Sebuah restoran burger menawarkan program baru. Yaitu anda bisa pesan burger sesuai dengan selera anda. Dulunya tidak bisa. Karena sang resto sudah punya resep baku. Kalau anda ngak suka tomat, terpaksa anda harus mengangkat dan membuang sang tomat sendiri, sebelum anda makan. Tapi sekarang beda, anda boleh pesan burger sesuai selera anda. Mau extra mayonaise, mau extra tomato sauce, mau tanpa sayur selada, semuanya boleh. Apa pasal ? Ini kan bukan jurus baru. Teman saya, yang suka menyantap mie; mengatakan di tukang mie, kita tinggal perintah saja. Tidak mau kecap, tidak mau daun bawang, dan seterusnya. Jadi tidak aneh toh ?
Mestinya tidak. Tapi buat restoran burger beken itu, beda pasalnya. Ini sebuah pencerahan baru. Gaya hidup kita semakin impulsif. Tergantung dari “mood” dan emosi kita. Kita semakin sensitif dengan yang satu ini. Dahulu kita tidak punya kuasa untuk memuaskan emosi dan “mood” kita. Pilihan-nya terbatas sekali. Saya ingat di tahun 70’an ayah saya, selalu nonton film setiap akhir pekan di bioskop. Ia tidak punya pilihan saat itu, pokoknya ia nonton saja film yang paling baru. Bagus atau tidak masalah belakangan. Tak lama kemudian ketika video keluar. Gaya hidup ayah saya langsung berubah. Setiap akhir pekan kalau tidak ada film bagus, beliau ganti nonton video di rumah.
“Mood” dan emosi konsumen kini jadi barometer penting. Celakanya kedua hal itu tidak mungkin kita prediksi. Uniknya 2 “mood” atau emosi yang berlawanan, kini tetap memiliki pasar sendiri-sendiri. Jaman dahulu, restoran yang selalu ramai, adalah pertanda makanan-nya enak, sehingga laris dikunjungi konsumen. Jaman sekarang, banyak pula konsumen yang justru menghindari tempat-tempat ramai. Mereka malah pilih tempat yang sepi. Enak katanya ! Bisa relax dan tidak diganggu banyak orang. Makan juga tidak perlu buru-buru. Teman saya, tertimpa peristiwa yang sama. Restorannya cukup bermutu. Makanannya lezat berkualitas. Tapi entah karena promosinya yang loyo, restonya selalu sepi. Sampai suatu ketika restorannya secara aneh dikunjungi orang-orang penting. Mulai dari artis sampai pensiunan pejabat dan jendral. Akhirnya ia pasrah. Ia membiarkan saja restonya sepi. Karena ia takut sekali, ketika restonya ramai, pasti semua vip dan selebriti itu kabur. Ketika ia berkonsultasi dengan saya, maka saya tawarkan sebuah solusi unik. Yaitu strategi pemasaran bergaya “partisipasi”. Idenya sederhana. Bilamana kita memiliki produk seunik teman saya, kita harus mencoba berganti posisi, dari produsen semata ke arah fasilitator. Dan biarkan konsumen kita lebih berpartisipasi aktif. Saya merekomendasikan teman saya merekrut seorang manajer resto dengan profil yang sangat tinggi, baik dari penampilan dan pelayanan. Lalu berusaha agar para VIP dan selebriti itu mau mengajak teman dan kolega mereka makan ke resto itu. Artinya kita memotivasi pelanggan untuk berpartisipasi aktif mempromosikan resto ini. Saya juga merekomendasikan layanan bisnis seperti catering, untuk melayani kebutuhan pesta dirumah selebriti dan para vip. Malah koki resto bisa dipinjam, seandainya para vip dan selebriti ingin menghadirkan jamuan makan esklusif dirumah mereka. Hasilnya biarpun restonya kelihatan tidak ramai, tapi bisinis katering dan pelayanan pesta mereka tumbuh pesat.
Partisipasi konsumen adalah pola konsumsi yang baru. Semakin dalam partisipasi konsumen, semakin laris produk anda. Simak saja fenomena “American Idol”, yang membuahkan acara mirip itu dimana-mana, termasuk Indonesia. Di level yang paling rendah, partisipasi penonton adalah cuma menonton dan ikut menyoraki. Naik ke level selanjutnya, anda bisa ikut berpartisipasi menjadi juri dan mengirim SMS. Final terakhir “American Idol” sms yang masuk melebihi 75 juta orang. Luar biasa bukan ? Level berikutnya, anda bisa latihan dan mempersiapkan diri menjadi kotestan, karena di Amerika sudah diciptakan video game “American Idol” untuk anda berlatih. Partisipasi tertinggi adalah ikut beraudiensi di acara “American Idol”. Siapa tahu anda bisa menang dan jadi juara.
Partisipasi inilah yang secara fenomena mengilhami sejumlah acara TV diseluruh dunia, dengan berbagai tayangan acara realita. Wabah dan fenomena partisipasi sendiri sudah menyebar kemana-mana. Di Internet muncul komunitas virtual, milis, hingga blogger dengan minat-minat yang berbeda. Partisipasi mereka kedalam sebuah subyek kadang sedemikian kuatnya, sampai mereka mampu menciptakan sebuah virtual bisnis. Konon ada pakar internet yang memprediksi bahwa dimasa mendatang bakal ada bank, travel agent, sekolah, toko, dsbnya yang didirikan oleh para blogger untuk kalangan mereka sendiri.
Pemasaran bergaya partisipasi juga sudah dilirik para pemasar. Dimasa mendatang produsen akan berubah menjadi fasilitator belaka. Beberapa produsen produk ternama sudah membuat situs eksperimen, dimana mereka memberikan akses kepada konsumen untuk berpartisipasi mendesain produk mereka, lengkap dengan spesifikasi, fitur, dan kelengkapan yang berbeda. Partisipasi sangat berbeda dengan “customization”. Dalam “customization” konsumen hanya memilih produk dengan fitur-fitur opsi. Produsen tetap membuatnya. Untuk strategi partisipasi, konsumen tidak lagi memilih fitur-fitur opsi, tetapi justru menciptakan fitur-fitur opsi. Gagal mempengaruhi konsumen berpatisipasi, maka produk kita akan tenggelam seketika.
1 comment:
Artikel yang menarik Pak Kafi.
Saya jadi ingin bertanya, kebetulan saya bekerja di sebuah travel agen kecil (sekalipun berdiri sudah cukup lama), Bos saya sedang kepikiran untuk mencoba cara pemasaran travel agen nya dengan cara mirip MLM. Ada membership fee yang harus dibayar (berlaku setahun), dan member seakan-akan memiliki travel agen pribadi karena mereka dapat menikmati diskon dan komisi dari pembelanjaan pribadi dan member-member lain yang masuknya direkomendasikan olehnya.
Apakah menurut Pak Kafi hal tersebut bisa dijalankan ?
Kalau target pasarnya adalah treveler dan mereka yang belum jadi traveler, apakah bisa ? Calon traveler ini, adalah orang yang selama ini punya keinginan untuk jalan-jalan tapi belum mampu karena masalah finansial. Mereka akan mengumpulkan komisi dari member baru yang direferensikan olehnya, sehingga suatu saat nanti keinginan mereka untuk jalan-jalan dapat terwujud.
Maaf malah jadi konsultasi.. :)
Sebelumnya saya ucapkan terima kasih..
Salam,
Post a Comment