Pernah sekali seorang dosen matematika memberikan saya sebuah rumus kehidupan, kata beliau cita-cita sama dengan harapan ditambah usaha. Artinya selama kita memiliki keinginan maka selama itupula kita wajib berusaha dan berjuang. Kadang kita menang dan mendapatkan apa yang kita inginkan. Kadang pula kita gagal meraih apa yang kita inginkan. Patutkah kita kecewa ? Patutkah kita marah dan menyalahkan nasib ? Atau justru menyerah dan cukup pasrah ?
Topik ini pernah saya diskusikan dengan Mpu Peniti, mentor saya. Sebagai bahan pemikiran, beliau lalu mengisahkan tentang 2 orang pendaki gunung. Yang pertama adalah pendaki gunung terkenal, ia sudah berhasil mendaki puncak gunung Everest 6 kali. Pendaki gunung kedua, kebetulan pendaki amatir yang baru pertama kali ingin mencoba mendaki gunung Everest. Suatu hari keduanya memutuskan untuk mendaki gunung Everest, yang satu dari Utara dan yang satu dari Selatan. Karena badai yang datang tiba-tiba, keduanya meninggal di pertengahan jalan.
Semua koran dan media lalu memberitakan tentang kematian pendaki yang pertama. Dan merasa kehilangan yang sangat besar. Maklum pendaki pertama memiliki reputasi segudang. Pemakamannya juga sangat meriah luar biasa. Mirip sebuah pementasan akbar. Tetapi pendaki kedua tidak ada yang memberitakan. Semata karena ia pendaki amatir yang tidak dikenal. Ia bukanlah siapa-siapa. Pemakamannya sangat sederhana. Tetapi dihadiri sejumlah kerabat dekat, dan mereka semua menangis sedih. Mereka tahu betul pendaki kedua mempersiapkan diri sungguh-sungguh selama lima tahun. Mendaki Everest adalah cita-cita terbesar miliknya.
Pendaki pertama yang telah berhasil mendaki Everest 6 kali dan sukses, melakukan pendakian ke 7 hanya karena ingin memecahkan rekor. Lalu Mpu Peniti, bertanya serius kepada saya. Manakah perjuangan dan usaha yang lebih bernilai dan berarti ? Pendaki pertama ? Atau malah pendaki yang kedua ? Saya sempat terhenyak tidak tahu jawaban yang pasti. Berhari-hari saya memikirkan jawaban dari teka-teki ini. Tidak ada satu jawaban-pun yang pas mengena dan menjawab tuntas.
Dalam perjalanan pulang dari Denver ke Jakarta, saya sempat mampir di San Francisco. Pagi itu saya membaca sebuah berita unik, yaitu sebuah orbituari tentang Prof. Randy Pausch. Kebetulan saya baru membeli buku beliau “The Last Lecture” – dan belum sempat membacanya. Prof. Randy Pausch adalah seorang profesor dibidang keilmuan komputer, yang malang terkena penyakit kanker pankreas. Universitas Carnegie Mellon tempatnya mengajar, lalu menawarkan kepada Prof. Randy untuk memberikan ‘kuliah tearkhir’. Kuliah itu dihadiri oleh 400 orang, pada September 2007. Dan di posting pula di internet, dan menjadi buah bibir yang fenomenal. Karena isinya begitu menyentuh banyak orang tentang bagaimana hidup dan mati yang sempurna.
Lalu atas desakan banyak orang, kuliah terakhirnya diminta untuk dibuku-kan. Prof. Randy lalu menyewa seorang penulis Jeffrey Zaslow dari Wall Street Journal untuk menulis bukunya. Selama 50 hari, setiap hari ketika bersepeda, Prof. Randy mendikte-kan pemikirannya lewat telpon seluler kepada Jeffrey. Dan jadilah buku dengan judul yang sama “The Last Lecture” yang terbit April 2008. Ada sebaris kalimat beliau yang sangat menyentuh hati saya : “Experience – is what you get when you didn’t get what you wanted”. Prof. Randy tidak sedikit-pun memiliki perasaan negatif tentang perjalanan hidupnya. Dan kalimat itu pula yang menjadi jawaban yang saya rasakan pas soal teka-teki Mpu Peniti. Bahwa setiap langkah yang kita ambil dalam perjalanan hidup ini, tidak ada satu-pun yang berarti gagal. Sebab sesungguhnya sukses dan gagal adalah sama-sama sebuah pengalaman. Hanya saja keduanya memang berbeda.
Malam harinya, saya ngopi bersama teman lama di Tart & Tart, sembari menikmati kue cheese-cake kesukaan saya. Ia bercerita bahwa ia hampir saja selesai membangun rumahnya. Secara getir ia menceritakan bahwa rumahnya dibangun selama hampir 4 tahun. Semata karena ia mempercayakan kontraktor pembangunan rumahnya, kepada saudara tirinya. Dan hasilnya memang amburadul. Mulanya ia kecewa luar biasa. Emosinya terkuras antara marah dan air-mata. Tetapi ia teruskan perlahan dengan selangkah demi selangkah. Di akhir ceritanya, ia betul-betul menyimpulkan bahwa yang tadinya ia anggap sebuah kegagalan total, ternyata menjadi sebuah pengalaman yang luar biasa. Ia bergurau kepada saya, bahwa kini ia tahu caranya membangun sebuah rumah mulai dari mengurus ijin, membangun-nya, hingga memasang instalasi listrik. Persis seperti ungkapan Prof. Randy, bahwa dalam hidup ini tidak ada yang terbuang percuma dan menjadi kegagalan. Karena semuanya akan menjadi pengalaman yang tak ternilai harganya. Apapun bentuknya. Sukses dan gagal. Keduanya sama-sama pengalaman !
Topik ini pernah saya diskusikan dengan Mpu Peniti, mentor saya. Sebagai bahan pemikiran, beliau lalu mengisahkan tentang 2 orang pendaki gunung. Yang pertama adalah pendaki gunung terkenal, ia sudah berhasil mendaki puncak gunung Everest 6 kali. Pendaki gunung kedua, kebetulan pendaki amatir yang baru pertama kali ingin mencoba mendaki gunung Everest. Suatu hari keduanya memutuskan untuk mendaki gunung Everest, yang satu dari Utara dan yang satu dari Selatan. Karena badai yang datang tiba-tiba, keduanya meninggal di pertengahan jalan.
Semua koran dan media lalu memberitakan tentang kematian pendaki yang pertama. Dan merasa kehilangan yang sangat besar. Maklum pendaki pertama memiliki reputasi segudang. Pemakamannya juga sangat meriah luar biasa. Mirip sebuah pementasan akbar. Tetapi pendaki kedua tidak ada yang memberitakan. Semata karena ia pendaki amatir yang tidak dikenal. Ia bukanlah siapa-siapa. Pemakamannya sangat sederhana. Tetapi dihadiri sejumlah kerabat dekat, dan mereka semua menangis sedih. Mereka tahu betul pendaki kedua mempersiapkan diri sungguh-sungguh selama lima tahun. Mendaki Everest adalah cita-cita terbesar miliknya.
Pendaki pertama yang telah berhasil mendaki Everest 6 kali dan sukses, melakukan pendakian ke 7 hanya karena ingin memecahkan rekor. Lalu Mpu Peniti, bertanya serius kepada saya. Manakah perjuangan dan usaha yang lebih bernilai dan berarti ? Pendaki pertama ? Atau malah pendaki yang kedua ? Saya sempat terhenyak tidak tahu jawaban yang pasti. Berhari-hari saya memikirkan jawaban dari teka-teki ini. Tidak ada satu jawaban-pun yang pas mengena dan menjawab tuntas.
Dalam perjalanan pulang dari Denver ke Jakarta, saya sempat mampir di San Francisco. Pagi itu saya membaca sebuah berita unik, yaitu sebuah orbituari tentang Prof. Randy Pausch. Kebetulan saya baru membeli buku beliau “The Last Lecture” – dan belum sempat membacanya. Prof. Randy Pausch adalah seorang profesor dibidang keilmuan komputer, yang malang terkena penyakit kanker pankreas. Universitas Carnegie Mellon tempatnya mengajar, lalu menawarkan kepada Prof. Randy untuk memberikan ‘kuliah tearkhir’. Kuliah itu dihadiri oleh 400 orang, pada September 2007. Dan di posting pula di internet, dan menjadi buah bibir yang fenomenal. Karena isinya begitu menyentuh banyak orang tentang bagaimana hidup dan mati yang sempurna.
Lalu atas desakan banyak orang, kuliah terakhirnya diminta untuk dibuku-kan. Prof. Randy lalu menyewa seorang penulis Jeffrey Zaslow dari Wall Street Journal untuk menulis bukunya. Selama 50 hari, setiap hari ketika bersepeda, Prof. Randy mendikte-kan pemikirannya lewat telpon seluler kepada Jeffrey. Dan jadilah buku dengan judul yang sama “The Last Lecture” yang terbit April 2008. Ada sebaris kalimat beliau yang sangat menyentuh hati saya : “Experience – is what you get when you didn’t get what you wanted”. Prof. Randy tidak sedikit-pun memiliki perasaan negatif tentang perjalanan hidupnya. Dan kalimat itu pula yang menjadi jawaban yang saya rasakan pas soal teka-teki Mpu Peniti. Bahwa setiap langkah yang kita ambil dalam perjalanan hidup ini, tidak ada satu-pun yang berarti gagal. Sebab sesungguhnya sukses dan gagal adalah sama-sama sebuah pengalaman. Hanya saja keduanya memang berbeda.
Malam harinya, saya ngopi bersama teman lama di Tart & Tart, sembari menikmati kue cheese-cake kesukaan saya. Ia bercerita bahwa ia hampir saja selesai membangun rumahnya. Secara getir ia menceritakan bahwa rumahnya dibangun selama hampir 4 tahun. Semata karena ia mempercayakan kontraktor pembangunan rumahnya, kepada saudara tirinya. Dan hasilnya memang amburadul. Mulanya ia kecewa luar biasa. Emosinya terkuras antara marah dan air-mata. Tetapi ia teruskan perlahan dengan selangkah demi selangkah. Di akhir ceritanya, ia betul-betul menyimpulkan bahwa yang tadinya ia anggap sebuah kegagalan total, ternyata menjadi sebuah pengalaman yang luar biasa. Ia bergurau kepada saya, bahwa kini ia tahu caranya membangun sebuah rumah mulai dari mengurus ijin, membangun-nya, hingga memasang instalasi listrik. Persis seperti ungkapan Prof. Randy, bahwa dalam hidup ini tidak ada yang terbuang percuma dan menjadi kegagalan. Karena semuanya akan menjadi pengalaman yang tak ternilai harganya. Apapun bentuknya. Sukses dan gagal. Keduanya sama-sama pengalaman !
1 comment:
Setuju Pak!
Post a Comment