Saturday, June 05, 2010

SEX TAPE - LUNA + ARIEL



Ketika sebuah “sex-tape” (konon ini sebutan resminya), dari sepasang pria dan wanita beradegan mesum yang wajahnya mirip dengan artis Luna Maya dan Ariel Peterpan (konon ini sebutan sopan-nya), bocor di Internet, publik langsung heboh. Seperti biasa hal pertama yang dipertanyakan banyak orang, apakah itu asli. Ini perdebatan sangat seru. Maklum keduanya celebrity panas. Punya kisah kontroversi masing-masing. Uniknya 90% teman-teman yang menonton “sex-tape” itu mengatakan asli. Hanya 10% teman saya yang meragukan dan berkomentar – “ah, hanya sensasi saja !”.

24 jam setelah “sex-tape” itu bocor di Internet, maka ulah teman-teman saya berubah. Kebanyakan yang wanita menunjukan simpati dan rasa kasihan kepada Luna Maya. Mereka mulai menyimpulkan bahwa dalam kasus ini Luna Maya adalah korban. Mereka juga mulai bicara tentang reputasi, dan masa depan karir Luna Maya setelah ini. Teman saya yang pria. Terbagi-bagi dan terkotak-kotak opininya. Namun sebagian besar akhirnya berkomentar kepada tokoh wanita didalam “sex-tape” itu yang mirip dengan Luna Maya. Komentar beragam. Mulai dari bahasa tubuh. Hingga ukuran statistik. Dan badan sang wanita yang mereka sebut “gembyor” dan “kendor”. Vonnis akhirnya “Luna Maya is no longer sexy !” Duh, kasihan sekali !

Benarkah setelah “sex-tape” ini bocor di Internet, maka karir Luna dan Ariel akan punah berantakan ? Jawabannya akan sangat sulit sekali. Teman saya, seorang pemerhati budaya dan musik, mengatakan masyarakat Indonesia lebih pemurah dan mudah melupakan. Menurutnya, toh ini bukan kejadian yang pertama kalinya. Karena menurutnya masih banyak selebriti lain yang mengalami hal serupa di Indonesia, dan beberapa diantara mereka tetap bertahan dan melanjutkan hidup serta karir secara normal. Jadi tergantung tiap individu masing-masing dan gebrakan karir selanjutnya. Namun pertanyaan yang tetap bergema dan sulit terjawab, adalah kenapa “sex-tape” itu dibuat awalnya ? Sebagai ulah iseng ? Untuk souvenir ? Ikut ngetrend seperti artis Hollywood ? Apa motivasi sesungguhnya ? Dan pertanyaan pamungkas, kenapa bisa bocor ? Siapa yang bertanggung jawab membocorkan-nya ? Apakah semua ini merupakah sebuah upaya publisitas ?

Tahun 1985, ketika film St. Elmo Fire meledak di pasar. Semua perhatian tertuju pada aktor ganteng muda Rob Lowe. Spekulasi sangat tinggi. Rob Lowe punya kemungkinan terbaik menjadi aktor nomer satu Hollywood saat itu. Namun pada tahun 1988, sebuah “sex-tape” yang memperlihatkan Rob Lowe berhubungan intim dengan 2 gadis, dan salah satunya masih dibawah umur, mendadak saja menjadi palu godam yang menghancurkan karir Rob Lowe. Ia pun jatuh dan tidak pernah lagi bisa mencapai puncak karir yang ia inginkan. Tahun 1988, menjadi tonggak sejarah “sex-tape” dan awal sebuah fenomena. Bayangkan saat itu saja internet dan “broad-band” belum lagi populer. Belum ada “You Tube” dan “Facebook”.

Setahun kemudian, 1989, sebuah film indie – “ Sex, Lies, and Videotape”, karya Steven Soderbergh meraih penghargaan Palme d'Or di Cannes Film Festival, sebagai film terbaik. Dan aktor James Spader juga dinobatkan sebagai aktor terbaik pada saat yang bersamaan. Steven mengaku, bahwa film itu sendiri dikonsepnya dalam 8 hari dalam sebuat coretan diatas “note-pad” biasa. Film ini menjadi penting, terutama karena mengungkapkan sebuah prilaku baru, dimana kita memasuki sebuah era baru. Didalam film ini, James Spader, seorang psikolog menggunakan video kamera untuk memotivasi para klien-nya untuk membuat video pengakuan tentang kelemahan dan fantasi sex mereka masing-masing. Lalu rekaman ini menjadi sebuah cermin refleksi yang diharapkan memberikan efek terapi.

