Thursday, June 17, 2010
LINEA NIGRA – TEGUH OSTENRIK
Saya mengenal Teguh sejak akhir dekade 80’an. Ia baru saja balik dari Jerman, dengan sejumlah kegelisahan. Dan itu terlihat jelas dalam karya lukisnya. Yang selalu padat. Seolah ia ingin menumpahkan semua enerji-nya dalam satu kanvas. Kadang terasa mengerikan. Seperti kita ingin memasukan seluruh amarah kita dalam satu bejana. Kepadatan yang diperlihatkan Teguh, menjadi sebuah estetika yang menghimpit dan menampar kita. Bila kita tidak kuat maka kita akan dilontarkan-nya. Saat itu saya mengatakan kepada Teguh, itulah kekuatan karya-nya. Sebuah interaksi yang liar. Sejak itu saya pernah berkolaborasi dengan Teguh dalam beberapa proyek kecil. Ternyata ia seniman serba bisa. Mulai dari melukis, patung, dan juga tari dan musik. Pernah sekali ia mengatakan bahwa baginya sebuah karya seni akan berhasil kalau lingkungan menyerap karya itu dan menjadikan-nya bagian dari sebuah lingkungan. Dan bukan sebaliknya. Kadang orang meletakan sebuah lukisan dalam sebuah ruangan dengan harapan bahwa lukisan itu menjadi titik api. Akibatnya lingkungan itu rusak porak poranda. Tidak keruan.
Tahun 2005, Teguh mengirimkan email kepada saya dengan sejumlah foto. Karya-karya patungnya terbaru. Kali ini saya kembali tertegun. Karena Teguh membuat beberapa patung Kristus dan Bunda Maria. Karya yang sangat religius. Konon karya Teguh ini kemudian di letak-kan di Gereja St. Mary of Angels di Singapura dan memancing reaksi cukup banyak. Seringkali ornamen and aterfak gereja memang sengaja dibuat sebagai titik api. Misalnya saja salib atau Kristus di kayu salib, seringkali dipasang diatas Mimbar menjadi titik api yang monumental. Seringkali karya itu dibuat dengan sentuhan realistis estetik untuk menggugah emosi. Karya Teguh tidak setransparan itu. Karena membutuhkan interpertasi dan interaksi, dan secara konsisten Teguh meletak-kan-nya jauh dari titik api. Sehingga kehadiran karya Teguh bagi banyak orang mungkin akan mengusik. Menggelitik. Menciptakan kesadaran baru. Bahwa ibadah kita yang komunal memiliki aspek privatisasi dengan emosi baru. Apapun juga percikan emosi yang kemudian timbul, kita perlu mengangkat topi pada keberanian Teguh berkarya dalam aspek ini.
Tanpa terasa waktu berjalan sangat cepat. Teguh masih saja awet muda. Tahun lalu ia mengontak saya. Menceritakan karya instalasinya. Di sebuah atrium pusat belanja Jakarta yang megah dan moderen, Teguh menggantung sejumlah kuali. Lalu kamipun ngopi bersama bergurau soal kuali itu. Teguh masih memiliki gurauan dan ejekan yang sama. Tentang lingkungan dan kita sebagai manusia yang sering tidak taat menghormati lingkungan. Kita yang tidak senonoh merusak lingkungan. Kita yang rakus merampok lingkungan. Terus terang saya tertawa ketika ia menjelaskan kembali filosofinya secara halus. Biar bagaimanapun Teguh manusia Indonesia yang lahir di Jakarta dari lingkungan Jawa dan mampu bernyanyi “sinden” ala Jawa ini, selalu menunjukan perhormatan yang khidmat terhadap lingkungan. Saat itu saya mengakui kemampuan diplomasinya, yang ulung saat membujuk pemilik pusat belanja agar mau menggantung ratusan kuali di atriumnya. Menjadikan kuali, sesuatu yang remeh menjadi pusat atraksi.
Argumen Teguh saat itu, kuali adalah obyek yang barangkali dimiliki oleh seluruh rumah di Indonesia. Letaknya selalu didapur. Tidak pernah mendapat penghormatan penting. Tetapi fungsinya sangat vital. Yaitu kesejahteraan, kenikmatan dan kebahagian perut diseluruh keluarga. Usai penjelasan itu. Saya berhenti tertawa. Ada satu keharuan baru yang saya rasakan. Bagaimana Teguh memiliki rasa khidmat yang khusus terhadap kuali. Sayapun mulai mengerti dan mendalami apa yang ia katakan pada saya dua puluh tahun yang lalu tentang lingkungan dan seni. Bahwa seni tidak harus arogan dan merampas keindahan sebuah lingkungan. Melainkan seni harus mengabdi kepada lingkungan. Setia kepada lingkungan.
Usai peristiwa itu, Teguh mengontak saya. Ia ingin saya mengulas karya terbarunya, yang merupakan karya-karya patung yang terbuat dari besi rongsok-kan. Ia menyebutnya “deFACEment”. Semuanya tentang interpertasi wajah. Medium yang dipilih Teguh dalam dunia seni bukanlah sesuatu yang baru.Tetapi pendekatan dan prosesnya yang baru. Secara bergurau, ia berkata kepada saya, bahwa pesan filosofis yang ia ingin sampaikan kali ini adalah soal “karat”. Sesuatu yang berkarat, biasanya kita anggap rusak dan sampah rongsokan. Tetapi kalau karat itu adalah karya Teguh Ostenrik, kemungkinan besar orang mau membelinya dengan harga sangat mahal dan memberikan tempat yang sangat terhormat untuk memajangnya. Sayapun tertawa mendengarnya. Teguh kali ini berbisik sangat pelan, bahwa apapun bilamana diberikan kesempatan akan mampu menyatu dengan alam dan lingkungan. Termasuk didalamnya sesuatu yang berkarat. Sekali lagi Teguh memperlihatkan bahwa alam dan lingkungan sebenarnya mememiliki kerendahan hati yang luar biasa. Bisikan Teguh kali ini lirih tapi sangat bijak. Barangkali ini adalah satu penyebab penting, yang membuat Teguh terpilih sebagai Seniman 2009 versi sebuah majalah beken di Indonesia.
Minggu lalu, Teguh menggelar karya-nya yang terbaru. Linea Nigra begitu judulnya. 11 lukisan besar dan 12 patung metal. Linea Nigra artinya garis hitam yang muncul ditengah perut perempuan pada saat kehamilan. Teguh secara implisit mendokumentasikan saat-saat paling intim ketika istrinya mengandung. Kali ini Teguh masuk keruang publik yang sangat pribadi sekali. Ide baru yang cukup menggelitik. Saya tertawa lagi dan sekaligus sempat terkejut. Teguh memperlihatkan kematangan berkarya yang unik. Lukisan dan patungnya jauh lebih manis dan rapi. Tidak sekasar 20 tahun yang lalu. Mungkin sebagian enerjinya telah terserap oleh lingkungan. Atau Teguh memang sedang berhemat enerji. Terlihat jelas kegusaran dan kegelisahan Teguh semakin menipis, kali ini. Ia bukan lagi bocah yang nakal dan jahil. Ia semakin bijak dan menyatu dengan lingkungan. Atau mungkin karena karya ini sangat pribadi, maka kita melihat Teguh dengan kempompong yang berbeda.
Ditengah maraknya benda seni dikoleksi sebagai investasi dan diperjual belikan secara komersial. Seringkali benda seni hanya menjadi piala yang dipertontonkan dengan prestise. Ia-pun menjadi titik api dan merampas kesucian sebuah lingkungan. Seniman seperti Teguh, pasti tidak pernah berpikir membuat piala. Karena sebuah karya seni seharusnya menjadi sangat mahal dan berharga, bukan sebagai kepemilikan individu tetapi sebagai kepemilikan publik. Teguh seringkali mengatakan pada saya, bahwa membuat sebuah karya seni adalah merekam momen-momen tertentu dalam kehidupan ini, dan meniupkan sebuah nafas keabadian yang membuat momen-momen tertentu itu menjadi indah dan bisa dinikmati publik dari satu generasi ke generasi berikutnya. Itu adalah ibadah yang sangat indah ! Teguh telah melaksanakannya dengan sangat khusuk dan khidmat.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment