Sunday, July 03, 2011

Sembah dan Salam



Hampir tiap perusahaan, ingin memiliki cara yang paling unik untuk memberikan salam. Konon hal ini dilakukan sebagai bagian aktivasi dari sebuah merek. Dan juga mempertajam ciri khas pelayanan mereka. Toko oleh-oleh dan kaos oblonk Joger di Bali misalnya, membuat ritual untuk menyambut pelanggan-nya dengan ucapan “Selamat Pagi !”. Tidak peduli apakah itu sudah siang, sore atau malam sekalipun. Konon ucapan “Selamat pagi” dimaksudkan sebagai sebuah optimisme bahwa di Joger sepanjang hari selalu pagi. Tetap cerah dan tetap semangat. Beberapa motivator Indonesia juga rajin membuat salam khusus. Ada yang berseru”Luar biasa !”. Ada pula yang berseru “Dahsyat !”. Dan seterusnya.

Di Asia sendiri, salam yang paling umum adalah merapatkan kedua belah tangan didada. Diberbagai negara di Asean, memberi salam dengan bahasa tubuh seperti ini cukup popular. Di Thailand misalnya, kita sering disambut dengan salam seperti ini, sambil yang member salam berucap “Sawadikap”. Di Indonesia salam seperti ini juga popular. Malah salam ini sepertinya dijadikan bagian dari budaya pelayanan di perusahaan penerbangan Garuda, belum lama ini. Konon salam dengan merapatkan kedua belah tangan didada, berasal dari sebuah filosofi tua. Dalam tradisi dan kultur Tiongkok, dikenal sebuah salam khusus yang dikenal dengan “soja”. Melakukan “soja” artinya memberikan salam sambil berhormat. Sebuah gerakan yang membentuk bahasa tubuh, untuk merendah. Diperkirakan “soja” terinspirasi dari kata “xin” dalam bahasa Tiongkok. Yang memiliki arti jantung dan hati sekaligus. Aksara dalam bahasa Tiongkok bukan berupa alphabet seperti lazimnya di berbagai bahasa. Melainkan sebuah pictogram alias symbol yang memiliki arti. Kata “xin” memiliki pictogram dengan kedua belah tanggan didada dan dibawahnya ada sebuah perahu besar. Artinya kiasan sebuah kehidupan yang sehat dengan keseimbangan dan tau caranya selalu merendah. Barangkali jadi ada benarnya bahwa inti dari sebuah pelayanan yang berhasil apabila yang melayani selalu rendah hati.

Desainer kondang Indonesia, Harry Darsono pernah mendongeng tentang filsafat NOL. Bahwa setiap orang yang ingin melayani dengan baik perlu mengosongkan dirinya menjadi NOL. Karena hanya dengan menjadi NOL, maka kita menjadi bermanfaat dan bermakna. Mangkok atau gelas kalau kosong baru bisa di-isi. Koper kosong baru berguna untuk berpergian. Dan mobil yang kosong baru bisa ditumpangi. Dengan menjadi NOL kita siap siaga untuk mengisinya dengan segala macam keluhan konsumen. Tetapi kalau kita bukan NOL, kita akan sulit berfungsi. NOL adalah simbol rendah hati yang paling pas.

Rendah hati adalah pelatihan sikap dan mental pelayanan yang paling kritis. Saya pernah mendengar cerita bahwa kalau kita mengikuti pelatihan di Universitas Burger punya McDonald maka awal dari training adalah bukan langsung membuat burger. Melainkan membersihkan WC dan meja-meja yang kotor. Ini mirip metode membuat NOL diri kita. Dengan membersihkan toilet, meja dan sampah, secara tidak langsung kita diberi pelatihan disiplin tentang kebersihan. Dan kalau kita sudah memiliki mental dan sikap bersih 100%, maka ketika kita masuk kedalam dapur, kita dengan rendah hati akan mempraktekan kebersihan dengan disiplin yang sangat tinggi.

Di Jepang, ketika pagi hari saat sebuah toko mau buka, mereka punya tradisi dengan membungkuk kepada konsumen. Sebagai sebuah penghormatan. Ritual ini dinamakan Ojirei. Bagi mereka yang belum terbiasa, tradisi ini bisa saja dirasakan berlebihan. Namun sebenarnya Ojirei atau membungkuk hormat, punya fungsi sama, yaitu membuat diri kita NOL dan mendisiplinkan kita agar selalu rendah hati.

Betapa sering kita menguping pembicaraan entah itu disebuah restoran atau kafe, sejumlah pramusaji menggosipkan ulah tamu yang seringkali sulit dilayani. Pelit memberikan tip. Atau tamu yang dianggap kelewatan bersikap. Tidak jarang dalam bisik-bisik itu sang tamu mendapat julukan, “ Si Pelit “ atau “Om Konyol” dan “Tante Rese”. Maka arti sesungguhnya dari sebuah pelayanan tercemar. Dan semua salam, hormat dan sembah hanya menjadi kepura-pura-an yang terasa sangat imitasi dan plastic.

Pernah sekali ketika saya berdinas di Yokohama, Jepang, saya dan rekan bisnis saya berkesempatan naik taksi menuju sebuah desa wisata. Taksinya bukanlah sebuah mobil yang baru. Mirip sebuah Toyota Crown lama. Namun sangat bersih dan terawat sekali. Jok mobil semuanya diberi sarung kain putih yang bersih. Ketika kami mau naik, sang supir keluar dari taksi merapikan bajunya, lalu memakai topinya yang juga putih, setengah membungkuk, membuka-kan kami pintu dan mempersilahkan kami masuk. Setelah kami masuk, ia masuk dan mencopot topinya yang putih dan barulah ia mengendarai mobil taksi. Maka kamipun melaju. Rekan bisnis saya senyum-senyum, lalu kami membahasnya ketika makan siang. Karena jelas penghormatan yang diberikan sang supir taksi membuat kami sangat tersanjung. Rekan saya berkata bahwa supirnya saja di Jakarta tidak sesopan dan seramah itu. Bahasa tubuh sang supir taksi memperlihatkan status NOL-nya. Kami berdua sangat tersentuh secara emosional.

Pada saat yang sama kami menginap disebuah penginapan tradisional ala Jepang yang disebut Ryokan. Ini bukan hotel biasa. Mirip losmen dengan pelayanan serba pribadi. Ketika check-in, koper saya yang cukup berat diangkat oleh 2 pelayan hotel yang kebetulan wanita berpakaian kimono. Tentu saja saya menjadi malu, dan meminta agar koper itu saya bawa sendiri. Sang pelayan bertahan dan tidak membolehkan saya mengangkat koper saya. Dari lobi hotel kita masuk ke ruang dalam. Sepatu saya diminta dicopot, dan saya diberi sepasang sandal. Saat saya masuk kamar, semuanya tertata sangat rapid an bersih sekali. Walaupun tidak ada perabot yang mewah. Pas didalam kamar kurang lebih sepuluh menit, saya mendadak ingat sesuatu dan harus ke lobi lagi. Maka bergegaslah saya ke lobi. Di gerbang halaman luar, sandal saya ditukar kembali dengan sepatu saya. Dan yang membuat saya kaget, sepatu saya sudah sangat bersih, mengkilat luar biasa, plus harum. Sepatu saya diletakan di keranjang rotan yang dilapisi kain. Luar biasa. Saya heran, bagaimana mungkin mereka melakukan-nya hanya dalam kisaran 10 menit. Usai dari lobi saya kembali balik masuk kamar. Kembali saya kaget. Karena jelas-jelas ketika saya ke lobi, ada orang yang masuk dan merapikan kamar saya. Pengalaman di Yokohama ini, memberikan saya sebuah pencerahan baru. Bahwa pelayanan membutuhkan dedikasi yang sangat luar biasa. Bukan hanya sekedar sembah dan salam biasa.

Teman saya yang memiliki sebuah toko kecil di Tokyo, mengatakan dengan sederhana bahwa ritual membungkuk – Ojirei pada saat membuka toko juga dilakukan sama pada saat menutup toko. Bukan saja bertujuan untuk mendisplinkan karyawan agar memiliki sikap dan mental NOL dalam melayani. Tetapi juga mengingatkan karyawan bahwa yang melayani harus selalu lebih rendah dari yang dilayani. Anda boleh saja merasa terusik dengan filosofi ini, tapi arti sesungguhnya dari sebuah pelayanan yang sempurna memang terungkap pas pada ritual ini. Tidak lebih tidak kurang.

No comments: