Saturday, October 22, 2011
Andaikata supir taxi jadi Presiden ( Part 2 )
Badan saya sebenarnya remuk redam. Cape dan pegel menyatu dalam satu ikatan. Mestinya situasi seperti ini akan membuat saya cepat tertidur. Tapi entah kenapa, hampir sejam saya tergolek di tempat tidur, kantuk belum juga hinggap dan membawa saya terbang bermimpi. Akhirnya saya menyambar jaket, pake sepatu dan turun ke lobby. Hari sudah hampir menjelang tengah malam. Petugas hotel yang saya suruh mencarikan taxi, senyum-senyum dan menyapa : “Ndak bisa tidur ? Pak ?” . Saya mengangguk sambil nyengir -nyengir bajing.
Didalam mobil taxi, sang supir taxi bertanya tentang arah dan tujuan saya. Lalu saya jawab pendek, “Ketempat orang senang”. Sang supir ngakak dan langsung tancap gas. Udara malam kota Djogdjakarta sedikit dingin. Angin bertiup sangat perlahan. Sang supir taxi terheran-heran, ketika saya berhenti kurang dari ½ jam ditempat pertama. Saya beri alas an pendek, “Cuma survey doang, koq mas !” Lagi-lagi sang supir taxi ngakak. Akhirnya kami berkenalan. Namanya Slamet. Konon ayahnya menamakan dirinya Slamet, biar selalu aman, sentosa dan hidupnya selalu selamat dari cobaan apapun. Dan ternyata nama itu memang sakti mandra guna. Ia merasa perjalanan hidupnya selalu selamat berkat nama yang disandangnya itu.
Setelah singgah beberapa kali “ditempat senang” yang saya survey, pembicaraan kami bertambah hangat. Mulai dari kehidupan malam kota Djogdjakarta, hingga prilaku remaja kota Djogdjakarta, dan juga perkawinan pak Slamet. Secara filosofis, pak Slamet mengaku bahwa sejak dahulu bapaknya sudah menanamkan filosofi Bibit-Bebet-Bobot, semenjak ia masih sekolah. Ayahnya selalu berpesan agar ia jangan salah pilih. Terlebih saat puber, pak Slamet termasuk anak yang nakal. Biarpun tampang tidak segagah Roy Marten, namun pak Slamet dikenal sebagai jajaran “playboy” dikampungnya, begitu cerita pak Slamet.
Dalam filosofi Jawa, Bibit artinya asal usul atau akar keturunan. Kalau menanam sesuatu, pilihlah bibit yang baik, maka hasilnya tidak akan mengecewakan. Begitu penjelasan singkat ayah pak Slamet ketika menjelaskan pilar filosofi pertama kepada pak Slamet. Jadi kalau mau memilih istri yang baik, pilihlah dari keturunan keluarga yang baik-baik. Yang kedua adalah Bebet yang artinya lingkungan disekitar sang calon pasangan hidup. Biarpun bibitnya bagus tetapi kalau lingkungan tempatnya tumbuh tidak baik, maka akhirnya akan terpengaruh tidak baik juga. Sebatang pohon yang tumbuh ditempat yang banyak angin, akan tumbuh condong kearah angin bertiup. Pilar dari filosofi yang terkahir adalah Bobot, yaitu nilai kepribadian, karakter, dan pengetahuan dari seseorang. Kalau ketiganya terpenuhi dengan baik, maka konon jaminan istri atau suami yang baik akan terpenuhi.
Filosofi Bibit-Bebet-Bobot, konon dianggap terlalu berat atau feodal. Karena seleksi berdasarkan 3 kriteria ini banyak dianut oleh kaum bangsawan, dan dianggap sebagai sebuah sistim penilaian yang terlampau berlebihan. Banyak teman-teman saya dari keturunan Jawa menganggap sistim ini kuno. Dan konyol. Namun menurut pak Slamet justru filosofi inilah yang menyelamatkan perkawinannya. Ketika saya berdebat dengan pak Slamet lebih jauh, malah pak Slamet menganjurkan agar sebaiknya dan semestinya pak SBY menggunakan filosofi ini untuk memilih para calon menteri-menterinya. Sehingga tidak sering-sering “reshuffle cabinet”.
