Saturday, November 01, 2008

KORUPSI ALA JENGKOL – EKONOMI JALANAN PART III

Saya menerima SMS pendek dari Mpu Peniti. Intinya beliau masak nasi uduk dan semur jengkol dan mengundang saya makan bersama. “Deeer….” darah saya berdesir kencang, dan jantung saya berdebar. Jarang sekali Mpu Peniti mau masak semur jengkol. Padahal semur jengkol beliau terkenal sangat gurih seantero jagad. Membujuk beliau untuk masak semur jengkol, susahnya bukan main. Ngak gampang. Jadi kalau beliau masak semur jengkol secara sukarela, artinya ada sesuatu yang luar biasa pentingnya. Ibaratnya alarm, inilah alarm tertinggi.

Jengkol yang merupakan tanaman polong-polongan, memang termasuk unik. Di Asia Tenggara, jengkol cukup populer sebagai bahan makanan. Memang jengkol boleh dikata salah satu makanan ala diabolik. Anda suka dan cinta. Atau benci sama sekali. Makanan seperti jengkol, ada hampir ditiap budaya. Di Jepang ada ikan Fugu yang sangat beracun. Dimana resiko makan adalah mati keracunan. Menurut statistik di Jepang pada tahun 60’an, kematian akibat keracunan Fugu masih berkisar diatas 175 orang pertahun. Lalu regulasi yang sangat ketat dan lisensi koki yang benar-benar paham mengolah Fugu, membuat tingkat kematian itu turun drastis. Diawal tahun 80’an jumlahnya pertahun sudah kurang dari selusin. Nah, kalau di Indonesia ada semur jengkol. Yang kalau tidak paham memasaknya dengan benar, resikonya adalah kena asam jengkolat yang luar biasa sakitnya pada saat kencing.

Walaupun demekian, dan ditambah bau jengkol yang luar biasa, penggemarnya tidak pernah kapok memakan-nya termasuk saya sendiri. Jengkol apabila dimasak dengan benar, konon memiliki sejumlah faedah bagi kesehatan, seperti mampu mencegah diabetes, dan baik bagi kesehatan jantung. Makanan jengkol, saking fenomenalnya, sampai-sampai orang Sunda memberi julukan hati macan atau “ati maung”. Tiap orang punya rahasia dan resep khusus untuk memasak jengkol. Yang umum adalah jengkol itu harus melalui proses perendaman dan perebusan yang sangat teliti. Sehingga mengurangi resiko terkena asam jengkolat. Setelah direbus biasanya di gencet hingga pipih. Lalu disemur dengan api sangat kecil, dan minimal dibiarkan semalam biar meresap. Maka rasanya akan sangat gurih sekali. Dimakan dengan nasi uduk lezatnya tidak terkira.

Mpu Peniti, konon memiliki resep yang istimewa. Sebelum dimasak, malah jengkol itu dibiarkan semalam ditanaman di pasir yang memiliki kandungan mineral yang tinggi. Lalu direndam di air dan dibiarkan mengembun satu malam berikutnya. Barulah direbus dengan hati-hati. Disamping itu Mpu Peniti punya sejumlah rempah-rempah rahasia, yang membuat semur jengkolnya benar-benar “to die for”. Saya adalah fans fanatik semur jengkol beliau.

Malam itu kami makan semur jengkol, lalapan, tahu goreng, nasi uduk dan ayam goreng. Perut saya buncit luar biasa sehabis makan. Walaupun mulut dan perut terpuaskan, hati saya tetap deg-deg-an. Karena saya tau, pasti ada sesuatu yang serius yang beliau ingin sampaikan. Usai makan sambil ngopi, beliau menyodorkan koran nasional yang memuat berita bahwa mantan gubernur bank Indonesia, kena vonis penjara 5 tahun karena sudah melakukan korupsi secara kolektif. Mpu Peniti menarik nafas panjang. Wajahnya sangat sedih. Komentarnya lirih, “Baru saja kita di-ingatkan akan sumpah suci seabad yang lalu. Yang mengikatkan diri kita satu sama lain dalam kebersamaan nasionalisme. Kini kebersamaan nasionalisme itu dirusak dengan dosa kebersamaan korupsi”.

