Thursday, February 25, 2010
MANA MUNGKIN ORANG JUJUR JADI PRESIDEN ?
Beberapa tahun yang lalu, menjelang tengah malam, pulang menuju hotel di Semarang, seorang supir taxi, mengeluhkan nasibnya sebagai rakyat kecil. Yang tidak juga bergeming. Tidak berubah. Tidak ada perbaikan. Supir taxi mengeluh bahwa nasib mereka porak poranda gara-gara kepentingan politik. Dan salah satu kalimatnya yang selalu nempel dikepala saya : “Mas, mana mungkin orang jujur jadi Presiden ?”. Diucapkan dengan kesedihan yang sangat mendalam. Hingga kini pertemuan saya dengan sang supir taxi selalu membayang dan terbayang.
Kemaren ketika ‘ngobrol’ dengan seorang pendidik tentang kualitas sumber daya manusia di Indonesia, ingatan saya tentang perkataan supir taxi itu kembali menjadi echo yang membuat saya gelisah. Sang pendidik bercerita tentang sejumlah permasalahan sumber daya manusia di Indonesia. Mulai dari yang bikin kita kesal dan sedih hingga yang membuat kita tertawa. Salah satu komentarnya yang membuat saya terusik, adalah tentang kriteria pemberian bea siswa. Menurut teman saya, seringkali bea-siswa itu diberikan kepada anak-anak dari keluarga yang kurang mampu, tetapi prestasinya bagus. Beliau berkilah bahwa anak-anak dari keluarga kurang mampu yang membutuhkan bantuan bea siswa sangatlah banyak. Tetapi untuk mencari yang prestasinya bagus seringkali sangat sulit. Karena semata-mata anak-anak dari keluarga yang kurang mampu ini, seringkali kekurangan gizi, sehingga perkembangan otaknya sangat terganggu. Mendengar penjelasan beliau saya manggut-manggut juga. Kritik beliau, semestinya pemilihan bea-siswa didasari oleh kepribadian yang rajin dan tekun, bukan semata-mata karena IQ.
Hal yang sama pernah saya utarakan ke seorang pemimpin perusahaan yang berniat membuat acara apresiasi yang megah dan gegap gempita untuk salesman-nya yang unggul dan berprestasi. Saya kasih komentar kepada beliau, bahwa acara seperti itu memang bagus dan sangat dibutuhkan. Supaya salesman-nya tetap terpacu membuat prestasi terbaik. Tetapi iseng-iseng saya juga melontarkan ide, apakah sang pemimpin pernah terpikir membuat acara yang sama bobotnya untuk salesman yang paling tidak berprestasi alias ‘memble’. Ia melihat saya dengan sinis. “Untuk apa ? Kan mereka paling malas dan paling tidak berprestasi ?”. Sambil tertawa saya menjelaskan, bahwa kalau dipikir-pikir, justru salesman yang tidak berprestasi adalah beban perusahaan yang paling berat. Ia mengangguk dan mengiyakan. Argumen saya, kalau salesman yang sudah berprestasi diberikan sebuah program motivasi yang bagus. Maka salesman yang belum berprestasi; sebenar-benarnya justru yang paling banyak membutuhkan pertolongan. Mestinya program motivasi mereka; mungkin 2-3 kali lipat lebih hebat dibanding yang sudah berprestasi. Sang pemimpin perusahaan manggut-manggut juga akhirnya. Sederhananya orang sakit lebih banyak membutuhkan pertolongan dibanding orang sehat.
Logika yang bengkok inilah, yang mungkin menjadi biang keladi sesungguhnya bahwa pengembangan sumber daya manusia di Indonesia tetap tersendat-sendat dan jalan ditempat. Karena kita lebih suka menolong orang sehat ketimbang orang sakit. Salah satu cerita favorite saya adalah tentang orang yang berseragam, dan yang kita sebut satpam. Di Indonesia profesi satpam barangkali adalah profesi yang paling ‘ancur’. Bayaran-nya murah. Jam kerja-nya panjang dan pendidikan dan pelatihan-nya asal saja. Sehingga siapa-pun bisa jadi satpam. “Tidak peduli betapa rendah IQ-nya”, begitu kritik seorang teman. Saya punya ratusan cerita yang mengesalkan tentang ulah satpam direpublik ini. Yang berakhir dengan simpati, bahwa mereka adalah pegawai yang nasibnya mungkin paling jarang diperhatikan.
Belum lama ini saya kembali mengalami pengalaman jelek dengan satpam. Yang pertama terjadi di Bali. Ketika saya berjalan kaki masuk sebuah hotel mewah di Legian, saya ditegur dengan se-enaknya “Mau kemana ?”. Menegurnya dengan ekspresi wajah, seolah-olah saya ini seorang maling atau teroris. Langsung saja saya naik pitam dan marah luar biasa. Yang pada akhirnya membuat saya menegur balik manajemen hotel itu. Saya marah karena 2 hal. Pertama pertanyaan itu sangat bodoh, dan tidak ada gunanya. Karena ketika ditanya saya mau kemana, saya jawab mau ketemu teman. Lalu dia bertanya siapa namanya, dan saya langsung sebut nama teman saya. Toh, dia tidak punya mekanisme untuk mengecek nama teman saya, ada atau tidak ? Untuk apa ia bertanya seperti itu. Jelas dia cuma menggertak dan pura-pura galak. Sialnya dia ketemu saya dan ketemu batunya. Kedua yang membuat saya marah dan naik pitam, karena dia hanya melakukannya kepada saya yang berwajah orang Indonesia. Ketika ada orang bule masuk, dia diam-diam saja. Apakah semua teroris dan maling itu hanya orang Indonesia ? Dan tidak ada maling serta teroris bule ? Jelas sekali, pendidikan dan pelatihan satpam ini pasti asal saja. Tidak dilakukan dengan serius dan benar.
