Tuesday, August 26, 2008
Thursday, August 21, 2008
TIDAK LAKU
Masalah utama bisnis barangkali cuma ada satu : yaitu bagaimana membuat produk kita laris ? Sederhana sekali sebenarnya. Tetapi susahnya bukan main . Setiap tahun lebih dari 20.000 produk yang diluncurkan dan masuk ke pasar Amerika, gagal dan tidak laku. Istilahnya ‘layu sebelum berkembang’ Penyebabnya banyak sekali. Dan sangat kompleks. Lebih dari 50% dari produk itu gagal karena perencanaan yang sangat buruk sekali. Sisanya kebanyakan gagal karena strategi marketing yang salah kaprah, dan pemilihan jalur distribusi yang keliru. Kunci selanjutnya yang juga maha penting adalah support yang terlampau lemah. Artinya produknya tidak dipromosikan dengan baik. Atau kita terlampau pelit untuk merekrut tenaga sales yang berkualitas dan canggih.
Itu sebabnya, ‘membuat produk laris’ merupakan industri tersendiri. Sampai-sampai banyak sekali dukun dan konsultan spiritualnya. Teman saya misalnya, rajin sekali berkunjung dan berkonsultasi dengan dukun. Minta ‘penglaris’ begitu istilahnya. Usahanya sendiri memang tidak jelek. Cukup laris malah. Tapi apakah itu memang gara-gara upaya dan jimat dukun ? Atau sang dukun cuma membuat teman saya lebih PeDe dan fokus terus menerus ke bisnisnya. Sehingga ia tekun dan akhirnya laris.
Konsultan ‘bikin laris’ bukan hanya dukun saja, tapi masih banyak lagi. Banyak pengusaha yang juga menggunakan konsultan ‘feng-shui’ untuk menata lokasi usahanya agar ideal dan harmonis enerjinya - sehingga membuat konsumen betah dan bisnisnya laris. Disamping dua upaya lain, masih banyak pengusaha yang menempuh aneka jalan spiritual yang ceritanya lebih serem dan tidak enak kita ceritakan disini.
Membuat produk laris, juga meninggalkan sejumlah mitos dan kepercayaan. Sejumlah pengusaha mengaku mereka punya pantangan dan kepercayaan tersendiri. Mulai dari merekrut pegawai dengan tipe tertentu, hingga perbuatan-perbuatan tertentu yang semua tujuan-nya membuat usaha dan bisnisnya laris. Juga ada pengusaha yang rajin menyumbang amal dan sedekah, semata karena takut bisnisnya ngak laris. Ini mestinya adalah alasan yang salah kaprah. Tapi mereka percaya kalau mereka baik hati, rajin beramal, maka Tuhan juga akan menolong bisnis mereka, dan membuatnya laris.
Zig Ziglar, pelatih sales-man yang sangat kondang di Amerika, yang telah menulis sejumlah buku tentang ‘salesman-ship’ punya solusi yang lebih sederhana sebenarnya. Zig Ziglar menyimpulkan bahwa seringkali produk atau jasa yang kita jual tidak laris, seringkali alasan-nya semata karena kita tahu membuatnya tetapi tidak tahu menjualnya. Ini masalah umum di berbagai kegiatan UKM. Seorang tukang bakso, mengaku punya resep khusus dari Taiwan. Yang membuat bakso mereka sangat garing dan enak sekali. Saya sudah mencobanya. Dan memang lezat. Tapi ia kebinggungan untuk menjualnya. Kelihatannya sepele, tapi ini penyakit super serius. Jangan sekali-kali berpikir bahwa kalau produk anda bagus pasti jaminan laku. Sebaliknya jangan juga mudah beramsumsi bahwa kalu produk anda murah, juga akan pasti laku. Tidak semudah itu.
Menurut Zig Ziglar, setiap produk yang dijual memiliki 5 halangan utama, bagi konsumen untuk ngeles dan tidak membeli. Konsumen merasa tidak membutuhkan. Konsumen tidak punya uang. Konsumen tidak diburu waktu. Konsumen tidak memiliki keinginan. Dan konsumen tidak percaya ! Nasehat Zig Ziglar sering saya terapkan dalam banyak kasus dan memang manjur selalu. Pertama-tama anda harus bisa membuat produk anda memiliki keseimbangan antara ‘keinginan’ dan ‘kebutuhan’. Contoh, semua orang selalu lapar, dan perlu makan. Ini namanya kebutuhan. Tetapi ketika lapar tidak semua orang ingin makan hidangan yang sama. Ada yang ingin gado-gado, ada yang ingin pizza dan ada yang ingin nasi goreng. Nah, ini namanya ‘keinginan’. Nasehat Zig Ziglar sederhana, buatlah produk yang dibutuhkan banyak orang. Masalah orang itu akhirnya menginginkan produk anda atau tidak - adalah masalah bagaimana anda secara kreatif mempromosikan-nya !
Langkah kedua supaya orang menginginkan produk anda, siasatnya adalah membuat orang percaya (trust) dan harganya terjangkau. Ayah saya pernah bercerita, dua orang penjual gado-gado. Yang pertama ibu berkebaya, dan menguleknya dengan cobek batu yang besar. Yang kedua pria biasa. Maka ayah saya akan memilih gado-gado yang dijual ibu berkebaya. Karena menurut ayah saya kelihatan lebih meyakinkan. Harga yang terjangkau belum tentu murah selalu. Tetapi punya persepsi yang pas. Di Bali ada warung yang menjual menu unik yaitu Nasi ½ dan Gado-gado ½ . Karena memang semua prosi gado-gado selalu terlalu banyak untuk dimakan sendiri. Dengan kombinasi seperti ini, konsumen merasa harganya pantas dan pas. ‘Added value’nya tinggi yaitu menu komplit nasi dan gado-gado.
Itu sebabnya, ‘membuat produk laris’ merupakan industri tersendiri. Sampai-sampai banyak sekali dukun dan konsultan spiritualnya. Teman saya misalnya, rajin sekali berkunjung dan berkonsultasi dengan dukun. Minta ‘penglaris’ begitu istilahnya. Usahanya sendiri memang tidak jelek. Cukup laris malah. Tapi apakah itu memang gara-gara upaya dan jimat dukun ? Atau sang dukun cuma membuat teman saya lebih PeDe dan fokus terus menerus ke bisnisnya. Sehingga ia tekun dan akhirnya laris.
Konsultan ‘bikin laris’ bukan hanya dukun saja, tapi masih banyak lagi. Banyak pengusaha yang juga menggunakan konsultan ‘feng-shui’ untuk menata lokasi usahanya agar ideal dan harmonis enerjinya - sehingga membuat konsumen betah dan bisnisnya laris. Disamping dua upaya lain, masih banyak pengusaha yang menempuh aneka jalan spiritual yang ceritanya lebih serem dan tidak enak kita ceritakan disini.
Membuat produk laris, juga meninggalkan sejumlah mitos dan kepercayaan. Sejumlah pengusaha mengaku mereka punya pantangan dan kepercayaan tersendiri. Mulai dari merekrut pegawai dengan tipe tertentu, hingga perbuatan-perbuatan tertentu yang semua tujuan-nya membuat usaha dan bisnisnya laris. Juga ada pengusaha yang rajin menyumbang amal dan sedekah, semata karena takut bisnisnya ngak laris. Ini mestinya adalah alasan yang salah kaprah. Tapi mereka percaya kalau mereka baik hati, rajin beramal, maka Tuhan juga akan menolong bisnis mereka, dan membuatnya laris.
Zig Ziglar, pelatih sales-man yang sangat kondang di Amerika, yang telah menulis sejumlah buku tentang ‘salesman-ship’ punya solusi yang lebih sederhana sebenarnya. Zig Ziglar menyimpulkan bahwa seringkali produk atau jasa yang kita jual tidak laris, seringkali alasan-nya semata karena kita tahu membuatnya tetapi tidak tahu menjualnya. Ini masalah umum di berbagai kegiatan UKM. Seorang tukang bakso, mengaku punya resep khusus dari Taiwan. Yang membuat bakso mereka sangat garing dan enak sekali. Saya sudah mencobanya. Dan memang lezat. Tapi ia kebinggungan untuk menjualnya. Kelihatannya sepele, tapi ini penyakit super serius. Jangan sekali-kali berpikir bahwa kalau produk anda bagus pasti jaminan laku. Sebaliknya jangan juga mudah beramsumsi bahwa kalu produk anda murah, juga akan pasti laku. Tidak semudah itu.
