Sunday, May 02, 2010

Benedictus - Yang tidak pernah berhenti mencari !



Beberapa hari sebelum Paskah, saya di BB, Mpu Peniti. Kata beliau, ada oleh-oleh menunggu saya. Menjelang sore hari itu, saya tiba di rumah beliau. Kami ngobrol, dan kali ini obrolan digelar ditempat yang sangat istimewa. Di ruang perpustakaan beliau. Hampir 20 tahun saya mengenal beliau, dan entah sudah berapa ratus diskusi dan perdebatan yang kami lalui, semuanya hampir tidak pernah kami lakukan di ruang perpustakaan beliau. Saya selalu merasa ruangan itu magis, dan sakral. Saya cuma pernah masuk diruangan itu hanya sesekali. Dan itupun untuk waktu yang serba singkat.

Ruang perpustakaan Mpu Peniti cukup luas. Dahulunya bekas kamar utama. Dindingnya penuh dengan foto-foto beliau dengan berbagai tokoh. Ada yang sangat terkenal, adapula cuma orang biasa. Namun difoto diberbagai tempat. Menunjukan kalau Mpu Peniti sudah melang-lang buana. Disudut sebelah kiri ada gong yang sangat tua. Renta namun masih terlihat angun. Rak-rak buku tertata rapi dengan buku-buku tua koleksi Mpu Peniti. Disudut sebelah kanan ada lemari tempat menyimpan beberapa barang antik dan keris-keris tua. Tidak ada komputer. Tidak ada televisi. Juga tidak ada radio dan alat-alat memutar musik. Namun kamar ini dilengkapi dengan seperangkat sofa yang sudah tua. Kusam warna-nya, namun tetap memperlihatkan kenyamanan yang akrab. Konon beliau biasa membaca berjam-jam di sofa itu. Dekat sofa ada sebuah meja kecil. Diatasnya ada seperangkat alat permainan catur. Bukan yang mahal, dibuat dari kayu biasa. Dan bisa dibeli dimana-mana. Hanya saja, diatas papan catur, ada sejumlah buah catur yang mensiratkan ada satu permainan yang belum selesai. Saya selalu penasaran. Ingin tahu cerita dan misteri tentang permainan yang tidak pernah selesai itu.

Rupanya rasa penasaran saya akan terselesaikan hari ini. Sambil menikmati teh melati dari Yogyakarta, dan kacang rebus, mulai-lah Mpu Peniti mendongeng. Konon, saat Mpu Peniti masih muda dan bujangan, di Yogyakarta, beliau berkenalan dengan seorang pemuda, bernama Benedictus. Tidak ada yang tau darimana persisnya dia berasal. Benedictus juga seolah enggan bercerita. Kulitnya memang hitam legam dan rambutnya keriting. Mpu Peniti juga tidak pernah usil bertanya dari mana asalnya. Ben, begitu ia sering dipanggil, seringkali hanya mengatakan kampung halaman-nya jauh. Ben, seorang pemeluk agama Katolik yang saleh. Rajin beribadah, dan prilakunya sangat halus. Ia selalu bangga dengan namanya yang artinya “diberkati”.

Ben, berkenalan dengan Mpu Peniti, pada saat Ben bekerja menjadi penjaga pintu disebuah sekolah swasta. Saat itu Ben, masih buta huruf. Ia sering ditipu, ketika orang tahu kelemahan Ben. Mpu Peniti kemudian mengajarkan Ben, membaca dan menulis. Disanalah awal persahabatan mereka. Walaupun buta huruf, Ben pandai bermain gitar dan catur. Mpu Peniti belajar bermain catur justru dari Ben. Berdua mereka saling belajar dan mengajar. Tak lama kemudian, setelah pandai membaca dan menulis, Ben belajar menjual kayu. Terutama kayu gaharu dan kayu ulin untuk bahan membuat aneka cindera mata. Kehidupan Ben cepat menanjak. Punya sepeda motor dan rumah. Mpu Peniti sangat bangga dengan perkembangan Ben. Sampai suatu hari, Ben datang ke rumah Mpu Peniti. Raut mukanya sangat gelisah. Bicaranya terbata-bata, kurang jelas. Selidik punya selidik, Ben gugup setengah mati. Ia jatuh cinta dengan seorang gadis Solo. Ben, minta Mpu Peniti untuk menjadi wali dan melamar gadis itu. Tentu saja terjadi kehebohan yang luar biasa. Keluarga sang gadis menolak mentah-mentah. Maklum saat itu perkawinan antar etnik yang berbeda sangat jauh, masih terbilang langka dan jarang. Ben, tidak patah semangat. Ia pindah ke Solo dan membesarkan usahanya disana. Singkat cerita dengan kesabaran yang luar biasa, akhirnya Ben bisa juga menikahi gadis Solo puja-annya. Syaratnya Ben harus pindah dari Solo. Itupun dipenuhi Ben dengan patuhnya. Mereka pindah ke Bali, dan mulai dari nol. Usaha dan keluarga, dijalani Ben dengan ketekunan luar biasa. Sampai pada sukses yang berikutnya dan mereka pindah ke Jakarta.

