangat unik. Sebuah patung T- Rex yang telah punah, kembali dihidupkan dan dibuat dari anyaman bamboo setinggi 3 meter. Patung T-Rex dari anyaman bamboo ini lalu diberi motif batik parang, dan rencananya akan di pamerkan di Pacific Place selama bulan Puasa. Patung ini diberi nama Bamboo Sauruss.
Kafi Kurnia, kurator dari Lentur Gallery di Roemah Pelantjong – Djogdjakarta menjelaskan bahwa Bamboo Sauruss merupakan sebuah simbolisasi perjalalanan spiritual untuk sebuah preservasi iman dan pencarian jati diri kembali (reinventing oneself). Itu sebabnya Bamboo Sauruss diberi tambahan embel-embel thema “A Renewable Faith”.
Bamboo Sauruss menurut KAFI KURNIA sarat makna dan perlambang. T-Rex sang dinosaurus yang telah jutaan tahun punah adalah simbolisasi titik awal. Simbolisasi ini misalnya dalam sebuah pertunjukan wayang kulit selalu dihadirkan dalam bentuk gunungan. Bamboo Sauruss setinggi 3 meter ini juga merupakan simbolisasi gunungan secara kontemporer.
Simbolisasi gunungan bukanlah sebuah sikap sombong dan arogan. Melainkan sebuah titik awal untuk merenung, meditasi dan introspeksi. Orang-orang zaman dahulu sudah menggunakan bentuk gunung ini untuk barang sehari-hari seperti caping, topi bambu berbentuk kerucut, sehingga air hujan tidak mengganggu kepala, akan tetapi mata tetap dapat memandang dengan leluasa. Selanjutnya, atap rumah joglo, yang menunjukkan bahwa pusat bangunan dengan lantai tertinggi terlelak di pusat, dibawah puncak atap dan merupakan tempat berdoa yang paling efektif. Nasi tumpeng juga berbentuk kerucut, dan puncaknya dipersembahkan kepada pimpinan tertinggi dalam acara ritual. Payung kraton bertingkat tiga juga menggambarkan tingkatan dari kamadhatu, rupadhatu dan arupadhatu.
Istilah kamadhatu, rupadhatu dan arupadhatu adalah tingkatan dari gunung. Bagian kaki melambangkan Kamadhatu, yaitu dunia yang masih dikuasai oleh kama atau nafsu,keinginan yang rendah, yaitu dunia manusia biasa. Bagian tengah melambangkan Rupadhatu, yaitu dunia yang sudah dapat membebaskan diri dari ikatan nafsu, tetapi masih terikat oleh rupa dan bentuk, yaitu dunianya orang suci dan merupakan “alam antara” yang memisahkan “alam bawah” (kamadhatu) dengan “alam atas” (arupadhatu). Bagian atas, Arupadhatu, yaitu “alam atas” atau nirwana, dimana kebebasan mutlak telah tercapai, bebas dari keinginan dan bebas dari ikatan bentuk dan rupa.
Jadi bentuk T-Rex adalah gunungan secara kontemporer yang mengawali sebuah titik permulaan. Simbol kedua adalah bambu yang dianyam menjadi patung T-rex. Bambu itu liat dan lentur. Meskipun berakar serabut, pohon bambu tahan terhadap terpaan angin kencang, dengan kelenturannya dia mampu bergoyang bak seorang penari balet, fleksibilitas itu lah bambu. gerak yang mengikuti arus angin ,tetapi tetap kokoh berdiri di tempatnya mengajarkan kita sikap hidup yang berpijak pada keteguhan hati dalam menjalani hidup walau penuh cobaan dan tantangan, namun tidak kaku.
Bambu juga dapat di simbolkan sebagai sebuah siklus hidup manusia, contohnya setelah tunas tumbuh lalu keluar lah rebung, dan lalu besar bertunas dan menjulang tinggi. ini mengajarkan bagaimana kita perlu proses untuk menjadi lebih baik, dengan kesabaran, ketekunan, kegigihan dalam berusaha. Itu lah yang akan menjadi pintu kesuksesan seseorang. Walaupun mungkin standar kesuksesan berbeda setiap orang, tapi itu bisa mengajarkan kita bagaimana cara berproses, hidup bukan sesuatu yang instan tapi dia berproses, tinggal bagaimana kita bisa menjadikan proses ini menjadi lebih berguna bagi kita semua.
Manfaat bambu yang sangat luar biasa, menjadikan juga bambu sebagai sebuah bahan baku ramah lingkungan dan yang selalu terbarukan. Siklus dan proses yang disimbolkan oleh bambu menjadi inti perjalanan spiritual kita bersama saat berpuasa. Menemukan diri kita yang sesungguhnya dan melahirkannya kembali dalam sebuah kesucian yang baru. Yang lebih baik. Yang lebih manusiawi.
Simbol terakhir adalah motif batik parang. Motif batik parang memiliki filosofi yang sangat dalam terkandung di dalamnya dan tidak sesederhana motifnya. Parang berasal dari kata pereng, yang berarti lereng. Perengan menggambarkan sebuah garis menurun dari tinggi ke rendah secara diagonal. Susunan motif leter S jalin-menjalin tidak terputus melambangkan kesinambungan. Bentuk dasar leter S diambil dari ombak samudra yang menggambarkan semangat tidak pernah padam. Batik parang memiliki nilai filosofis yang sangat tinggi berupa petuah agar tidak pernah menyerah sebagaimana ombak laut yang tak pernah berhenti bergerak. Batik parang pun menggambarkan jalinan yang tidak pernah putus, baik itu dalam arti upaya memperbaiki diri, upaya memperjuangkan kesejahteraan, maupun bentuk pertalian keluarga di mana batik parang di masa lalu merupakan hadiah dari bangsawan kepada anak-anaknya. Dalam konteks tersebut, motif parang mengandung petuah dari orang tua agar melanjutkan perjuangan yang telah dirintis. Garis lurus diagonal melambangkan rasa hormat dan keteladanan, serta kesetiaan pada nilai-nilai kebenaran
Introspeksi diri, menyadari proses dan siklus kedewasaan, serta perjuangan dengan semangat tidak pernah padam menjadikan BAMBOO SAURUSS, sungguh sebuah perjalanan spiritual yang unik di bulan puasa ini. Rencananya BAMBOO SAURUSS setelah dipamerkan akan dilelang dan hasilnya akan disumbangkan untuk misi-misi social.
KAFI KURNIA – ajaib@cbn.net.id
Monday, July 25, 2011
Sunday, July 24, 2011
SMS Malam Pertama
Alkisah ada 3 orang saudara, sebut saja mereka Vira, Voni, dan Veni yang
dinikahkan secara masal oleh orangtuanya. Setelah itu mereka pergi berbulan
madu bersamaan. Kalau Vira pergi ke Pulau Batam, Voni pergi Ke Kepulauan
Seribu dan Veni si bungsu pergi ke Bali .
Namanya orang Tua sayang sama anak, selama mereka berbulan madu kedua Orang
Tua mereka minta dikirim kabar tentang segala yang terjadi selama mereka
berbulan madu.
Tapi agar berita yang dikirim singkat dan tidak terlalu Vulgar, mereka
menggunakan Kode/Sandi tentang moto-moto Iklan. Supaya praktis dan murah,
berita dikirim lewat SMS.
3 hari setelah kepergian anak mereka berbulan madu, diterimalah sebuah
SMS... yang rupanya dari VIRA di Pulau Batam. Isi beritanya cukup sederhana,
"STANDARD CHARTERED". Setelah membaca berita tersebut mereka mencari Iklan
Standard Chartered di koran dan terbacalah tulisan besar berbunyi, "BESAR,
KUAT dan BERSAHABAT!" .
Tersenyumlah kedua orang tua mereka membaca berita dari Vira. Hari ke 4
datang SMS kedua, yang rupanya berasal dari Voni di Kepulauan Seribu. Isi
beritanya juga cukup singkat yaitu, "NESCAFE". Setelah membaca surat
tersebut, dengan tergesa-gesa kedua orang tua mereka mencari koran dan
membaca Iklan NESCAFE yang berbunyi, "NIKMATNYA SAMPAI TETES TERAKHIR".
Maka kedua orang tua mereka pun tersenyum bahagia sambil sedikit haha..
hihi.. Hari ke 5 ditunggu tidak ada berita/SMS yang datang. Hari ke 6 begitu
pula tidak ada sebuah SMS pun. Hari ke 7 begitu pula tidak ada kabar dari
anak bungsu mereka si Veni yang berbulan Madu....
Memasuki hari ke 8... akhirnya kedua orangtua mereka menerima SMS juga dari
Veni yang berbulan madu di Bali dan isi beritanya cukup singkat, " CATHAY
PACIFIC".
Segera kedua orang tua mereka mencari Iklan penerbangan Cathay Pasific yang
ada dikoran, dan dijumpailah iklan penerbangan dengan tulisan besar, "7 KALI Sehari Non Stop"
Wednesday, July 20, 2011
Tuesday, July 19, 2011
KETIKA DUNIA TIDAK LAGI MEMILIH BATAS
1990, saya mulai bekerja disebuah perusahaan Amerika. Saya ingat betul hal pertama yang diberikan perusahaan kepada saya adalah sebuah alamat email. Itupun menggunakan alamat dan perusahaan internet “compuserve”. Sebuah internet provider pemula dan sangat beken di tahun 80’an di Amerika. Sayangnya tak lama kemudian Compuserve dibeli AOL alias pesaing “America On Line”. Compuserve lalu memudar, dan tidak lagi mengudara semenjak Agustus 2009. Saya ingat betul, saat itu mengakses internet sangatlah sulit. Karena harus menggunakan dial-up modem. Dan jasa pelayanan internet provider di awal tahun 1990an di Indonesia belum banyak pilihan-nya. Sambungan internet seringkali putus ditengah jalan. Browsing di internet masih merupakan sebuah kemewahan hidup yang belum bisa kita nikmati.
Pada tahun yang sama, saya membaca buku karangan Kenichi Ohmae, yang berjudul The Borderless World. Usai membaca buku itu, terus terang darah saya mendesir kencang. Mirip burung yang lepas dari sangkarnya. Usai membaca buku itu saya berkhayal, seorang pengrajin jaket kulit di GARUT menerima order dari seorang biker di Rusia. Atau sekelompok pelukis di Djogdjakarta mengerjakan mural pesanan sebuah hotel di Afrika. Dunia kehilangan batas-batasnya, semua dihubungkan dengan internet dan kita memiliki sejumlah kemungkinan dan peluang.
Sejak itu, kemanapun saya pergi, orang dan relasi bisnis saya bertanya, apakah saya “wired” ? Artinya apakah saya memiliki alamat email dan terhubung dengan internet. Istilah “wired” sendiri menjadi sebuah istilah budaya baru, yang begitu keren dan beken saat itu. Sehingga jurnalis Louis Rossetto berpartner dengan teman jurnalis lain Jane Metcalfe, mendirikan sebuah majalah dengan nama yang sama Wired, pada tahun 1993. Sejak itulah lahir sebuah konsep Utopia yang baru. Sebuah Utopia didunia maya. Majalah Wired menjadi bacaan wajib semua geek, nerd, dan techie diseluruh dunia. Berbagai publikasi mengikuti jejak mereka, namun kebanyakan tidak bertahan lama.