Sejak itu, budaya mengaku dan mempertontonkan pengakuan kita menjadi sebuah terapi massa yang sangat populer. Seperti sebuah “self-expression” yang mujarab. Dekade 90’an secara massif dipenuhi dengan revolusi kearah “self-expression” mutakhir ini, yang dilengkapi dengan alat-alat, piranti, dan infrastruktur pendukung. Tengok saja budaya “karaoke”. Yang membuka kotak Pandora, bahwa siapa saja bisa menjadi bintang dan berhasil menjadi bintang. Berawal hanya sebagai sarana hiburan para eksekutif. Hingga akhirnya dimanfaatkan menjadi sebuah industri ke “reality TV” seperti “American Idol” yang mencetak jutaan dollar. Blog di Internet menjadi ajang pentas dimana setiap orang bisa punya media 24 jam yang tersedia untuk mempublikasikan apa saja, tanpa harus disensor.

Internet dan adanya kamera disetiap telpon genggam, akhirnya membuat tiap manusia didunia ini, menjadi titik “broadcast” hidup yang berpotensi merekam apa saja. CNN memanfaatkan potensi ini dengan menciptakan program iReport, dimana setiap orang dimana saja, kapan saja bisa merekam satu berita, dan meng-“upload”-nya ke internet secara langsung. “You Tube” tercipta dengan peluang dan potensi yang sama pula. Di internet, pada hampir semua “social media”, seperti “Friendster”, “Tagged”, “Facebook”, dsbnya, anak-anak muda dengan iseng dan nakal memotret dirinya sendiri dengan kamera yang berada ditelpon genggam, lewat cermin. Mimik mereka jail, badung, nakal dan meledek. Kadang dengan ekspresi yang sangat sensual dan kostum yang minim. Lalu tanpa malu-malu meng-“upload”-nya ke internet, dengan nama samaran. Dialam khayal mereka, internet menjadi panggung pentas yang memungkinkan segalanya. Termasuk menjadi tokoh-tokoh khayalan seperti di video-games dan film serial.

“Self-Expression” yang menular dan menjalar ini, akhirnya masuk juga ke kamar tidur. Masuk ke area tabu dan terlarang, yaitu hubungan sex. Sejak itu “sex-tape” mulai menjadi komoditi pornografi. Yang menarik tentunya ketika selebriti ikut membuatnya dan sekaligus membocorkan-nya ke publik. Fenomena ini tidak hanya terjadi di Hollywood, seperti “sex-tape” terkenal Paris Hilton, Carmen Electra, Britney Spears, hingga Pamela Anderson. Tetapi juga ke Asia. Termasuk kasus-kasus Bollywood. Kasus heboh Edison Chen di Hong Kong misalnya, yang melibatkan sejumlah artis tenar seperti Cecilia Pak-Chi Cheung, Gillian Yan-Tung Chung, Bo Bo Man-Wun Chan dan Rachel Sze-Wing Ngan membuat semua orang tercengang. Indonesia ternyata juga ikut terjerat budaya yang sama.

Saya jadi ingat ucapan dan ramalan Andy Warhol, ketika didalam katalog pameran-nya di Moderna Museet – Stockholm, 1968 - beliau menulis, dimasa depan semua orang akan terkenal mendunia selama 15 menit. Ramalan itu ternyata benar ! Barangkali inilah saat 15 menit milik Luna Maya dan Ariel. Sedangkan untuk sebab dan motivasinya, tidak akan pernah ada yang tahu. Teman saya yang pemerhati budaya dan musik hanya berkomentar dengan bijak. Dunia artis kita tidaklah didominasi oleh keabadian dan keindahan yang diperlihatkan artis seperti Muchsin dan Titik Sandhora, atau Widyawati dan Sophan Sophian. Dimana mereka mampu melegenda dan menjadi aikon puluhan tahun. Umur ketenaran seorang artis semakin pendek karena kompetisi dan suasana saingan yang sangat kejam. Seorang artis yang gagal menciptakan satu sensasi dalam 3 bulan. Maka dalam 6 bulan berikutnya, dia akan dilupakan orang. Itu sebabnya ada istilah “Rindu Tayang” dikalangan para artis. Dan secara nilai serta makna, kadang sebuah “bad publicity” akan sama efek dan kedahsyatan-nya dengan publisitas positif lainnya. Dititik inilah sebaiknya kita berhenti mencari. Membiarkan Luna Maya dan Ariel memberikan jawaban versi mereka sendiri. Berikan pula kesempatan kepada waktu untuk bersaksi ! Saatnya kita menjadi penonton yang baik. Menyimak dan mencerna.

No comments: