Monday, June 25, 2007

KNOWLEDGE MANAGEMENT

Filsuf beken Confucius pernah berkata: "By three methods we may learn wisdom: First, by reflection, which is noblest; Second, by imitation, which is easiest; and third by experience, which is the bitterest." Kata-kata yang sama saya sampaikan sebagai kajian strategi dalam sebuah seminar tentang "Learning Organisation", pekan lalu di Bandung.

Disiplin belajar dalam sebuah organisasi dahulunya dianggap bukan prioritas utama. Seringkali diabaikan. Kalaupun dilakukan, terkadang hanya asal tempel atau basa-basi. Maklum, paradigma lama memprioritaskan manusia sebagai aset utama sebuah perusahaan. Zaman sekarang tidak lagi. Aset utama sebuah perusahaan bergeser dari manusia ke pengetahuan atau knowledge.

Seorang entrepreneur mengaku memiliki pengalaman yang sama. Sepuluh tahun lalu, ia gemar membajak eksekutif-eksekutif yang menurutnya "cerdas dan pandai". Teori beliau, dengan membajak eksekutif "cerdas dan pandai" dari para kompetitor, ia melakukan dua hal sekaligus. Mirip satu kerikil dilempar untuk membunuh dua burung bersamaan.

Pertama, ia ingin melemahkan kompetitor, dengan membuatnya kekurangan eksekutif "cerdas dan pandai". Kedua, mulanya ia bercita-cita membuat perusahaan semakin cerdas dan pandai pula, dengan menggunakan eksekutif-eksekutif istimewa itu. Ongkosnya mahal pula.

Di samping gaji, ternyata memelihara eksekutif "cerdas dan pandai" juga jelimet dan bermasalah sangat kompleks. Beliau akhirnya sadar bahwa bergaul di sekeliling orang "cerdas dan pandai" bukan jaminan untuk otomatis menjadi "cerdas dan pandai".

Menurut Confucius, untuk menjadikan perusahaan "cerdas dan pandai", hanya ada tiga jalur. Pertama, lewat refleksi. Metode ini sangat sederhana. Secara periodik, perusahaan melakukan evaluasi dari berbagai kegiatannya. Namun jarang ada perusahaan yang secara bijaksana melakukan pembelajaran dari peristiwa evaluasi itu. Misalnya mendokumentasikan pengalaman itu, lalu menyimpannya dalam bentuk dokumen atau kasus studi yang bisa dipelajari di kemudian hari dan bisa diakses oleh siapa saja.

Saya punya pengalaman yang pas dengan jurus pertama Confucius ini. Seorang klien minta saya melakukan evaluasi prestasi tim marketing mereka. Karena pressure target dan keluhan konsumen cukup tinggi. Mereka ingin tim marketing yang lebih tahan banting, lebih kompak, dan punya semangat juang tinggi.

Lewat sebuah evaluasi profil staf marketing yang berprestasi, kami menemukan bahwa dua staf terbaik mereka datang dari background yang unik. Yakni pernah bekerja di sebuah hotel. Selidik punya selidik, dua staf itu lebih tahan banting. Maklum, jadwal kerja mereka tidak menentu. Kadang, kalau ada perhelatan, mereka harus masuk pagi-pagi sekali dan pulang hingga larut malam. Mereka juga terlatih baik dan terbiasa menghadapi keluhan dari pelanggan.

Nah, selama bertahun-tahun, pembelajaran ini tidak terekam dan dimanfaatkan oleh perusahaan dengan baik. Kini, dengan pola rekrutmen yang berbeda, akhirnya tim marketing mereka memiliki anggota lebih kompak, semangat juang tinggi, dan prestasi yang lebih baik.

Jurus kedua dari Confucius, imitasi. Dengan meniru. Walaupun demikian, tetap saja masih ada masalah, yaitu memilih siapa yang setepat-tepatnya kita tiru. Saya memiliki kolega yang bisnisnya berjualan pakaian wanita yang diimpor dari Hong Kong. Bisnisnya tumbuh dan berkembang dalam lima tahun belakangan ini. Ia dengan pas menggunakan jurus kedua Confucius.

Dia menyebutkan bahwa hobi shopping ketika masih kuliah ternyata memang manjur bermanfaat. Dulu, karena keterbatasan bujet shopping, ia punya kebiasaan membeli baju yang mirip-mirip dengan baju desainer sesungguhnya yang ia lihat di majalah-majalah fashion terkenal.

Kini jurus yang sama ia praktekkan dengan bijaksana. Ia rajin membaca majalah-majalah fashion terkenal. Matanya terlatih bertahun-tahun, lalu membuat peta tren, seperti model dan warna. Dengan modal itu, lalu ia belanja ke Hong Kong dan Bangkok.

Ketika baju-bajunya dipajang di toko, kebanyakan ibu muda dengan mudah mengenali model-model yang sedang populer. Dagangannya laris luar biasa. Setelah lima tahun, ia semakin ahli dalam mencontek dan meniru tren.

Jurus ketiga, tentu saja yang paling menyakitkan, yaitu belajar dari kesalahan dan kegagalan sendiri. Mpu Peniti pernah bercerita bagaimana ia bermain kucing-kucingan dengan tikus di rumah. Lubang pertama ditutup, sang tikus bisa saja mencari dan membuat lubang baru. "Pintar sekali," begitu komentar Mpu Peniti.

Mungkin kita bisa menjadi sang tikus dan menjadi pintar. Caranya sederhana, belajar. Kadang saya suka sedih tatkala keponakan saya mengeluh susah belajar ketika menghadapi ulangan umum. Saya membaca nuansa, itu karena mereka hanya mengejar angka rapor dan lulus kenaikan kelas. Tak terasakan sedikit pun di dalam diri mereka secercah semangat berjuang untuk menjadi pintar. Tanpa rasa lapar "ingin menjadi pintar", mereka tidak akan mengerti sama sekali kebutuhan dan disiplin belajar.

No comments: