Monday, August 11, 2008

SEMANGAT PIONIR

Dari mana datangnya bisnis ? Sebagian pengusaha yang saya interview mengatakan dari ide. Sisanya mengatakan dari peluang. Barangkali keduanya benar. Dan sama-sama jawaban yang sehat. Mestinya begitu. Tapi seorang pejabat mengeluh, kalau kadang konsep ini diselewengkan. Ia memberikan contoh, tentang kolega, saudara atau famili pejabat yang mendirikan perusahaan untuk jadi supplier departemen, semata-mata untuk memanfaatkan koneksi pejabat tersebut. Jadi peluang yang salah, dan hanya berdasarkan “aji mumpung” semata. Saya jadi tertawa mendengarnya. Karena semestinya bisnis tercipta atas peluang yang datang dari ide-ide baru yang segar.

Juga tentang perlakuan sementara orang mengklasifikasikan bisnis UKM denga hanya bisnis-bisnis makanan dan cendera mata atau kerajinan. Yang protes justru seorang pejabat juga. Beliau bilang kita ini ngak kreatif ! Masa kalau pameran UKM yang dipamerkan selalu melulu makanan, cendera mata dan kerajinan. Kritik beliau, masa sih kita ngak punya semangat inovasi atau semangat pionir ? Berusaha menciptakan sesuatu yang benar-benar baru sama sekali ?

Mpu Peniti, mentor saya, punya penjelasan yang lebih sederhana. Kata beliau, kata-kata seperti inovasi dan pionir, dalam kosa kata bahasa Indonesia memang tidak ada terjemahan langsung yang pas. Makanya kita sehari-hari menggunakan kata yang di Indonesiakan dari bahasa Inggris. Innovation jadi inovasi. Dan pioneer jadi pionir. Nah, kalau kedua semangat ini sulit ditemukan dalam masyarakat kita, maklum saja. Mungkin secara budaya memang kedua kata ini tidak lengket dalam kehidupan kita sehari-hari. Karena tidak kita kenal konsepnya, kata-kata yang pas-pun akibatnya tidak kita miliki.

Pernah sekali saya berbincang dengan seorang periset industri pertanian. Menurut beliau, kita punya hasil riset yang banyak sekali dan bagus-bagus. Jadi kalau menurut beliau, semangat inovasi dan pionir itu cukup berkibar-kibar didalam dada mereka. Lalu kenapa hasil riset itu tidak pernah bisa dikomersil-kan ? Jawaban-nya sangat sederhana. Konon para periset kebanyakan bercokol di Lit-bang milik pemerintah atau Universitas, sistim upah dan ‘reward’-nya adalah gaji semata. Tidak ada misalnya konsep alokasi “grant” atau dana riset yang jumlahnya besar, sehingga memotivasi semangat pionir mereka untuk masuk dan meneliti sesuatu yang sangat inovatif dan provokatif. Kalau mau minta “grant” harus keluar negeri. Disana mereka harus berkompetisi dengan periset dunia, yang reputasinya jauh lebih dahsyat dari pada kita.

Celakanya pula, kalau ada hasil riset yang berhasil di jual ke swasta, sang peneliti tidak mendapatkan royalti yang bagus sehingga hidupnya sejahtera. Royalti biasanya dipungut oleh Litbang di Pemerintah atau di Universitas. Nah, euphoria “Eureka” persis yang dialami Archimedes, tidak pernah mereka rasakan. Jadi jangan salahkan kalau semangat inovasi dan pionir mereka kadang-kadang rada memble, karena memang insentif yang seharusnya menjadi motivasi mereka, jumlahnya sangat kecil sekali.

Salah satu peneliti senior yang sudah 30 tahun bekerja di lit-bang dan hampir pensiun, mengatakan kepada saya : “Seringkali saya gemas membayangkan potensi yang bisa kita capai dengan kekayaan sumber daya yang kita miliki. Tetapi kurangnya dana dan insentif seringkali mematikan rasa penasaran kita untuk menyelidik dan menjadi pionir. Yang bikin saya juga kesal, adalah hasil riset selama bertahun-tahun, cuma bertahan menjadi sukses laboratorium, yang tidak pernah menjelma menjadi sukses komersil. Kita butuh pihak swasta yang berjiwa entrepener untuk menjadi bapak angkat dan mewujudkan kerja pionir itu menjadi sukses besar. Kalau itu terjadi, mungkin akan menjadi terobosan yang mengangkat semangat kita dikemudian hari ”

Salah satu kasus yang menarik barangkali adalah Xanthones, yaitu zat aktif yang kini disebut sebagai “super anti-oxidant”. Xanthones banyak sekali ditemukan di buah manggis, yang konon ada 30 macam Xanthones yang berbeda. Sejak dahulu hampir semua lit-bang dan universitas di ASEAN tahun tentang Xanthones dan banyak riset tentang zat aktif ini. Jadi ini bukan barang baru. Di Indonesia juga banyak penelitian yang serupa.

Hebatnya Xanthones memiliki sejumlah keajaiban yaitu mampu memperbaiki sistim imunitas badan manusia, yang bermanfaat melawan alergi, infeksi, dan mengurangi level kolesterol. Secara tradisional konon manggis memang usdah digunakan untuk bahan ramuan obat terhadap berbagai penyakit kulit dan perut. Juga Xanthones ini tahan panas. Sehingga tidak mudah rusak ketika diproses.

Walaupun di Asean Xanthones dikenal hampir ditiap dapur lit-bang pertanian, selama bertahun-tahun, di Asean produk ini tidak pernah dijadikan produk yang secara komersial sukses. Garry Hollister, adalah CEO dari perusahaan Enrich International, sebuah perusahaan yang bergerak dibidang nutrisi. Semangat pionir Garry lah, yang kemudian menciptakan Xango, yaitu minuman super juice dari manggis yang kaya dengan anti-oxidant. Garry berpartner dengan Wild Flower, sebuah perusahaan yang bermarkas besar di Heidelberg, Jerman. Perusahaan ini memiliki 200 orang ilmuwan dan kebun komersil di 13 negara, dan memang khusus bergerak dibidang minuman kesehatan.

Kini Xango didistribusikan di lebih dari 23 negara, dengan penjualan fenomenal diatas ratusan juta dolar. Kalau dipikir-pikir, Indonesia sebagai salah satu penghasil manggis terbesar di Asean, yang sudah mengekspor buah manggis ke Singapura dan negara-negara lain-nya, mestinya memiliki peluang yang sama dengan Xango. Tetapi masalahnya - barangkali kombinasinya tidak pernah bisa pas. Disatu pihak kita punya pusat lit-bang dimana-mana. Di pihak lain, kita tidak memiliki satu entrepener seperti Garry Hollister - yang selalu datang dengan ide gila, edan dan nyeleneh, yang punya semangat pionir menggebu-gebu. Mungkinkah ini rahasia sukses yang kita cari selama ini ? “The missing link” – Yang menjembatani antara para periset handal di lit-bang yang memiliki semangat inovasi dan entrepener yang bersemangat pionir. Kini saatnya kita menyatukan keduanya dan memakmurkan republik ini.

1 comment:

Anonymous said...

Lingkaran ini harus secara sadar diputus. Saya dulunya adalah Dosen PTN yang cukup banyak melakukan riset. Tapi yaitu tadi, masalah kesinambungan dan match proyek penelitian hingga menjadi produk handal yang laku menjadi kendala. Tak mau hanya mengeluh, saya keluar dari PTN tersebut yang berarti juga keluar dari PNS dan mulai merintis usaha (http://www.light19.com) yang di dalamnya kami berkreasi melakukan penelitian dan konsisten menata aspek bisnisnya. Dana, kelangsungan dan kesesuaian riset dengan bisnis tak jadi kendala lagi bagi kami. Yang pasti, kesuksesan tak pernah terlahir dari keluhan.