Kejadian kedua, terjadi di Jakarta belum lama ini. Saya ada janji dengan klien disebuah gedung dekat Sudirman. Ketika sudah naik ke lantai 7, saya ditegur recepsionis karena tidak membawa kartu visitor. Recepsionis menelpon satpam di lantai 7, yang celakanya saya diusir sang satpam untuk turun ke Lobby lagi dan minta kartu visitor. Kembali saya marah dan naik pitam. Karena lagi-lagi logika-nya bengkok. Hingga kini saya tidak mengerti mengapa gedung-gedung memberlakukan peraturan setiap orang harus mendaftar dan menyerahkan KTP-nya, sebelum masuk gedung. Menurut saya ini pemborosan waktu dan prosedur yang percuma. Karena prosedur ini tidak membuat gedung lebih aman. Andaikata saya seorang teroris, saya pasti melakukan dua hal. Masuk dengan akses lain. Atau memalsukan KTP saya. Mestinya satpam dilantai 7 diberikan solusi bahwa kalau sampai ada tamu naik tanpa kartu visitor cukup di-ingatkan, “Pak, lain kali harus ambil kartu visitor dahulu”. Bukan main usir begitu saja ke lobby.
Inilah masalah yang membuat saya sangat sedih dan terusik. Logika yang bengkok, dan pengembangan sumber daya manusia yang masih sangat lemah di republik ini. Ketika dua cerita tentang satpam ini saya ceritakan kesejumlah wartawan belum lama ini, salah seorang nyeletuk : “Pak, kalau dia sudah pintar, pasti jadi menteri laaah !”. Saya tertawa mendengarnya tetapi hati saya tetap sedih. Kok kebodohan dilestarikan dan menjadi polemik politik.
Cerita kali ini, ingin saya tutup dengan sebuah cerita yang miris, tetapi pas dengan komentar supir taxi diatas. Teman saya telah mengabdi disebuah LSM dan Yayasan kemasyarakatan selama lebih dari 10 tahun. Saya melihat pengabdian-nya tulus dan sungguh-sungguh. Ketika didaerahnya ada lowongan pilkada bupati, ia didorong teman-teman kami untuk maju dan mencalonkan diri. Ternyata tidaklah mudah. Karena teman saya bukan orang partai, maka kami harus mencarikan partai yang mau mendukungnya. Tidak gratis memang, karena partai minta mas kawin yang jumlah tidak sedikit. Bukan jutaan tetapi milyaran. Terpaksalah kami beramai-ramai berusaha mencari dana talangan kemana-mana. Dan dalam misi pencarian itu bertemulah kami dengan para calo. Istilah keren-nya surveyor-politik. Mereka semua minta fee didepan, sekali survey biayanya bisa sampai 40-50 juta. Usai di survey, teman saya ini diminta tetap memberikan jaminan sertifikat diatas 5 milyar. Pokoknya sudah mirip banget meminjam duit dari Bank. Kalaupun uang itu sudah didapat, dengan biaya kampanye dan saksi saat pilkada, biayanya bisa jadi 10-20 milyar. Kalau menang ? Bagaimana kalau akhirnya kalah ? Siapa yang menanggung ?
Mendekati detik-detik terakhir, teman saya akhirnya mundur dan mengirim SMS panjang. Nurani akhirnya yang berbicara. Menurut teman saya, ia tidak bisa tidur berhari-hari. Apabila ia menang menjadi Bupati, ia berpikir keras, bagaimana mungkin ia bisa mengembalikan biaya pilkada sebesar 10-20 milyar. Padahal asetnya kurang dari semilyar. Mau tidak mau ia harus korupsi ketika sudah menjadi Bupati nanti. Mulanya ia berpikir tidak apa ia korupsi sebesar itu, asalkan ia mampu berbarengan mensejahterakan dan memakmurkan rakyatnya. Anggap saja itu sebagai ongkos dan resiko berjuang. Tetapi iman dan kejujuran-nya tidak bergeming. Ia tidak tega berbohong, berlaku tidak jujur dan korupsi. Usai menerima SMS itu, saya berpikir kalau bupati saja ongkosnya sudah 20 milyar ? Berapa ongkos walikota ? Gubernur ? Dan Presiden ? Pasti berkali-kali lipat. Pada akhirnya, ucapan sang supir taxi di Semarang, “Mas, mana mungkin orang jujur jadi Presiden ?”, memiliki kebenaran tersendiri. Saat itu wajah sang supir taxi melayang dalam ingatan saya. Tidak mau pergi.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment