Tuesday, July 19, 2011
KETIKA DUNIA TIDAK LAGI MEMILIH BATAS
1990, saya mulai bekerja disebuah perusahaan Amerika. Saya ingat betul hal pertama yang diberikan perusahaan kepada saya adalah sebuah alamat email. Itupun menggunakan alamat dan perusahaan internet “compuserve”. Sebuah internet provider pemula dan sangat beken di tahun 80’an di Amerika. Sayangnya tak lama kemudian Compuserve dibeli AOL alias pesaing “America On Line”. Compuserve lalu memudar, dan tidak lagi mengudara semenjak Agustus 2009. Saya ingat betul, saat itu mengakses internet sangatlah sulit. Karena harus menggunakan dial-up modem. Dan jasa pelayanan internet provider di awal tahun 1990an di Indonesia belum banyak pilihan-nya. Sambungan internet seringkali putus ditengah jalan. Browsing di internet masih merupakan sebuah kemewahan hidup yang belum bisa kita nikmati.
Pada tahun yang sama, saya membaca buku karangan Kenichi Ohmae, yang berjudul The Borderless World. Usai membaca buku itu, terus terang darah saya mendesir kencang. Mirip burung yang lepas dari sangkarnya. Usai membaca buku itu saya berkhayal, seorang pengrajin jaket kulit di GARUT menerima order dari seorang biker di Rusia. Atau sekelompok pelukis di Djogdjakarta mengerjakan mural pesanan sebuah hotel di Afrika. Dunia kehilangan batas-batasnya, semua dihubungkan dengan internet dan kita memiliki sejumlah kemungkinan dan peluang.
Sejak itu, kemanapun saya pergi, orang dan relasi bisnis saya bertanya, apakah saya “wired” ? Artinya apakah saya memiliki alamat email dan terhubung dengan internet. Istilah “wired” sendiri menjadi sebuah istilah budaya baru, yang begitu keren dan beken saat itu. Sehingga jurnalis Louis Rossetto berpartner dengan teman jurnalis lain Jane Metcalfe, mendirikan sebuah majalah dengan nama yang sama Wired, pada tahun 1993. Sejak itulah lahir sebuah konsep Utopia yang baru. Sebuah Utopia didunia maya. Majalah Wired menjadi bacaan wajib semua geek, nerd, dan techie diseluruh dunia. Berbagai publikasi mengikuti jejak mereka, namun kebanyakan tidak bertahan lama.
Dunia tanpa batas, seperti prediksi Kenichi Ohmae, bukan tanpa sebab dan akibat. Melainkan membuka sebuah kotak Pandora. Dengan satur trilyun keajaiban. Demikian kata seroang techie kepada saya di Portland awal dasa warsa 90’an. Namun apakah semua pemimpin dunia mengalami pencerahan yang sama, dan berani berbuat yang ajaib pula, dan menggunakan internet untuk menciptakan sebuah utopia ekonomi yang baru. Kenyataan-nya tidak demekian. Konon Indonesia yang memiliki lebih dari 240 juta penduduk. Penetrasi Internet di Indonesia kurang dari 40 juta atau hanya sekitar 16 %. Ini data terakhir tahun 2010. Padahal dengan investasi internet yang pragmatis, pembangunan wilayah tertinggal dapat diakselerasi lebih dari 200% dalam 5 tahun. Dan mungkin juga kita tidak memerlukan seorang mentri untuk mengurus masalah ini.
Tahun 1995, datang buku kedua yang memberikan pencerahan kedua kepada saya. Yakni buku Bill Gates yang berjudul The Road Ahead. Konon Bill Gates dibayar di muka 2.5 juta dollar ketika buku ini ditulis. Biaya promosi buku ini sendiri, konon melebihi 1 juta dollar. Didalam buku ini Bill Gates membuat ramalan bahwa ketika populasi internet mencapai titik kritis yang massif, maka Utopia maya, tidak lagi menjadi angan-angan. Melainkan sebuah realita ekonomi yang luar biasa. Bill Gates bercerita tentang sebuah “dompet cerdas”, yang dapat melakukan hampir seluruh transaksi ekonomi. Dan ramalan itu hampir menjadi kenyataan.
Jaringan internet tidak lagi harus lewat sambungan kawat. Internet menjadi jalan toll informasi yang semakin cepat dan mengudara begitu saja seperti layaknya sebuah jaringan radio, tv dan telpon selular. Dimana-mana kita menemukan akses internet diberikan gratis. Malah Negara seperti Singapura, berambisi menjadikan seluruh negaranya menjadi satu jaringan internet bebas bead an bebas pulsa. Akibatnya orang dimungkinkan untuk selalu berhubungan dengan internet selama 24 jam.
Hal ini mengubah paradigma Utopia Maya yang berkembang di awal tahun 90’an.Tahun 1990’an orang bertanya kepada saya “Are You Wired ?” atau apakah saya memiliki alamat email. Tahun 2000’an pertanyaan itu sudah mengalami metamorfosa, dan berubah menjadi “Are You OnLine ?” atau apakah saya memiliki alamat web-site. Sepuluh tahun kemudian. Saya memiliki lebih dari selusin alamat email. 3 blog dan lebih dari 3 nomer telpon selular. Kita tidak lagi “on-line” kata teman techie saya di Portland, melainkan kita melebur dengan internet. Teman techie saya menyebutnya. “Are you sync ?” Itu pertanyaan terbaru di 2011.
Apple telah menciptakan iCloud, sebuah platform sync untuk menyatukan semua file kita dari semua peralatan elektronik kita seperti iPhone, iMac, iPod dan iPad. Inilah era convergence yang baru. Seperti ramalan Bill Gates. Bahwa kita akan memiliki satu alat, mungkin sekecil telpon selular kita, dan kita menggunakannya untuk belanja, komunikasi, game, music, foto dan komputasi sekaligus. Sekarang hampir semua telpon cerdas seperti Blackberry, iPhone dan lainnya, sudah mampu melakukan itu semua, kecuali satu, sebagai dompet. Untuk membayar. Sebagian aplikasi dan jalan menuju aplikasi itu memang sudah dirancang, dan saya yakin ketika semua pemerintahan didunia menerima pulsa telpon sebagai alat pembayaran, maka Bank dan perusahaan Telekomunikasi akan merger menjadi satu.
Kini dengan semua platform telpon cerdas menggunakan aplikasi, sambungan dan akses kita lewat internet tidak lagi melulu harus masuk satu pintu, seperti dulu, yaitu lewat web. Dan dengan aplikasi yang semakin mudah, semakin menarik, dan lebih praktis, maka komputisasi lewat telpon selular juga sudah sangat berubah. Yang menarik adalah bahwa Indonesia kemungkinan akan loncat masuk kepenetrasi internet dalam tahap berikutnya. Dengan rendahnya penetrasi internet Indonesia sekitar 16-18 %, kebanyakan generasi techie Indonesia tidak mengalami akses internet lewat dial-up modem, dan juga broadband dengan kabel. Saya meramalkan penetrasi internet kita akan melompat langsung menjadi berlipat ganda 100% atau 200% menjadi diatas 40% semuanya lewat telpon selular cerdas. Dan ini bisa saja terjadi dalam 5 tahun mendatang.
Yang menarik platform e-business di Indonesia, kebanyakan dan kemungkinan tidak akan lagi web based. Tetapi apps based. Dan ini adalah pusaran kreatif yang baru untuk memikirkan perkembangan apps based yang komersil. Konon telpon cerdas selular di Indonesia, telah memiliki populasi lebih dari 3 juta account. Ini merupakan sebuah pasar yang perlu kita simak dengan teliti. Karena ketika dunia memilih tanpa batas, maka kemakmuran dan rejeki juga memilih batas batas yang sama. Alias bisa mengalir kemana saja dan kepada siapa saja.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment