Suatu hari, saya sedang asyik bersantap siang disebuah resto di salah satu mall terkenal di
Dalam perjalanan pulang, kami berdoa ngobrol panjang lebar. Saya bercerita kepada beliau, tentang pertemuan saya dengan bekas model Ratih Sang beberapa bulan berselang di airport
Tak heran kalau kita perhatikan baik-baik nasehat orang tua kita ketika kecil, kebanyakan bertujuan untuk membentuk kebiasaan kita. Simak saja naeshat-nasehat klasik, seperti : “Nak, kalau makan itu harus dihabiskan. Jangan sampai bersisa. Nanti muka kamu akan berjerawat seperti sisa-sisa nasi yang kamu tinggalkan dipiring”. Ketika mendengar nasehat itu, saya sempat takut. Makanya kalau makan, tak pernah sedikitpun saya sisakan. Pokoknya ludes tandas. Takut muka saya berjerawat. Namun saat akil balik, dan muka saya berjerawat dimana-mana, saya sempat protes kepada kakek saya. Kok, nasehat ibu sudah saya turuti, masih saja saya kena jerawat. Kakek saya akhirnya menjelaskan dan bercerita, bahwa nasehat itu bertujuan membentuk kebiasaan saya. Agar setiap kali makan, selalu mengambil makanan secukupnya saja. Supaya saya bisa menghabiskan-nya. Agar tidak boros dan selalu membuang makanan. Kalau saya terbiasa dengan satu kebiasaan sederhana ini, maka kebiasaan lain akan ikut menempel. Seperti hidup secukupnya, hemat dan tidak boros. Saya ingat, ketika masih di SD, uang jajan yang diberikan oleh Ibu saya sedikit sekali. Beda dengan teman-teman yang lain. Setiap kesekolah Ibu membekali kami dengan makanan rantang. Akhirnya terpaksa uang jajan yang sedikit itu saya masuk-kan kedalam celengan. Tanpa saya sadari Ibu saya membiasakan saya agar hidup hemat dan selalu menabung.
Mpu Peniti, menuturkan bahwa kebiasaan itu mirip dengan cetakan kue. Sesuatu yang melatih kita dan membentuk kita berperilaku. Kebiasaan ini sering membantu sukses kita ketika kita dewasa. Sebaliknya bisa juga kebiasaan kita ini menjadi penghalang dari kemajuan karir dan prestasi kita. Bayangkan kalau sejak kecil seorang anak sudah dibiaskan terbuka, mudah berkomunikasi, maka kemungkinan besar ketika dewasa, ia akan memiliki informal skills yaitu kemampuan berkomunikasi yang baik. Ia kemungkinan besar juga akan memiliki kepribadian yang lebih terbuka, periang, dan tidak pemalu. Akibatnya ia bakalan lebih menonjol, dan mudah dibentuk menjadi seorang pemimpin yang baik.
Ayah saya bekerja di
20 tahun mengarungi dunia pertarungan bisnis, dan melihat sejumlah pengusaha jatuh bangun, menempuh aneka perjalanan antara kegagalan demi kegagalan, juga dari satu sukses ke sukses berikutnya, akhirnya terbentuk satu pelajaran. Bahwa sukses dan kegagalan juga terbentuk dari pola-pola yang seringkali terbentuk dari kebiasaan tertentu. Seorang entreprener bercerita bahwa kakaknya, memiliki kebiasaan jelek. Yaitu selalu merekrut tenaga kerja yang murah. Sehingga kualitasnya cenderung lebih rendah. Ketika perusahaan-nya masih kecil mungkin hal ini tidak berpengaruh. Karena leadership kakaknya bisa mampu mengatasi berbagai masalah dengan mudah. Tetapi ketika perusahaan-nya sudah membengkak besar. Situasinya berubah. Tenaga kerja yang bermutu rendah, membuat kekacauan dimana-mana. Kurang dari 5 tahun kakaknya mengalami kebangkrutan yang fatal.
Saya sering melihat orang yang kesusahan datang minta nasehat kepada Mpu Peniti. Biasanya Mpu Peniti secara arif mencoba merubah kebiasaan orang itu. Misalnya pertama-tama lewat kebiasaan spiritual. Seperti dari jarang beribadah ke lebih banyak beribadah. Dari tidak pernah beramal menjadi lebih sering beramal. Bila berhasil, baru kebiasaan lain oleh Mpu Peniti dimotivasi untuk dirubah. Pokoknya kalau anda ingin sukses “break the bad habit “ !
3 comments:
Generasi unggul memang tidak dilahirkan oleh sebungkus mie instan.
From : http://handaru.light19.com
he...he....
terima kasih buat masukan anda;
very poetic
100% agree to break our bad habit in order to have better live.
What makes a man is determined by how he was raised. Thus, parents must be fully careful when they raise their children.
Post a Comment