Menurut Zig Ziglar, setiap produk yang dijual memiliki 5 halangan utama, bagi konsumen untuk ngeles dan tidak membeli. Konsumen merasa tidak membutuhkan. Konsumen tidak punya uang. Konsumen tidak diburu waktu. Konsumen tidak memiliki keinginan. Dan konsumen tidak percaya ! Nasehat Zig Ziglar sering saya terapkan dalam banyak kasus dan memang manjur selalu. Pertama-tama anda harus bisa membuat produk anda memiliki keseimbangan antara ‘keinginan’ dan ‘kebutuhan’. Contoh, semua orang selalu lapar, dan perlu makan. Ini namanya kebutuhan. Tetapi ketika lapar tidak semua orang ingin makan hidangan yang sama. Ada yang ingin gado-gado, ada yang ingin pizza dan ada yang ingin nasi goreng. Nah, ini namanya ‘keinginan’. Nasehat Zig Ziglar sederhana, buatlah produk yang dibutuhkan banyak orang. Masalah orang itu akhirnya menginginkan produk anda atau tidak - adalah masalah bagaimana anda secara kreatif mempromosikan-nya !
Langkah kedua supaya orang menginginkan produk anda, siasatnya adalah membuat orang percaya (trust) dan harganya terjangkau. Ayah saya pernah bercerita, dua orang penjual gado-gado. Yang pertama ibu berkebaya, dan menguleknya dengan cobek batu yang besar. Yang kedua pria biasa. Maka ayah saya akan memilih gado-gado yang dijual ibu berkebaya. Karena menurut ayah saya kelihatan lebih meyakinkan. Harga yang terjangkau belum tentu murah selalu. Tetapi punya persepsi yang pas. Di Bali ada warung yang menjual menu unik yaitu Nasi ½ dan Gado-gado ½ . Karena memang semua prosi gado-gado selalu terlalu banyak untuk dimakan sendiri. Dengan kombinasi seperti ini, konsumen merasa harganya pantas dan pas. ‘Added value’nya tinggi yaitu menu komplit nasi dan gado-gado.
Yang terakhir adalah momentum. Kadang konsumen kalau belum kepepet waktunya konsumen belum termotivasi untuk beli. Parsel Lebaran selalu laris 3 hari menjelang Lebaran. Hotel selalu penuh dipesan seminggu sebelum liburan panjang. Toko oleh-oleh di Airport, biarpun harganya agak mahal, selalu laris dibeli orang. Rahasianya anda perlu berada ‘at the right place and at the right time’. Mungkin anda bingung, kalau nasehat Zig Ziglar begitu mudah ? Mengapa juga orang mencari solusi yang sulit. Itulah ! Kata pribahasa kadang gajah didepan pelupuk mata sekalipun, tidak pernah juga terlihat
Saturday, August 16, 2008
CAK TO - ENTREPENER PENGEMIS
Cak To, begitu dia biasa dipanggil. Besar di keluarga pengemis, berkarir sebagai pengemis, dan sekarang jadi bos puluhan pengemis di Surabaya. Dari jalur minta-minta itu, dia sekarang punya dua sepeda motor, sebuah mobil gagah, dan empat rumah. Berikut kisah hidupnya.
---
Cak To tak mau nama aslinya dipublikasikan. Dia juga tak mau wajahnya terlihat ketika difoto untuk harian ini. Tapi, Cak To mau bercerita cukup banyak tentang hidup dan ''karir''-nya. Dari anak pasangan pengemis yang ikut mengemis, hingga sekarang menjadi bos bagi sekitar 54 pengemis di Surabaya.Setelah puluhan tahun mengemis, Cak To sekarang memang bisa lebih menikmati hidup.
Sejak 2000, dia tak perlu lagi meminta-minta di jalanan atau perumahan. Cukup mengelola 54 anak buahnya, uang mengalir teratur ke kantong.Sekarang, setiap hari, dia mengaku mendapatkan pemasukan bersih Rp 200 ribu hingga Rp 300 ribu. Berarti, dalam sebulan, dia punya pendapatan Rp 6 juta hingga Rp 9 juta.Cak To sekarang juga sudah punya rumah di kawasan Surabaya Barat, yang didirikan di atas tanah seluas 400 meter persegi. Di kampung halamannya di Madura, Cak To sudah membangun dua rumah lagi. Satu untuk dirinya, satu lagi untuk emak dan bapaknya yang sudah renta. Selain itu, ada satu lagi rumah yang dia bangun di Kota Semarang.Untuk ke mana-mana, Cak To memiliki dua sepeda motor Honda Supra Fit dan sebuah mobil Honda CR-V kinclong keluaran 2004.
***
Tidak mudah menemui seorang bos pengemis. Ketika menemui wartawan harian ini di tempat yang sudah dijanjikan, Cak To datang menggunakan mobil Honda CR-V-nya yang berwarna biru metalik.Meski punya mobil yang kinclong, penampilan Cak To memang tidak terlihat seperti ''orang mampu''. Badannya kurus, kulitnya hitam, dengan rambut berombak dan terkesan awut-awutan. Dari gaya bicara, orang juga akan menebak bahwa pria kelahiran 1960 itu tak mengenyam pendidikan cukup. Cak To memang tak pernah menamatkan sekolah dasar.Dengan bahasa Madura yang sesekali dicampur bahasa Indonesia, pria beranak dua itu mengaku sadar bahwa profesinya akan selalu dicibir orang. Namun, pria asal Bangkalan tersebut tidak peduli. ''Yang penting halal,'' ujarnya mantap.
Cak To bercerita, hampir seluruh hidupnya dia jalani sebagai pengemis. Sulung di antara empat bersaudara itu menjalani dunia tersebut sejak sebelum usia sepuluh tahun. Menurtu dia, tidak lama setelah peristiwa pemberontakan G-30-S/PKI. Maklum, emak dan bapaknya dulu pengemis di Bangkalan.
''Dulu awalnya saya diajak Emak untuk meminta-minta di perempatan,'' ungkapnya.Karena mengemis di Bangkalan kurang ''menjanjikan'', awal 1970-an, Cak To diajak orang tua pindah ke Surabaya. Adik-adiknya tidak ikut, dititipkan di rumah nenek di sebuah desa di sekitar Bangkalan. Tempat tinggal mereka yang pertama adalah di emprean sebuah toko di kawasan Jembatan Merah. Bertahun-tahun lamanya mereka menjadi pengemis di Surabaya. Ketika remaja, ''bakat'' Cak To untuk menjadi bos pengemis mulai terlihat. Waktu itu, uang yang mereka dapatkan dari meminta-minta sering dirampas preman. Bapak Cak To mulai sakit-sakitan, tak kuasa membela keluarga. Sebagai anak tertua, Cak To-lah yang melawan. ''Saya sering berkelahi untuk mempertahankan uang,'' ungkapnya bangga.Meski berperawakan kurus dan hanya bertinggi badan 155 cm, Cak To berani melawan siapa pun. Dia bahkan tak segan menyerang musuhnya menggunakan pisau jika uangnya dirampas. Karena keberaniannya itulah, pria berambut ikal tersebut lantas disegani di kalangan pengemis. ''Wis tak nampek. Mon la nyalla sebet (Kalau dia bikin gara-gara, langsung saya sabet, Red),'' tegasnya.Selain harus menghadapi preman, pengalaman tidak menyenangkan terjadi ketika dia atau keluarga lain terkena razia petugas Satpol PP. ''Kami berpencar kalau mengemis,'' jelasnya. Kalau ada keluarga yang terkena razia, mau tidak mau mereka harus mengeluarkan uang hingga ratusan ribu untuk membebaskan.
***
Cak To tergolong pengemis yang mau belajar. Bertahun-tahun mengemis, berbagai ''ilmu'' dia dapatkan untuk terus meningkatkan penghasilan. Mulai cara berdandan, cara berbicara, cara menghadapi aparat, dan sebagainya.
Makin lama, Cak To menjadi makin senior, hingga menjadi mentor bagi pengemis yang lain. Penghasilannya pun terus meningkat. Pada pertengahan 1990, penghasilan Cak To sudah mencapai Rp 30 ribu sampai Rp 50 ribu per hari. ''Pokoknya sudah enak,'' katanya.Dengan penghasilan yang terus meningkat, Cak To mampu membeli sebuah rumah sederhana di kampungnya. Saat pulang kampung, dia sering membelikan oleh-oleh cukup mewah. ''Saya pernah beli oleh-oleh sebuah tape recorder dan TV 14 inci,'' kenangnya.Saat itulah, Cak To mulai meniti langkah menjadi seorang bos pengemis. Dia mulai mengumpulkan anak buah.Cerita tentang ''keberhasilan'' Cak To menyebar cepat di kampungnya. Empat teman seumuran mengikutinya ke Surabaya. ''Kasihan, panen mereka gagal. Ya sudah, saya ajak saja,'' ujarnya enteng.Sebelum ke Surabaya, Cak To mengajari mereka cara menjadi pengemis yang baik. Pelajaran itu terus dia lanjutkan ketika mereka tinggal di rumah kontrakan di kawasan Surabaya Barat. ''Kali pertama, teman-teman mengaku malu. Tapi, saya meyakinkan bahwa dengan pekerjaan ini, mereka bisa membantu saudara di kampung,'' tegasnya.Karena sudah mengemis sebagai kelompok, mereka pun bagi-bagi wilayah kerja. Ada yang ke perumahan di kawasan Surabaya Selatan, ada yang ke Surabaya Timur.Agar tidak mencolok, ketika berangkat, mereka berpakaian rapi. Ketika sampai di ''pos khusus'', Cak To dan empat rekannya itu lantas mengganti penampilan. Tampil compang-camping untuk menarik iba dan uang recehan.
Hanya setahun mengemis, kehidupan empat rekan tersebut menunjukkan perbaikan. Mereka tak lagi menumpang di rumah Cak To. Sudah punya kontrakan sendiri-sendiri.Pada 1996 itu pula, pada usia ke-36, Cak To mengakhiri masa lajang. Dia menyunting seorang gadis di kampungnya. Sejak menikah, kehidupan Cak To terus menunjukkan peningkatan...
***
Setiap tahun, jumlah anak buah Cak To terus bertambah. Semakin banyak anak buah, semakin banyak pula setoran yang mereka berikan kepada Cak To. Makanya, sejak 2000, dia sudah tidak mengemis setiap hari.Sebenarnya, Cak To tak mau mengungkapkan jumlah setoran yang dia dapatkan setiap hari. Setelah didesak, dia akhirnya mau buka mulut. Yaitu, Rp 200 ribu hingga Rp 300 ribu per hari, yang berarti Rp 6 juta hingga Rp 9 juta per bulan.Menurut Cak To, dia tidak memasang target untuk anak buahnya. Dia hanya minta setoran sukarela. Ada yang setor setiap hari, seminggu sekali, atau sebulan sekali. ''Ya alhamdulillah, anak buah saya masih loyal kepada saya,'' ucapnya.
Dari penghasilannya itu, Cak To bahkan mampu memberikan sebagian nafkah kepada masjid dan musala di mana dia singgah. Dia juga tercatat sebagai donatur tetap di sebuah masjid di Gresik. ''Amal itu kan ibadah. Mumpung kita masih hidup, banyaklah beramal,'' katanya.Sekarang, dengan hidup yang sudah tergolong enak itu, Cak To mengaku tinggal mengejar satu hal saja. ''Saya ingin naik haji,'' ungkapnya. Bila segalanya lancar, Cak To akan mewujudkan itu pada 2010 nanti... (ded/aza)
---
Cak To tak mau nama aslinya dipublikasikan. Dia juga tak mau wajahnya terlihat ketika difoto untuk harian ini. Tapi, Cak To mau bercerita cukup banyak tentang hidup dan ''karir''-nya. Dari anak pasangan pengemis yang ikut mengemis, hingga sekarang menjadi bos bagi sekitar 54 pengemis di Surabaya.Setelah puluhan tahun mengemis, Cak To sekarang memang bisa lebih menikmati hidup.
Sejak 2000, dia tak perlu lagi meminta-minta di jalanan atau perumahan. Cukup mengelola 54 anak buahnya, uang mengalir teratur ke kantong.Sekarang, setiap hari, dia mengaku mendapatkan pemasukan bersih Rp 200 ribu hingga Rp 300 ribu. Berarti, dalam sebulan, dia punya pendapatan Rp 6 juta hingga Rp 9 juta.Cak To sekarang juga sudah punya rumah di kawasan Surabaya Barat, yang didirikan di atas tanah seluas 400 meter persegi. Di kampung halamannya di Madura, Cak To sudah membangun dua rumah lagi. Satu untuk dirinya, satu lagi untuk emak dan bapaknya yang sudah renta. Selain itu, ada satu lagi rumah yang dia bangun di Kota Semarang.Untuk ke mana-mana, Cak To memiliki dua sepeda motor Honda Supra Fit dan sebuah mobil Honda CR-V kinclong keluaran 2004.
***
Tidak mudah menemui seorang bos pengemis. Ketika menemui wartawan harian ini di tempat yang sudah dijanjikan, Cak To datang menggunakan mobil Honda CR-V-nya yang berwarna biru metalik.Meski punya mobil yang kinclong, penampilan Cak To memang tidak terlihat seperti ''orang mampu''. Badannya kurus, kulitnya hitam, dengan rambut berombak dan terkesan awut-awutan. Dari gaya bicara, orang juga akan menebak bahwa pria kelahiran 1960 itu tak mengenyam pendidikan cukup. Cak To memang tak pernah menamatkan sekolah dasar.Dengan bahasa Madura yang sesekali dicampur bahasa Indonesia, pria beranak dua itu mengaku sadar bahwa profesinya akan selalu dicibir orang. Namun, pria asal Bangkalan tersebut tidak peduli. ''Yang penting halal,'' ujarnya mantap.
Cak To bercerita, hampir seluruh hidupnya dia jalani sebagai pengemis. Sulung di antara empat bersaudara itu menjalani dunia tersebut sejak sebelum usia sepuluh tahun. Menurtu dia, tidak lama setelah peristiwa pemberontakan G-30-S/PKI. Maklum, emak dan bapaknya dulu pengemis di Bangkalan.
''Dulu awalnya saya diajak Emak untuk meminta-minta di perempatan,'' ungkapnya.Karena mengemis di Bangkalan kurang ''menjanjikan'', awal 1970-an, Cak To diajak orang tua pindah ke Surabaya. Adik-adiknya tidak ikut, dititipkan di rumah nenek di sebuah desa di sekitar Bangkalan. Tempat tinggal mereka yang pertama adalah di emprean sebuah toko di kawasan Jembatan Merah. Bertahun-tahun lamanya mereka menjadi pengemis di Surabaya. Ketika remaja, ''bakat'' Cak To untuk menjadi bos pengemis mulai terlihat. Waktu itu, uang yang mereka dapatkan dari meminta-minta sering dirampas preman. Bapak Cak To mulai sakit-sakitan, tak kuasa membela keluarga. Sebagai anak tertua, Cak To-lah yang melawan. ''Saya sering berkelahi untuk mempertahankan uang,'' ungkapnya bangga.Meski berperawakan kurus dan hanya bertinggi badan 155 cm, Cak To berani melawan siapa pun. Dia bahkan tak segan menyerang musuhnya menggunakan pisau jika uangnya dirampas. Karena keberaniannya itulah, pria berambut ikal tersebut lantas disegani di kalangan pengemis. ''Wis tak nampek. Mon la nyalla sebet (Kalau dia bikin gara-gara, langsung saya sabet, Red),'' tegasnya.Selain harus menghadapi preman, pengalaman tidak menyenangkan terjadi ketika dia atau keluarga lain terkena razia petugas Satpol PP. ''Kami berpencar kalau mengemis,'' jelasnya. Kalau ada keluarga yang terkena razia, mau tidak mau mereka harus mengeluarkan uang hingga ratusan ribu untuk membebaskan.
***
Cak To tergolong pengemis yang mau belajar. Bertahun-tahun mengemis, berbagai ''ilmu'' dia dapatkan untuk terus meningkatkan penghasilan. Mulai cara berdandan, cara berbicara, cara menghadapi aparat, dan sebagainya.
Makin lama, Cak To menjadi makin senior, hingga menjadi mentor bagi pengemis yang lain. Penghasilannya pun terus meningkat. Pada pertengahan 1990, penghasilan Cak To sudah mencapai Rp 30 ribu sampai Rp 50 ribu per hari. ''Pokoknya sudah enak,'' katanya.Dengan penghasilan yang terus meningkat, Cak To mampu membeli sebuah rumah sederhana di kampungnya. Saat pulang kampung, dia sering membelikan oleh-oleh cukup mewah. ''Saya pernah beli oleh-oleh sebuah tape recorder dan TV 14 inci,'' kenangnya.Saat itulah, Cak To mulai meniti langkah menjadi seorang bos pengemis. Dia mulai mengumpulkan anak buah.Cerita tentang ''keberhasilan'' Cak To menyebar cepat di kampungnya. Empat teman seumuran mengikutinya ke Surabaya. ''Kasihan, panen mereka gagal. Ya sudah, saya ajak saja,'' ujarnya enteng.Sebelum ke Surabaya, Cak To mengajari mereka cara menjadi pengemis yang baik. Pelajaran itu terus dia lanjutkan ketika mereka tinggal di rumah kontrakan di kawasan Surabaya Barat. ''Kali pertama, teman-teman mengaku malu. Tapi, saya meyakinkan bahwa dengan pekerjaan ini, mereka bisa membantu saudara di kampung,'' tegasnya.Karena sudah mengemis sebagai kelompok, mereka pun bagi-bagi wilayah kerja. Ada yang ke perumahan di kawasan Surabaya Selatan, ada yang ke Surabaya Timur.Agar tidak mencolok, ketika berangkat, mereka berpakaian rapi. Ketika sampai di ''pos khusus'', Cak To dan empat rekannya itu lantas mengganti penampilan. Tampil compang-camping untuk menarik iba dan uang recehan.
Hanya setahun mengemis, kehidupan empat rekan tersebut menunjukkan perbaikan. Mereka tak lagi menumpang di rumah Cak To. Sudah punya kontrakan sendiri-sendiri.Pada 1996 itu pula, pada usia ke-36, Cak To mengakhiri masa lajang. Dia menyunting seorang gadis di kampungnya. Sejak menikah, kehidupan Cak To terus menunjukkan peningkatan...
***
Setiap tahun, jumlah anak buah Cak To terus bertambah. Semakin banyak anak buah, semakin banyak pula setoran yang mereka berikan kepada Cak To. Makanya, sejak 2000, dia sudah tidak mengemis setiap hari.Sebenarnya, Cak To tak mau mengungkapkan jumlah setoran yang dia dapatkan setiap hari. Setelah didesak, dia akhirnya mau buka mulut. Yaitu, Rp 200 ribu hingga Rp 300 ribu per hari, yang berarti Rp 6 juta hingga Rp 9 juta per bulan.Menurut Cak To, dia tidak memasang target untuk anak buahnya. Dia hanya minta setoran sukarela. Ada yang setor setiap hari, seminggu sekali, atau sebulan sekali. ''Ya alhamdulillah, anak buah saya masih loyal kepada saya,'' ucapnya.
Dari penghasilannya itu, Cak To bahkan mampu memberikan sebagian nafkah kepada masjid dan musala di mana dia singgah. Dia juga tercatat sebagai donatur tetap di sebuah masjid di Gresik. ''Amal itu kan ibadah. Mumpung kita masih hidup, banyaklah beramal,'' katanya.Sekarang, dengan hidup yang sudah tergolong enak itu, Cak To mengaku tinggal mengejar satu hal saja. ''Saya ingin naik haji,'' ungkapnya. Bila segalanya lancar, Cak To akan mewujudkan itu pada 2010 nanti... (ded/aza)
Monday, August 11, 2008
SEMANGAT PIONIR
Dari mana datangnya bisnis ? Sebagian pengusaha yang saya interview mengatakan dari ide. Sisanya mengatakan dari peluang. Barangkali keduanya benar. Dan sama-sama jawaban yang sehat. Mestinya begitu. Tapi seorang pejabat mengeluh, kalau kadang konsep ini diselewengkan. Ia memberikan contoh, tentang kolega, saudara atau famili pejabat yang mendirikan perusahaan untuk jadi supplier departemen, semata-mata untuk memanfaatkan koneksi pejabat tersebut. Jadi peluang yang salah, dan hanya berdasarkan “aji mumpung” semata. Saya jadi tertawa mendengarnya. Karena semestinya bisnis tercipta atas peluang yang datang dari ide-ide baru yang segar.
Juga tentang perlakuan sementara orang mengklasifikasikan bisnis UKM denga hanya bisnis-bisnis makanan dan cendera mata atau kerajinan. Yang protes justru seorang pejabat juga. Beliau bilang kita ini ngak kreatif ! Masa kalau pameran UKM yang dipamerkan selalu melulu makanan, cendera mata dan kerajinan. Kritik beliau, masa sih kita ngak punya semangat inovasi atau semangat pionir ? Berusaha menciptakan sesuatu yang benar-benar baru sama sekali ?
Mpu Peniti, mentor saya, punya penjelasan yang lebih sederhana. Kata beliau, kata-kata seperti inovasi dan pionir, dalam kosa kata bahasa Indonesia memang tidak ada terjemahan langsung yang pas. Makanya kita sehari-hari menggunakan kata yang di Indonesiakan dari bahasa Inggris. Innovation jadi inovasi. Dan pioneer jadi pionir. Nah, kalau kedua semangat ini sulit ditemukan dalam masyarakat kita, maklum saja. Mungkin secara budaya memang kedua kata ini tidak lengket dalam kehidupan kita sehari-hari. Karena tidak kita kenal konsepnya, kata-kata yang pas-pun akibatnya tidak kita miliki.
Pernah sekali saya berbincang dengan seorang periset industri pertanian. Menurut beliau, kita punya hasil riset yang banyak sekali dan bagus-bagus. Jadi kalau menurut beliau, semangat inovasi dan pionir itu cukup berkibar-kibar didalam dada mereka. Lalu kenapa hasil riset itu tidak pernah bisa dikomersil-kan ? Jawaban-nya sangat sederhana. Konon para periset kebanyakan bercokol di Lit-bang milik pemerintah atau Universitas, sistim upah dan ‘reward’-nya adalah gaji semata. Tidak ada misalnya konsep alokasi “grant” atau dana riset yang jumlahnya besar, sehingga memotivasi semangat pionir mereka untuk masuk dan meneliti sesuatu yang sangat inovatif dan provokatif. Kalau mau minta “grant” harus keluar negeri. Disana mereka harus berkompetisi dengan periset dunia, yang reputasinya jauh lebih dahsyat dari pada kita.
Celakanya pula, kalau ada hasil riset yang berhasil di jual ke swasta, sang peneliti tidak mendapatkan royalti yang bagus sehingga hidupnya sejahtera. Royalti biasanya dipungut oleh Litbang di Pemerintah atau di Universitas. Nah, euphoria “Eureka” persis yang dialami Archimedes, tidak pernah mereka rasakan. Jadi jangan salahkan kalau semangat inovasi dan pionir mereka kadang-kadang rada memble, karena memang insentif yang seharusnya menjadi motivasi mereka, jumlahnya sangat kecil sekali.
Salah satu peneliti senior yang sudah 30 tahun bekerja di lit-bang dan hampir pensiun, mengatakan kepada saya : “Seringkali saya gemas membayangkan potensi yang bisa kita capai dengan kekayaan sumber daya yang kita miliki. Tetapi kurangnya dana dan insentif seringkali mematikan rasa penasaran kita untuk menyelidik dan menjadi pionir. Yang bikin saya juga kesal, adalah hasil riset selama bertahun-tahun, cuma bertahan menjadi sukses laboratorium, yang tidak pernah menjelma menjadi sukses komersil. Kita butuh pihak swasta yang berjiwa entrepener untuk menjadi bapak angkat dan mewujudkan kerja pionir itu menjadi sukses besar. Kalau itu terjadi, mungkin akan menjadi terobosan yang mengangkat semangat kita dikemudian hari ”
Salah satu kasus yang menarik barangkali adalah Xanthones, yaitu zat aktif yang kini disebut sebagai “super anti-oxidant”. Xanthones banyak sekali ditemukan di buah manggis, yang konon ada 30 macam Xanthones yang berbeda. Sejak dahulu hampir semua lit-bang dan universitas di ASEAN tahun tentang Xanthones dan banyak riset tentang zat aktif ini. Jadi ini bukan barang baru. Di Indonesia juga banyak penelitian yang serupa.
Hebatnya Xanthones memiliki sejumlah keajaiban yaitu mampu memperbaiki sistim imunitas badan manusia, yang bermanfaat melawan alergi, infeksi, dan mengurangi level kolesterol. Secara tradisional konon manggis memang usdah digunakan untuk bahan ramuan obat terhadap berbagai penyakit kulit dan perut. Juga Xanthones ini tahan panas. Sehingga tidak mudah rusak ketika diproses.
Walaupun di Asean Xanthones dikenal hampir ditiap dapur lit-bang pertanian, selama bertahun-tahun, di Asean produk ini tidak pernah dijadikan produk yang secara komersial sukses. Garry Hollister, adalah CEO dari perusahaan Enrich International, sebuah perusahaan yang bergerak dibidang nutrisi. Semangat pionir Garry lah, yang kemudian menciptakan Xango, yaitu minuman super juice dari manggis yang kaya dengan anti-oxidant. Garry berpartner dengan Wild Flower, sebuah perusahaan yang bermarkas besar di Heidelberg, Jerman. Perusahaan ini memiliki 200 orang ilmuwan dan kebun komersil di 13 negara, dan memang khusus bergerak dibidang minuman kesehatan.
Kini Xango didistribusikan di lebih dari 23 negara, dengan penjualan fenomenal diatas ratusan juta dolar. Kalau dipikir-pikir, Indonesia sebagai salah satu penghasil manggis terbesar di Asean, yang sudah mengekspor buah manggis ke Singapura dan negara-negara lain-nya, mestinya memiliki peluang yang sama dengan Xango. Tetapi masalahnya - barangkali kombinasinya tidak pernah bisa pas. Disatu pihak kita punya pusat lit-bang dimana-mana. Di pihak lain, kita tidak memiliki satu entrepener seperti Garry Hollister - yang selalu datang dengan ide gila, edan dan nyeleneh, yang punya semangat pionir menggebu-gebu. Mungkinkah ini rahasia sukses yang kita cari selama ini ? “The missing link” – Yang menjembatani antara para periset handal di lit-bang yang memiliki semangat inovasi dan entrepener yang bersemangat pionir. Kini saatnya kita menyatukan keduanya dan memakmurkan republik ini.
Juga tentang perlakuan sementara orang mengklasifikasikan bisnis UKM denga hanya bisnis-bisnis makanan dan cendera mata atau kerajinan. Yang protes justru seorang pejabat juga. Beliau bilang kita ini ngak kreatif ! Masa kalau pameran UKM yang dipamerkan selalu melulu makanan, cendera mata dan kerajinan. Kritik beliau, masa sih kita ngak punya semangat inovasi atau semangat pionir ? Berusaha menciptakan sesuatu yang benar-benar baru sama sekali ?
Mpu Peniti, mentor saya, punya penjelasan yang lebih sederhana. Kata beliau, kata-kata seperti inovasi dan pionir, dalam kosa kata bahasa Indonesia memang tidak ada terjemahan langsung yang pas. Makanya kita sehari-hari menggunakan kata yang di Indonesiakan dari bahasa Inggris. Innovation jadi inovasi. Dan pioneer jadi pionir. Nah, kalau kedua semangat ini sulit ditemukan dalam masyarakat kita, maklum saja. Mungkin secara budaya memang kedua kata ini tidak lengket dalam kehidupan kita sehari-hari. Karena tidak kita kenal konsepnya, kata-kata yang pas-pun akibatnya tidak kita miliki.
Pernah sekali saya berbincang dengan seorang periset industri pertanian. Menurut beliau, kita punya hasil riset yang banyak sekali dan bagus-bagus. Jadi kalau menurut beliau, semangat inovasi dan pionir itu cukup berkibar-kibar didalam dada mereka. Lalu kenapa hasil riset itu tidak pernah bisa dikomersil-kan ? Jawaban-nya sangat sederhana. Konon para periset kebanyakan bercokol di Lit-bang milik pemerintah atau Universitas, sistim upah dan ‘reward’-nya adalah gaji semata. Tidak ada misalnya konsep alokasi “grant” atau dana riset yang jumlahnya besar, sehingga memotivasi semangat pionir mereka untuk masuk dan meneliti sesuatu yang sangat inovatif dan provokatif. Kalau mau minta “grant” harus keluar negeri. Disana mereka harus berkompetisi dengan periset dunia, yang reputasinya jauh lebih dahsyat dari pada kita.
Celakanya pula, kalau ada hasil riset yang berhasil di jual ke swasta, sang peneliti tidak mendapatkan royalti yang bagus sehingga hidupnya sejahtera. Royalti biasanya dipungut oleh Litbang di Pemerintah atau di Universitas. Nah, euphoria “Eureka” persis yang dialami Archimedes, tidak pernah mereka rasakan. Jadi jangan salahkan kalau semangat inovasi dan pionir mereka kadang-kadang rada memble, karena memang insentif yang seharusnya menjadi motivasi mereka, jumlahnya sangat kecil sekali.
Salah satu peneliti senior yang sudah 30 tahun bekerja di lit-bang dan hampir pensiun, mengatakan kepada saya : “Seringkali saya gemas membayangkan potensi yang bisa kita capai dengan kekayaan sumber daya yang kita miliki. Tetapi kurangnya dana dan insentif seringkali mematikan rasa penasaran kita untuk menyelidik dan menjadi pionir. Yang bikin saya juga kesal, adalah hasil riset selama bertahun-tahun, cuma bertahan menjadi sukses laboratorium, yang tidak pernah menjelma menjadi sukses komersil. Kita butuh pihak swasta yang berjiwa entrepener untuk menjadi bapak angkat dan mewujudkan kerja pionir itu menjadi sukses besar. Kalau itu terjadi, mungkin akan menjadi terobosan yang mengangkat semangat kita dikemudian hari ”
Salah satu kasus yang menarik barangkali adalah Xanthones, yaitu zat aktif yang kini disebut sebagai “super anti-oxidant”. Xanthones banyak sekali ditemukan di buah manggis, yang konon ada 30 macam Xanthones yang berbeda. Sejak dahulu hampir semua lit-bang dan universitas di ASEAN tahun tentang Xanthones dan banyak riset tentang zat aktif ini. Jadi ini bukan barang baru. Di Indonesia juga banyak penelitian yang serupa.
Hebatnya Xanthones memiliki sejumlah keajaiban yaitu mampu memperbaiki sistim imunitas badan manusia, yang bermanfaat melawan alergi, infeksi, dan mengurangi level kolesterol. Secara tradisional konon manggis memang usdah digunakan untuk bahan ramuan obat terhadap berbagai penyakit kulit dan perut. Juga Xanthones ini tahan panas. Sehingga tidak mudah rusak ketika diproses.
Walaupun di Asean Xanthones dikenal hampir ditiap dapur lit-bang pertanian, selama bertahun-tahun, di Asean produk ini tidak pernah dijadikan produk yang secara komersial sukses. Garry Hollister, adalah CEO dari perusahaan Enrich International, sebuah perusahaan yang bergerak dibidang nutrisi. Semangat pionir Garry lah, yang kemudian menciptakan Xango, yaitu minuman super juice dari manggis yang kaya dengan anti-oxidant. Garry berpartner dengan Wild Flower, sebuah perusahaan yang bermarkas besar di Heidelberg, Jerman. Perusahaan ini memiliki 200 orang ilmuwan dan kebun komersil di 13 negara, dan memang khusus bergerak dibidang minuman kesehatan.
Kini Xango didistribusikan di lebih dari 23 negara, dengan penjualan fenomenal diatas ratusan juta dolar. Kalau dipikir-pikir, Indonesia sebagai salah satu penghasil manggis terbesar di Asean, yang sudah mengekspor buah manggis ke Singapura dan negara-negara lain-nya, mestinya memiliki peluang yang sama dengan Xango. Tetapi masalahnya - barangkali kombinasinya tidak pernah bisa pas. Disatu pihak kita punya pusat lit-bang dimana-mana. Di pihak lain, kita tidak memiliki satu entrepener seperti Garry Hollister - yang selalu datang dengan ide gila, edan dan nyeleneh, yang punya semangat pionir menggebu-gebu. Mungkinkah ini rahasia sukses yang kita cari selama ini ? “The missing link” – Yang menjembatani antara para periset handal di lit-bang yang memiliki semangat inovasi dan entrepener yang bersemangat pionir. Kini saatnya kita menyatukan keduanya dan memakmurkan republik ini.
Thursday, August 07, 2008
THE ART OF WINNING
Tahun 1936, Cina pertama kali-nya ikut Olympiade dengan 69 atlet dan tidak memenangkan satu medalipun. Demikian juga di Olympiade London tahun 1948. Cina gagal meraih medali. Cina baru berhasil pada Olmpiade tahun 1952. Setelah itu hasilnya luar biasa. Tahun 2004, di Olympiade Athens, Cina berhasil menjadi juara umum 2 mengalahkan Rusia dengan 32 medali emas, 17 medali perak dan 14 perunggu. Tahun 2008 di Beijing, Cina bertekad menjadi juara umum.
Perjalanan Cina menjadi tuan rumah Olympiade sebenarnya sangat panjang. Dan mereka sudah membidiknya sejak tahun 1991. Mereka juga memilih tahun 2008. Sengaja pula memilih tanggal pembukaan 08-08-08, atau 8 Agustus 2008. Sebuah tanggal yang dengan 3 angka 8, yang dianggap super-lucky buat kebanyakan orang Cina. Angka 8 dalam bahasa Cina memiliki pengucapan yang mirip sekali suaranya dengan huruf yang memberi arti kaya raya atau makmur.
Barangkali satu hal juga yang sangat mengagumkan dari Cina adalah kesungguhan-nya dan semangat untuk menang. Mengapa menang itu penting sekali ? Bayangkan kalau anda punya kesebelasan sepak bola dan kalah terus ? Apa perasaan-nya ? Pasti menyedihkan dan membuat kita frustasi. Malah Mpu Peniti, menyarankan lebih baik bubar. Nasehat yang ekstrim memang. Tetapi bila dipikir-pikir, sebuah kesebelasan sepak bola didirikan memang tujuan-nya adalah menang. Jadi kalau tidak bisa menang dan kalah terus memang sebaiknya bubar saja. Sebuah alasan yang masuk akal.
Menurut Mpu Peniti, kalau keseringan kalah, akhirnya kalah menjadi sesuatu yang biasa. Padahal mestinya kita punya kerakusan dan dahaga untuk menang. Terlalu sering kalah, akhirnya kita terbiasa menerima kekalahan. Sikap kita bisa berbahaya dan menjadi bangsa yang kalah dan dikalahkan. Barangkali Indonesia bakalan punya pemimpin yang mau memperhatikan hal ini. Dan harus mulai ngotot untuk menang.
Sesungguhnya menang itu sangat baik. Menang adalah reward terbaik dari sebuah perjuangan. Menang menciptakan sebuah enerji postif. Sebuah semangat. Menang memberikan kita sebuah rasa percaya diri. Menang memberikan kita kebanggaan. Itu sebabnya menang menjadi sebuah seni tersendiri, buat sebuah organisasi untuk tumbuh, berkembang dan menjadi makmur.
Jack Welch, jawara manajer abad ini menulis buku yang bagus luar biasa judulnya – WINNING. Didalam bukunya ia menulis peta yang komprehensif tentang jalan menuju kemenangan. Bagian yang menyentuh saya, adalah visi dan misi perusahaan. Seringkali perusahaan didirikan hanya dengan satu tujuan. Membuat keuntungan. Maka semua sumber daya termasuk manusia menjadi alat belaka untuk menciptakan keuntungan itu. Kalau ngak untung maka solusinya sederhana. Potong ongkos yang terlalu besar. PHK sumberdaya manusia yang tidak berguna. Pangkas segala-galanya yang menghalangi perusahaan untuk untung. Dan ini yang menyedihkan.
Sehingga tak jarang statement visi dan misi yang banyak beredar disebuah perusahaan, selalu berkisar dikalimat “menjadi yang terbaik”. Tidak ada disana terkandung visi dan misi untuk menang. Kita-pun jadi tidak tahu caranya untuk menang. Lalu bagaimana caranya untuk menang ? Sebenarnya sangat sederhana. Dimulai dari semangat dan cita-cita untuk menang. Cina memulai tekadnya di Olympiade sejak tahun 1922 ketika diplomatnya Wang Zhengting menjadi anggota IOC (Komite Olympiade internasional). Dan berlanjut tahun 1928, ketika Cina mengirim pengamat ke Olympiade Amsterdam. Artinya kalau tahun 2008 Cina berhasil menjadi juara umum, perjuangan Cina membutuhkan waktu 80 tahun lebih.
Cita-cita dan semangat untuk menang, dilanjutkan dengan menciptakan team yang berbakat untuk menang dan menjadi juara. Menang tidak bisa instant seperti Mie. Butuh manajemen untuk merangkai sejumlah manusia-manusia berbakat. Lalu ikatan team-work yang membuat mereka menyatu menjadi kekuataan super edan ! Ikatan ini hanya akan berhasil kalau dimotori oleh seroang pelatih atau kapten yang bisa memberikan motivasi dan mendorong mereka untuk menang. Sederhana bukan ? Anda juga pasti sudah mendengarnya ratusan kali.
Lalu kalau memang menang sesederhana itu ? Kenapa juga kita masih sering kalah ? Percaya atau tidak menurut Jack Welch, kuncinya satu – yaitu “candor” alias kejujuran dan keterus terangan. Yang dimaksud Jack Welch bukanlah berbohong atau sikap korup lain-nya, melainkan lebih mirip dengan hubungan internal yang mesra, dimana setiap anggota team mampu berterus terang tanpa basa-basi dengan sesama. Sebaliknya perusahaan dipenuhi dengan birokrasi, politik dan basa-basi. Ini penyakit yang melemahkan semangat untuk menang. Menjadi karat dari team work. Team yang dipenuhi dengan kejujuran dan keterus terangan, akan membuat organisasi makmur dengan ide brilyan, yang mudah dan cepat diaplikasikan dan menghemat ongkos dan rapat-rapat yang tidak perlu. Jadi menang itu sesungguhnya lebih mudah dari yang kita bayangkan !
Perjalanan Cina menjadi tuan rumah Olympiade sebenarnya sangat panjang. Dan mereka sudah membidiknya sejak tahun 1991. Mereka juga memilih tahun 2008. Sengaja pula memilih tanggal pembukaan 08-08-08, atau 8 Agustus 2008. Sebuah tanggal yang dengan 3 angka 8, yang dianggap super-lucky buat kebanyakan orang Cina. Angka 8 dalam bahasa Cina memiliki pengucapan yang mirip sekali suaranya dengan huruf yang memberi arti kaya raya atau makmur.
Barangkali satu hal juga yang sangat mengagumkan dari Cina adalah kesungguhan-nya dan semangat untuk menang. Mengapa menang itu penting sekali ? Bayangkan kalau anda punya kesebelasan sepak bola dan kalah terus ? Apa perasaan-nya ? Pasti menyedihkan dan membuat kita frustasi. Malah Mpu Peniti, menyarankan lebih baik bubar. Nasehat yang ekstrim memang. Tetapi bila dipikir-pikir, sebuah kesebelasan sepak bola didirikan memang tujuan-nya adalah menang. Jadi kalau tidak bisa menang dan kalah terus memang sebaiknya bubar saja. Sebuah alasan yang masuk akal.
Menurut Mpu Peniti, kalau keseringan kalah, akhirnya kalah menjadi sesuatu yang biasa. Padahal mestinya kita punya kerakusan dan dahaga untuk menang. Terlalu sering kalah, akhirnya kita terbiasa menerima kekalahan. Sikap kita bisa berbahaya dan menjadi bangsa yang kalah dan dikalahkan. Barangkali Indonesia bakalan punya pemimpin yang mau memperhatikan hal ini. Dan harus mulai ngotot untuk menang.
Sesungguhnya menang itu sangat baik. Menang adalah reward terbaik dari sebuah perjuangan. Menang menciptakan sebuah enerji postif. Sebuah semangat. Menang memberikan kita sebuah rasa percaya diri. Menang memberikan kita kebanggaan. Itu sebabnya menang menjadi sebuah seni tersendiri, buat sebuah organisasi untuk tumbuh, berkembang dan menjadi makmur.
Jack Welch, jawara manajer abad ini menulis buku yang bagus luar biasa judulnya – WINNING. Didalam bukunya ia menulis peta yang komprehensif tentang jalan menuju kemenangan. Bagian yang menyentuh saya, adalah visi dan misi perusahaan. Seringkali perusahaan didirikan hanya dengan satu tujuan. Membuat keuntungan. Maka semua sumber daya termasuk manusia menjadi alat belaka untuk menciptakan keuntungan itu. Kalau ngak untung maka solusinya sederhana. Potong ongkos yang terlalu besar. PHK sumberdaya manusia yang tidak berguna. Pangkas segala-galanya yang menghalangi perusahaan untuk untung. Dan ini yang menyedihkan.
Sehingga tak jarang statement visi dan misi yang banyak beredar disebuah perusahaan, selalu berkisar dikalimat “menjadi yang terbaik”. Tidak ada disana terkandung visi dan misi untuk menang. Kita-pun jadi tidak tahu caranya untuk menang. Lalu bagaimana caranya untuk menang ? Sebenarnya sangat sederhana. Dimulai dari semangat dan cita-cita untuk menang. Cina memulai tekadnya di Olympiade sejak tahun 1922 ketika diplomatnya Wang Zhengting menjadi anggota IOC (Komite Olympiade internasional). Dan berlanjut tahun 1928, ketika Cina mengirim pengamat ke Olympiade Amsterdam. Artinya kalau tahun 2008 Cina berhasil menjadi juara umum, perjuangan Cina membutuhkan waktu 80 tahun lebih.
Cita-cita dan semangat untuk menang, dilanjutkan dengan menciptakan team yang berbakat untuk menang dan menjadi juara. Menang tidak bisa instant seperti Mie. Butuh manajemen untuk merangkai sejumlah manusia-manusia berbakat. Lalu ikatan team-work yang membuat mereka menyatu menjadi kekuataan super edan ! Ikatan ini hanya akan berhasil kalau dimotori oleh seroang pelatih atau kapten yang bisa memberikan motivasi dan mendorong mereka untuk menang. Sederhana bukan ? Anda juga pasti sudah mendengarnya ratusan kali.
Lalu kalau memang menang sesederhana itu ? Kenapa juga kita masih sering kalah ? Percaya atau tidak menurut Jack Welch, kuncinya satu – yaitu “candor” alias kejujuran dan keterus terangan. Yang dimaksud Jack Welch bukanlah berbohong atau sikap korup lain-nya, melainkan lebih mirip dengan hubungan internal yang mesra, dimana setiap anggota team mampu berterus terang tanpa basa-basi dengan sesama. Sebaliknya perusahaan dipenuhi dengan birokrasi, politik dan basa-basi. Ini penyakit yang melemahkan semangat untuk menang. Menjadi karat dari team work. Team yang dipenuhi dengan kejujuran dan keterus terangan, akan membuat organisasi makmur dengan ide brilyan, yang mudah dan cepat diaplikasikan dan menghemat ongkos dan rapat-rapat yang tidak perlu. Jadi menang itu sesungguhnya lebih mudah dari yang kita bayangkan !
Friday, August 01, 2008
THE LAST LECTURE
Pernah sekali seorang dosen matematika memberikan saya sebuah rumus kehidupan, kata beliau cita-cita sama dengan harapan ditambah usaha. Artinya selama kita memiliki keinginan maka selama itupula kita wajib berusaha dan berjuang. Kadang kita menang dan mendapatkan apa yang kita inginkan. Kadang pula kita gagal meraih apa yang kita inginkan. Patutkah kita kecewa ? Patutkah kita marah dan menyalahkan nasib ? Atau justru menyerah dan cukup pasrah ?
Topik ini pernah saya diskusikan dengan Mpu Peniti, mentor saya. Sebagai bahan pemikiran, beliau lalu mengisahkan tentang 2 orang pendaki gunung. Yang pertama adalah pendaki gunung terkenal, ia sudah berhasil mendaki puncak gunung Everest 6 kali. Pendaki gunung kedua, kebetulan pendaki amatir yang baru pertama kali ingin mencoba mendaki gunung Everest. Suatu hari keduanya memutuskan untuk mendaki gunung Everest, yang satu dari Utara dan yang satu dari Selatan. Karena badai yang datang tiba-tiba, keduanya meninggal di pertengahan jalan.
Semua koran dan media lalu memberitakan tentang kematian pendaki yang pertama. Dan merasa kehilangan yang sangat besar. Maklum pendaki pertama memiliki reputasi segudang. Pemakamannya juga sangat meriah luar biasa. Mirip sebuah pementasan akbar. Tetapi pendaki kedua tidak ada yang memberitakan. Semata karena ia pendaki amatir yang tidak dikenal. Ia bukanlah siapa-siapa. Pemakamannya sangat sederhana. Tetapi dihadiri sejumlah kerabat dekat, dan mereka semua menangis sedih. Mereka tahu betul pendaki kedua mempersiapkan diri sungguh-sungguh selama lima tahun. Mendaki Everest adalah cita-cita terbesar miliknya.
Pendaki pertama yang telah berhasil mendaki Everest 6 kali dan sukses, melakukan pendakian ke 7 hanya karena ingin memecahkan rekor. Lalu Mpu Peniti, bertanya serius kepada saya. Manakah perjuangan dan usaha yang lebih bernilai dan berarti ? Pendaki pertama ? Atau malah pendaki yang kedua ? Saya sempat terhenyak tidak tahu jawaban yang pasti. Berhari-hari saya memikirkan jawaban dari teka-teki ini. Tidak ada satu jawaban-pun yang pas mengena dan menjawab tuntas.