Sebenarnya vonis majelis hakim pada perkara itu merupakan tonggak sejarah yang luar biasa pentingnya. Karena secara tidak langsung, kini kita mengenal istilah baru yaitu “korupsi kolektif”. Seorang pengacara dari Singapura mengejek saya bahwa korupsi di Indonesia telah berubah menjadi “organised crime”. Karena memang dilakukan secara rapi terorganisasi. Mirip mafia korupsi. Saya tertawa mendengarnya. Tetapi yang membuat hati Mpu Peniti sangat sedih adalah korupsi di Indonesia sudah mirip betul dengan semur jengkol. Walaupun kita sangat aktif memberantasnya dan melakukan perlawanan hukum yang sangat agresif. Namun hasil akhirnya, mirip banget dengan kita kencing sehabis makan semur jengkol. Sangat bau sekali.

Bayangkan kalau bekas gubernur bank sentral, menteri, duta besar, anggota DPR, direktur BUMN, gubernur, bupati semua sudah kena semua kasus korupsi dan sudah banyak yang dipenjara. Orang asing diluar sana, pasti akan berpikir juga, lha jangan-jangan yang paling atas sekalipun juga sama-sama korupsi. Cuma belum ketangkep saja ? Iya ngak sih ? Inilah yang dimaksud Mpu Peniti, dengan korupsi sama dengan semur jengkol. Pernah sekali saya pergi ke satu BUMN yang sangat beken. Di lobby didepan lift, tiap lantai dipenuhi dengan poster-poster anti korupsi. Secara visual mungkin terlihat sangat positif bahwa BUMN itu sangat serius berkampanye anti korupsi. Tetapi secara tidak langsung, BUMN itu menebarkan bau bahwa masalah korupsi di BUMN itu sedemikian parahnya, hingga diadakan kampanye seheboh itu. Ada asap pasti ada apinya !

Saya tidak tahu persis berapa kerugian yang kita derita secara ekonomis dari praktek korupsi yang akut dan kronis ini. Tapi beberapa direktur BUMN secara berkelakar, mengatakan bahwa pemberantasan korupsi ini juga menciptakan ongkos tambahan yang baru. Misalnya mereka kini punya konsultan yang memberikan pelatihan dan nasehat, apabila mereka ditangkap polisi dan kena diperiksa dan diinterogasi. Apa yang harus diperbuat ? Dan apa yang harus dijawab ? Konsultan seperti ini pasti tidak murah ongkosnya. Bagian pembelian dan tender disebuah BUMN mengadu kepada saya, bahwa kini mereka sangat extra hati-hati dalam memutuskan sebuah tender dan pembelian. Supaya ngak salah dan diborgol, maka mereka terpaksa menyewa pengacara untuk memberikan “legal opinion”. Dan lagi-lagi berarti proses yang lebih berbelit dan tambahan ongkos yang tidak murah.

Saya teringat percakapan antara “Q’” dengan James Bond dalam filmnya “The World is Not Enough”. Dalam percakapan itu “Q” berujar : "Now 007, I've always tried to teach you two things. One, is never to let the enemy see you bleed." Dan James Bond menjawab : "And the other?" Lalu “Q” menjawab dengan kalimat terakhir : “Always have an escape plan" Barangkali sudah saatnya pula kita menyimak dari sekian pengalaman dan upaya memberantas korupsi di negeri ini. Menyempurnakannya dengan elegan. Sehingga lebih efektif dan manjur. Yang terpenting jangan menjadi sebuah aksi kejar-kejar-an antara polisi dan malingnya. Sehingga suatu saat malingnya berbalik lebih pintar. Bila tidak, maka pemberantasan korupsi di Indonesia bisa beresiko menjadi semur jengkol. Dan ini tidak sedap sama sekali !

No comments: