Saturday, August 16, 2008

CAK TO - ENTREPENER PENGEMIS

Cak To, begitu dia biasa dipanggil. Besar di keluarga pengemis, berkarir sebagai pengemis, dan sekarang jadi bos puluhan pengemis di Surabaya. Dari jalur minta-minta itu, dia sekarang punya dua sepeda motor, sebuah mobil gagah, dan empat rumah. Berikut kisah hidupnya.
---
Cak To tak mau nama aslinya dipublikasikan. Dia juga tak mau wajahnya terlihat ketika difoto untuk harian ini. Tapi, Cak To mau bercerita cukup banyak tentang hidup dan ''karir''-nya. Dari anak pasangan pengemis yang ikut mengemis, hingga sekarang menjadi bos bagi sekitar 54 pengemis di Surabaya.Setelah puluhan tahun mengemis, Cak To sekarang memang bisa lebih menikmati hidup.

Sejak 2000, dia tak perlu lagi meminta-minta di jalanan atau perumahan. Cukup mengelola 54 anak buahnya, uang mengalir teratur ke kantong.Sekarang, setiap hari, dia mengaku mendapatkan pemasukan bersih Rp 200 ribu hingga Rp 300 ribu. Berarti, dalam sebulan, dia punya pendapatan Rp 6 juta hingga Rp 9 juta.Cak To sekarang juga sudah punya rumah di kawasan Surabaya Barat, yang didirikan di atas tanah seluas 400 meter persegi. Di kampung halamannya di Madura, Cak To sudah membangun dua rumah lagi. Satu untuk dirinya, satu lagi untuk emak dan bapaknya yang sudah renta. Selain itu, ada satu lagi rumah yang dia bangun di Kota Semarang.Untuk ke mana-mana, Cak To memiliki dua sepeda motor Honda Supra Fit dan sebuah mobil Honda CR-V kinclong keluaran 2004.
***
Tidak mudah menemui seorang bos pengemis. Ketika menemui wartawan harian ini di tempat yang sudah dijanjikan, Cak To datang menggunakan mobil Honda CR-V-nya yang berwarna biru metalik.Meski punya mobil yang kinclong, penampilan Cak To memang tidak terlihat seperti ''orang mampu''. Badannya kurus, kulitnya hitam, dengan rambut berombak dan terkesan awut-awutan. Dari gaya bicara, orang juga akan menebak bahwa pria kelahiran 1960 itu tak mengenyam pendidikan cukup. Cak To memang tak pernah menamatkan sekolah dasar.Dengan bahasa Madura yang sesekali dicampur bahasa Indonesia, pria beranak dua itu mengaku sadar bahwa profesinya akan selalu dicibir orang. Namun, pria asal Bangkalan tersebut tidak peduli. ''Yang penting halal,'' ujarnya mantap.

Cak To bercerita, hampir seluruh hidupnya dia jalani sebagai pengemis. Sulung di antara empat bersaudara itu menjalani dunia tersebut sejak sebelum usia sepuluh tahun. Menurtu dia, tidak lama setelah peristiwa pemberontakan G-30-S/PKI. Maklum, emak dan bapaknya dulu pengemis di Bangkalan.

''Dulu awalnya saya diajak Emak untuk meminta-minta di perempatan,'' ungkapnya.Karena mengemis di Bangkalan kurang ''menjanjikan'', awal 1970-an, Cak To diajak orang tua pindah ke Surabaya. Adik-adiknya tidak ikut, dititipkan di rumah nenek di sebuah desa di sekitar Bangkalan. Tempat tinggal mereka yang pertama adalah di emprean sebuah toko di kawasan Jembatan Merah. Bertahun-tahun lamanya mereka menjadi pengemis di Surabaya. Ketika remaja, ''bakat'' Cak To untuk menjadi bos pengemis mulai terlihat. Waktu itu, uang yang mereka dapatkan dari meminta-minta sering dirampas preman. Bapak Cak To mulai sakit-sakitan, tak kuasa membela keluarga. Sebagai anak tertua, Cak To-lah yang melawan. ''Saya sering berkelahi untuk mempertahankan uang,'' ungkapnya bangga.Meski berperawakan kurus dan hanya bertinggi badan 155 cm, Cak To berani melawan siapa pun. Dia bahkan tak segan menyerang musuhnya menggunakan pisau jika uangnya dirampas. Karena keberaniannya itulah, pria berambut ikal tersebut lantas disegani di kalangan pengemis. ''Wis tak nampek. Mon la nyalla sebet (Kalau dia bikin gara-gara, langsung saya sabet, Red),'' tegasnya.Selain harus menghadapi preman, pengalaman tidak menyenangkan terjadi ketika dia atau keluarga lain terkena razia petugas Satpol PP. ''Kami berpencar kalau mengemis,'' jelasnya. Kalau ada keluarga yang terkena razia, mau tidak mau mereka harus mengeluarkan uang hingga ratusan ribu untuk membebaskan.
***
Cak To tergolong pengemis yang mau belajar. Bertahun-tahun mengemis, berbagai ''ilmu'' dia dapatkan untuk terus meningkatkan penghasilan. Mulai cara berdandan, cara berbicara, cara menghadapi aparat, dan sebagainya.

Makin lama, Cak To menjadi makin senior, hingga menjadi mentor bagi pengemis yang lain. Penghasilannya pun terus meningkat. Pada pertengahan 1990, penghasilan Cak To sudah mencapai Rp 30 ribu sampai Rp 50 ribu per hari. ''Pokoknya sudah enak,'' katanya.Dengan penghasilan yang terus meningkat, Cak To mampu membeli sebuah rumah sederhana di kampungnya. Saat pulang kampung, dia sering membelikan oleh-oleh cukup mewah. ''Saya pernah beli oleh-oleh sebuah tape recorder dan TV 14 inci,'' kenangnya.Saat itulah, Cak To mulai meniti langkah menjadi seorang bos pengemis. Dia mulai mengumpulkan anak buah.Cerita tentang ''keberhasilan'' Cak To menyebar cepat di kampungnya. Empat teman seumuran mengikutinya ke Surabaya. ''Kasihan, panen mereka gagal. Ya sudah, saya ajak saja,'' ujarnya enteng.Sebelum ke Surabaya, Cak To mengajari mereka cara menjadi pengemis yang baik. Pelajaran itu terus dia lanjutkan ketika mereka tinggal di rumah kontrakan di kawasan Surabaya Barat. ''Kali pertama, teman-teman mengaku malu. Tapi, saya meyakinkan bahwa dengan pekerjaan ini, mereka bisa membantu saudara di kampung,'' tegasnya.Karena sudah mengemis sebagai kelompok, mereka pun bagi-bagi wilayah kerja. Ada yang ke perumahan di kawasan Surabaya Selatan, ada yang ke Surabaya Timur.Agar tidak mencolok, ketika berangkat, mereka berpakaian rapi. Ketika sampai di ''pos khusus'', Cak To dan empat rekannya itu lantas mengganti penampilan. Tampil compang-camping untuk menarik iba dan uang recehan.

Hanya setahun mengemis, kehidupan empat rekan tersebut menunjukkan perbaikan. Mereka tak lagi menumpang di rumah Cak To. Sudah punya kontrakan sendiri-sendiri.Pada 1996 itu pula, pada usia ke-36, Cak To mengakhiri masa lajang. Dia menyunting seorang gadis di kampungnya. Sejak menikah, kehidupan Cak To terus menunjukkan peningkatan...
***
Setiap tahun, jumlah anak buah Cak To terus bertambah. Semakin banyak anak buah, semakin banyak pula setoran yang mereka berikan kepada Cak To. Makanya, sejak 2000, dia sudah tidak mengemis setiap hari.Sebenarnya, Cak To tak mau mengungkapkan jumlah setoran yang dia dapatkan setiap hari. Setelah didesak, dia akhirnya mau buka mulut. Yaitu, Rp 200 ribu hingga Rp 300 ribu per hari, yang berarti Rp 6 juta hingga Rp 9 juta per bulan.Menurut Cak To, dia tidak memasang target untuk anak buahnya. Dia hanya minta setoran sukarela. Ada yang setor setiap hari, seminggu sekali, atau sebulan sekali. ''Ya alhamdulillah, anak buah saya masih loyal kepada saya,'' ucapnya.

Dari penghasilannya itu, Cak To bahkan mampu memberikan sebagian nafkah kepada masjid dan musala di mana dia singgah. Dia juga tercatat sebagai donatur tetap di sebuah masjid di Gresik. ''Amal itu kan ibadah. Mumpung kita masih hidup, banyaklah beramal,'' katanya.Sekarang, dengan hidup yang sudah tergolong enak itu, Cak To mengaku tinggal mengejar satu hal saja. ''Saya ingin naik haji,'' ungkapnya. Bila segalanya lancar, Cak To akan mewujudkan itu pada 2010 nanti... (ded/aza)

8 comments:

Anonymous said...

Kok saya tidak setuju yah kalau mengemis dianggap sebagai suatu "pekerjaan", memang mengkoordinir pengemis juga dibutuhkan management, tapi bukankah hal seperti ini malah meningkatkan "kemalasan"....

KAFI KURNIA said...

ha...ha....
saya juga ngak setuju
mungkin CAK TO bukan contoh yg baek
tapi barangkali juga
semangatnya yang selalu mau belajar
pantang menyerah
ulet dan tekun
adalah contoh yang unik

mungkin itu yg bisa kita jadikan pelajaran.

herryhasibuan said...

waa.. beritanya pisau bermata dua.. lebih baik dijadikan surat u pak presiden :) :(

salam kenal y pak kafi.. i'm yur fan.. apakah buku barunya ada yang berisi sama dengan buku yang lama?

Alberth Chen said...

Ini alternatif kalau kerjanya nggak niat alias ogah-ogahan. Ngemis aja, siapa tahu bisa sukses juga.

Hahaha...

Contoh yang buruk sekali Pak Kafi.

Anonymous said...

Betul sekali Bung Kafi komentar temans semua...
Saya juga sangat tidak setuju bahwa Pengemis Sukses disebut sebagai Pengusaha. Ini contoh yang sangat bertentangan dengan agama, budaya, nilai-nilai sosial kemanusian dan apapun norma-norma kebaikan dalam hidup ini.
Agama mewajibkan kita untuk memiliki harta yang cukup untuk melalui ikhtiar, dan tangan di atas jauh lebih baik dari tangan di bawah.
Terlepas sukses karena kegigihan, saya rasa masih banyak contoh di sekeliling kita yang sangat bijak untuk kita tauladani


Pendengar Setia Talkshow Kafi Kurnia di Radio Trijaya FM Setiap Rabu Sore.

Anonymous said...

ini mah preman koordinator pengemis
apa iyah ini entrepreneur....???

Anonymous said...

instanisasi masa yang merapuhkan mental bangsa
. tapi secra pengelolaan tim bagus bagaimana klo kita dberikan workshop wira usaha??tapi sebelumnya harus diberikan workshop dasar dulu yaitu perbaikan mental

Anonymous said...

gak semua orang lahir beruntung,, cak to sudah pasti tidak beruntung ketika dilahirkan,, kemudian dia berusaha keras merubah nasibnya,, dan dia berhasil,, hanya jalannya saja yang beda2.. dan jalan yang diambil cak to sudah pasti salah,,

mengemis bukanlah pekerjaan HALAL dalam Islam,, mengemis hanya boleh dilakukan 3 kondisi :
1. Terdesak hutang (murni hutang, bukan riba)
2. Tidak ada lagi tulang punggung pencari nafkah dikeluarga (boleh meminta2 sampai mampu berusaha yang lain)
3. Tertimpa musibah besar (boleh meminta2 sampai kadar tertentu)

semoga Cak To membaca ini..