Persahabatan Ben dan Mpu Peniti semakin akrab. Ben sering sekali mampir ke Yogyakarta. Mereka selalu bertukar kisah dan pengalaman. Tahun 1992, istri Ben kena penyakit kanker. Ben tentu saja resah dan gelisah luar biasa. Saat itu semua usaha dan bisnisnya ia serahkan kepada putera-puteranya. Ia melepaskan semuanya. Tujuan hidupnya cuma ada satu. Ia fokus pada satu tujuan hidup, yaitu mengobati penyakit istrinya. Tahun 1996 istri Ben wafat. Ben sangat terpukul sekali. Tak lama kemudian ia menghilang. Tidak ada kabar cerita. Menurut gosip Ben menyepi disejumlah biara di Timur Tengah. Ben berkelana diberbagai kota seperti Yerusalem dan Bethlehem. Konon ia mencari sejumlah arti. Tahun 1998 sebelum kerusuhan Mei, Mpu Peniti menerima surat dari Ben. Ia berada di Roma dan Vatikan. Menjelang akhir tahun 1998, Ben kembali mengunjungi Mpu Peniti. Sembari bermain catur, ia bercerita panjang lebar tentang pengalaman-nya. Kadang saking serunya Ben bercerita, permainan catur mereka tidak pernah diselesaikan. Dan selalu dilanjutkan pada kunjungan berikutnya.

Beberapa hari menjelang Paskah tahun 2000, Ben wafat dengan tenang didalam tidurnya. Tidak ada keluhan penyakit sama sekali. Dokter hanya menjelaskan Ben terkena serangan jantung dalam tidurnya. Semua putera putri Ben menganggap kepergian Ben lebih gaib dan sakral dari penjelasan dokter. Saat itu, masih ada satu permainan catur yang tidak diselesaikan Ben. Itu sebabnya Mpu Peniti masih saja membiarkan papan catur itu berisi permainan yang tidak diselesaikan Ben, tetap utuh di perpustakaan beliau. Buat Mpu Peniti, permainan catur yang tidak selesai itu, ibarat sebuah memorial untuk seorang sahabat yang istimewa. Setahun setelah Ben wafat, seorang puteranya datang ke Yogyakarta, menemui Mpu Peniti. Ia membawa sebuah kotak dengan ukiran Jepara, dan menyerahkannya kepada Mpu Peniti. Pesan Ben, kalau ia wafat, maka kotak itu harus diwariskan ke Mpu Peniti. Didalam kotak, ada sejumlah catatan, beberapa foto, dan 2 buah rosario. Rupanya sebagian pengalaman Ben, selama menghilang hampir 2 tahun terekam di sejumlah catatan itu. Yang unik, semua catatan itu tidak direkam dalam satu buku. Melainkan tercecer dalam sejumlah bundel kertas-kertas lepas, yang tidak seragam.

Usai bercerita tentang perjalanan hidup Ben, dan misteri papan catur dengan permainan yang belum selesai, Mpu Peniti menitipkan kotak berukiran Jepara itu kepada saya. Beliau berpesan bahwa cerita tentang hidup Ben harus saya teruskan. Saya terharu sekali. Terus terang saya tidak berani membuka dan membacanya. Barulah setelah Paskah berakhir, saya mulai membacanya sedikit demi sedikit. Dan lebih mendalami apa perasaan Ben. Isinya sangat pribadi sekali. Kadang tak terasa saya meneteskan airmata terutama ketika Ben bercerita tentang perasaan cintanya yang sangat mendalam terhadap istrinya yang sangat dikasihinya itu. Ben, merasakan sebuah kehampaan yang luar biasa ketika istrinya wafat. Ben bertutur bahwa lapar dan haus seringkali hapus pupus oleh kesedihan-nya. Ia merasakan seluruh tubuhnya lumpuh dan mati rasa. Ben mengaku ia benar-benar tidak paham apa perasaan dirinya yang asli. Karena sama sekali bukan kesedihan. Tetapi satu perasaan yang benar-benar asing. Barangkali itu yang membuat ia pergi menyendiri selama hampir 2 tahun

Cerita tentang Ben bukanlah cerita “superhero” yang fantastis. Tetapi cerita tentang orang kebanyakan yang biasa-biasa saja. Namun, cerita ini punya kelengkapan arti yang mungkin jarang kita temui. Tentang berjuang dalam hidup, tidak mau menyerah, dan berusaha membuat setiap langkah yang diambil memiliki makna dan kepatutan. Kadang kita suka bertanya pada diri kita sendiri, terutama disaat-saat yang sangat sulit, dan dikala kita merasa dikucilkan oleh Tuhan dan diberlakukan dengan tidak adil – “Untuk apa sebenarnya kita hidup ini ?” Sebagian dari kita menyerah dan tidak mau pusing. Jalani saja hidup ini. Dan nikmati selama kita mampu. Ben, berbeda dengan kita. Ia termasuk yang langka. Yang terus mencari tahu. Karena pada akhirnya makna atau arti menjadi nilai yang paling berarti. Bahwa kehidupan ini menjadi sakral karena kita akhirnya mengerti. Biarpun dalam kemampuan yang sangat terbatas.

Dalam satu lembar catatan Ben, dikutipnya sebuah ayat di Kitab Suci, "Mintalah, maka akan diberikan kepadamu; carilah, maka kamu akan mendapat; ketuklah, maka pintu akan dibukakan bagimu. Karena setiap orang yang meminta, menerima dan setiap orang yang mencari, mendapat dan setiap orang yang mengetuk, baginya pintu dibukakan." – Matius 7: 7-8.

Saya tidak mengenal Ben. Saya juga tidak tahu apa perasaannya. Tetapi usai membaca catatan Ben, saya yakin bahwa pada akhirnya Ben bahagia. Tebakan saya, Ben berhasil menemukan apa-pun yang dicarinya. Mungkin tidak seluruhnya. Tetapi cukup memberi makna dan arti. Disebuah kartu pos bergambar sebuah gereja kecil, Ben menuliskan –“ Εὕρηκα” – atau “Eureka !”

1 comment:

Unknown said...

Keren!