Seorang teman, yang kebetulan seorang doktor, dalam ilmu statistik, sekali mewawancarai saya. Ia ingin tahu, dalam karir saya sebagai seorang penerbit, sudah berapa buku yang berhasil saya terbitkan dan menjadi ”best seller’s”. Kaget juga saya ditanya begitu. Perlahan-lahan saya hitung satu demi satu. Ternyata hanya 30% buku yang saya terbitkan berhasil menjadi ”best seller’s”, 40%-nya biasa-biasa saja penjualannya. Dan 30% lagi justru babak belur, tidak laku. Teman saya berteori bahwa 30% yang gagal itu perlu dan mutlak ada. Hanya gara-gara itulah, saya berhasil menerbitkan 30% yang ”best seller’s”. Itu teori teman saya. Kata beliau, semakin tinggi statistik kegagalan saya, maka semakin tinggi pula keberhasilan saya. Intinya kegagalan adalah saudara kembar sukses.
Bila dicerna dan dicermati, teori teman saya memang bermakna dalam. Ketika mulai bisnis penerbitan buku, saya tidak ada yang mengajari. Modalnya cuma iseng dan nekat. Iseng karena membaca buku merupakan hobi saya. Jadi saya pikir-pikir pada awalnya ingin menyalurkan hobi saya. Kalau nekat, lain lagi ceritanya. Hampir delapan tahun yang lalu, disebuah toko buku, saya melihat sejumlah anak-anak SMP asyik membaca buku terjemahan dari bahasa asing. Penasaran, saya tanya mereka, kenapa kok tidak mau membaca buku karangan asli pengarang Indonesia. Mereka ramai-ramai tertawa dan mengatakan bahwa tidak ada buku karangan pengarang Indonesia yang bagus. Setelah saya telusuri ternyata benar juga. Dunia literatur dan sastra kita sedang berada dalam kemiskinan yang sungguh sengsara. Dulu jaman pujangga baru kita punya nama-nama besar dalam dunia sastra. Tahun 70’an dan 80’an walaupun tidak banyak kita masih punya nama besar seperti NH Dini, Marga T, Ashadi Siregar, dsbnya. Kini hampir tidak ada novelis yang terkenal. Jadi saya nekat saja, bikin penerbitan buku, karena bercita-cita ingin membantu dunia literatur dan sastra Indonesia, untuk melahirkan novel-novel baru yang bermutu.
Bermodal iseng dan nekat itulah akhirnya saya bikin usaha penerbitan buku. Tahun-tahun pertama, sangat susah mendapatkan naskah buku yang bagus. Karena tidak ada yang mengajari pula, maka kita terhindar dari pakem-pakem yang harus di hormati. Pokoknya tabrak saja. Kita menjadi sangat inovatif. Dan tergila-gila melakukan berbagai eksperimen. Hasilnya, seperti yang dikatakan teman saya itu. Sebagian memang gagal total. Tapi sebagian justru meledak dipasar dan menjadi ”best seller’s”. Harus saya akui, kegagalan itu memang perlu. Karena dari kegagalan itu kami belajar banyak. Naluri kami semakin tajam. Dan kami juga semakin berani masuk ke inovasi-inovasi baru. Kegagalan juga membuat kami bijak. Kalkulasi kami semakin akurat. Cara berpikir kami makin rinci.
Tapi buat kebanyakan orang, cerita diatas mungkin sudah sering terdengar. Tidak ada yang baru. Richard Farson dan Ralph Keyes, penulis buku ”Whoever Makes The Most Mistakes Win” menuturkan bahwa walaupun semua orang tahu bahwa kita harus belajar dari setiap kesalahan dan kegagalan, kebanyakan orang justru kemudian menghindari kesalahan dan kegagalan. Ironisnya, belajar dari kesalahan dan kegagalan tidak jarang membuat orang justru lebih berhati-hati. Yang mereka lakukan adalah menghindari kesalahan dan kegagalan. Akibatnya mereka menjadi “safe player”, atau pemain yang mencari aman-aman saja. Apa yang gelap dan msiterius, menjadi ketakutan untuk dijelajahi. Maka setelah itu, terjadilah gagal inovasi. Padahal kesalahan dan kegagalan seringkali menjadi bibit inovasi. Jadi jangan heran kalau inovasi itu memang mahal ongkosnya.
Menurut kedua penulis ini, karena kita terjebak untuk menghindari kesalahan dan kegagalan, setelah kita bijaksana belajar dari kesalahan dan kegagalan, maka rute inovasi yang tersedia bagi kita menjadi sangat terbatas. Yaitu rute atau jalan yang kita sebuat aman tadi. Lama-lama kita kita lagi memiliki birahi untuk berbuat sesuatu yang revolusioner. Teman saya, sang doktor statistik ini, punya teori tentang tim bulu tangkis kita. Dulu kita pernah berjaya dan menjadi juara dunia. Tetapi setelah mengalami sejumlah kekakalahan dan dikritik terus-menerus, mungkin manajemen bulu tangkis kita, lalu mencari yang aman-aman saja. Mereka tidak berani mengubah manajemen mereka menjadi revolusinoner dan inovatif. Akibatnya kita kalah terus dan prestasi bulu tangkis kita malah semakin terpuruk.
Mpu Peniti, menuturkan bahwa hanya para juara yang memiliki nyali atau keberanian yang luar biasa. Banyak prestasi olahraga dicetak justru dengan jurus-jurus yang tidak biasa. Yang resikonya sangat tinggi. Malah kadang nekat. Uniknya kemenangan spektakuler justru dicapai lewat cara-cara seperti ini. Dalam bisnis kita perlu sekali-kali nekat. Untuk membangkitkan nyali dan masuk ke wilayah belantara.
Kita perlu belajar dari kesalahan dan kegagalan, agar jangan melakukan kesalahan yang sama. Ini hukum lama. Kiat dan strategi baru, gara-gara belajar dari kesalahan dan kegagalan, jangan pula kita jadi takut berbuat salah dan gagal. Karena terkadang kesalahan dan kegagalan yang kita buat justru menunjukan jalan baru yang revolusioner.
1 comment:
hanya dengan kesalahan dan kegagalan, seseorang bisa meraih keberhasilannya....
tulisannya bagus,,salam sukses ya,,,
Post a Comment