Dunia tanpa batas, seperti prediksi Kenichi Ohmae, bukan tanpa sebab dan akibat. Melainkan membuka sebuah kotak Pandora. Dengan satur trilyun keajaiban. Demikian kata seroang techie kepada saya di Portland awal dasa warsa 90’an. Namun apakah semua pemimpin dunia mengalami pencerahan yang sama, dan berani berbuat yang ajaib pula, dan menggunakan internet untuk menciptakan sebuah utopia ekonomi yang baru. Kenyataan-nya tidak demekian. Konon Indonesia yang memiliki lebih dari 240 juta penduduk. Penetrasi Internet di Indonesia kurang dari 40 juta atau hanya sekitar 16 %. Ini data terakhir tahun 2010. Padahal dengan investasi internet yang pragmatis, pembangunan wilayah tertinggal dapat diakselerasi lebih dari 200% dalam 5 tahun. Dan mungkin juga kita tidak memerlukan seorang mentri untuk mengurus masalah ini.
Tahun 1995, datang buku kedua yang memberikan pencerahan kedua kepada saya. Yakni buku Bill Gates yang berjudul The Road Ahead. Konon Bill Gates dibayar di muka 2.5 juta dollar ketika buku ini ditulis. Biaya promosi buku ini sendiri, konon melebihi 1 juta dollar. Didalam buku ini Bill Gates membuat ramalan bahwa ketika populasi internet mencapai titik kritis yang massif, maka Utopia maya, tidak lagi menjadi angan-angan. Melainkan sebuah realita ekonomi yang luar biasa. Bill Gates bercerita tentang sebuah “dompet cerdas”, yang dapat melakukan hampir seluruh transaksi ekonomi. Dan ramalan itu hampir menjadi kenyataan.
Jaringan internet tidak lagi harus lewat sambungan kawat. Internet menjadi jalan toll informasi yang semakin cepat dan mengudara begitu saja seperti layaknya sebuah jaringan radio, tv dan telpon selular. Dimana-mana kita menemukan akses internet diberikan gratis. Malah Negara seperti Singapura, berambisi menjadikan seluruh negaranya menjadi satu jaringan internet bebas bead an bebas pulsa. Akibatnya orang dimungkinkan untuk selalu berhubungan dengan internet selama 24 jam.
Hal ini mengubah paradigma Utopia Maya yang berkembang di awal tahun 90’an.Tahun 1990’an orang bertanya kepada saya “Are You Wired ?” atau apakah saya memiliki alamat email. Tahun 2000’an pertanyaan itu sudah mengalami metamorfosa, dan berubah menjadi “Are You OnLine ?” atau apakah saya memiliki alamat web-site. Sepuluh tahun kemudian. Saya memiliki lebih dari selusin alamat email. 3 blog dan lebih dari 3 nomer telpon selular. Kita tidak lagi “on-line” kata teman techie saya di Portland, melainkan kita melebur dengan internet. Teman techie saya menyebutnya. “Are you sync ?” Itu pertanyaan terbaru di 2011.
Apple telah menciptakan iCloud, sebuah platform sync untuk menyatukan semua file kita dari semua peralatan elektronik kita seperti iPhone, iMac, iPod dan iPad. Inilah era convergence yang baru. Seperti ramalan Bill Gates. Bahwa kita akan memiliki satu alat, mungkin sekecil telpon selular kita, dan kita menggunakannya untuk belanja, komunikasi, game, music, foto dan komputasi sekaligus. Sekarang hampir semua telpon cerdas seperti Blackberry, iPhone dan lainnya, sudah mampu melakukan itu semua, kecuali satu, sebagai dompet. Untuk membayar. Sebagian aplikasi dan jalan menuju aplikasi itu memang sudah dirancang, dan saya yakin ketika semua pemerintahan didunia menerima pulsa telpon sebagai alat pembayaran, maka Bank dan perusahaan Telekomunikasi akan merger menjadi satu.
Kini dengan semua platform telpon cerdas menggunakan aplikasi, sambungan dan akses kita lewat internet tidak lagi melulu harus masuk satu pintu, seperti dulu, yaitu lewat web. Dan dengan aplikasi yang semakin mudah, semakin menarik, dan lebih praktis, maka komputisasi lewat telpon selular juga sudah sangat berubah. Yang menarik adalah bahwa Indonesia kemungkinan akan loncat masuk kepenetrasi internet dalam tahap berikutnya. Dengan rendahnya penetrasi internet Indonesia sekitar 16-18 %, kebanyakan generasi techie Indonesia tidak mengalami akses internet lewat dial-up modem, dan juga broadband dengan kabel. Saya meramalkan penetrasi internet kita akan melompat langsung menjadi berlipat ganda 100% atau 200% menjadi diatas 40% semuanya lewat telpon selular cerdas. Dan ini bisa saja terjadi dalam 5 tahun mendatang.
Yang menarik platform e-business di Indonesia, kebanyakan dan kemungkinan tidak akan lagi web based. Tetapi apps based. Dan ini adalah pusaran kreatif yang baru untuk memikirkan perkembangan apps based yang komersil. Konon telpon cerdas selular di Indonesia, telah memiliki populasi lebih dari 3 juta account. Ini merupakan sebuah pasar yang perlu kita simak dengan teliti. Karena ketika dunia memilih tanpa batas, maka kemakmuran dan rejeki juga memilih batas batas yang sama. Alias bisa mengalir kemana saja dan kepada siapa saja.
Sunday, July 17, 2011
BROWNIES KISMIS
Saturday, July 16, 2011
Thursday, July 07, 2011
Wednesday, July 06, 2011
ROEMAH PELANTJONG DI JOGJA TV
Yogyakarta, www.jogjatv.tv - Dengan misi meningkatkan kunjungan wisata Yogyakarta, Rumah Pelancong, sebuah restoran dalam balutan konsep galery resmi dibuka untuk memamerkan berbagai macam minatur khas Yogyakarta. Lewat ide ini, sang pendiri Rumah Pelancong ingin mengkampanyekan Yogyakarta sebagai tujuan wisata di Asia.
“Alon-alon Maton Kelakon”, slogan ini yang kental di Rumah Pelancong. Rumah pelancong yang beralamatkan di Jalan Magelang kilometer 8 ini, menawarkan berbagai keunikan dari sebuah tempat tujuan berbelanja dan kuliner. Dari segi makanan dan minuman yang ditawarkan, Rumah Pelantjong memiliki menu khas Soto Yogyakarta dan teh pelan, tak hanya itu berbagai cinderamata menarik seperti kaos, mug dan hasl kerajinan juga siap menarik perhatian pengunjung. Dilantai 2 sebuah ruang pameran menjadi wahana bagi seniman yang siap berkarya. Media bagi produk-produk UMKM juga tersedia untuk memasarkan hasil produksinya untuk mengangkat perekonomian usaha mikro.
Pembukaan rumah pelancong yang digelar Sabtu siang(18/6), berlangsung dalam suasana penuh keakraban, dengan deklarasi “Yogyakarta The City Of Slow”. Manager Rumah Pelancong, Kafi Kurnia menuturkan, degan dibukanya Rumah Pelancong diharapkan dapat mengenalkan Yogyakarta sebagai tujuan wisata di Asia melalui budaya dan ciri khas yang ada, setelah Indonesia hanya dikenal lewat pariwisata Pulau Bali.
Sunday, July 03, 2011
Sembah dan Salam
Hampir tiap perusahaan, ingin memiliki cara yang paling unik untuk memberikan salam. Konon hal ini dilakukan sebagai bagian aktivasi dari sebuah merek. Dan juga mempertajam ciri khas pelayanan mereka. Toko oleh-oleh dan kaos oblonk Joger di Bali misalnya, membuat ritual untuk menyambut pelanggan-nya dengan ucapan “Selamat Pagi !”. Tidak peduli apakah itu sudah siang, sore atau malam sekalipun. Konon ucapan “Selamat pagi” dimaksudkan sebagai sebuah optimisme bahwa di Joger sepanjang hari selalu pagi. Tetap cerah dan tetap semangat. Beberapa motivator Indonesia juga rajin membuat salam khusus. Ada yang berseru”Luar biasa !”. Ada pula yang berseru “Dahsyat !”. Dan seterusnya.
Di Asia sendiri, salam yang paling umum adalah merapatkan kedua belah tangan didada. Diberbagai negara di Asean, memberi salam dengan bahasa tubuh seperti ini cukup popular. Di Thailand misalnya, kita sering disambut dengan salam seperti ini, sambil yang member salam berucap “Sawadikap”. Di Indonesia salam seperti ini juga popular. Malah salam ini sepertinya dijadikan bagian dari budaya pelayanan di perusahaan penerbangan Garuda, belum lama ini. Konon salam dengan merapatkan kedua belah tangan didada, berasal dari sebuah filosofi tua. Dalam tradisi dan kultur Tiongkok, dikenal sebuah salam khusus yang dikenal dengan “soja”. Melakukan “soja” artinya memberikan salam sambil berhormat. Sebuah gerakan yang membentuk bahasa tubuh, untuk merendah. Diperkirakan “soja” terinspirasi dari kata “xin” dalam bahasa Tiongkok. Yang memiliki arti jantung dan hati sekaligus. Aksara dalam bahasa Tiongkok bukan berupa alphabet seperti lazimnya di berbagai bahasa. Melainkan sebuah pictogram alias symbol yang memiliki arti. Kata “xin” memiliki pictogram dengan kedua belah tanggan didada dan dibawahnya ada sebuah perahu besar. Artinya kiasan sebuah kehidupan yang sehat dengan keseimbangan dan tau caranya selalu merendah. Barangkali jadi ada benarnya bahwa inti dari sebuah pelayanan yang berhasil apabila yang melayani selalu rendah hati.
Desainer kondang Indonesia, Harry Darsono pernah mendongeng tentang filsafat NOL. Bahwa setiap orang yang ingin melayani dengan baik perlu mengosongkan dirinya menjadi NOL. Karena hanya dengan menjadi NOL, maka kita menjadi bermanfaat dan bermakna. Mangkok atau gelas kalau kosong baru bisa di-isi. Koper kosong baru berguna untuk berpergian. Dan mobil yang kosong baru bisa ditumpangi. Dengan menjadi NOL kita siap siaga untuk mengisinya dengan segala macam keluhan konsumen. Tetapi kalau kita bukan NOL, kita akan sulit berfungsi. NOL adalah simbol rendah hati yang paling pas.
Rendah hati adalah pelatihan sikap dan mental pelayanan yang paling kritis. Saya pernah mendengar cerita bahwa kalau kita mengikuti pelatihan di Universitas Burger punya McDonald maka awal dari training adalah bukan langsung membuat burger. Melainkan membersihkan WC dan meja-meja yang kotor. Ini mirip metode membuat NOL diri kita. Dengan membersihkan toilet, meja dan sampah, secara tidak langsung kita diberi pelatihan disiplin tentang kebersihan. Dan kalau kita sudah memiliki mental dan sikap bersih 100%, maka ketika kita masuk kedalam dapur, kita dengan rendah hati akan mempraktekan kebersihan dengan disiplin yang sangat tinggi.
Di Jepang, ketika pagi hari saat sebuah toko mau buka, mereka punya tradisi dengan membungkuk kepada konsumen. Sebagai sebuah penghormatan. Ritual ini dinamakan Ojirei. Bagi mereka yang belum terbiasa, tradisi ini bisa saja dirasakan berlebihan. Namun sebenarnya Ojirei atau membungkuk hormat, punya fungsi sama, yaitu membuat diri kita NOL dan mendisiplinkan kita agar selalu rendah hati.
Betapa sering kita menguping pembicaraan entah itu disebuah restoran atau kafe, sejumlah pramusaji menggosipkan ulah tamu yang seringkali sulit dilayani. Pelit memberikan tip. Atau tamu yang dianggap kelewatan bersikap. Tidak jarang dalam bisik-bisik itu sang tamu mendapat julukan, “ Si Pelit “ atau “Om Konyol” dan “Tante Rese”. Maka arti sesungguhnya dari sebuah pelayanan tercemar. Dan semua salam, hormat dan sembah hanya menjadi kepura-pura-an yang terasa sangat imitasi dan plastic.
Pernah sekali ketika saya berdinas di Yokohama, Jepang, saya dan rekan bisnis saya berkesempatan naik taksi menuju sebuah desa wisata. Taksinya bukanlah sebuah mobil yang baru. Mirip sebuah Toyota Crown lama. Namun sangat bersih dan terawat sekali. Jok mobil semuanya diberi sarung kain putih yang bersih. Ketika kami mau naik, sang supir keluar dari taksi merapikan bajunya, lalu memakai topinya yang juga putih, setengah membungkuk, membuka-kan kami pintu dan mempersilahkan kami masuk. Setelah kami masuk, ia masuk dan mencopot topinya yang putih dan barulah ia mengendarai mobil taksi. Maka kamipun melaju. Rekan bisnis saya senyum-senyum, lalu kami membahasnya ketika makan siang. Karena jelas penghormatan yang diberikan sang supir taksi membuat kami sangat tersanjung. Rekan saya berkata bahwa supirnya saja di Jakarta tidak sesopan dan seramah itu. Bahasa tubuh sang supir taksi memperlihatkan status NOL-nya. Kami berdua sangat tersentuh secara emosional.
Pada saat yang sama kami menginap disebuah penginapan tradisional ala Jepang yang disebut Ryokan. Ini bukan hotel biasa. Mirip losmen dengan pelayanan serba pribadi. Ketika check-in, koper saya yang cukup berat diangkat oleh 2 pelayan hotel yang kebetulan wanita berpakaian kimono. Tentu saja saya menjadi malu, dan meminta agar koper itu saya bawa sendiri. Sang pelayan bertahan dan tidak membolehkan saya mengangkat koper saya. Dari lobi hotel kita masuk ke ruang dalam. Sepatu saya diminta dicopot, dan saya diberi sepasang sandal. Saat saya masuk kamar, semuanya tertata sangat rapid an bersih sekali. Walaupun tidak ada perabot yang mewah. Pas didalam kamar kurang lebih sepuluh menit, saya mendadak ingat sesuatu dan harus ke lobi lagi. Maka bergegaslah saya ke lobi. Di gerbang halaman luar, sandal saya ditukar kembali dengan sepatu saya. Dan yang membuat saya kaget, sepatu saya sudah sangat bersih, mengkilat luar biasa, plus harum. Sepatu saya diletakan di keranjang rotan yang dilapisi kain. Luar biasa. Saya heran, bagaimana mungkin mereka melakukan-nya hanya dalam kisaran 10 menit. Usai dari lobi saya kembali balik masuk kamar. Kembali saya kaget. Karena jelas-jelas ketika saya ke lobi, ada orang yang masuk dan merapikan kamar saya. Pengalaman di Yokohama ini, memberikan saya sebuah pencerahan baru. Bahwa pelayanan membutuhkan dedikasi yang sangat luar biasa. Bukan hanya sekedar sembah dan salam biasa.
Teman saya yang memiliki sebuah toko kecil di Tokyo, mengatakan dengan sederhana bahwa ritual membungkuk – Ojirei pada saat membuka toko juga dilakukan sama pada saat menutup toko. Bukan saja bertujuan untuk mendisplinkan karyawan agar memiliki sikap dan mental NOL dalam melayani. Tetapi juga mengingatkan karyawan bahwa yang melayani harus selalu lebih rendah dari yang dilayani. Anda boleh saja merasa terusik dengan filosofi ini, tapi arti sesungguhnya dari sebuah pelayanan yang sempurna memang terungkap pas pada ritual ini. Tidak lebih tidak kurang.
Subscribe to:
Posts (Atom)