Kemarin, ketika leher saya pegel dan tegang setengah mati, saya mampir ke Mpu Peniti, minta dipijat dengan balsem. Usai dipijat, diteras rumah belakang kami minum wedang jahe, sembari mengobrol ngalor ngidul. Entah dapat wangsit dari mana, Mpu Peniti menegur saya, “Kamu tuh doyan beli buku. Tetapi sebagian, belum sempat kamu baca. Jadi buku-buku itu menagih minta waktu kamu untuk membacanya…” Saya cuma mesem saja. Dalam hati saya membatin, kok tau dia yah.
Pulang kerumah, saya langsung menyosor lemari buku saya. Dan mulai saya hitung satu demi satu, buku-buku baru yang belum sempat saya baca. Saya berjanji akan membacanya satu demi satu. Dari sekian buku itu, satu yang mengusik perhatian saya. Yaitu “The Diamond Cutter”, karangan Geshe Micahel Roach. Seingat saya, buku ini saya beli mungkin lebih dari 5 tahun yang lalu, dan tergeletak tanpa sempat saya baca.
Konon, “The Diamond Cutter” adalah bukut tertua yang dicetak dan bukan ditulis. The British Museum memiliki copy yang diterbitkan tahun 868, 600 tahun sebelum Gutenberg berhasil mencetak Injil, atau kitab suci kaum Nasrani. “The Diamond Cutter” adalah ajaran Buddha sekitar 2.500 tahun yang lalu, yang diturunkan lewat narasi dari mulut ke mulut. Kemudian kurang lebih 1000 tahun yang lalu, buku ini tiba di Tibet, lalu dicetak stensil dengan cetakan kayu, diatas kertas berlapis sutera. Sejak itu buku ini dicopy dan menyebar keseluruh ASIA. Isinya memang sangat kompleks, namun secara sederhana dapat disimpulkan bahwa setiap manusia adalah “The Diamond Cutter”, yang memiliki misi untuk memotong, dan mengasah intan hingga menjadi intan yang luar biasa bernilainya. Dan semua disekeliling kita memiliki potensi. Yang tersembunyi, belum di temukan, belum dipotong, dan belum diasah. Tugas kita adalah menemukannya satu demi satu.
Tanpa saya sadari pikiran saya melayang jauh. Pada saat saya mau berangkat kuliah, dan mendapatkan wejangan dari ayah saya. Sama dengan orang tua dimana-mana, ayah saya mengingatkan bahwa saat itu adalah titik kritis dalam hidup saya – “a point of no return”. Sederhana saja. Gagal kuliah, tidak akan mendapatkan pekerjaan bagus. Dan hidupmu dijamin bakal sengsara. Itu adalah keyakinan yang saya pegang teguh. Perlahan-lahan tanpa saya sadari, tumbuh sebuah ketakutan yang luar biasa tentang masa depan. Ketakutan yang mempertanyakan nasib, takdir dan keberuntungan. Orang tua saya sama sekali tidak kaya raya. Saya tau dan sadar mereka tidak akan mungkin memberikan saya modal. Sehingga satu pertanyaan selalu menghantui saya, “Mungkinkah saya beruntung dan sukses ?”
Usia kuliah, sebelum memasuki dunia karier, saya membeli sebuah buku kecil karangan Edward De Bono. Judulnya, “Tactics: The Art and Science of Success”. Didalamnya Bono membahas kisah 50 orang yang sukses, dan mengambil segaris benang merah, yang menjadi pola dari kisah sukses mereka, dan apakah hoki atau keberuntungan berperan dalam kisah-kisah itu. Dan sampai sejauh apa ? Bono, menulis bahwa keberuntungan atau hoki, mirip sebuah spektrum yang sangat lebar. Bukan satu titik. Artinya ngak ada orang yang dilahirkan beruntung atau hoki tuntas. Atau sebaliknya ditakdirkan sial. Spektrum ini saking lebarnya menampung kita semua. Kadang-kadang kita bergeser ke sangat beruntung. Misalnya kena lotere.
Jadi keberuntungan atau hoki, lebih mirip pada sebuah situasi atau kondisi yang membuat kita sukses, dengan koordinat dan titik yang tidak terbatas. Intinya ada orang yang hanya berhasil apabila bekerja dengan resiko sangat rendah. 80% aman tanpa resiko. Tapi ada juga orang yang yang terbiasa bekerja dengan resiko sangat tinggi. 80% resiko dan hanya 20% aman. Nah, Bono berpesan, yang terpenting adalah taktiknya. Yaitu membiasakan diri untuk memiliki sikap yang positif. Yang selalu siap sedia bekerja dititik dan koordinat apapun. Bahwa kita mampu mengubah dan mempengaruhi keberuntungan atau hoki. Sebaliknya kalau anda pasrah, dan menganggap kita bergantung 100% pada keberuntungan atau hoki. Maka reaksi kita terhadap apapun dalam hidup ini akan melambat. Kita akan selalu terlambat !
Barangkali sedikit banyak Bono, membuat saya menjadi optimis menghadapi kehidupan ini. Tidak mudah menyerah. Selalu “excited” dalam menghadapi kehidupan, apapun juga bentuk tantangan-nya. Menghadirkan enerji kehidupan yang tidak pernah membuat saya lelah. Sepuluh tahun saya berkarir, dan hasilnya memang sangat luar biasa. Penuh berkah dan rejeki. Sesuatu yang sangat saya syukuri. Dalam banyak hal saya merasa hidup saya jadi justru sangat beruntung sekali. Berada di titik dan koordinat keberuntungan.
Namun buku yang membuat saya penasaran, adalah bukunya Richard Wiseman yang berjudul – “THE LUCK FACTOR”. Beliau menulis bahwa, orang yang paling beruntung adalah orang yang pola hidupnya sangat tidak beraturan. Ini tentu saja bukan pernyataan yang explisit untuk mengajarkan hidup dalam kekacauan. Richard semata-mata mengatakan, pertama kita harus punya hasrat untuk beruntung dan hoki. Lalu anggap saja hasrat itu kita lampiaskan dengan cara memperbesar peluangnya dengan sikap yang terbuka untuk menjelajahi jalur-jalur baru, bekenalan dengan teman-teman baru, dan membentuk network-network baru. Anggap saja ada tukang baso yang memiliki rute teratur sepanjang hari. Maka kemungkinan penjualan-nya akan sama selalu, itu-itu saja. Dan kalau saja tukang baso itu besok merubah rutenya dengan rute-rute tambahan, maka kemungkinan penjualannya meningkat akan menjadi lebih besar dan lebih tinggi. Kalau Bono mengajarkan sikap yang positif. Richard Wiseman memotivasi kita untuk memaksimalkan keberuntungan kita.
Nah, sekarang gabungkan kedua teori ini. Maka terjadilah sebuah persimpangan, seperti yang dikatakan filsuf SENECA, ““Luck is what happens when preparation meets opportunity.” Rumus yang sederhana tetapi manjur. Sedangkan ajaran Buddha dalam “The Diamond Cutter” adalah simpul yang menggambarkan ketekunan dan keteguhan hati. Sebagai lahan subur tempat kita menanam setiap keberuntungan.
No comments:
Post a Comment