Dalam perjalanan pulang dari Denver ke Jakarta, saya sempat mampir di San Francisco. Pagi itu saya membaca sebuah berita unik, yaitu sebuah orbituari tentang Prof. Randy Pausch. Kebetulan saya baru membeli buku beliau “The Last Lecture” – dan belum sempat membacanya. Prof. Randy Pausch adalah seorang profesor dibidang keilmuan komputer, yang malang terkena penyakit kanker pankreas. Universitas Carnegie Mellon tempatnya mengajar, lalu menawarkan kepada Prof. Randy untuk memberikan ‘kuliah tearkhir’. Kuliah itu dihadiri oleh 400 orang, pada September 2007. Dan di posting pula di internet, dan menjadi buah bibir yang fenomenal. Karena isinya begitu menyentuh banyak orang tentang bagaimana hidup dan mati yang sempurna.
Lalu atas desakan banyak orang, kuliah terakhirnya diminta untuk dibuku-kan. Prof. Randy lalu menyewa seorang penulis Jeffrey Zaslow dari Wall Street Journal untuk menulis bukunya. Selama 50 hari, setiap hari ketika bersepeda, Prof. Randy mendikte-kan pemikirannya lewat telpon seluler kepada Jeffrey. Dan jadilah buku dengan judul yang sama “The Last Lecture” yang terbit April 2008. Ada sebaris kalimat beliau yang sangat menyentuh hati saya : “Experience – is what you get when you didn’t get what you wanted”. Prof. Randy tidak sedikit-pun memiliki perasaan negatif tentang perjalanan hidupnya. Dan kalimat itu pula yang menjadi jawaban yang saya rasakan pas soal teka-teki Mpu Peniti. Bahwa setiap langkah yang kita ambil dalam perjalanan hidup ini, tidak ada satu-pun yang berarti gagal. Sebab sesungguhnya sukses dan gagal adalah sama-sama sebuah pengalaman. Hanya saja keduanya memang berbeda.
Malam harinya, saya ngopi bersama teman lama di Tart & Tart, sembari menikmati kue cheese-cake kesukaan saya. Ia bercerita bahwa ia hampir saja selesai membangun rumahnya. Secara getir ia menceritakan bahwa rumahnya dibangun selama hampir 4 tahun. Semata karena ia mempercayakan kontraktor pembangunan rumahnya, kepada saudara tirinya. Dan hasilnya memang amburadul. Mulanya ia kecewa luar biasa. Emosinya terkuras antara marah dan air-mata. Tetapi ia teruskan perlahan dengan selangkah demi selangkah. Di akhir ceritanya, ia betul-betul menyimpulkan bahwa yang tadinya ia anggap sebuah kegagalan total, ternyata menjadi sebuah pengalaman yang luar biasa. Ia bergurau kepada saya, bahwa kini ia tahu caranya membangun sebuah rumah mulai dari mengurus ijin, membangun-nya, hingga memasang instalasi listrik. Persis seperti ungkapan Prof. Randy, bahwa dalam hidup ini tidak ada yang terbuang percuma dan menjadi kegagalan. Karena semuanya akan menjadi pengalaman yang tak ternilai harganya. Apapun bentuknya. Sukses dan gagal. Keduanya sama-sama pengalaman !
Topik ini pernah saya diskusikan dengan Mpu Peniti, mentor saya. Sebagai bahan pemikiran, beliau lalu mengisahkan tentang 2 orang pendaki gunung. Yang pertama adalah pendaki gunung terkenal, ia sudah berhasil mendaki puncak gunung Everest 6 kali. Pendaki gunung kedua, kebetulan pendaki amatir yang baru pertama kali ingin mencoba mendaki gunung Everest. Suatu hari keduanya memutuskan untuk mendaki gunung Everest, yang satu dari Utara dan yang satu dari Selatan. Karena badai yang datang tiba-tiba, keduanya meninggal di pertengahan jalan.
Semua koran dan media lalu memberitakan tentang kematian pendaki yang pertama. Dan merasa kehilangan yang sangat besar. Maklum pendaki pertama memiliki reputasi segudang. Pemakamannya juga sangat meriah luar biasa. Mirip sebuah pementasan akbar. Tetapi pendaki kedua tidak ada yang memberitakan. Semata karena ia pendaki amatir yang tidak dikenal. Ia bukanlah siapa-siapa. Pemakamannya sangat sederhana. Tetapi dihadiri sejumlah kerabat dekat, dan mereka semua menangis sedih. Mereka tahu betul pendaki kedua mempersiapkan diri sungguh-sungguh selama lima tahun. Mendaki Everest adalah cita-cita terbesar miliknya.
Pendaki pertama yang telah berhasil mendaki Everest 6 kali dan sukses, melakukan pendakian ke 7 hanya karena ingin memecahkan rekor. Lalu Mpu Peniti, bertanya serius kepada saya. Manakah perjuangan dan usaha yang lebih bernilai dan berarti ? Pendaki pertama ? Atau malah pendaki yang kedua ? Saya sempat terhenyak tidak tahu jawaban yang pasti. Berhari-hari saya memikirkan jawaban dari teka-teki ini. Tidak ada satu jawaban-pun yang pas mengena dan menjawab tuntas.
Dalam perjalanan pulang dari Denver ke Jakarta, saya sempat mampir di San Francisco. Pagi itu saya membaca sebuah berita unik, yaitu sebuah orbituari tentang Prof. Randy Pausch. Kebetulan saya baru membeli buku beliau “The Last Lecture” – dan belum sempat membacanya. Prof. Randy Pausch adalah seorang profesor dibidang keilmuan komputer, yang malang terkena penyakit kanker pankreas. Universitas Carnegie Mellon tempatnya mengajar, lalu menawarkan kepada Prof. Randy untuk memberikan ‘kuliah tearkhir’. Kuliah itu dihadiri oleh 400 orang, pada September 2007. Dan di posting pula di internet, dan menjadi buah bibir yang fenomenal. Karena isinya begitu menyentuh banyak orang tentang bagaimana hidup dan mati yang sempurna.
Lalu atas desakan banyak orang, kuliah terakhirnya diminta untuk dibuku-kan. Prof. Randy lalu menyewa seorang penulis Jeffrey Zaslow dari Wall Street Journal untuk menulis bukunya. Selama 50 hari, setiap hari ketika bersepeda, Prof. Randy mendikte-kan pemikirannya lewat telpon seluler kepada Jeffrey. Dan jadilah buku dengan judul yang sama “The Last Lecture” yang terbit April 2008. Ada sebaris kalimat beliau yang sangat menyentuh hati saya : “Experience – is what you get when you didn’t get what you wanted”. Prof. Randy tidak sedikit-pun memiliki perasaan negatif tentang perjalanan hidupnya. Dan kalimat itu pula yang menjadi jawaban yang saya rasakan pas soal teka-teki Mpu Peniti. Bahwa setiap langkah yang kita ambil dalam perjalanan hidup ini, tidak ada satu-pun yang berarti gagal. Sebab sesungguhnya sukses dan gagal adalah sama-sama sebuah pengalaman. Hanya saja keduanya memang berbeda.
Malam harinya, saya ngopi bersama teman lama di Tart & Tart, sembari menikmati kue cheese-cake kesukaan saya. Ia bercerita bahwa ia hampir saja selesai membangun rumahnya. Secara getir ia menceritakan bahwa rumahnya dibangun selama hampir 4 tahun. Semata karena ia mempercayakan kontraktor pembangunan rumahnya, kepada saudara tirinya. Dan hasilnya memang amburadul. Mulanya ia kecewa luar biasa. Emosinya terkuras antara marah dan air-mata. Tetapi ia teruskan perlahan dengan selangkah demi selangkah. Di akhir ceritanya, ia betul-betul menyimpulkan bahwa yang tadinya ia anggap sebuah kegagalan total, ternyata menjadi sebuah pengalaman yang luar biasa. Ia bergurau kepada saya, bahwa kini ia tahu caranya membangun sebuah rumah mulai dari mengurus ijin, membangun-nya, hingga memasang instalasi listrik. Persis seperti ungkapan Prof. Randy, bahwa dalam hidup ini tidak ada yang terbuang percuma dan menjadi kegagalan. Karena semuanya akan menjadi pengalaman yang tak ternilai harganya. Apapun bentuknya. Sukses dan gagal. Keduanya sama-sama pengalaman !
Subscribe to:
Posts (Atom)