Saya terhenyak mendengar komentar pak Slamet. Kaget dan agak tersipu. Pak Slamet mengkritik “reshuffle cabinet” yang katanya mirip dengan kawin cerai. Menurut pak Slamet perkawinan itu mestinya jalan satu arah tanpa kesempatan untuk memutar. Kalau sejak awal kita sudah memikirkan cerai, dengan pertimbangan enteng, maka langkah kita memasuki sebuah ajang pernikahan tanpa beban sama sekali. Matematika dan perhitungan-nya, kawin aja sekarang, kalau tidak cocok biarlah kita bercerai. Dan masih bisa kawin lagi. Begitu dan seterusnya. Padahal sebuah perkawinan itu sangat sakral, dan kalau bermasalah, harus kita upayakan sehingga berhasil. Bukan dengan solusi bercerai. Selama 32 tahun pak Slamet menikah dan punya 6 anak, rumah tangganya penuh dengan dinamika dan prahara. Tidak selalu mulus-mulus saja. Tetapi pak Slamet tidak pernah puny aide bercerai. Ia selalu berjuang dan bertahan. Kata pak Slamet, andaikata pak SBY cermat dan hati-hati memilih calon menterinya 2 tahun yang lalu, maka “reshuffle cabinet” tidak perlu terjadi. Kritik pak Slamet, kita membuang waktu dengan percuma.
Tak lama setelah pak Slamet bertutur seperti itu, kami berpisah. Setengah jam kemudian saya tertidur pulas. Keesokan paginya dalam pesawat yang membawa saya pulang ke Jakarta, disebuah harian nasional masih termuat berita gonjang ganjing kocok ulang cabinet. Disana ada analisa bahwa komposisi kabinet pemerintahan didominasi oleh politikus atau kader partai. Kaum professional yang benar benar unggul dan kompeten di bidangnya sangatlah lebih sedikit. Tiba-tiba saja filosofi Jawa – Bibit-Bebet-Bobot ala pak Slamet terlintas dipikiran saya kembali.
Barangkali kalau pak Slamet jadi presiden, maka proses pemilihan menteri akan menjadi sangat berbeda. Hanya saja saya bertanya-tanya apabila pak Slamet punya masalah sama dengan pak SBY soal koalisi, apakah pak Slamet masih bisa bebas memilih menterinya ? Satu hal yang saya setuju dengan pak Slamet, bahwa kebiasaan “reshuffle cabinet” adalah kebiasaan buruk mirip kawin cerai. Barangkali dalam kontrak politik berikutnya, dengan siapapun yang menang pemilu nanti. – kalau ada jatah pembagian kursi menteri dalam kabinet, maka partai koalisi harus menyodorkan kader yang lulus sejumlah kriteria. Andaikata kader yang disodorkan tidak memenuhi syarat, maka presiden bisa saja menolak calon yang disodorkan.
Saya juga setuju dengan konsep pak Slamet, bahwa selama perkawinan, setiap masalah, dinamika dan prahara harus diperjuangkan bersama hingga berhasil tuntas. Memberhentikan menteri sebelum masa berakhir tugasnya, bukanlah edukasi manajemen pemerintahan yang baik. Karena mestinya ada mekanisme pimpinan nasional untuk selalu check dan re-check, dan mengarahkan prestasi menteri ke jalur yang menguntungkan dan benar. Bukan hanya sekedar penilaian lulus atau tidak lulus, kemudian diberhentikan karena prestasinya yang jelek. Karena terus terang bagi menteri yang kena copot gara-gara “reshuffle”, malunya akan sangat bukan main. Didalam sejarah, dia akan dicatat sebagai menteri yang tidak berhasil dan gagal. Maka akibatnya dia dicopot dari kabinet. Terus terang ini aib yang luar biasa.
Menurut pak Slamet, janda korban perceraian selalu punya kesan dan impresi tertentu dalam masyarakat kita. Apapun sebab dan musababnya. Tidak peduli salah siapa. Dia akan tetap disebut sebagai janda. Menteri yang dicopot dari kabinet sebelum masa akhir tugasnya, barangkali punya kesan yang mirip. Janda kabinet. Kalau memang boleh disebut demikian. Dan malunya itu, tetap saja sangat dalam – sangat memalukan !
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment