Monday, May 24, 2010
"TUHAN ..... Dimanakah Engkau ?"
Saat ayah saya terkena serangan strooke yang terakhir, saya berbuat seperti kebanyakan orang. Bersujud di hadapan Tuhan, dan meminta kesembuhan buat beliau. Saya sadar penyakit ayah cukup berat. Dan saya ingat, saat-saat itulah saya berdoa dan mencoba berbicara dengan Tuhan sekeras-kerasnya. Berjam-jam saya berdoa. Namun, satu sore ketika saya menjenguk beliau, ayah menangis melihat saya, tiba-tiba saja semangat saya lepas. Di momen itulah saya tahu, bahwa beliau mengucapkan perpisahan dengan saya. Batin saya berbisik, inilah saat-saat terakhir beliau. Beberapa hari kemudian menjelang fajar, ayah saya wafat. Walaupun saya berusaha tabah saat itu. Tetap saja saya mengikuti sikap orang kebanyakan. Saya menyalahkan Tuhan. Karena Ia telah tuli tidak mau mendengar doa saya. Ia telah mengabaikan saya. Sayapun kecewa berat.
Sebulan setelah ayah wafat, saya merasakan sebuah kekosongan dalam jiwa saya. Begitu besar dan dalam. Saya mencoba mengisinya selama seminggu, mengunjungi tempat-tempat suci dan ibadah, sepanjang pulau Jawa hingga Bali. Tidak berhasil. Ditengah kegelisahan dan kegalauan itu, saya akhirnya bertanya, apakah Tuhan itu ada ? Kalaupun ada ….. dimanakah Tuhan berada ? Dalam titik terendah kehidupan saya itu, akhirnya saya bertemu dengan Mpu Peniti. Beliau beragama Islam dan saya beragama Buddha KTP. Saya ingat betul dalam pertemuan kami yang kedua, diteras kebun belakang rumah beliau, kami minum teh poci yang kental dan harum. Mpu Peniti sembari merokok kretek menatap langit jauh-jauh. Senja mulai beranjak. Dan langit berubah warnanya. Jingga bercampur kuning tipis di horizon. Sebuah sandikala yang indah. Saya ikut melihat kelangit dan tidak menemukan apa-apa. Saat itulah Mpu Peniti berkata lirih, “Tahukah kau dimana batas langit sesungguhnya ?” Saya tidak menjawab. Cuma tersenyum. Karena sebulan sebelumnya dipuncak Borobudur saya pernah bertanya hal yang serupa. Sayapun tidak menemukan jawaban-nya.
Pernahkah terbayang oleh kita bahwa bilamana semuanya tidak ada, maka apapun tidak ada maknanya. Namun karena kita ada dan alam semesta ini sedemikian besar, dan kita tidak tahu dimana batas akhirnya. Maka setiap jengkal kehidupan kita sangat bermakna. Jodie Foster yang memerankan Ellie Arroway dalam film Carl Sagan yang berjudul “Contact” - didalam film itu berucap :” I'll tell you one thing about the universe, though. The universe is a pretty big place. It's bigger than anything anyone has ever dreamed of before. So if it's just us... seems like an awful waste of space. Right?” Barangkali jawaban atas pertanyaan Mpu Peniti ada dikalimat itu. Kadang kalimat itu pula yang akhirnya memberikan saya rasa aman yang sangat nyaman. Bahwa sesungguhnya Tuhan menyentuh kita tiap saat. Hanya karena saja sangat sering dan sangat berlimpah, kita tidak menyadarinya.
Sejak peristiwa itu saya banyak belajar dari Mpu Peniti. Tentang apa saja. Tetapi terutama belajar memperhatikan yang paling kecil, dan bukan lagi yang paling besar. Hidup saya berubah. Saya belajar menikmati hidup. Tertawa lepas dan tertawa lebih banyak. Terutama sering-sering menertawai diri saya. Selalu melihat hidup dari 2 arah yang berlawanan. Itu sebabnya ketika saya menulis buku “Anti Marketing”, banyak orang menghujat saya dan menuduh saya mencari sensasi saja. Beberapa dosen marketing mengatakan buku saya murtad dan bejat. Kata Mpu Peniti, “Sesuatu dikatakan tidak benar seringkali karena tidak dimengerti orang. Dan sesuatu yang benar seringkali karena sesuatu yang kita sudah terbiasa. Maka benar dan tidak benar, seringkali sama, yang beda cuma sudut pandangnya”.
Kadang saya sendiri sering susah hati, ketika Tuhan dengan begitu mudahnya dijadikan guling oleh kebanyakan orang. Betapa sering orang meminta kepada Tuhan hal-hal yang sangat sepele. Seperti, jangan hujan, jangan macet, dan atau minta kenaikan gaji. Tuhan juga seringkali dijadikan kesimpulan terakhir. Terutama yang berhubungan dengan nasib kita. Orang terlalu gampang menyimpulkan, “Sudah kehendak Tuhan.” Titik dan mau apalagi ?
Hari ini saya berulang tahun ke 50. Setengah abad. Semalam saya bersujud dihadapan Tuhan. Minta ampun. Juga berterima kasih. Atas hidup yang serba nyaman, nikmat dan berkelimpahan. Entah kenapa, saya merasakan Tuhan sangat dekat dengan saya. Seolah ia tampil didepan saya. Memberikan saya enerji dan semangat. Saya sadar bahwa saya tidak akan mungkin bertahan setengah abad lagi. Artinya sisa hidup saya yang entah berapa lama lagi, harus memberi nilai dan manfaat bagi orang banyak 1.000 kali dari apa yang telah saya lakukan selama 50 tahun. Ibarat orang berdagang, saya telah diberikan modal terbaik oleh Tuhan di 50 tahun kehidupan pertama saya. Maka saya wajib menggunakan modal itu sebaik-baiknya dan berbuat kebajikan sebanyak-banyaknya. Buat keluarga, teman, kerabat, orang banyak, bangsa dan negara. Itu yang saya ceritakan kepada Mpu Peniti, ketika dia bertanya saya punya rencana apa di 50 tahun kehidupan saya yang berikutnya ? Mpu Peniti tertawa terkekeh-kekeh mendengar ucapan saya. Ketika saya ditanya mau kado apa, saya cuma minta doa. Beliau manggut-manggut tanda setuju.
Diusia 50 tahun, saya telah berhenti bertanya “Tuhan …. Dimanakah Engkau ?”. Bukan karena saya tahu jawabannya. Semata karena saya sadar, ia telah hadir dan menyentuh saya dalam setiap jengkal kehidupan saya. Sudah 20 tahun terakhir ini, saya mengubah isi doa saya. Tidak lagi saya meminta sesuatu kepada Tuhan. Karena saya sadar bukan itu prosesnya. Setiap kali saya berdoa kepada Tuhan, saya cuma minta ia hadir dalam kehidupan saya. Kehadiran Tuhan inilah yang saya rasakan, secara ajaib memberikan saya kekuatan, keberanian dan kebijakan untuk bertindak dan bersikap.
Pernah sesekali, beberapa orang bertanya kepada saya. Apa agama saya ? Saya cuma tersenyum. Karena saya merasakan pertanyaan ini sangat pribadi. Hubungan saya dengan Tuhan, tidak semestinya dipersoalkan. Biasanya orang-orang itu jadi antusias gara-gara senyuman saya dan kebisuan saya tidak menjawab. Umumnya mereka lalu mencoba merekrut saya untuk masuk ke agama yang mereka peluk. Secara iseng, selalu saja mereka saya goda dengan pertanyaan, “Tuhan …. Dimanakah Engkau ?”. Hampir semuanya selalu gelagapan. Tidak ada satupun yang menjawab dengan pengalaman sendiri. Sungguh aneh. Umumnya mereka menjawab dengan jawaban resmi versi pemimpin agama mereka masing-masing, yang selalu kita dengar dalam kuliah agama. Lewat mata mereka, saya selalu melihat kerinduan yang amat sangat untuk menikmati sentuhan Tuhan.
Buddha pernah berkata, satu tetes demi satu tetes, pada akhirnya akan mengisi penuh satu bejana. Barangkali kebahagian hidup ini semestinya datang dalam bentuk ketekunan dan kesabaran. Satu tetes demi satu tetes. Sebagian orang yang sangat beruntung, ketika lahir bejananya sudah penuh dan berlimpah. Syukurlah, saya perlu 50 tahun untuk mengisi bejana itu hingga penuh. Syukurlah Tuhan telah mengajarkan saya ketekunan dan kesabaran. Tuhan memberikan saya pelatihan hidup yang membuat saya bahagia. Untuk itu saya berterima kasih !
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment